Sepuluh
Maafkeun, slow update. Laptopku bermasalah padahal data naskah ada di sini semua. Sekarang baru balik, jadi baru bisa update lagi.
**
Ada sesuatu yang aneh tentang Cinta. Tanto tidak bisa menjelaskan secara detail, tetapi dapat merasakan kejanggalan itu dengan jelas. Cinta seperti orang yang terlalu lama berdiam di dalam bungker sehingga melewatkan kehidupan di dunia nyata. Ada banyak hal yang tidak konsisten dalam diri Cinta, dan itu mengundang rasa penasaran.
Untuk seseorang yang berani traveling di tempat terpencil yang nama tempatnya tidak ada di dalam peta, Cinta terlalu naif. Dia sama sekali tidak memiliki kemampuan dasar yang seharusnya dipunyai oleh seorang traveler. Pilihan pakaiannya tidak cocok. Seorang petualang selalu memakai pakaian ringkas yang akan memudahkan gerakannya, bukan rok lebar seperti hendak jalan-jalan ke mal. Topi lebar cantik femininnya lebih cocok dipakai untuk pemotretan katalog adibusana yang bertema: Minum Teh Bersama Ratu Elizabeth.
Satu hal lagi yang tidak sesuai dengan deskripsi seorang petualang: skill fotografi Cinta jauh di bawah standar. Memang tidak semua traveler otomatis menjadi fotografer andal, tetapi hampir semua paham teknik dasar pengambilan foto untuk menghasilkan gambar yang lumayan bagus.
"Kalau melihat ikan-ikan menggelepar seperti itu, saya mengerti mengapa orang memilih menjadi vegan."
Tanto tersenyum mendengar gumaman Cinta itu. Dia ikut melihat ikan-ikan yang menggelepar di jeratan jaring yang ada di dalam sampan.
"Jangan merasa bersalah. Tempat ikan dalam rantai makanan memang lebih rendah dari manusia. Alasan orang menjadi vegan bukan semata-mata karena nggak tega menjadikan hewan sebagai makanan." Tanto berjongkok dan membantu nelayan yang mereka temani ngobrol itu melepaskan ikan-ikan tangkapannya dari jaring. Cinta tampak tertarik, tetapi ragu mendekat. Seorang petualang sejati tidak pernah menunjukkan keraguan terhadap sesuatu hal baru. Rasa penasaran biasanya dituntaskan, bukan disimpan. "Mau ikutan melepas ikannya?" tawar Tanto. "Tapi hati-hati, siripnya tajam. Jangan sampai jari-jari kamu terluka. Ikannya juga amis. Baunya bisa nempel di tangan kamu dan sulit hilang kalau nggak dicuci pakai sabun."
Renjana spontan mundur dua langkah. Dia tidak suka tangannya berbau amis. Beberapa detik kemudian dia kembali mendekat. Tanto pasti akan menilainya buruk kalau tahu dia mengkhawatirkan hal seremeh itu. Entah mengapa, apa yang dipikirkan Tanto tentang dirinya terasa penting.
Ikan itu, walaupun sisiknya kasar, tetapi karena berlendir jadi terasa licin. Renjana tidak berhasil membebaskan ikan itu dari jaring yang melilitnya dalam sekali percobaan, padahal Tanto dan Pak Nelayan itu bisa melakukannya dengan mudah. Butuh waktu beberapa menit sebelum akhirnya Renjana bisa melepaskan ikan itu.
"Wah, lepas juga!" Dia berseru kegirangan, dan langsung tersipu malu saat Tanto dan Pak Nelayan tertawa melihat reaksinya.
"Jangan ikan yang itu!" cegah Tanto saat melihat Renjana yang bersemangat hendak berpindah pada ikan lain yang bentuknya pipih dan berwarna kecokelatan. "Yang itu durinya berbisa. Kalau terkena jari kamu, bisa bengkak dan sakit banget. Kadang-kadang malah sampai bikin demam juga."
Renjana buru-buru menarik tangannya. "Bisa bikin meninggal?" tanyanya polos. Dia tidak ingin kembali tinggal nama seperti Cinta. Itu akan menghancurkan hati keluarganya. Tujuannya melakukan perjalanan ini bukan untuk menyusul Cinta.
Tanto tergelak. "Enggak sampai separah itu sih. Bisanya minor banget. Paling banter ya hanya sampai bengkak dan demam saja. Tapi kamu pasti nggak mau liburan kamu terganggu karena kesakitan akibat ditusuk sirip ikan yang berbisa, kan?"
Itu benar, jadi Renjana memilih menjauhi perahu. Dia tidak mau sakit sendirian di tempat ini. Dia membiarkan Tanto mengobrol dengan Pak Nelayan yang baru pulang melaut. Renjana kembali menjauhi garis pantai dan kembali mendekati rumah-rumah panggung.
Bagian kolong rumah-rumah itu memiliki kesamaan. Ada tumpukan kayu bakar, jaring yang salah satu ujungnya diikatkan pada salah satu tiang, dan benda yang terbuat dari anyaman bambu. Bentuknya aneh. Anyamannya terlalu longgar untuk dijadikan wadah.
"Itu namanya bubu," kata Tanto yang tiba-tiba sudah berada di sisi Renjana. Dia ternyata memperhatikan rasa penasaran yang ditunjukkan Renjana pada benda tersebut. "Gunanya untuk menangkap ikan."
"Lubang anyamannya terlalu besar," kata Renjana skeptis.
"Yang itu memang untuk menangkap ikan yang lumayan besar. Kalau sasarannya ikan yang lebih kecil, anyamannya akan lebih rapat."
"Gimana cara kerjanya?" tanya Renjana ingin tahu.
"Bubunya diberi pemberat supaya tenggelam. Ada pintu masuk khusus yang dirancang untuk ikan-ikan yang jadi sasaran supaya terperangkap dan nggak bisa keluar lagi."
"Kok nggak dipancing saja sih?" Tampaknya menangkap ikan pakai bubu agak merepotkan.
"Mancing itu selain butuh keterampilan, juga perlu keberuntungan. Belum tentu nelayan yang turun ke laut untuk mancing mendapatkan hasil sesuai harapan. Sedangkan kalau bubu, meskipun tetap ada unsur luck, tetapi biasanya bubu-bubu yang diletakkan di laut setelah beberapa hari tetap akan mendapatkan hasil. Ikan atau lobster yang terperangkap juga masih hidup saat diambil dari bubu, jadi nilai jualnya lebih tinggi."
"Kelihatannya Mas tahu banyak tentang ikan dan kehidupan nelayan," Renjana mengungkapkan kekagumannya terus-terang.
"Itu karena pantai menjadi destinasi liburan favorit saya. Kita selalu mencari tahu tentang hal-hal yang menjadi kesukaan kita. Apa kamu juga selalu memilih pantai sebagai tempat liburan?" Tanto balik bertanya.
Renjana biasanya tidak memikirkan destinasi liburan. Dia hanya mengikuti keputusan yang dibuat oleh orang tuanya, Cinta, atau Ezra, karena percaya mereka akan memilih tempat yang menyenangkan untuk dihabiskan bersama. Quality time keluarga mereka yang memiliki mobilitas yang tinggi.
"Saya suka pantai," jawab Renjana ragu. "Tapi pemandangan dari Puncak atau perkebunan juga bagus. Saya nggak pernah berpikir untuk membuat perbandingan."
"Gunung memang bagus, tetapi nggak mungkin menyamai pemandangan bawah laut. Koral dan ikan warna-warni yang mengelilinginya selalu menakjubkan, nggak peduli sudah berapa ratus kali kita melihatnya."
Renjana sudah melihat pemandangan yang dimaksud Tanto melalui video dan foto-foto yang diambil Cinta. Memang luar biasa, tetapi Renjana tidak mungkin bisa melihatnya secara langsung.
"Saya nggak bisa menyelam." Berada di bawah air jelas membutuhkan kekuatan fisik, paru-paru, dan jantung. Hal yang tidak dimiliki Renjana.
"Mau mencobanya besok?" tawar Tanto.
Renjana spontan menggeleng kuat-kuat. "Saya takut, Mas. Saya belum pernah menyelam sebelumnya." Bukan kegiatan menyelamnya yang menakutkan Renjana, tetapi kemungkinan dia kolaps saat berada di bawah air. Dia tidak ingin terlihat seperti seorang pengecut di mata Tanto, tetapi tetap tidak mungkin mempertaruhkan nyawa untuk mendapatkan pengakuan. Sangat tidak bertanggung jawab melakukan kegiatan yang berisiko bagi keselamatannya. Duka orang tuanya dan Ezra karena kehilangan Cinta masih kental. Renjana tidak mau menambah luka mereka.
"Kamu bisa berenang, kan?" tanya Tanto.
"Hanya berenang di kolam dan tepi pantai saja, Mas." Mengakui sesuatu yang membuatnya tampak seperti anak kecil memang tidak membanggakan, tapi Renjana tidak punya pilihan. Kalau Tanto tidak mau bertemu dengan dia lagi, apa boleh buat. Setiap keputusan memiliki konsekuensinya sendiri.
"Berenang adalah dasar dari menyelam. Kalau sudah bisa menyeimbangkan tubuh di air, kamu pasti bisa menyelam."
Renjana menggeleng lesu. "Saya nggak tertarik." Lebih tepatnya tidak bisa, tetapi mengatakan hal itu akan mengundang pertanyaan berikutnya yang tidak ingin dijawabnya.
"Hobi orang memang berbeda-beda," ujar Tanto dengan nada maklum. "Apa yang menurut saya menarik, belum tentu menyenangkan untuk orang lain."
Setelah ini Tanto pasti benar-benar akan menghindarinya, pikir Renjana muram. Tapi mungkin lebih baik begitu daripada terus berdekatan dan membuat perasaan tertarik yang dirasakannya berkembang. Rasa yang mendalam akan melukai diri sendiri. Mengapa harus menumbuhkan harapan pada sesuatu yang mustahil?
"Mataharinya sudah mulai terbenam, Mas." Renjana mengalihkan pandangan ke horizon yang warnanya menyala, menandai perpindahan hari dari siang ke malam sudah dimulai. Dia menghindari kontak mata dengan Tanto, khawatir apa yang dia pikirkan akan terbaca dari ekspresinya. "Kita balik ke vila sekarang?"
Tanto mengikuti arah pandangan Renjana. "Wah, beneran sudah malam. Nggak terasa ya?"
Memang seperti tidak terasa. Renjana hanya tidak mengira Tanto juga berpikiran sama. Dia sudah yakin jika laki-laki itu menganggapnya membosankan karena tidak memiliki jiwa petualang.
Mereka berjalan bersisian, kembali ke resor. Malam turun dengan cepat sehingga Renjana lebih fokus pada langkahnya. Dia tidak mau terantuk pada batu-batu yang muncul di tengah hamparan pasir. Dia tidak ingin menambahkan kata ceroboh dalam daftar sifat yang disematkan Tanto padanya. Penakut dan membosankan saja cudah lebih dari cukup.
Tidak seperti di area resor yang sudah dibersihkan dari bebatuan untuk menjaga kenyamanan tamu yang memilih bertelanjang kaki untuk merasakan sensasi pasir di sela-sela jari, di perkampungan nelayan, pasirnya masih dibiarkan alami. Bebatuan ada di sepanjang pantai. Beberapa pelepah daun kelapa yang terlepas dari pohonnya juga tergeletak begitu saja.
Keheningan yang menguasai membuat debur ombak yang mengempas pasir terdengar jelas. Udara mulai dingin, tetapi hati Renjana terasa hangat. Mungkin tidak ada salahnya menikmati rasa yang sudah lama tidak menghinggapi hatinya.
Renjana membiarkan tangannya tetap berada di dalam genggaman Tanto setelah laki-laki itu membantunya menapaki deretan batu karang yang tadi mereka lalui juga saat ke perkampungan nelayan. Renjana menyukai rasanya yang hangat. Membuatnya merasa terlindungi.
Mereka terus berjalan tanpa suara. Keheningan yang anehnya terasa menenteramkan. Renjana seperti diingatkan kembali pada perasaannya ketika jatuh cinta untuk pertama kalinya kepada Justin. Apakah rasa tertariknya sudah menjelma menjadi cinta? Benarkah bisa terjadi secepat itu?
"Cinta lokasi sering terjadi di antara para traveler," kata Cinta suatu kali ketika bercerita tentang teman-teman yang ditemuinya saat menjelajah berbagai belahan dunia. "Mungkin karena interaksi yang intens, nyaris selama 24 jam, jadi rasa itu cepat tumbuh. Wajar sih. Orang yang berinteraksi lewat dunia maya saja bisa saling jatuh cinta, apalagi orang yang terus-terusan bersama saat melakukan perjalanan."
Itukah yang sedang terjadi pada dirinya saat ini? Pertanyaan itu muncul begitu saja dalam benak Renjana. Tampaknya memang begitu.
"Mau makan malam sama-sama?" tanya Tanto saat akhirnya memecah gelembung hening yang membungkus mereka.
Renjana menoleh untuk menatapnya, tapi ekspresi Tanto tidak bisa telihat jelas dalam keremangan.
"Apa yang terjadi dengan hubungan itu ketika perjalanan berakhir dan orang-orang yang terlibat dalam cinta lokasi itu harus berpisah?" tanya Renjana ingin tahu.
"Ada yang cukup kuat sehingga mengabaikan perbedaan daerah atau negara," jawab Cinta, "tetapi kebanyakan berakhir karena tahu itu memang hanya romantisisme yang terbentuk selama perjalanan. Mereka kembali ke rumah masing-masing untuk melanjutkan hidup. Kemudian kembali jatuh cinta pada orang lain yang lebih masuk akal untuk diajak berkomitmen dalam hubungan yang serius. Yang tidak mesti terkendala jarak."
Renjana mengalihkan tatapan pada tautan tangannya dan Tanto. Seperti kata Cinta, ini hanya romantisisme yang terjadi karena interaksi intens. Mungkin dia sesekali harus mengambil keputusan impulsif seperti teman-teman Cinta. Nikmati, sebelum akhirnya selesai. Jangan dilawan. Toh, ini hanya perasaan sepihaknya. Belum Tanto merasakan hal yang sama. Dia hanya mengikuti kata hati, bukan mengejar Tanto.
"Boleh," katanya mengambil keputusan, "tapi malam ini saya nggak bisa makan terlalu berat. Belum lapar."
Tanto tergelak. "Saya malah lapar banget. Biasanya nafsu makan saya menulari orang yang menemani saya makan. Jadi jangan terlalu yakin kamu nggak bisa makan berat."
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top