II - Peristeria Elata
Saat suara dering telepon Elata berhenti, ada dua puluh panggilan tidak terjawab yang terpampang jelas di layar ponselnya. Beserta pesan yang terus masuk.
Pesan terakhir itu membuat Elata menyambar ponsel yang sejak tadi diperhatikannya dan berlari ke balkon. Sesuai dugaannya, Noah ada di bawah sana. Meski hanya diterangi sinar bulan dan penerangan minim dari taman, Elata bisa melihat senyum sumringah cowok itu.
Ponsel Elata bergetar lagi. Kini Elata menerima panggilan itu.
"Sayang..."
"Pulang."
Kekehan geli Noah terdengar. "Kamu gemesin banget kalo lagi ngambek gini. Mau cubit rasanya. Aku naik, ya?"
"Pulang, nggak?!"
"Enggak mau."
Elata menghela napas. "Noah..."
"Elata..."
"Apa, sih?"
"Apa, sih?"
"Jangan ngulang omongan aku!"
"Iya-iya. Maaf, ya cantik."
Elata masih ingin marah. "Pulang aja sana!"
Bukannya menurut, Noah justru duduk bersandar di pohon di dekat pagar. Sosoknya kini hampir berupa siluet hitam karena dinaungi dedaunan. Namun keduanya masih bisa saling melihat satu sama lain. Noah bisa melihat jelas ke arah balkon, dan Elata masih bisa melihat sorot mata Noah menatapnya.
"Tadi aku lagi jalan mau nyamperin kamu di perpus abis main band di ruang musik sama Ginan. Terus anak kucing itu masih kejebak di atap. Aku udah liat dia dari pagi. Rencananya cuma mau naik sebentar buat ngambil dia dan bawa turun. Ternyata kaki kucingnya luka."
Elata melipat tangan di atas pembatas balkon, bertopang dagu dengan ponsel di telinga. Mendengarkan.
"Dia berontak waktu mau aku ambil. Kayaknya karena kakinya sakit, deh. Tangan aku juga dicakar. Jadi yang awalnya aku kira sebentar, malah jadi lumayan lama. Aku harus rayu kucingnya dulu. Elus-elus. Sampai anak kucingnya mau aku taro di dalam baju. Aku nggak ngira malah jadi heboh kayak tadi."
Sambungan telepon masih terhubung, namun sesaat keduanya terdiam. Saling menatap dari kejauhan.
Elata yang memecah sunyi, dengan menghela napas. "Kamu pasti tau, kan perasaan aku."
"Iya, tau."
"Udah sering aku bilangin, cukup main-main sama bahaya. Udahan ngelakuin hal-hal kayak gitu."
"Iya, Ta."
"Kamu lupa sama kejadian Rafa, Juna? Aku nggak mau lagi ada hal buruk yang terjadi."
"Iya."
"Kamu iya-iya aja sekarang, besok-besok ngelakuin lagi!"
Terdenger suara tawa halus Noah. "Maaf, ya. Bikin kamu khawatir terus. Khawatir tandanya sa-...?"
"Naik sini."
"Lewat pintu depan?"
"Jangan! Udah malam mana boleh masuk sama Mama."
"Katanya aku nggak boleh main bahaya lagi. Tapi sekarang nyuruh manjat. Gimana, sih. Manjat lagi nanti aku jatoh, lho. Kamu nggak kasian sama aku?"
"Yaudah pulang sana!" Elata memutuskan telepon. Masih bisa didengarnya tawa Noah dari bawah sana. Ia pun masuk ke dalam kamar. Membuka lemari pakaian dan menjangkau kotak obat di bagian paling atas. Kotak obat ini bukan yang biasa ada di dapur. Ini sengaja Elata beli beserta dengan isinya lengkap. Khusus untuk disimpan di kamarnya. Karena kebetulan pacarnya sangat sering terluka.
Elata kembali ke balkon di mana Noah baru saja sampai memanjat balkonnya. Di sana ada dua bantal duduk yang sengaja diletakkan oleh Elata, bersama meja kecil berkaki pendek. Di letakkannya kotak obat di sana.
Elata mengambil tangan Noah dan meletakkannya di pangkuan. Tanpa berniat melembut, ia mencabut plester luka di tangan Noah kuat-kuat. Membuat cowok itu meringis.
"Oh, tau rasa sakit juga rupanya. Dikira kulitnya setebal banteng." Elata membersihkan luka goresan bekas cakaran kucing. Mengobatinya kembali dengan benar karena ia tahu Noah pasti asal-asalan menempelkan plester luka itu.
Elata yang menunduk ke arah tangan Noah, cukup terkejut ketika dengan tangan lain Noah menarik bantal duduknya mendekat, melewati lutut laki-laki itu yang tertekuk menjulur. Bisa dirasakannya Noah mengendus puncak kepalanya.
"Wanginya..." bisik Noah rendah.
Sudah pasti Elata berdebar. Ada satu hal yang dipelajarinya selama berpacaran dengan Noah. Kalau Elata bukan hanya dibuat pening oleh kelakuannya yang suka menantang bahaya, tapi ia juga harus melatih otot jantungnya yang sering kali menggila oleh kelakuan manis cowok itu.
Iya, Noah tipe pacar yang manis. Dia akan mengatakan apa yang dirasakannya secara langsung, tanpa perlu malu. Dia bahkan menikmati hal itu. Berbeda sekali dengannya, yang kadang nggak berani liat muka cowok itu kalau habis berpelukan.
Elata menutup luka cakar itu dengan plester luka baru. Setelahnya, dengan penuh kesadaran dan sangat sengaja, Elata mendongak tiba-tiba. Membuat kepalanya menyundul wajah Noah. Cowok itu mengaduh sambil mendongak memegangi hidung.
Hampir saja Elata tertawa. Tapi ia masih ingin marah.
"Kamu sengaja, kan?" tanya Noah mencubit pipi Elata.
"Enggak."
"Sengaja pasti," Noah menarik kedua kaki Elata dan menahannya di bawah kakinya. "Tiupin idung aku."
Menggigit bibirnya, Elata menggeleng. "Nggak mau."
Kini kedua tangan Elata juga ikut ditahan oleh Noah. Membuatnya tidak bisa melihat ke arah lain ketika Noah mendekatkan wajahnya.
"Tiupin!" pinta Noah, namun justru cowok itu yang meniup wajah Elata. Aroma mulut Noah segar, campuran mint dan ceri. Tapi rasa geli menggelitik lah yang membuat Elata memalingkan wajah. Noah tidak berhenti, mengejar wajahnya dengan tiupan. Poni depannya berantakan. Elata menyembunyikan wajah di lengan atasnya. Tapi Noah menarik kedua tangannya mendekat dan kembali berhasil meniup wajahnya.
"Oke-oke!" tawa Elata terlepas. Senyuman lebar menghiasi bibirnya sekarang. "Udah-udah, Noah. Geli!"
Tiupan Noah berhenti, tapi Elata tetap dibiarkan terkurung. Keduanya saling menatap dengan senyum. Noah sering melakukan ini. Menatapinya lama, tanpa bicara dan hanya saling tersenyum.
"Kayaknya aku tahu kenapa aku seneng deketin bahaya," dengan punggung tangan yang sudah diplester luka, Noah mendorong dagunya naik. "Aku seneng liat kamu khawatirin aku."
Alis Elata hampir bertaut, tapi Noah langsung melanjutkan.
"Karena dengan begitu," tangan Noah naik mengusap kedua siku Elata. "Aku bisa merasakan langsung perasaan kamu. Aku merasa kamu beneran nyata."
Elata menggelengkan kepala, memperbaiki poninya. "Kurang nyata apa, sih aku ini?"
"Soalnya aku masih ngira kamu bidadari," satu tangan Noah merayap ke punggung Elata. Mengusap di sana sekaligus membuat wajah mereka semakin dekat. "Mana, sih sayap kamu?"
Tawa Elata meledak, ditambah tangan Noah yang berpindah menggelitik pinggangnya. "Gombal aja terus!"
"Gombal sama pacar sendiri nggak papa, dong."
Lihat, kan? Noah dan mulut manisnya. Mampu membuat Elata merasakan bermacam jenis perasaan campur aduk yang sangat melelahkan, juga sekaligus memabukkan.
Elata tidak bisa mengelak, jika bersama Noah merupakan kebahagian terbesar yang pernah ia miliki sampai saat ini.
👑
😭😭😭👊🏻 gue tonjok ya lo bedua!
Makin menjadi-jadi, nih anak!
Haii... aku kembali lagi hari ini.
Gimana-gimana? Sampe sini bahagianya udah terasa?
Bab-bab selanjutnya makin-makin dibikin pusing pasti 🥹🤜🏻🤛🏻
Terima kasih sudah membaca cerita ini, kamu terbaik dari yang terbaik!
Faradita
I love you in every word 🤍
Gue mau ikutan ngambek sama lo! 🥰👊🏻
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top