V - Resital 2
👑
Sepatu setinggi 5 cm yang dikenakannya hari ini pilihan mamanya. Yang ternyata berbunyi sangat nyaring ketukannya, di tengah keheningan menusuk sampai ke tengah panggung. Atau itu cuma perasaannya saja. Rasa gugup membuat seluruh inderanya lebih peka dari biasanya.
Di tengah panggung sebuah grand piano sudah siap untuknya. Setelah membungkukkan badan, Elata menatap ke arah penonton. Dengan mudah ia menemukan kedua orang tuanya, juga Mona dan Ginan yang berada di baris yang sama. Ada kursi kosong di antara Tante Miranda—ibu Noah—, dan papanya, sepertinya itu untuk Noah. Cowok itu mungkin masih di belakang panggung.
Menerima begitu banyak perhatian dari puluhan pasang mata membuat Elata kembali gemetar. Telapak kakinya bahkan terasa basah. Dari sudut sebelah kiri, terlihat Tante Mila memberinya instruksi untuk duduk.
Dengan langkah kaku Elata memutar tubuh dan menuju kursi piano. Rasanya sungguh mendebarkan. Piano yang familiar baginya kini tiba-tiba terasa menakutkan. Susunan tutsnya seolah sedang menghakiminya, menuntutnya untuk dimainkan dengan benar tanpa keliru.
Hening yang tercipta, karena para penonton diam menunggunya, menjadi esensi yang membuat Elata hampir ingin menangis. Ia kembali diterpa gugup luar biasa padahal tadi Noah sudah berhasil meredupkan sedikit demam panggungnya.
Dari arah bangku penonton, Elata mendengar teriakan Mona yang memberinya semangat. Teriakan yang tentu menarik perhatian penonton lainnya, juga mendapat teguran karena penonton pertunjukkan resital diharuskan untuk tenang dan tidak membuat suara selama acara berlangsung.
Elata memejamkan mata, membuang napas dari mulut secara perlahan. Lalu dirinya tercengang karena tiba-tiba saja Elata tidak bisa mengangkat tangannya. Ia tidak bisa bergerak. Keheningan yang berlangsung semakin lama itu mau tidak mau membuat penonton kebingungan.
Elata bernapas dengan cepat. Kedua tangannya menggengam lalu dipindahkannya ke atas tuts. Namun nada pertama yang diambilnya langsung meleset. Timpang dan sumbang. Mungkin bagi orang awam itu tidaklah terdengar dengan jelas, tapi para penonton yang datang adalah penikmat music classic yang lebih berpengalaman. Pasti ada yang menyadari kesalahannya.
Jari Elata membeku. Ia tidak bisa melanjutkan nada. Hal yang membuat Elata semakin gemetar. Ia menggigit bibirnya, merasa gagal bahkan di resital pertamanya. Ia ingin berlari kembali ke belakang panggung, sebelum desingan suara dari speaker terdengar memekikkan telinga. Membuat semua yang ada di ruangan itu menutup telinga masing-masing.
Suara desingan itu berlangsung lima detik, lalu tenggelam hilang. Berganti dengan musik menghentak yang keluar dari sound system di sudut panggung. Musik itu melantunkan suara vocal laki-laki bernyanyi dengan semangat. Dipadukan gitar dan tabuhan drum dengan tempo yang cepat.
Itu adalah rekaman lagu yang dinyanyikan oleh The Prince's. Suasana hening yang mencerminkan resital pun berubah seketika menjadi kegaduhan. Semua penonton saling memalingkan wajah, mencari tahu dari mana asal musik yang sama sekali tidak cocok bersanding dengan megahnya aula resital itu.
Sampai dari arah bawah panggung sebelah kanan, seorang petugas keamanan menarik seorang laki-laki yang sudah menyabotase audio.
Tante Mila terbelalak serta langsung berlari ke sudut panggung yang lain. Menarik Noah yang sedang meminta maaf kepada petugas keamanan. Terlihat Tante Mila juga menjelaskan siapa Noah dan meminta maaf atas kelakuannya. Tante Mila mendorong belakang kepala Noah untuk membungkuk, menyuruh cowok itu minta maaf. Namun sama sekali tidak tampak rasa bersalah di wajahnya yang tersenyum.
Ketika Noah berhasil diselamatkan dari petugas keamanan, cowok itu disuruh kembali ke tempat duduk penonton. Semua orang menatap cowok itu, sampai di kursi sebelah papa, Noah kembali mendapat omelan mamanya dalam mode suara rendah serta cubitan serupa tante Mila.
Suasana segera kembali terkontrol. Perhatian penonton sudah tidak terdistraksi lagi. Semuanya kini menatap pada satu titik di atas panggung, yaitu ke arah Elata.
Dan tatapan Elata jatuh pada Noah yang juga melihatnya. Mereka sama-sama tersenyum. Dan dengan jarak yang tidak bisa dibilang dekat ini, Elata tahu Noah mengedipkan sebelah mata padanya.
Dengan satu tarikan napas panjang, Elata kembali menatap deretan tuts putih, dan memulai nadanya dengan sempurna. Rasa gugupnya lenyap. Kini yang ada hanya ada dirinya, dan grand piano di hadapannya.
👑
"Hebat kamu," Tante Mila mengurai pelukan. "Sampe pada standing ovation mereka yang nonton. Kamu udah menarik perhatian mereka, Elata."
Elata tersipu. "Aku sempet salah tadi, saking gugupnya."
"Ah itu wajar. Apalagi ini resital pertama kamu. Jalannya masih panjang. Siapa tau setelah ini nanti kamu dapat sponsor."
"Masih belum berani mikir ke sana, Tante. Udah berhasil tampil sampai selesai aja aku udah bersyukur banget."
"Astaga bener," Tante Mila lalu memijat dahi. "Tante hampir jerit liat Noah cengengesan tadi! Ada-ada aja kelakuannya. Masa nyambungin hapenya ke audio di acara beginian. Pake segala mutar musik metal. Hampir aja diangkut satpam ke kantor keamanan. Untung aja penampilan kamu bisa dilanjutin."
Elata tertawa. Tidak tahu harus mengatakan apa pada tingkah yang pasti disengaja cowok itu. Elata berbincang sedikit dengan teman lesnya yang lain, saling memberi selamat sebelum keluar dari ruang ganti.
Elata menemukan kelurganya tidak jauh dari pintu keluar. Ada papa dan mama, Ginan dan Mona, tante Miranda dan Noah. Semuanya bergantian mengucapkan selamat untuk Elata dan memuji penampilannya yang memukau.
Orang tua Elata lalu mengajak makan malam bersama di sebuah restoran tengah kota. Mereka sudah memesan meja di hari sebelumnya sehingga setibanya di sana mereka tinggal menempati bangku reservasi dan makanan dihidangkan tidak berapa lama kemudian.
"Gila, keren banget lo tadi buset!" Puji Mona yang duduk di sebelah kanannya. Ginan yang duduk di sebelah bangku Mona ikut menyetujui dengan anggukan. "Waktu lo bilang bisa main piano, gue pikir semacam main ibu kita kartini. Nggak taunya sekelas classical music keren gini. Ya ampun sayang banget gue sama lo, Ta!"
Ginan menimpali. "Sorry banget juga ya suara gue nyempil tadi."
"Tetep aja, Noah hampir bikin gaduh lagi. Aneh-aneh aja deh, cowok lo, Ta. Nggak ngerti gue sama jalan pikirannya."
"Tapi berkat itu Elata jadi nggak gugup," Ginan menyahut.
"Ih," Mona mendorong bahu Ginan. "Jangan beda suara dong sama aku."
"Emang bener. Liat, kan sebelumnya Elata kaku banget. Setelah ulah Noah, dia jadi berubah lancar."
Mona dan Ginan selanjutnya kembali berdebat. Membuat Elata hanya bisa tersenyum memandangi piringnya yang berisi pasta.
Sekali lagi, Elata menatapi satu persatu orang-orang yang ada di meja itu. Mamanya tengah terlibat percakapan seru dengan Tante Miranda di seberang meja. Sedangkan papanya, yang duduk di kepala meja persegi panjang ini sedang tertawa karena mendengar lelucon Noah.
Elata masih tidak percaya akan tiba di mana hari semuanya terasa begitu sempurna. Kedua orang tuanya yang menerima hobi bermain pianonya, sahabat yang mendukungnya, dan Noah yang selalu ada untuknya. Hatinya mengembang begitu penuh, sesak oleh rasa bahagia yang manis.
Setelah setengah pastanya habis, Elata berniat mengambil sepotong roti dengan isian berwarna putih. Namun Noah yang berada di sisi kirinya menyela tangan Elata.
"Itu isinya tuna," katanya. Lalu mengangkat piring lain dengan roti yang terlihat sama. "Ini aja, isinya buah."
Elata mengambil roti isi potongan buah itu sambil tersenyum. Padahal Noah sedang bicara sama papanya, tapi cowok itu masih melihat gerak-geriknya. Bahkan menyadari makanan yang hendak diambilnya. Tidak terbayang betapa malunya kalau alerginya kambuh karena tidak sengaja menelan ikan.
Saat masih mengunyah, ponsel Noah yang diletakkan di sebelah piring Elata itu menyala. Mau tidak mau ia bisa melihat layarnya. Sebuah pesan masuk dengan nama yang sudah lama tidak dilihat Elata.
Viktor
Lo jadi ke sini, kan?
Elata termangu, menelan sisa makanannya. Viktor adalah teman jalanan Noah yang juga dikenal sebagai preman. Viktor dan kelompoknya bukanlah orang jahat. Bahkan mereka pernah menolong Noah.
Hanya saja, Noah sudah berjanji untuk tidak lagi berhubungan dengan orang itu.
Ponsel Noah meredup gelap bersama pesan itu yang belum diketahui Noah. Elata mengambil gelasnya dan minum dengan menggigiti ujung gelas. Pikirannya tiba-tiba berkecamuk.
Hampir membuatnya tersentah, dari bawah meja, Noah menjulurkan tangannya ke pangkuan Elata. Gerakan yang tidak mungkin terlihat oleh siapa pun.
Tangan Noah membuka jari-jari Elata, lalu menggaruk telapak tangannya sebelum menggenggam. Membuat Elata menoleh. Namun cowok itu masih sibuk mengobrol dengan papa. Ibu jari cowok itu bergerak lembut mengusap.
Jauh di dalam kepalanya, Elata seperti tengah tertangkap basah karena mengintip pesan masuk Noah. Namun bersamaan dengan itu, hatinya kembali tenang.
Noah tidak mungkin menyembunyikan sesuatu darinya. Kalau pun ada, maka Elata harus menanyakannya.
👑
Setelah bersih-bersih dengan handuk masih di kepala, Elata menuju tas dan merogoh ponselnya. Ada panggilan tidak terjawab dari Noah, dan detik berikutnya panggilan cowok itu masuk kembali.
"Halo," Elata mengapit ponsel di antara bahu dan telinga sambil menggantung handuk.
"Halo, ini dengan kantor polisi?"
Elata mengerutkan dahi. "Noah?"
"Saya mau ngelaporin kehilangan bisa?"
Elata tersenyum. Meladeni pacarnya. "Apa yang hilang?"
"Hati saya," desah yang dibuat-buat terdengar. "Hati saya ilang diambil bidadari yang tadi ikut resital piano pake dress putih,"
Elata memutar kedua matanya.
Terdengar suara gemerisik kain, dan suara cowok itu teredam. "Anaknya lucu banget saya nggak kuat!"
"Kamu lagi ngapain?"
"Gigit bantal."
Elata tertawa. "Apaan, sih?!"
"Kamu tadi hebat terus cantik. Borong aja semuanya."
"Kenapa baru bilangnya sekarang?"
"Tadi grogi, mana papa kamu ngajak ngobrol terus."
"Jadi karena grogi sama aku atau karena papa?"
"Karena kamu. Nggak berani lama-lama liat kamu."
Elata menarik bantal dan memeluknya. "Makasih, ya. Kamu sengaja bikin keributan tadi buat ngalihin kegugupan aku."
"Nggak cukup cuma makasih aja," Noah menghela napas. "Aku dicubitin ibu-ibu."
Tawa Elata meledak lagi. "Sebagai bentuk terima kasih, aku bakal kasih apapun yang kamu mau. Kamu tinggal bilang aja mau apa."
"Apapun?"
"Hmm."
"Apa aja?"
"Ya tapi jangan yang mahal-mahal. Uang jajanku nggak sebanyak kamu, tuan muda."
"Yang aku mau nggak perlu ngeluarin uang, kok."
"Emangnya apa?"
Setelah itu, tiba-tiba keduanya terdiam. Hanya suara napas samar yang terdengarlah, yang menandakan panggilan itu masih terhubung. Anehnya, hal itu membuat Elata berdebar.
"Kamu istirahat, ya. Pasti capek habis jadi bidadari."
"Noah," Elata duduk di atas tempat tidur. "Aku mau tanya sesuatu."
"Iya?"
"Kamu... masih main sama Viktor?"
Ada jeda lagi yang terjadi di detik itu. Namun hanya sesaat karena suara Noah terdengar lagi. "Enggak."
"Udah nggak pernah ketemu lagi?"
"Aku tahu perasaan kamu soal Viktor dan temen-temennya. Aku juga udah janji untuk nggak terlibat sama mereka."
Meski ia tidak bisa melihat wajah Noah, namun tidak ada keraguan dalam suara itu.
"Oke..."
"Jangan khawatir, ya."
"Iya," Elata kembali berbaring. "Makasih kamu udah mau dengerin aku."
"Karena itu kamu," Setelah itu terdengar suara bergemerisik. "Tidur, ya."
"Hhmm. Mau vidcall?"
"Aku lagi nggak pake baju."
"Pake dulu bajunya."
"Udah, ya nanti kamu nggak tidur-tidur."
"Hmm..." Elata menutup mulutnya karena menguap.
"Aku sayang kamu, Elata."
"Sayang kamu..." Elata menguap lagi saat petikan gitar terdengar. Sepertinya Noah mengaktifkan mode pelantang di ponsel karena cowok itu memainkan gitarnya.
Tidak ada lagi yang bicara, namun panggilan itu terus terhubung, sampai Elata terlelap.
👑
Bobo juga, gih anda-anda sekalian! Malah nontonin orang bucin 😭👊🏻
Pada takut konfliknya berat karena di awal terlalu manis. Tenang aja, cerita ini full bergejala diabetes.
Terima kasih sudah mampir dan menemaniku sampai sekarang.
Kalo belum ada yang bilang, kamu luar biasa dan jangan biarin siapapun membuat kamu berpikir yang sebaliknya 🌬️🤍
Faradita
I love you in every word
Sangat indah dari berbagai sudut. Ingin menjadi selimutnya 🥹
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top