Tiga Belas

"Itu tadi Cinta, kan?" Tanto menghampiri ibunya sambil menggendong Nistya.

Helga ikut melihat ke arah pandangan Tanto. "Iya, Ibu ajak dia sarapan sama-sama. Sudah terlambat untuk menyembunyikan kalau kamu anak Ibu, kan?"

Tanto tidak masalah kalau Cinta tahu hubungannya dengan ibunya. Dia hanya tidak mau Cinta mendapat kesan kalau ibunya bermaksud menjodoh-jodohkan mereka hanya karena yakin mereka punya chemistry, atau apa pun itu. Entahlah, sulit mengikuti cara berpikir ibunya yang absurd.

"Makan... Papa, Nistya mau makan!" Nistya merengek dalam pelukan Tanto, membuat perhatian Tanto teralihkan. "Kalau sudah makan, kita telepon Daddy ya? Daddy pasti sedih deh karena harus sarapan sendiri."

Tanto mencium pipi tembam Nistya. "Biarin aja Daddy jelek kamu itu sedih, yang penting kan Nistya senang-senang sama Papa Tanto di sini." Dia menggelitiki pinggang keponakannya.

Nistya tertawa geli. "Daddy nggak jelek kok."

"Tapi lebih ganteng Papa Tanto, kan? Cepetan bilang "iya", kalau nggak, Papa gelitikin terus nih!"

Tawa Nistya tak putus. "Iya... iya, Papa lebih ganteng," katanya menyerah.

Helga berdecak sebal. "Jangan digelitikin terus gitu. Kasihan. Ntar Nistya malah ngompol. Dia tuh kalau tertawa lama kadang sampai ngompol."

"Nggak ngompol, Eyang," Nistya protes di sela-sela tawanya. "Kan Nistya udah gede."

"Nah, karena Nistya udah gede, Nistya jalan sendiri ke restoran sama Eyang ya. Papa mau ke dalam dulu." Tanto menurunkan Nistya dari gendongannya.

"Hei, ingat kata Ibu!" seru Helga saat Tanto hendak beranjak masuk. "Kalau kamu beneran nggak tertarik, jangan dibikin baper ya!" nadanya mengancam.

Tanto hanya bisa berdecak. Nyonya Subagyo selalu bersikap protektif seperti itu kalau sudah suka pada seseorang. Padahal umur perkenalannya dengan Cinta baru beberapa hari.

Cinta tidak ada di lobi. Kening Tanto berkerut. Ke mana anak itu? Apakah dia langsung ke restoran melalui pintu samping? Konsep resor ini memang terbuka untuk membuat kesan menyatu dengan alam, sehingga ada beberapa pintu keluar masuk lain selain pintu utama untuk mengantar tamu yang hendak check in.

"Lihat tamu perempuan yang vilanya persis di sebelah vila saya?" tanya Tanto pada resepsionis. "Beberapa menit lalu dia masuk ke sini."

"Tadi tamunya masuk lift, Pak."

"Oke, makasih." Tanto tidak punya pilihan selain menyusul ibunya dan Nistya ke restoran. Dia tidak tahu harus mencari Cinta ke mana. Kalaupun nekad mencarinya, apa yang akan dikatakannya saat mereka bertemu? Tanto bahkan tidak tahu kenapa dia tadi hendak menemuinya.

**

Berlari dari sesuatu yang tidak mengejar itu konyol. Tapi Renjana hanya mengikuti insting untuk menghindar dari Tanto. Tadi, yang ada di hadapannya adalah lift yang terbuka, sehingga dia buru-buru masuk ke sana tanpa tahu hendak ke mana. Dia otomatis menekan tombol lantai teratas, yang paling jauh dari lobi.

Renjana melangkah ragu keluar dari lift yang akhirnya membuka setelah sampai di lantai paling atas. Masalahnya, dia tidak bisa langsung turun lagi. Mungkin saja Tanto dan keluarganya masih ada di bawah. Sia-sia saja Renjana melarikan diri kalau akhirnya malah bertemu lagi.

Seharusnya Renjana bisa melihat kemiripan antara Tanto dan Bu Helga. Dia hanya tidak memikirkan kemungkinan itu karena tidak pernah melihat keduanya berinteraksi. Apalagi Bu Helga tinggal di vila yang berbeda. Perempuan itu pernah menunjukkan vilanya, dan mengajak Renjana mampir saat mereka bubar dari kelas memasak. Ajakan yang waktu itu Renjana tolak karena sungkan.

Renjana memukul kepalanya pelan. Tentu saja mereka tinggal di vila berbeda. Bu Helga tentu tidak mau mengganggu privasi keluarga anaknya. Keluarga kecil itu pasti menginginkan kebebasan selama liburan. Ini mungkin saja adalah pengulangan bulan madu mereka.

"Maaf, Mbak, spa baru akan buka pukul 10," seorang staf resor menyambut Renjana yang celingukan setelah keluar dari lift. "Masih 2 jam lagi."

Renjana berdeham. Dia harus membuang waktu di sini sebelum turun lagi, saat yakin Tanto sudah pergi ke restoran. "Boleh lihat paket yang ditawarkan untuk spa?"

"Silakan duduk, Mbak. Biar saya ambilkan brosurnya."

Renjana mengamati ruangan itu setelah staf tadi menjauh menuju meja penerima tamu spa. Ternyata dia tidak salah memilih tempat untuk kabur. Dia bisa duduk sejenak di sini.

Desain interior tempat itu bernuansa alami. Ada sudut yang disulap menjadi taman, berisi tanaman hias dan dilengkapi air mancur mini yang kucuran airnya terdengar menenangkan. Aroma lavender menguar memenuhi ruangan. Kalau saja tempat ini sudah buka, Renjana pasti sudah akan masuk dan mengambil paket lengkap supaya bisa bersembunyi selama mungkin. Sayangnya dia tidak bisa duduk berjam-jam untuk menunggu karena dia akan terlihat bodoh.

Renjana mengalihkan perhatian ke bagian lain dari lantai teratas itu ketika mendengar denting lift. Seorang staf resor keluar dari lift dan mendorong trolinya menuju pintu kaca. Renjana spontan bergerak dan mengikutinya.

Di balik pintu dorong itu ternyata ada kafe rooftop. Sama seperti spa, tempat itu juga belum buka. Pegawainya masih melakukan persiapan. Renjana berjalan menuju pagar pembatas. Dari sini, semua bagian depan resor terlihat jelas. Pantainya yang berpasir putih, Ombak yang bergulung-gulung sebelum pecah, pohon-pohon nyiur yang berjajar, kursi-kursi malas untuk tempat berjemur, dan masih banyak lagi.

Pulau kecil di seberang juga tampak lebih jelas. Istri Tanto pastilah memiliki stamina prima karena sanggup berenang bolak-balik. Bentuk tubuhnya pasti sempurna. Berisi otot, bukan kumpulan lemak atau malah tulang yang hanya dibungkus kulit. Tanpa sadar, Renjana melirik lengannya yang kurus. Ya, dirinya adalah gambaran versi kedua dari bentuk tubuh yang tidak mungkin dimiliki oleh istri Tanto.

"Hei, pagi-pagi kok sudah nongkrong di sini sih?"

Renjana terkesiap. Saat menoleh, dia melihat Tanto berjalan ke arahnya. Renjana mendesah pasrah. Ternyata dia tidak terlalu pintar memilih tempat untuk kabur.

"Hai...," Kata itu nyaris tidak bisa keluar dari leher Renjana. Pikirkan sesuatu yang masuk akal sebagai alasan! Hardiknya pada diri sendiri. Dia berdeham. "Ehm... badan saya rasanya nggak enak, Mas. Pegal banget. Jadi tadi waktu mau ke restoran untuk sarapan, sengaja mampir ke sini dulu untuk reservasi spa." Renjana menarik napas lega. Syukurlah karena otaknya tidak ikut membeku seperti kakinya.

"Untuk reservasi nggak harus ke sini sih. Bisa telepon saja."

Renjana meringis. Ternyata jawabannya tidak cukup pintar. "Ehm... sekalian mau melihat-lihat tempatnya, Mas. Selama saya di sini, saya belum pernah lihat fasilitas resor. Palingan hanya mutar-mutar di pantai, vila, dan restoran. Kalau tadi nggak ke sini, saya nggak tahu ada kafe rooftop yang keren banget kayak gini."

"Saat malam, suasananya malah lebih bagus lagi sih." Tanto bersandar di pagar pembatas. "Mau makan di sini nanti malam?"

Renjana membelalak, dan bersyukur karena dia memakai kacamata sehingga ekspresi kagetnya tidak kentara. Bisa-bisanya Tanto mengajaknya makan malam padahal ada istri dan anaknya di sini! Apakah Renjana salah menilai karena menganggapnya laki-laki sopan? Penampilan ternyata bisa sangat menipu. Orang yang tampak sopan dan baik-baik bisa jadi adalah singa lapar yang sedang bersiap memangsa.

"Sambil menunggu spa-nya buka, kita turun sarapan dulu, yuk," ajak Tanto sebelum Renjana menjawab pertanyaannya. "Ibu menyuruh saya nyusul kamu ke sini waktu lihat kamu nggak ada di restoran. Katanya kamu pasti di spa. Ternyata perempuan bisa saling memahami tanpa berkomunikasi."

Renjana masih kesulitan mencerna situasinya. Bu Helga minta Tanto menyusulnya untuk diajak sarapan bersama keluarganya? Aneh. "Tapi sa—"

"Sebentar ya." Tanto memotong kalimat Renjana. Dia lantas menerima teleponnya yang berdering. Dia bicara beberapa saat sebelum mengakhiri panggilan itu. "Adik saya," katanya. "Tipe posesif. Karena istrinya yang sedang bermain duyung-duyungan di tengah laut sehingga belum mengangkat telepon, jadi dia merecoki saya untuk mengeceknya. Kadang-kadang dia lupa kalau istrinya itu selain bernapas dengan paru-paru, dia juga punya insang."

"Ooh...." Otak Renjana bekerja cepat. Jadi yang sedang berenang di laut itu bukan istri Tanto?

"Turun yuk. Kita makan sama Ibu dan Nistya, ponakan saya."

Oooh... ponakan.

**

Yang belum baca sampai kelar, tapi males nungguin update yang lambat di sini, bisa ke Karyakarsa ya.  Di sana udah tamat. 

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top