VIII - Prom Nite
Jika ada yang perlu aku percaya, itu hanyalah kamu dan perasaan kita.
👑
Elata selalu berhasil tenggelam dalam setiap tatapan Noah. Biasanya, ialah yang lebih dulu menurunkan tatapan karena tidak tahan menanggung jantungnya yang berdetak kencang.
Noah juga bisa mengejutkannya dengan berbagai cara, termasuk ajakan untuk kabur dari Prom. Membayangkan bisa menghabiskan waktu berdua dengan cowok itu sangat menyenangkan di kepalanya.
Noah lalu mencubit pipinya. "Becanda, Ta."
"Aku mau, kok!" tandas Elata.
"Aku juga mau,"
"Kalo gitu ayok. Mau ke mana?"
Noah memegangi tangannya. Memainkan jarinya seperti yang biasa dilakukan cowok itu. "Tapi itu artinya aku bohong ke orang tua kamu. Izinnya, kan ke sini."
Bahu Elata merosot. "Mereka, kan nggak perlu tahu."
"Minggu depan," Noah mendorong dagu Elata untuk mendongak, membalas tatapannya lagi. "Kita ngedate, gimana?"
Mendengar itu membuat Elata langsung sumringah. Ia mengangguk, menyetujui ide itu seratus persen. Noah masih memegangi dagunya, saat ibu jari cowok itu mengusap lembut bibirnya yang tersenyum.
Deg.
Tenang, Elata. Tenang.
Sepertinya sepanjang jalan tadi Elata sudah berhasil mengalihkan fokusnya dari Noah. Saat menemukan cowok itu tengah bermain catur bersama papanya, saat cowok itu menatapnya tanpa berkedip, Elata hampir terpeleset. Penampilan cowok itu malam ini sangat... berbeda. Jas hitam dipadu kemeja putih. Celana kain dan sepatu pantofel. Rambutnya tidak berantakan, namun justru membuat Elata ingin mengusapnya.
"Aku tadi udah bilang kamu cantik, kan?"
Elata tersenyum, hatinya berbunga karena pujian itu berasal dari seseorang yang spesial untuknya.
Noah turun dari mobil dan memutar untuk membukakan pintunya.
"Aku udah bilang kamu ganteng belum?" Balas Elata saat pintu mobilnya dibukakan.
Noah membantu mengangkat dress yang dikenakannya. "Belum, coba bilang?"
Elata berdiri di atas sepatu heelsnya. "Nggak mau. Nanti kamu makin kepedean."
"Itu bukan pede, tapi mengakui kenyataan."
Elata mengaitkan tangan di lengan Noah ketika mereka berjalan menuju auditorium yang sudah disulap untuk perayaan Prom Nite. Sepanjang karpet merah yang membentang sampai ke pintu masuk, Noah disapa oleh hampir semua orang yang berpapasan dengan mereka.
Pintu masuknya dihias dengan lampu-lampu kecil tertanam di rangkaian bunga artificial yang menjuntai. Sama seperti dekor di dalamnya. Langit-langit hitam dengan juntaian lampu kecil berkelip-kelip seperti bintang. Biasanya tersusun kursi-kursi di tengah ruang, namun kini semuanya dipindahkan. Menjadikan ruang auditorium itu luas dan lapang. Suasana ramai diingiri musik yang diputar dari list musik kekinian.
Berhadapan dengan pintu masuk, ada layar besar di belakang panggung. Memutar kumpulan foto-foto kenangan angkatan mereka.
Semua orang yang ada di sana mengenakan pakaian terbaiknya. Bisa dibilang hampir mirip seperti Met Gala. Elata bersyukur Noah menghadiahkannya gaun ini, yang mana sangat pas di badannya.
Noah kembali di sapa, oleh tim futsal, oleh kelompok penertiban siswa, oleh tim basket sekolah, entah siapa lagi Elata tidak bisa mengenali semuanya. Kadang, Elata heran kenapa Noah begitu dikenal oleh seluruh siswa di sekolahnya. Mungkin karena pembawaannya yang menyenangkan. Noah tidak pernah kehabisan bahan obrolan, tidak pernah terlihat canggung, semua yang mengobrol dengannya merasa nyaman.
Sampai Mona pernah bilang, di mana ada Noah, maka di situ juga pasti ada keramaian.
Elata iri dengan kemampuan Noah yang satu itu. bisa membaur di mana saja, dengan siapa saja tanpa harus merasa sungkan. Semua orang menyukainya, mendengarkan apa yang dibicarakannya.
Selama tiga puluh menit sejak mereka tiba di sana, Noah sama sekali tidak melepaskan genggamannya di tangan Elata. Telapak tangannya sampai berkeringat. Selama Noah sibuk menyapa teman-temannya, Elata sudah beberapa kali melihat ke sekitar.
"Cari Mona?" tanya Noah tiba-tiba.
"Iya, katanya dia udah dateng."
Seseorang yang entah siapa lagi menghampiri mereka, tentu saja mau mengobrol dengan Noah. Elata melihat beberapa orang dari tim PMR. Akhirnya ada orang yang dikenalnya. Elata dan Noah pun masing-masing mengobrol, Noah berdiri ke arah kanan, sedangkan Elata ke arah kiri. Hanya genggaman tangan mereka yang bertaut, menghubungkan keduanya.
Saat Elata mencoba melepaskan genggaman itu, Noah langsung menoleh padanya.
"Mau ke mana?" tanya cowok itu, meninggalkan percakapan dengan temannya.
"Ambil minum sebentar,"
Noah langsung mengakhiri obrolan bersama temannya, dan menemani Elata menuju meja di sisi pinggir ruangan.
"Mau minum apa?"
"Padahal aku bisa sendiri," Elata menunjuk jus jeruk. "Ini dari tadi kita diliatin terus gandengan nggak lepas-lepas."
"Nggak ada pilihan lain," Noah berterima kasih pada penjaga stand minuman itu dan menyerahkan gelas ke tangan Elata. "Daripada aku umpetin di sini," cowok itu membuka sebelah jasnya dan menunjuk kantong kemeja. "Mau?"
"Ngapain aku diumpetin?"
"Biar kamu nggak dilirik-lirik cowok terus."
"Nggak ada, ya yang lirik-lirik aku."
"Ada, ya." Noah menirukan nada bicaranya.
"Nggak ada!"
Noah kemudian berdiri di belakangnya. Berbisik di telinganya. "Liat yang pake jas abu-abu di dekat meja cemilan di sana,"
Tatapan Elata bergeser ke arah yang dimaksud Noah. Cowok itu tidak dikenalnya, namun sedang asyik mengobrol dengan teman-temannya.
"Dia siapa?"
"Anak kelas IPS, dan dia dari tadi liatin kamu."
"Cuma perasaan kamu aja. Lepasin dulu gandengannya, deh tanganku keringetan."
"Perasaan aku mana pernah salah, Ta." Noah kembali berdiri di hadapannya. "Makanya pilihan kamu cuma ini," cowok itu mengangkat gandengan tangan mereka. "Atau aku peluk."
"Noah! Ssstt!" Elata yakin, penjaga minuman di dekat mereka mendengar ucapan Noah.
Noah merendahkan suaranya, berbisik. "Mau dipeluk aja?"
Elata menempelkan gelas minuman ke dahi Noah. Membuat cowok itu terdorong ke belakang dengan kekehan geli.
"Elata!" teriakan itu hampir mengalahkan suara musik. "Di sini lo rupanya. Gue kira nggak jadi dateng."
"Truk mah kalah sama kalian," gumam Ginan yang datang bersama Mona.
"Kayak gitu dong, yang! Digandeng. Jangan malu-malu kayak anak ayam." Seru Mona.
"Gue dibanding-bandingin mulu sama lo," ujar Ginan melepaskan lilitan tangan Mona. "Bentar lagi giliran kita tampil, siap-siap yuk."
Noah menggaruk ujung hidungnya, menggunakan punggung tangan Elata."Bisa bawa pacar ke atas panggung, nggak?"
Pertanyaan yang membuat Mona menjerit tidak jelas, dan Ginan menghela napas seraya memutar mata.
Elata tahu itu hanya sekedar candaan tapi tetap saja ia yang malu. Ia segera mencubit dengan keras pinggang Noah sampai cowok itu mengaduh. Elata membuka cengkraman jari Noah dan melepaskan genggaman tangan mereka.
Sebelum Noah diseret menjauh menuju panggung oleh Ginan, cowok itu sempat mendekat untuk meniup wajahnya.
Katanya, "Dah, cantik."
👑
Lagu yang dibawakan oleh The Prince's seakan melemparkan Elata ke masa kencan pertamanya bersama Noah dulu.
Mereka menyanyikan lagu cover dari band Interlude yang begitu populer di kalangan anak muda. Dan sudah pasti, lagu itu mengguncang seisi auditorium, di mana semua orang ikut menyanyikan lirik lagu yang pastinya sudah mereka hapal di luar kepala.
Dan yang mengejutkannya, karena Noah ikut mengisi suara bersama Ginan. Seolah keduanya saling memahami, Noah menatapnya sepanjang cowok itu memainkan gitar. Suaranya yang rendah, terdengar menggoda membuat seisi ruangan bersorak. Pasti Noah juga mengingat jika ini adalah lagu yang berkesan untuk mereka.
Setelah penampilan The Prince's usai, Elata dan Mona menuju sisi panggung untuk menunggu Noah dan Ginan.
"Mon, gue ke toilet bentar ya."
"Gue temenin."
"Gausah, gue cuma sebentar aja." Elata segera meninggalkan Mona dan menuju ujung lain ruangan.
Setelah melewati banyak kerumunan, Elata sampai di pintu masuk toilet. Namun bukan di sana tempat yang ditujunya. Melainkan tangga yang mengarah ke lantai dua.
"Lo nyasar?"
"Enggak," Elata menaiki satu lagi anak tangga. "Gue emang nyari lo."
Resya menghembuskan rokoknya dengan angkuh. Tangga ini di apit oleh dinding dan jendela. Yang mana cukup tertutup, terisolasi dari keramaian di auditorium.
Resya yang bersandar pada dinding menatapnya. "Mau apa lo?"
"Gue mau tau, apa yang bikin lo nggak suka sama gue,"
"Terus setelah lo tau, lo mau apa?"
"Seenggaknya gue tau salah gue di mana. Apa yang sudah gue lakuin sampe lo selalu sinis kayak gini?"
Resya berpaling ke arahnya, menuruni satu anak tangga hingga mereka berhadapan. "Gue cuma muak liat lo, Elata."
"Karena gue pacaran sama Noah?"
Resya tertawa. "Gue muak liat lo dan cowok lo."
Artinya, alasannya bukan pada Noah. "Lalu kenapa? Gue pernah bikin salah apa?"
"Gue benci liat muka sok polos lo ini. Cewek yang ngegantungin perasaan cowok yang tulus sama dia itu sama aja cewek brengsek. Beralasan nggak bisa pacaran karena nggak dibolehin orang tua. Cuih! Sekalinya ada cowok ganteng langsung berlutut juga."
Elata benar-benar dibuat bingung. Ia sama sekali tidak mengerti yang dibicarakan Resya. Siapa yang dimaksud cowok yang tulus padanya. Selain Noah, memangnya siapa yang pernah menyukainya?
Kecuali... Elata membelalak. "Maksud lo Rafa?!"
"Lo bahkan nggak tau siapa yang gue maksud. Cewek sialan. Gara-gara lo, Rafa kehilangan masa depannya. Karena terlalu bego ngejar lo, dia bahkan dikeluarin dari sekolah dan di penjara. Harusnya lo bertanggung jawab sama semua itu, bukannya jadi pereknya Noah!"
Lalu Resya menjerit, karena seseorang yang datang dari arah belakang bahu Elata dan menyiram cewek itu dengan air. Dress hitam yang dikenakannya basah. Rokoknya pun padam.
"Noah..."
"Lo nyiram gue?!" Salak Resya ke arah Noah.
"Di sini nggak boleh ngerokok," Noah melemparkan kain hitam ke arah Resya. "Pake itu buat nutupin badan lo."
Tidak ada pilihan lain, Resya melilitkan kain yang digunakan sebagai taplak meja itu sebagai pelindung. Wajahnya merah padam. Entah karena malu atau marah.
"Sebaiknya lo minta maaf." Lanjut Noah.
"Gue disiram dan lo nyuruh gue minta maaf?"
Noah melangkah naik, berdiri di antara Elata dan Resya. "Minta maaf ke pacar gue."
"Atau apa? Lo mau mukul gue? Lo mau mukul cewek?" Resya tertawa. "Banci!"
Tangan Noah terkepal. Noah memang tidak mungkin memukul wanita. Melihat emosi cowok itu yang hampir meledak, Elata segera mengenggam tangan Noah. Menarik cowok itu mundur.
"Jadi, lo suka sama Rafa?" Pertanyaan yang tidak perlu melihat betapa menggebu cewek itu membela Rafa. "Tapi sorry, dalam hal ini gue nggak salah."
Resya mendecih.
"Soal perasaan Rafa, itu urusan dia. Soal gue nggak nerima Rafa, karena gue nggak ada perasaan apapun sama dia. Justru jahat kalo gue nerima dia cuma karena kasihan.
Dan soal dia di penjara sekarang, itu juga akibat perbuatannya. Dia mengedarkan narkoba di sekolah, bagian mana dari semua itu yang nggak lo pahami?"
Resya terlihat geram. Seolah lidahnya kelu, mati kutu tak bisa membalas ucapan Elata.
"Gue tadi berniat memperbaiki hubungan sama lo. Meski kita nggak berteman, gue nggak mau lulus dari SMA dengan meninggalkan musuh. Gue bermaksud minta maaf sama lo."
"Gue nggak butuh maaf lo!"
"Gue tahu sekarang. Bukan kata maaf yang lo perlukan. Karena ternyata rasa benci lo buat gue itu, sama sekali nggak beralasan. Lo cuma butuh orang untuk melampiaskan kemarahan lo sama keadaan. Dan gue cukup mengerti itu. Kalo dengan membenci gue lo bisa melewati semua ini, silakan."
Elata menarik Noah pergi dari sana, meninggalkan Resya yang dari balik punggungnya terdengar mengumpat dengan sangat kasar.
👑
"Kamu diapain sama dia?" Tanya Noah setelah mereka kembali ke kerumunan. Mereka berdiri berhadapan di paling pinggir ruang, dekat pohon setinggi badan Noah. Kecemasan bercampur aduk di tatapan Noah ketika memutar tubuh Elata. "Dia nyakitin kamu?"
"Aku baik-baik, aja Noah."
"Itu tadi bahaya, Ta."
"Aku nggak tahu Resya punya perasaan sama Rafa. Dan aku baru ingat kalo mereka sekelas." Selama ini cewek itu pasti memendam perasaannya.
"Terus buat apa kamu nemuin dia?"
"Aku mau bicara, aku pikir dengan gitu bisa memperbaiki hubungan sama dia."
"Dia juga yang tempo hari nabrak kamu sampe memar?"
Elata mengangguk. "Seengaknya setelah ini kita nggak akan ketemu lagi sama dia."
Noah menghela napas. "Kita pulang sekarang."
"Nggak mau nunggu sampe pengumuman King dan Quenn?" Tawar Elata dengan senyuman manis.
"Enggak."
"Atau sampe sesi dansa?"
"Enggak, Elata..."
"Kamu nggak mau dansa sama aku?"
"Mau, sayang," Noah mengusap pipinya. "Mau banget tapi aku lebih pilih mulangin kamu tepat waktu daripada dicubitin mama kamu."
Elata sudah ingin menolak, namun sepertinya Noah tidak bisa dibantah saat ini. Mereka menghampiri Mona dan Ginan untuk berpamitan. Setelah itu Noah menariknya keluar dari auditorium.
"Tunggu," Elata menahan tangan Noah. "Aku mau ke toilet."
"Mau apa lagi?"
"Kali ini beneran," Elata tersenyum. "Beneran mau ke toilet."
Noah berniat mau mengantarnya. Tapi Elata langsung mencegah cowok itu.
"Aneh banget kamu nungguin depan toilet cewek. Tungguin aku di parkiran aja. Lagian nggak jauh. Keliatan dari mobil malah."
Elata langsung berlari menuju toilet karena kali ini ia benar-benar ingin buang air kecil.
Setelah selesai, Elata masih harus merapikan dressnya di dalam bilik paling ujung. Ketika segerombolan cewek masuk dengan berisik.
Awalnya Elata tidak memedulikannya, sampai ia mendengar nama Noah disebut.
"Gue bingung harus sedih atau seneng karena kita udah lulus. Artinya nggak bisa memandangi si pangeran Noah lagi, dong."
"Nunggu keajaiban dunia keberapa lagi supaya bisa ada modelan cowok kayak Noah di kampus. Yang bisa jadi moodboster tiap hari."
"Atau gue cari tau dia mau kuliah di mana, terus kita masuk ke kampus yang sama. Hihihii..."
"Serem banget lo semua. Udah kayak stalker. Lagian lo nggak denger yang anak-anak cowok kemaren omongin?"
"Soal Noah kumpul-kumpul sama preman itu?"
"Iya, malah katanya Noah emang anggota preman jalanan itu."
"Halah... jangan percaya mulut cowok kelas kita. Palingan mereka ngiri karena nggak bisa secakep Noah."
"Apalagi malam ini dia ganteng bangettt... aaakkk."
"Gagah banget nggak kuaattt. Gue udah foto, buat gue cetak terus tempel di kamar."
"Gue meleleh cuma liat dia senyum. Kok bisa ada makhluk seindah itu."
"Sayang gandengan mulu sama pacarnya ihh... khan zebel!"
"Tauk tuh pengen banget diliat sebagai pacarnya Noah. Itu pasti dia yang minta gandengan, nggak ngebolehin Noah ngobrol sama temen-temennya."
"Ihh pacarnya serem—"
Elata membuka pintu bilik, dan keheningan menyergap toilet. Ia menuju wastafel dan mencuci tangan di sana. Wajahnya terasa ditusuk-tusuk oleh tatapan diam dari gerombol cewek di sebelahnya.
Setelah mengeringkan tangan, Elata menghadap ke arah cewek-cewek itu.
Salah satu dari mereka terperangah. Dan bergumam 'cantik banget gila' namun langsung disikut sama temannya yang lain.
"Ada yang foto Noah, ya tadi?" tanya Elata. "Boleh liat?"
Salah satu dari mereka menyerahkan ponsel dengan takut-takut. Elata melihat foto Noah di layar ponsel. Ada beberapa, dari di atas panggung sampai foto tersenyum.
"Maaf," Elata mengembalikan ponsel itu dan tersenyum manis. "Tapi aku emang posesif sama pacar."
Setelah mengatakan itu ia keluar dari toilet. Terdengar jeritan dari dalam sana karena foto-foto Noah tadi yang sudah berhasil dihapus Elata.
Elata mengangkat dressnya, tidak sabar ingin menceritakan hal itu pada Noah. Langkahnya hati-hati dan cepat. Namun pijakan Elata hampir meleset, membuat ponsel yang ia pegang di tangan jatuh ke aspal.
Tubuh Elata membeku. Udara malam itu memang dingin memukul kulitnya. Namun bukan itu yang membuatnya terperanjat hebat.
Melainkan karena melihat Noah yang tengah berpelukan dengan seorang wanita.
👑
bip bip bip....
halo, kamu sudah tidur?
capek ya hari ini?
sebelum istirahat, pastiin kamu sudah makan dan mandi ya. pakai baju paling nyaman, dan selimut hangat.
karena seberapa kejamnya dunia, yang bisa merawat kita hanyalah diri kita sendiri
terima kasih atas dukungannya untuk cerita ini. sampai bertemu di next part 😘
Faradita
i love you in every word
12 agustus 2023
Ps: TRP genrenya romance ya, bukan teenfic lagi 🫣
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top