VII - Janji

Ini bukan sekedar janji. Memang harus kamu yang ada di masa depanku nanti.

👑

"Ahh, kalah lagi," Roy memijat keningnya. "Kamu sebenarnya jago, kan?"

Noah tersenyum. "Kebetulan aja ini, Om."

"Sekali lagi-sekali lagi. kalo emang kebetulan, kali ini pasti Om yang menang."

Om Roy menyusun lagi satu per satu bidak catur. Mereka sudah menyelesaikan satu babak permainan sejak Noah datang tadi. Sudah sering ia menemani Om Roy bermain catur ketika berkunjung ke rumah Elata. Laki-laki itu bahkan terlihat senang setiap kali melihat Noah datang. Bahkan kadang, Noah lebih menghabiskan waktunya dengan Om Roy yang membuat Elata sering protes.

"Elata itu, agak susah ya ngungkapin perasaannya?"

Perubahan topik yang tiba-tiba itu sedikit mengejutkan. Noah lalu ikut membantu menyusun pion. "Sedikit, Om. Tapi dia mudah dibaca, kok. Nggak sulit buat tau apa yang sebenernya dia mau."

Om Roy mengangguk-angguk. "Sedikit banyaknya, itu gara-gara kami. Kamu sendiri tahu gimana protektifnya Tante dulu. Walau sekarang udah berkurang, tapi Elata tetap merasa takut-takut kalo disuruh menjelaskan keinginannya."

Bidak catur kini sudah tersusun, dengan warna hitam di sisi Noah. Tapi Om Roy malah bersandar di sofa dan menatapnya.

"Om yakin kamu baik, Noah," sepertinya Om Roy sudah tidak ingin bermain catur lagi. "Om bisa ngerasainnya kalo kamu anak yang bisa dipercaya. Gimana kamu mempertahankan Elata dulu, keberanian kamu menghadapi Om, dan bikin dia bahagia sampai sekarang."

Berhadapan dengan Om Roy sangat berbeda dengan Tante Marina. Jika dengan Tante Marina, Noah masih luwes mengajaknya bercanda meski akan dibalas dengan delikan mata serta mulut tajam. Tapi kalau dengan Om Roy Noah justru jauh lebih tegang. Mungkin pembawaannya yang santai tapi berwibawa itu, membuatnya harus lebih berhati-hati.

"Elata yang lebih banyak kasih saya kebahagiaan, Om."

Om Roy tersenyum. "Kata orang, cinta pertama anak perempuan adalah ayahnya. Om merasa sekarang cintanya Elata sudah beralih banyak ke kamu. Masa, sekarang Om minta temenin ke mall ogah-ogahan, padahal dulu paling semangat." Om Roy lalu tertawa.

"Tapi Om ngerti kalo sekarang Elata bukan gadis kecil kayak dulu lagi. Udah berubah masanya dia nggak manja lagi ke Om, dan beralih manjanya ke kamu. Dan Om paham akan tiba masa seperti ini.

Bukan berarti juga Elata nggak sayang orang tuanya. Dia menyayangi kami dengan cara yang lebih dewasa. Dalam hal ini, dia jadi terlalu memikirkan apakah pilihannya akan membuat kami sedih. Sampai sekarang aja, dia belum ngasih tau kami mau ngelanjutin kuliah di mana."

Mendengar itu, Noah memilih menutup mulutnya.

"Yang mau Om sampein ke kamu, Om mau bilang terima kasih. Karena bagi orang tua, khususnya seorang ayah, nggak ada yang lebih menenangkan daripada anak perempuannya menemukan pasangan yang tepat. Sampai saat ini, Om rasa kamu bahkan sudah sangat tahu gimana cara mengurus Elata.

Sekarang kalian udah lulus SMA. Om tahu perjalanan kalian masih panjang. Entah nanti gimana masa depan kalian, dan banyak kemungkinan-kemungkinan lain. Tapi, boleh Om minta tolong sedikit sama Noah?"

"Boleh, Om."

"Kalo boleh, tolong jaga Elata terus, ya. Temani dia. Kadang, dia sulit mengatakan isi hati yang sebenarnya. Kadang juga dia mengatakan hal yang bertolak belakang sama perasaannya. Kenapa Om bisa seyakin ini sama kamu, karena setelah ada kamu, Elata menjadi seriang dulu."

"Saya janji," Noah tersenyum. "Saya akan terus menjaga Elata."

Om Roy menumpukan sikunya pada lutut, menatap Noah dengan tatapan lurus. "Tapi kalo kamu sudah merasa bosan sama Elata, atau perasaan kamu berubah untuk dia. Tolong bilang langsung sama, Om, ya. Biar nanti Om yang bantu untuk bicara."

Rasa tegang seperti ini yang Noah maksud. Om Roy sangat berpikiran terbuka, tapi juga sangat memerhatikan segalanya.

"Elata pernah menyelamatkan hidup saya, Om. Jatuh cinta sama dia bikin saya mau menata hidup jadi lebih baik. Saya nggak tahu apakah hari yang Om maksud itu akan tiba, tapi saat ini saya sendiri sulit membayangkan hidup saya tanpa Elata."

Om Roy menahan tatapannya beberapa saat, sebelum menarik tubuhnya ke belakang bersandar di kursi dengan wajah sumringah. "Kata Elata kamu bukan playboy tapi jawaban kamu bagus gitu, belajar di mana? Mantan playboy, pasti! Ya, kan?!!"

Noah dan Om Roy sama-sama tertawa. Tepat di saat itulah suara langkah ribut terdengar. Elata turun bersama Tante Marina yang sedang memberikan larangan dan apa saja yang harus dihindari di prom nanti. Cewek itu memerhatikan langkahnya sampai di anak tangga terakhir, sebelum mendongak lalu menatapnya.

Dan Noah membeku.

"Aduh, aduh... ini bener anak papa?" Roy bangkit dari duduknya menghampiri Elata. "Kok, bisa cantik banget begini. Coba-coba papa lihat dulu..."

"Papaaa...," rengek Elata. Cewek itu memberikan kode melalui mata, karena tidak ingin diperlakukan seperti anak kecil.

"Cantik, lah. Kan nurun dari aku." sahut Tante Marina.

Om Roy menggoda istrinya. "Emang kamu secantik ini waktu muda?"

"Eh, lupa kamu? Siapa yang dulu ngejar-ngejar aku sampai bertahun-tahun?"

"Udah-udah, masa lalu nggak usah dibahas," Om Roy mencubit pipi Elata. "Kamu dulu masih kecil sekarang udah sebesar sekarang mana bisa pacaran lagi."

"Papa!" Elata yang cemberut, membuat Om Roy tertawa.

"Noah," kali ini Tante Marina menatapnya tajam. "Pokoknya, kamu harus bawa pulang Elata tepat jam Sembilan. Nggak perlu ikutin acaranya sampai selesai, harus pulang tepat waktu. Oke?!"

Noah sudah akan menjawab, tapi Elata menyela.

"Ma, acaranya cuma sampai jam sepuluh."

"Duluan sejam pulangnya nggak ada bedanya, Elata."

"Iya, Tante. Kami akan pulang tepat waktu, kok."

Elata mencium tangan kedua orang tuanya dengan cemberut. Setelah menutup pintu depan, Noah membukakan pintu penumpang untuk Elata. Cewek itu terlihat sangat senang karena terus tersenyum. Hal yang membuat Noah hampir ksesulitan berkonsentrasi selama menyetir ke sekolah.

👑

Jalanan di malam sabtu itu tidak terlalu padat. Mobil yang dikendarai Noah melaju mulus. Suara Rini menyanyikan lagu dari playlist di mobil menemani perjalanan. Noah memerhatikan kaki Elata yang sedari tadi terus bergerak-gerak. Ia pun menekan tombol di kemudi, membuat pendingin di bawah kaki Elata mati.

"Mungkin seharusnya kita datang lebih awal, ya? Soalnya kan pulangnya nanti duluan." Elata menoleh ke arah Noah. "Eh, nanti band kamu tampil kapan?"

"Di pertengahan acara."

"Nanti aku tunggu di samping panggung, ya. Kayak biasa bareng Mona. Eh, tau nggak? Masa Mona—"

Noah tidak bisa fokus mendengarkan Elata. Ia justru mengingat bagaimana dirinya dan ibu mengelilingi butik untuk mencari dress.

"Elata, kan kulitnya putih bersih," Miranda mengangkat dua gaun. "Warna navy atau maroon ini pasti cocok buat dia."

Noah menggeleng. Kedua dress itu terlalu pendek, dan berpotongan dada rendah. "Jangan yang terlalu seksi, bu. Buat anak SMA, loh ini."

"Udah bukan anak SMA lagi lah bentar lagi lulus. Model begini lagi hits, loh." Miranda meminta pegawai butik membawakan lagi rak gantung lain. "Kalo ini gimana? Menurut ibu cocok banget, bikin pinggangnya makin keliatan ramping."

"Itu punggungnya nggak ada penutupnya?"

Miranda memutar matanya. "Mending kamu bawa Elata ke sini biar bisa dicobain langsung."

Noah bahkan tidak memberitahu cewek itu soal ini. Karena ia tahu Elata akan menolak. Jadi dia akan membelikannya secara diam-diam.

Lalu sekarang, Noah dikejutkan oleh pilihan dressnya sendiri. Ia hanya berpikir kalau warna putih sangat mencerminkan Elata. Ia tahu dress itu cantik. Noah melirik Elata, cewek itu sedang menyisir rambut panjangnya dengan jari. Membuat aroma shampo manis dan lembut menerpa hidungnya.

Noah tidak tahu kalau dress itu malah membuat Elata menjadi terlihat sangat cantik.

"—Mona jadinya lagi perang dingin sama orang tuanya. Semoga aja dia nggak keras kepala lama-lama. Eh, itu parkiran kosongnya kok dilewatin."

Noah segera mengerem dan memundurkan mobil. Saat memasuki gerbang sekolah, memang parkiran sudah lumayan penuh.

"Kamu kenapa?" tanya Elata, saat Noah mematikan mesin.

"Kenapa apanya?"

"Kamu kayak lagi ada yang dipikirin?" Elata memiringkan kepalanya, melihat Noah lebih dekat. "Ada masalah?"

"Kamu masalahnya."

Dahi Elata berkerut. "Kok, aku?"

Noah menyentuh kerutan itu dengan ibu jarinya. "Emang gimana rasanya?"

Elata terlihat semakin bingung. "Apanya?"

Noah sudah membuka seatbeltnya. Membuatnya bisa maju mendekati Elata. Yang membuat cewek itu terdorong mundur melekat di kursi. Wajah mereka berjarak satu tarikan napas.

Elata memiliki kebiasaan ketika Noah mulai mengambil tindakan mendekat seperti ini. Wajahnya akan mulai bersemu merah muda. Kelopak matanya akan berkedip lebih banyak. Dan tegukan ludah yang terlihat di lehernya memberikan kesenangan tersendiri bagi Noah.

Noah senang menggoda Elata, tanpa tahu efek yang diberikan cewek itu berkali lipat jauh lebih menyulitkannya.

Seperti sekarang.

Tangan Noah menjulur ke arah pinggang Elata, bersama wajahnya yang bernapas di pipi cewek itu. Noah berbisik, "Gimana rasanya kelewat cantik gini?"

Ketika mereka kembali bertatapan, keduanya sama-sama tersenyum. Noah meniup wajah Elata, dan menarik lepas seatbelt yang dipakai cewek itu.

"Ta, gimana kalo kita lewatin prom ini?"

"Hah?"

Noah menjumput ujung rambut panjang Elata dengan jari. "Rasanya aku nggak rela ngebiarin anak-anak lain liat kamu sekarang," ujung rambut berkilau itu diciumnya. "Kabur aja, yuk?"

👑

🫠🫠🫠 diajak kabur anak orang! Aku sih yes!

Wkwkkwkw

Hi hi hi... apa kabar kamu?

Aku tahu jawabannya nggak selalu baik. Tapi dari semua itu, aku tetap bangga sama kamu.

Hariku biasa. Ngurus anak yang lucu dan cerdas, ngurus rumah yang sedetik rapi sedetik kemudian berantakan lagi, masak, dan ngurus suami. Tapi biasa yang ini bisa jadi dirindukan suatu hari nanti.

Makanya, hal biasa sekali pun akan selalu punya arti.

Terima kasih sudah membaca sampai sini. Mau nantang, ah. Komennya sampai 200 dulu baru aku lanjut! 🤧

Faradita
I love you in every word 🌬️🤍

Ps: maaf kalo ada typo nggak koreksi lagi wkwk

Ini outfit Noah ke prom! Alamak 😫

Ini dress pilihan Noah untuk Elata. Yuk kabur ngengg

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top