L - Menunggu
Kamu adalah hal terbaik yang pernah datang di hidupku.
👑
🎼 Lee Hi - Breathe 🎼
Panduan membaca :
1. Salaman dulu 🤝
2. Baca saat sendirian
👑
Lima belas menit sebelum jam mengajarnya berakhir, pintu kelas diketuk tergesa oleh Mirna yang menatapnya khawatir. Memintanya keluar dengan isyarat jari.
"Anak-anak," Elata mengembalikan perhatian pada murid. "Coba buka partiture enam. Dipelajarin dulu, nanti kita mainin bareng."
Elata menutup pintu kelas di belakangnya. "Kenapa, Mir?"
Mirna meremas-remas tangannya. "Ada orang nyari lo."
"Siapa?"
"Dia nggak mau ngasih tau namanya. Tapi katanya ini penting. Dia lagi di ruang tunggu. Cepet, deh lo ke sana."
Satu nama muncul di kepalanya. "Laki-laki?"
"Bukan. Cewek, sekitar empat puluhan mungkin. Kalo misal lo butuh apa-apa, kasih tau gue ya."
Sepanjang langkahnya menuju ruang tunggu, Elata tidak memiliki bayangan sama sekali akan siapa yang mencarinya. Selain Noah dan Adit, tidak ada kenalan atau teman lain yang mengetahuinya bekerja di sekolah ini. Yang menyambutnya di sana memang seorang wanita, dan Elata cukup tersentak akan penampilannya. Wajar Mirna sempat panik tadi.
"Lo... Elata?!"
Cara wanita itu bertanya, menandakan jika mereka memang tidak saling mengenal. "Betul. Anda mencari saya?"
Wanita itu berdiri mendatanginya dengan langkah tertatih. Wajah yang penuh dengan bekas pukulan dan bibir yang robek itu menatapnya. "Kenapa lo nggak ngasih duit lagi ke Lukman?"
Elata menarik kepala ke belakang, mengerjap.
"Setiap dia kekurangan duit, Om keparat lo itu bakal mukulin gue. Jadi mana? Mana duitnya?"
"Anda disuruh Om datang kesini?"
"Emangnya siapa lagi?! Cepetan!"
"Kenapa nggak suruh Om aja yang minta langsung ke aku?"
Wanita itu memeluk tubuhnya sendiri. Tank top putih yang dikenakannya membuka banyak sekali jejak pukulan. "Jangan banyak tanya. Kasih duit aja biar gue bisa pergi dari sini."
"Maaf, tapi saya nggak bisa ngasih uang lagi."
Wanita itu membelalak. "Kenapa? Dia Om lo! Terus gimana kami bisa makan?!" Wanita itu lalu merogoh saku dan menyerahkan ponsel. Elata tidak menyambut, namun sang wanita menjejalkan ke tangannya.
"Kenapa lo sekarang jadi ngelawan, brengsek?!" kata suara di ujung sana. Rupanya sambungan telepon sudah menyala sejak tadi.
Elata meneguhkan pendiriannya. "Karena udah saatnya Om dan aku hidup dengan layak. Udah cukup apa yang aku lakuin buat Om. Nggak bisa juga selamanya Om nyalahin Papa, dan bergantung hidup dengan menuntut rasa bersalah."
"Setan lo! Anak keparat!"
"Om, aku bisa maafin semua yang udah terjadi. Biar gimana pun, Om keluarga aku. Gimana tawaran aku yang kemarin? Aku bisa cariin Om kerjaan. "
"Lo yang kerja buat gue, bangsat! Jangan hina gue pake nyuruh kerja segala. Kerjaan apa yang bisa dilakuin orang cacat kayak gue."
"Om-,"
"Setelah dibelain sama pacar lo, sekarang jadi belagak sok pinter. Dia yang hasut lo buat lawan gue, kan?!"
"Kalo Om udah berubah pikiran dan mau kerja, silakan hubungin aku lagi." Elata lalu mematikan sambungan sepihak.
"Nama mbak, siapa?" tanya Elata sembari melepaskan sweater rajut merahnya. "Pake ini, ya. Buat nutupin bekas pukul di badan. Temen saya tadi sampe panik liat kondisi mbak."
Wanita itu menatapnya liar. Namun perlahan menurut saat Elata memakaikan sweaternya.
"Ini semua perbuatan Om Lukman? Saya menyesal karena dia bikin mbak jadi kayak gini. Saya nggak tau hubungan kalian seperti apa, tapi mbak bisa kabur dari dia. Luka-luka mbak masih keliatan baru. Gimana kalo saya antar ke kantor polisi? Kita bikin laporan—,"
"Lo mau laporin Om sendiri?"
"Saya pernah seperti mbak. Tapi terlalu takut buat melapor dan malah menyimpannya sendiri. Tapi sekarang dia udah kelewatan. Saya nggak bisa diam lagi."
"Nggak usah peduliin gue!" wanita itu mengeratkan sweater menutupi tubuhnya. "Mending lo yang kabur dari Lukman. Om lo itu tukang judi, hutangnya di mana-mana. Dia nggak bakal tinggal diem setelah lo nolak buat biayain hidupnya lagi."
Wanita itu lalu pergi dengan tergesa. Seolah ada sosok yang mengejarnya. Melihat dengan gusar ke sekeliling sebelum hilang di pintu keluar.
Elata mengambil ponselnya dan menelepon Noah. Panggilannya langsung dijawab dalam dering kedua.
"Iya, sayang?"
"Kamu di mana?"
"Di jalan. Bentar lagi sampai sana. Kenapa, Elata? Mau nitip sesuatu?"
Awalanya Elata ragu. Ia menimbang apakah harus menceritakan kejadian barusan. Mengingat cowok itu yang begitu protektif dan waspada perihal Lukman. Tapi Elata tidak ingin menyembunyikan apapun lagi. Maka meluncurlah cerita sosok wanita tadi.
Hening cukup panjang. Tidak ada suara setelah ceritanya usai, sampai hela napas kasar Noah terdengar. "Jangan keluar dari sekolah. Tunggu aku sampai."
"Aku khawatir sama wanita itu, Noah. Dia nggak mau aku ajak melapor. Gimana kalo dipukul Om lagi?"
"Sayang, boleh aku khawatirin kamu dulu? Nanti kita pikirin soal wanita itu gimana. Tunggu, ya. Bentar lagi sampe. Elata denger, kan? Jangan ke mana-mana."
"Iya, aku tunggu di kelas. Kamu langsung masuk aja."
--------
Saat kembali ke kelas, Elata menemukan keributan karena Aluna dan Geo bertengkar.
"Dia bilang mainku jelek!" isak Geo mengadu diseling tangisannya.
Aluna yang bersidekap dengan acuh menyahut. "Gitu aja nangis. Emang bener, kok kamu mainnya nggak sebagus aku."
"Aluna," Elata berjongkok di antara kedua anak itu. "Nggak begitu cara orang baik ngomong. Kita semua di sini lagi belajar. Ibu juga masih belajar. Bahkan kadang Ibu bisa belajar dari kalian."
Kini semua kepala menatap ke arahnya. Bahkan mendekat melingkar di sisi Elata. "Ibu belajar kemurnian dari kalian semua. Keluguan dalam bermain piano itu adalah kunci permainan kita terdengar jujur. Bisa menyentuh hati yang mendengarnya. Kesalahan satu nada, bukan berarti main pianonya jelek," Elata mengangkat kedua tangannya, dan menggerakkan kesepuluh jarinya. "Itu sama aja kayak lagi melakukan sebuah petualangan. Jari ini lagi membuat peta tentang dunia yang sedang kita jelajahi."
Elata berhasil mengambil seluruh perhatian sepuluh anak di depannya.
"Ada apa di dalam dunia itu, Bu?"
"Dunia yang misterius. Menyimpan banyak hal, menyimpan banyak nada dan melodi yang sedang menunggu ditemukan. Jadi, ayo angkat tangannya semua. Ayo, Aluna. Terus, gini... gerakin jari-jarinya. Yaa... begitu. Lalu..., jarinya datang ke sini!" Elata menggelitik Aluna dan Geo bersamaan. Dua anak itu sontak tertawa. Disusul anak-anak lain yang mulai saling menggelitik satu sama lain hingga rebah di lantai berkarpet.
Tak berapa lama kini Elata mendapat serangan gelitik dari semua muridnya sampai membuatnya terbaring di karpet. Ini adalah hal terbaik dalam mengajar anak-anak. Tawa mereka selalu tulus dan menyejukkan. Namun gelak tawa merdu itu seketika padam ketika suara gaduh dan nyaring terdengar dari luar. Lalu disusul suara pecahan kaca.
Para murid menjerit memeluk Elata. Suara kaca pecah terdengar lagi. Kini semakin nyaring dan beruntut. Menandakan sumber keributan mendekat. Elata mengumpulkan semua murid di sudut ruang, di belakang piano. Sebagai bentuk protokol keselamatan, para guru tidak boleh meninggalkan para murid sampai pihak keamanan menyatakan situasi sudah terkendali.
Bunyi alarm darurat berbunyi. Pengang terjadi di seluruh sudut sekolah. Bercampur suara kegaduhan di luar semakin nyata. Jelas sedang terjadi perkelahian, juga melibatkan benda-benda berjatuhan. Orang gila mana yang membuat kerusuhan di sekolah.
Para murid mulai menangis. Elata menenangkan mereka, berusaha tidak ikut panik. Lalu jendela kaca kelas pecah oleh lemparan batu dari luar. Para murid berteriak ketakutan. Elata memeluk mereka dalam rentangan tangan lebar, sampai pintu kelas terbuka. Ia bernapas lega ketika yang datang adalah penjaga. Siap mengevakuasi, dan meminta mereka mengikuti dengan tertib. Elata memastikan semua anak berada dalam satu barisan. Mereka keluar satu per satu menuju area belakang sekolah. Di mana sudah ada bus yang siap mengangkut semua anak pergi menuju tempat aman bersama para guru yang mendampingi.
Para guru berusaha terlihat tenang, meski masing-masing menahan panik di wajah. "Ada apa, Mir?"
Mirna sudah hampir menangis. Tubuhnya gemetar ketika menghadap Elata. "Gue juga ngga tau, tapi katanya tadi ada sekelompok orang ngelemparin sekolah pake batu."
Tangan Elata ditarik oleh Aluna. Anak yang selalu terlihat ketus dan kuat itu kini menatapnya dengan mata berair. "Kak Elata, aku mau pulang."
"Iya, Aluna diantar pulang. Nggak papa, ya. Sudah aman." Sepertinya kalimatnya berhasil membuat Aluna duduk tenang di kursinya.
Bus sudah siap berangkat. Namun Elata teringat sesuatu dan berlari menuju pintu bus yang belum menutup sempurna.
Mirna meneriakinya. "Elata! Ngapain?!"
"Aku di sini dulu."
"Heh, Elata. Yang bener aja."
"Tolong jagain murid-murid, ya."
Mirna hendak turun untuk menarik Elata masuk namun pintu bus sudah tertutup bersamaan dengan melajunya kendaraan itu meninggalkan area sekolah.
Elata buru-buru melakukan panggilan, tapi hingga dering terakhir sambungan itu tidak juga terjawab. Kini rasa paniknya bercampur aduk dengan kecemasan. Ia tidak mau pergi sebelum memastikan Noah belum sampai ke sekolah. Ia masih mencoba menelepon. Kakinya mulai bergerak tak bisa diam.
Noah tidak pernah mengabaikan teleponnya. Elata tergugah akan dugaan mengerikan. Ia mencoba masuk kembali ke dalam gedung namun seorang penjaga muncul menghalangi.
"Berbahaya, Bu. Nggak ada yang boleh masuk dulu. Ini perintah langsung dari ketua yayasan. Polisi sedang dalam perjalanan kemari."
"Bapak liat temen saya yang sering nganter ke sini nggak tadi?"
Penjaga itu tidak terlalu memerhatikan pertanyaannya Karena sibuk mengecek situasi lewat Portofon.
"Pak, liat temen saya—"
Suara sirine polisi terdengar mengaung nyaring, saling bersahutan. Membuat dengung di telinga dan debar semakin hebat di dada. Si penjaga berlari masuk dengan masih bicara lewat alat komunikasinya.
Elata mencoba panggilan sekali lagi, tapi tetap saja belum ada jawaban. Rasa cemas yang dirasakannya samakin berakar, ia ingin memastikan sendiri jika keributan di luar sana tidak melibatkan orang yang disayanginya. Baru saja kakinya melangkah menuju bangunan, suara letusan pistol memekak di udara.
Elata terkesiap. Seluruh tubuhnya seakan membeku. Lalu letusan kedua terdengar, membuatnya membungkuk setengah badan dengan menutup telinga. Seolah itu semua mendorong ketakutannya semakin membengkak, tanpa berpikir Elata berlari masuk menyusuri lorong sekolah yang sepi dan berantakan. Pecahan kaca dijejaknya ketika ponselnya bergetar. Ia hampir menangis saat menerimanya.
"Noah, kamu di mana? Jangan ke sini dulu. Ada kerusuhan di sini."
Tarikan napas berat Noah terdengar. Seolah cowok itu baru saja selesai berlari. "Elata..."
"Kamu denger, kan? Jangan ke sini. Lagi ada kerusuhan. Kamu jangan khawatir aku baik-baik aja. Polisi udah dateng. Kamu di mana? Kenapa ngos-ngosan?"
"... berantem..."
Elata membulatkan kedua mata. Dengan ponsel di telinga Elata menghambur menuju halaman depan sekolah yang sudah kacau. "Di mana? Kamu di mana Noah?"
Garis kuning di halaman sekolah dipasang. Polisi mengamankan sejumlah orang yang diikat tangannya ke belakang ke dalam mobil. Dua ambulans sudah bertengger mengobati satpam yang terluka.
"Noah, kamu berantem sama siapa? Kamu tadi di sini? Noah jawab—" tatapan Elata berhenti dan terpaku pada seseorang yang tergeletak di tanah. Sosok yang terkena luka tembak itu menatap ke arahnya dengan kekosongan, sebelum paramedis menutupi tubuhnya.
"Noah..." suaranya bergetar.
"Yang,... dinnernya... ditunda ya."
Elata tidak peduli pada Lukman yang ditandu ke dalam ambulans. Ia kembali menyusuri halaman. Bahkan memeriksa ke dalam mobil polisi namun tidak menemukan Noah.
Elata kembali masuk ke dalam bangunan sekolah. Menyusuri setiap kelas. "Nggak mau. Dinnernya nggak boleh dibatalin." Elata membuka pintu terakhir di lorong dan seketika meloloskan tangis. "Noah kamu di mana, sih sekarang? Aku mau liat kamu..."
"Elata... tunggu..."
"Tunggu apa? Tunggu di mana? Kamu kenapa, Noah? Apa—"
"... ayo jalan...."
Elata mematung. Itu bukan suara Noah. "Halo? Ini siapa? Halo..."
Suara sirine ambulans terdengar di kejauhan, namun begitu nyaring lewat telepon digenggamannya. Elata menatap ponsel itu. Lalu gerak reflek membuat Elata berlari sangat cepat menuju halaman sekolah lagi. Dua ambulan tadi baru saja berangkat.
"Halo...," Elata meremas ponselnya, air matanya lolos menatap ambulans yang menjauh. Suaranya tertekan. "Noah... "
"... kode darutat. Korban hilang kesadaran. Denyutnya melemah. Telepon pihak rumah sakit untuk mempersiapkan operasi darurat segera saat kita sampai. Rekap cidera, dua tusukan pisau di bagian perut dan dada..."
👑
"Selamat siang. Berita hari ini datang dari sebuah penyerangan yang dilakukan oleh sekelompok orang tidak dikenal, yang menyasar sekolah elit di bilangan Jakarta Selatan.
Kelompok tersebut membuat kerusakan dengan melemparkan batu, mengeroyok para penjaga sekolah dan merusak beberapa fasilitas. Belum diketahui secara pasti berapa kerugian dan apa motif penyerangan ini terjadi. Namun beruntung pihak sekolah bisa bergerak cepat mengevakuasi seluruh murid dan guru ke tempat yang aman.
Sampai saat berita ini diturunkan, terdapat satu korban tewas, dua luka ringan, satu cidera berat, dan satu luka tusuk yang sedang berada dalam kondisi kritis.
Kita berlanjut pada berita selanjutnya. Penyerangan yang terjadi di..."
👑
Cincin yang tersemat di jemarinya itu sudah diusap ratusan kali. Kepalanya yang tertunduk membuat tetesan air matanya jatuh tanpa suara sejak tadi. Senyap di sekitarnya semakin menyayat. Pintu ruang operasi masih tertutup dengan lampu tanda pertaruhan hidup sedang terjadi di dalam sana.
Langkah-langkah mendekat, dan Elata berdiri dalam sekejap.
Miranda yang selalu tampil anggun kini terlihat berantakan dan terluka. William harus memegangi wanita itu agar tidak luruh dan pingsan dalam tangis yang sudah membuat basah wajahnya.
Elata memutar-mutar cincin di jari. Seluruh tubuhnya dihujani beban bernama rasa bersalah yang teramat dalam. Menekan dadanya hingga tarikan napasnya menyakitkan. Lidahnya kelu. Tulang-tulangnya memaku. Pijaknya membatu.
Miranda yang tadi melewatinya begitu saja kini berbalik. Menemukan Elata yang berdiri dengan sisa kekuatan dari cincin di jari. Wanita itu menatapnya dengan sepasang mata basah, berhias tuduhan dan rasa tidak suka. Semacam ujung tombak yang sedang menumbuk dada Elata. William lalu memeluk Miranda. Menenangkan wanita itu yang langsung meraung.
"Elata?" Jefano datang dengan napas memburu. Tidak pernah dilihatnya cowok itu secemas seperti saat ini.
Di belakang kedatangan Jefano, dua orang berpakaian hitam mendekat. "Selamat siang, kami dari kepolisian. Bisa kami bicara dengan penanggung jawab korban?"
Miranda menahan isak. "Saya. Apa yang terjadi?"
"Maaf, tapi —"
"Beritahu saya sekarang!" teriak Miranda.
"Kami masih mengumpulkan informasi. Untuk itu kami harap kerjasamanya agar bisa melapor saat korban sudah melewati masa krisis."
"Siapa yang melakukan ini?"
"Orang itu bernama Lukman. Salah satu dari kelompok penyerangan. Saat kami tiba di lokasi, mereka sudah terlibat perkelahian."
"Anak saya bukan orang yang suka berkelahi tanpa sebab. Pasti orang itu yang memulainya lebih dulu."
"Untuk itulah kami menyeledikinya. Di sini, ada yang bernama Elata?" tanya sang polisi.
Pertanyaan itu membuat tatapan berpindah padanya. Terutama Miranda, yang mengulitinya tajam.
Jefano yang berdiri di samping Elata berdeham. "Ini Elata, Pak."
"Kenapa dengannya?" tanya Miranda tidak sabar. "Apa hubungannya sama dia?"
"Saat perkelahian terjadi, korban dan Lukman saling menyebut nama Elata. Bisa kami minta sedikit keterangan dari kamu?"
Miranda lalu ambruk di lantai. William menahan istrinya itu dipelukan. Jefano pun ikut menghampiri Miranda, ikut menenangkan wanita itu.
Miranda kembali meraung, menangis yang tak ditahan lagi suara kesakitannya.
"Jef... anak tante di dalam Jef. Setelah semua yang dilakukannya buat perempuan itu kenapa Noah yang jadi begini..."
Elata menunduk, memutar cincin gemetar. Ia menggenggam tangannya kuat, bersama hati yang berulang tersayat. Air matanya mengalir, menetes dari dagu. Setelah sekian lama, rasa darah di bibirnya masih sama.
Ternyata bahagia untuknya sudah lama kadaluarsa.
Ternyata Elata masih bisa hancur lebih hebat lagi dari sebelumnya.
👑👑
Minta maaf.
Minta ampun.
Salaman dulu 🤝
Tau, kan kenapa kubilang sulit buat nulis part lanjutannya 🤧🤧🤧
Hi, kamu.
Hari ini pasti padat dan hectic banget harinya, ya? Aku malah bawa cerita sedih.
Tapi sama dengan bahagia, sedih juga nggak selamanya. Kalo kata Elata, cukup di lalui. Meski berdarah, tapi sudah berhasil dilewati. Itu kan yang bikin kamu kuat sampai saat ini?
Lanjutkan 🫶🏻
Terima kasih tak terhingga untuk dukungannya. Aku mencintai kamu banyak-banyak 🤍🤍🤍
Faradita
I love you in every word 🫶🏻🥰
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top