Tiga
Debur ombak, angin sepoi-sepoi yang berembus dari laut, pekikan burung camar yang lantang sebelum menukik ke laut untuk mencengkeram mangsa adalah teman minum kopi yang sempurna.
Tanto sudah menyelesaikan 2 putaran mengelelilingi garis pantai resor. Berlari bertumpu pada pasir yang permukaannya tidak ajek seperti aspal menghabiskan lebih banyak energi. Tapi Tanto membutuhkan itu karena dia akan tinggal cukup lama di sini. Artinya, selain makan dan tidur, dia harus melakukan aktivitas fisik supaya makanan yang dikonsumsinya tidak menjelma menjadi tumpukan lemak. Otaknya akan diparkir sementara karena hampir semua pekerjaan yang biasanya menyita waktu, perhatian, serta tenaga dia tinggalkan untuk ditangani Bayu di Jakarta. Adiknya itu hanya akan menghubunginya soal pekerjaan jika ada sesuatu yang penting dan darurat untuk dibahas.
Tanto meletakkan cangkir kopinya di salah satu meja kafe yang diatur berjajar, tidak jauh dari garis pantai. Keringat yang tadi membanjiri sekujur tubuhnya mulai mengering, tetapi kausnya tetap kuyup sehingga menimbulkan rasa lengket. Dia akan mandi setelah menghabiskan kopinya. Masih terlalu pagi untuk melakukannya sekarang. Tidak ada rutinitas ketergesaan di sini. Tempat peristirahatan sempurna. Tidak heran kedua orangtuanya memilih resor ini sebagai tempat favorit untuk menghabiskan liburan.
Tanto menyesap kopinya. Pahit. Persis seperti yang selalu dia minum untuk mengawali hari. Dia membawa kopi sendiri dari bungalonya yang terpisah dari bangunan utama resor. Kafe resor baru akan buka beberapa jam ke depan, jadi dia harus melayani diri sendiri. Ada room service yang melayani pelanggan dan tentu saja pemilik resor selama 24 jam, tapi Tanto enggan merepotkan para staf hanya untuk meminta secangkir kopi. Apalagi dia punya mesin dan kopi yang kualitasnya lebih bagus di bungalonya.
Sesosok tubuh yang menuruni tangga dermaga kayu masuk dalam garis pandang Tanto. Perempuan itu jelas tidak berniat membakar kalori seperti dirinya. Tidak ada orang yang berolahraga memakai rok lebar, hoodie tebal yang tudungnya menutupi kepala, dan sandal teplek.
Perempuan itu berjalan mendekati tempat duduk Tanto. Sesekali dia berhenti untuk memotret ke arah laut. Amatir. Tanto bisa membaca itu dari caranya mengangkat kamera, dan gerak tubuhnya yang kaku. Tapi setidaknya perempuan itu punya mata yang bagus, karena tahu jika pemandangan di tempat ini wajib dibekukan dan diabadikan dalam jepretan kamera.
Perempuan itu terus melangkah dan akhirnya kembali berhenti beberapa meter dari meja Tanto. Sekarang dia berbalik dan menjadikan bangunan utama resor sebagai objek fotonya.
Tanto nyaris tertawa saat melihat caranya memegang kamera. Kasihan sekali nasib kamera sebagus dan semahal itu karena harus berakhir di tangan seseorang yang tidak bisa menggunakannya dengan baik.
Kamera itu terus bergerak mencari sasaran, sebelum akhirnya berhenti. Tanto tahu kenapa kamera itu mendadak beku. Wajahnya pasti masuk dalam fokus lensa perempuan itu. Tanto mengulas senyum, berusaha tampak ramah.
Kamera itu perlahan turun dan mengantung di sisi tubuh perempuan itu, hanya dipegang dengan sebelah tangan. Tanto akhirnya bisa melihat keseluruhan wajahnya. Senyumnya ternyata masih kurang ramah karena perempuan itu hanya menatapnya tanpa ekspresi, seolah Tanto menghalangi objek fotonya.
"Selamat pagi," sapa Tanto. Selain pegawai resor, tidak ada yang tahu jika keluarganya adalah pemilik tempat ini. Dan sebagai orang yang menanamkan pentingnya keramahan dalam menghadapi tamu, dia tentu harus mempraktikkan hal itu sendiri.
Mata perempuan itu membelalak, lalu menyipit. Tanpa menjawab salam Tanto, dia bergegas menjauh. Berjalan cepat, lalu berlari kecil menuju bungalo yang terletak persis di sebelah unit yang ditempati Tanto.
Tanto menggeleng. Dasar remaja! Tapi setidaknya orangtuanya membesarkannya dengan baik. Anak itu pasti sering dipesani supaya tidak bicara dengan orang asing, seberapa pun ramah dan sopannya mereka. Banyak anak perempuan yang tertipu penampilan dan akhirnya terjerat oleh jebakan pelaku pelecehan seksual yang dibungkus oleh penampilan menarik. Syukurlah anak tadi tidak termasuk salah seorang di antara remaja yang tidak beruntung itu.
Sikap waspadanya sangat mengesankan. Tanto belum pernah bertemu seseorang yang langsung kabur saat dia sapa. Tapi Tanto memang hampir tidak pernah menyapa cewek tanggung yang tidak dia kenal baik. Dia tidak tertarik pada remaja yang sikap dan tindakannya masih dikendalikan hormon.
Tanto melepaskan pandangan dan kembali fokus pada kopinya. Menatap terlalu lama bisa membuatnya ikut kena cap pedofil. Anak tadi pasti masih SMA. Kemungkinan besar dia berlibur bersama keluarganya. Tanto tidak mau mendapat masalah dengan ayah atau saudara laki-laki anak itu. Bagi sebagian orang, hanya menatap saja, terkadang sudah dianggap melecehkan.
**
Renjana menutup pintu bungalo dan bersandar di baliknya. Dia memegang dada kiri. Jantungnya masih berdetak cepat dan kencang karena berlari.
Orang yang ditemuinya tadi pasti menyangka jika dirinya tidak waras, pikir Renjana. Tidak bisa disalahkan karena orang waras pasti tidak akan melarikan diri saat ditegur dengan sopan. Sekarang Renjana merasa tindakannya tadi sangat konyol.
Laki-laki tadi tidak terlihat mengancam. Renjana merasa terlalu menghayati peran kaburnya sehingga harus menghindari orang sampai seekstrem itu. Padahal kalau dipikir-pikir lagi, tidak ada yang akan menduga dia berada di sini. Pun tidak keluarganya. Pencarian dirinya pasti difokuskan sekitar Jabodetabek dan pulau Jawa. Passport Renjana pasti sudah ditemukan sehingga orangtuanya mencoret kemungkinan dia pergi ke luar negeri.
Ibunya pasti sudah menghabiskan banyak tisu untuk mengusap air mata. Renjana merasa bersalah saat teringat hal itu. Ibunya sudah mengkhawatirkan dirinya sejak lahir. Berbeda dengan Cinta yang lahir tanpa kekurangan apa pun, Renjana memiliki kelainan jantung bawaan. Dia menderita ToF. Renjana memang sudah menjalani operasi intrarcardiac repair sejak bayi, tetapi karena dokternya selalu menekankan pentingnya untuk melakukan kontrol demi menghindari komplikasi yang masih mungkin terjadi, orangtua, terutama ibunya menjadi sangat proktektif pada Renjana. Dia tidak diizinkan mengikuti kegiatan apa pun yang melibatkan aktivitas fisik yang berlebihan. Renjana bahkan hanya duduk manis di bangku penonton saat praktik olahraga, menyaksikan Cinta dan teman-teman sekelasnya berlarian memperebutkan bola basket, atau beradu kekuatan saat melakukan sprint di lintasan atletik.
Tentu saja Renjana pernah protes karena perlakuan itu. Saat masih SD dan pengasuhnya waktu itu sedang mengantar Cinta yang pulang lebih cepat karena sakit perut, Renjana nekad bergabung dengan teman-temannya untuk bermain sepak bola. Gurunya sudah mengingatkan dan meminta Renjana keluar dari lapangan, tapi dia menolak karena merasa kondisinya bugar. Tidak ada yang salah dengan dirinya. Kalau Cinta bisa bermain bola seharian, tentu saja dia juga bisa.
Dokternya toh menganjurkan supaya dia berolahraga, dan Renjana rutin melakukannya, meskipun itu hanya joging di sekitar rumah, dan ibunya akan berteriak menyuruhnya keluar dari kolam renang jika Renjana sudah berendam selama 30 menit. Jadi, tidak akan masalah kalau Renjana ikut berolahraga. Ibunya saja yang terlalu berlebihan.
Tetapi ternyata Renjana tidak bisa. Mungkin karena tubuhnya kaget mendadak dipaksa melakukan banyak gerakan tanpa pemanasan lebih dulu, atau karena Renjana terlalu memaksakan diri untuk membuktikan bahwa dia tidak berbeda dengan teman-temannya, dia akhirnya pingsan. Waktu itu dia sempat menginap di rumah sakit karena ibunya memaksa melakukan banyak pemeriksaan untuk mengetahui kondisi semua organ vitalnya. Dan saat itu Renjana pun belajar menerima kenyataan bahwa dia berbeda. Dia ikhlas menerima perlakuan orangtuanya yang ekstraprotektif. Dia tidak lagi memaksakan diri melakukan hal-hal yang berpeluang membuat orangtuanya khawatir. Renjana berhasil menjadi anak patuh, sampai beberapa hari lalu, saat akhirnya dia kabur dari rumah.
Kepergian Cinta membuat semua perhatian keluarga tercurah pada Renjana. Hal itu membuatnya merasa disayang sekaligus menjadi beban. Ezra, kakaknya bahkan sempat pindah dari apartemennya dan pulang tinggal di rumah selama beberapa bulan hanya untuk meyakinkan bahwa Renjana tidak kesepian dan masih memiliki dirinya, meskipun mungkin hubungan mereka tidak akan sedekat hubungan Renjana dan Cinta.
"Aku selalu iri pada hubunganmu dengan Cinta," Ezra mengatakan itu beberapa hari setelah Cinta dimakamkan. "Kalian bisa berkomunikasi hanya melalui tatapan, tanpa perlu mengatakan apa-apa. Kalian seperti punya dunia sendiri yang tidak bisa dimasuki orang lain. Bahkan tidak aku." Ezra lalu memeluk Renjana. "Cinta tetap akan selalu hidup dalam hati dan pikiran kamu, Dek. Tapi dia sudah tidak ada untuk mendengar unek-unek kamu. Dia nggak bisa lagi memberi kamu masukan untuk masalahmu. Mungkin sudah saatnya kamu memberi aku kesempatan untuk jadi kakak yang baik untuk kamu. Kamu bisa percaya aku seperti kamu memercayai Cinta. Kamu bisa mengandalkan aku seperti Cinta yang selalu minta tolong padaku."
Hubungan Cinta dengan Ezra memang lebih dekat, karena Cinta membutuhkan dukungan kakak mereka itu meyakinkan orangtua mereka untuk menyetujui apa pun yang Cinta ingin lakukan. Renjana tidak memiliki banyak keinginan dan harapan seperti Cinta, jadi dia hampir tidak pernah meminta Ezra melakukan apa pun untuknya. Toh Renjana punya Cinta, dan Mbak Avi.
Mbak Avi hadir setelah ibunya merasa Renjana sudah perlu lepas dari pengasuh, dan butuh ditemani seseorang yang jarak usianya tidak jomplang. Seseorang yang up to date terhadap perkembangan remaja. Mbak Avi mulai bersama Renjana saat Renjana berumur 13 tahun, persis setelah Mbak Avi menyelesaikan kuliah. Kebersamaan mereka sudah lebih dari 10 tahun. Mbak Avi adalah orang yang paling mengenal Renjana, selain Cinta dan ibunya.
Saking kenalnya, Mbak Avi tidak perlu bertanya dan hanya menunjukkan kebaya yang sudah dipesannya dari desainer ternama saat Renjana menanyakan pakaian untuk wisuda S1-nya.
"Cinta yang fitting," kata Mbak Avi tanpa ditanya. "Ukuran kalian sama. Kamu kan paling malas disuruh fitting baju."
Renjana menarik napas panjang untuk menepis ingatan-ingatan. Dia hanya akan membandel sekali ini saja. Setelah pulang ke rumah beberapa minggu ke depan, dia akan kembali menjadi Renjana yang manis dan patuh. Tidak ada perlawanan lagi setelah bucket list Cinta dicontreng.
**
Buat yang pengin baca lebih cepet, bisa ngikutin di Karyakarsa ya. Di sana udah bab 18 dan diusahain fast update. Tapi... berbayar ya, Gengs. :)
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top