Sembilan

Pemandangan yang ditemui Tanto pagi ini saat keluar dari vilanya berbeda daripada biasanya. Gorden tetangganya tidak tertutup rapat seperti kemarin-kemarin. Tempat itu tampak menunjukkan tanda-tanda kehidupan. Ternyata gorden yang terbuka dan tertutup di siang hari bisa memberikan kesan yang benar-benar berbeda.

Si penyewa vila yang diamati Tanto keluar saat Tanto hendak beranjak masuk kembali. Dia lantas membatalkan niat dan memilih menyeberang ke vila sebelah.

"Halo, Tetangga!" tegurnya.

Renjana membelalak. "Mas tinggal di situ?" Mereka sudah beberapa kali bertemu. Kemarin malah menghabiskan waktu cukup lama bersama, tetapi Tanto tidak pernah menyebutkan jika vila mereka bersebelahan. Untung saja Renjana sudah jujur kalau dia sebenarnya berada di sini sendiri. Kalau belum, situasinya akan canggung.

Tanto mengangguk. Tarikan bibirnya melebar melihat reaksi Cinta. "Kita memang bertetangga. Oh ya, mau ke mana?"

Renjana membalas senyum Tanto. Dia mengangkat dan menunjukkan buku catatan dan pulpen yang dipegangnya. "Saya mau ikut kelas memasak, Mas."

"Kelas memasak?" ulang Tanto curiga. "Dari mana kamu tahu kalau di resor ini punya kelas memasak?" Rasanya mustahil Cinta tiba-tiba menanyakan hal seacak itu kepada staf resor.

"Oh, tadi saya ketemu dengan seorang ibu baik hati dan ramah yang nginap di sini juga. Katanya, kalau lebih suka kegiatan indoor daripada outdoor, saya bisa ikut kelas memasak."

Entah mengapa, Tanto langsung bisa menebak siapa ibu baik hati dan ramah yang dimaksud cinta. Dugaannya tidak mungkin meleset. Siapa lagi yang bisa menciptakan kebetulan sebaik Nyonya Subagyo?

"Tahu tempat kelas memasaknya?" tanya Tanto.

Renjana menggeleng polos. "Nanti saya tanyakan sama resepsionis, Mas." Salahnya juga karena tidak berkeliling dan mengeksplor resor.

"Nggak usah. Yuk, saya antar." Tanto mengayun langkah. Tidak terlalu lebar supaya Cinta tidak kesulitan mengikutinya. Anak ini memang lumayan tinggi untuk ukuran perempuan, tapi dia tetap lebih pendek daripada Tanto. "Kamu suka memasak?"

Renjana menggeleng lagi. "Saya malah belum pernah memasak, Mas," jawab Renjana jujur. Dapur bukan bagian dari rumah yang sering dia kunjungi. Renjana sudah mengatakan hal tersebut kepada Ibu yang tadi mengajaknya ikut kelas memasak, tapi Ibu itu dengan entengnya bilang, "Selalu ada pertama kali untuk semua hal yang belum pernah kita lakukan sebelumnya, Nak." Dia juga memberi kesan bahwa memasak tidak sesulit yang Renjana bayangkan. Semoga Ibu itu memang benar.

Tanto menyeringai lebar. "Kalau begitu, semoga hari ini kelas memasaknya bertema western cuisine karena bahan dan bumbunya jauh lebih simpel daripada makanan tradisional."

Kesulitan mengenali bahan makanan termasuk salah satu kekhawatiran Renjana. Terutama di bagian perbumbuan. Entah bagaimana dia akan membedakan bumbu jenis rimpang. Yang mana jahe, lengkuas, kencur, atau kunyit? Tapi kalau tidak belajar sekarang, dia tidak akan pernah tahu, kan?

Perkenalan dengan bahan makanan mentah, bumbu, dan peralatan dapur akan menjadi pelengkap petualangannya. Ini benar-benar keluar dari cangkang seperti yang dimaksud cinta. Entah mengapa, Renjana bersemangat. Rasa khawatir tentu saja tetap ada, tapi hal itu tidak sebesar antusiasmenya.

"Jangan biarkan saya mengendurkan semangat kamu," ujar Tanto lagi setelah Cinta tidak menanggapi ucapannya. "Meskipun memasak bisa sedikit merepotkan untuk pemula, tapi nggak akan terlalu sulit kok. Tapi, belum terlambat untuk berubah pikiran. Kita bisa berbalik arah ke wahana dan bermain flying fox saja. Pasti lebih menyenangkan."

Pilihan itu malah menakutkan Renjana. "Saya lebih pilih kelas memasak, Mas. Nggak enak sama Ibu yang tadi ngajakin."

Tanto tertawa mendengar kata-kata Cinta. Ibunya jelas tahu bagaimana cara membujuk dan membuat orang lain merasa tidak enak kalau membantahnya. "Nanti sore kamu sudah ada acara lain dengan Ibu itu?" Kelihatannya Cinta kesepian. Sudah tugas Tanto sebagai pemilik resor untuk membuat perempuan ini mendapatkan liburan yang berkesan. "Kalau belum, kita bisa jalan-jalan ke desa sebelah, melihat-lihat kehidupan yang benar-benar berbeda dari kota."

Renjana suka ide itu. Dia malah sudah memikirkannya. Jalan-jalan ke desa pasti tidak perlu bergantung pada seutas tali yang akan membuatnya deg-degan. Renjana benci adrenalin yang meluber. "Saya belum punya rencana apa-apa untuk nanti sore kok, Mas," katanya senang.

"Oke, nanti saya jemput ke vila kamu ya." Tanto menghentikan langkah dan menunjuk ruangan di depan mereka. "Kelas memasaknya di situ." Dia sedang tidak ingin bertemu ibunya, jadi tidak berniat ikut masuk. "Sampai nanti sore ya." Tanto melambai dan berbalik pergi.

Renjana menatap punggung Tanto sampai laki-laki itu menghilang di balik tembok. Apakah laki-laki itu masih akan tinggal lama di sini? Kalau iya, mereka mungkin akan lebih sering menghabiskan waktu bersama, apalagi mereka bertetangga.

Renjana buru-buru menggeleng. Astaga, apa yang dia pikirkan? Dia buru-buru berbalik dan menuju ruangan yang ditunjuk Tanto. Fokus, Ren, fokus. Kamu akan belajar membedakan ketumbar dan lada. Jangan memikirkan hal lain.

**

Siapa yang menyangka jika memasak spageti ternyata sangat mudah? Renjana sampai takjub sendiri saat melihat sepiring spageti yang dihasilkannya. Memang hanya spageti aglio olio, jenis spageti yang paling simpel. Tetapi karena ini adalah pertama kalinya Renjana memasak, maka dia sangat bangga dengan pencapaiannya.

Bagian paling sulit dari proses pemasakannya adalah memastikan spageti yang direbus sebelum diolah dengan bumbu sudah al dente. Terlalu cepat diangkat akan membuat teksturnya keras karena bagian dalam spageti belum matang, sedangkan kalau terlalu lama direbus akan membuat batang-batang spageti itu akan lembek menjijikkan. Renjana yakin, setelah beberapa kali percobaan, dia akan berhasil memasak spageti yang al dente seperti yang ada di piring sajinya sekarang, tanpa bantuan Bu Helga yang menjadi suporter terbesar Renjana di kelas memasak hari ini.

"Gimana rasanya?" tanya Helga.

Renjana memutar garpu di atas sendok lalu mencicip spageti buatannya. "Enak banget, Bu," jawabnya takjub. Dia lantas tersipu malu saat menyadari jika kata-katanya itu adalah pujian blak-blakan pada dirinya sendiri. Padahal Bu Helga-lah yang seharusnya mendapatkan pujian karena dialah yang memberikan clue bagaimana takaran "secukupnya" yang dimaksudkan instruktur kelas memasak itu saat hendak menambahkan bumbu. "Berkat bantuan Ibu," tambahnya buru-buru. Tanpa Bu Helga, masakan Renjana pastilah asin, karena dia sudah menyendok cukup banyak garam untuk dibubuhkan pada masakannya.

"Kamu punya bakat alami." Helga merangkul bahu Renjana. "Memasak itu menyenangkan kalau kita bisa menikmati prosesnya. Besok mau ikut kelas lagi, kan?"

Renjana spontan mengangguk. "Mau, Bu." Daripada hanya bermalas-malasan di vilanya, lebih baik melakukan sesuatu. Renjana sangat terharu saat Bu Helga memujinya punya bakat alami. Ini pertama kalinya seseorang mengatakan jika dia punya bakat. Walaupun keluarganya menerima dan mencintai dirinya apa adanya, Renjana tahu dia tidak punya kelebihan apa-apa. Untuk semua hal, kemampuannya jauh berada di bawah Cinta.

"Kata instruktur, besok kita akan memasak dengan menu lokal."

"Ikan?" Semangat Renjana sedikit surut. Dia bukan pencinta ikan. Dan walaupun ikan bakar yang dimakannya di sini tidak menguarkan aroma amis khas yang membuat mual, dia sedikit takut kalau ikan yang akan dimasaknya besok berbeda jenis. Rasanya ngeri membayangkan bau amis itu melekat di tangannya. Yang paling utama, Renjana tidak tahu bagaimana cara membersihkan ikan. Bagaimana kalau mereka diberikan ikan utuh untuk diolah?

"Iya, ikan kuah kuning," berbeda dengan Renjana, Helga sangat antusias. Matanya mengecil saat tawanya pecah. Sepertinya dia bisa membaca kejerian Renjana. "Saya juga dulu nggak suka ikan. Tapi ikan di sini beda rasanya dengan ikan di Jakarta. Mungkin karena di sini ikannya masih segar banget saat diolah. Nggak sempat masuk freezer karena baru akan diambil dari keramba saat akan dimasak. Tingkat kesegaran ikan sangat berpengaruh terhadap rasanya."

Ini untuk kedua kalinya Renjana mendengar kata keramba. Keluar dari kelas ini, dia berniat googling untuk mencari tahu seperti apa bentuk benda itu. Kedengarannya seperti tempat budi daya ikan. Pantas saja pengetahuan Cinta sangat luas. Ternyata perjalanan memang banyak mengajarkan hal-bal baru.

"Ibu suka traveling sejak muda?" pertanyaan itu terlontar begitu saja. Pembawaan Bu Helga mengingatkan Renjana pada Cinta yang hangat, gampang bergaul, dan tahu banyak hal. Mungkin saja sifat-sifat seperti itu terbentuk oleh kebiasaan bertemu dengan orang-orang baru sehingga mereka terlatih untuk menilai karakter orang. Sudah bisa membedakan mana orang yang baik dan jahat hanya dari gestur mereka. Tidak seperti Renjana yang konsisten curiga hanya karena merasa ditatap lebaih lama. Merasa ditatap, karena belum tentu orang yang dicurigainya benar-benar menatapnya.

"Saya memang suka traveling sejak dulu," kata Helga. Tawanya yang renyah kembali terdengar. "Tapi destinasinya sudah beda sih dengan waktu muda. Dulu yang dikejar itu kota-kota metropolitan yang malnya lebih gemerlap daripada Jakarta. Sekarang lebih suka tempat-tempat yang alami seperti ini. Sudah nggak tertarik mal lagi. Mal itu untuk tempat nongkrong anak-anak muda yang peduli sama penampilan. Terutama bagi yang merasa dunia mereka akan segera berakhir kalau sampai memakai outfit yang sama sebanyak 2 kali di feeds Instagram. Dan mereka perlu update status setiap hari."

Bibir Renjana melebar mendengar perumpamaan itu. "Ibu punya Instagram?"

"Punya dong." Helga meletakkan telunjuk di bibir. "Nggak ada isinya sih. Gunanya lebih untuk ngeliatin aktivitas anak-anak saya saja. Mungkin saja dia tiba-tiba posting foto dengan seorang perempuan, jadi saya punya harapan untuk segera punya menantu lagi. Sayangnya dia jarang banget update status saat sedang di Jakarta. Feeds-nya baru terisi saat dia liburan aja. Dan isinya kalau bukan pantai, kumpulan ikan dan karang di bawah laut, ya pohon dan gunung aja. Anak menyebalkan!"

Cara Bu Helga menggerutu membuat tawa Renjana ikut pecah. Bertemu dengan Bu Helda benar-benar mencerahkan suasana hatinya. "Mungkin anak Ibu nggak suka kehidupan asmaranya jadi konsumsi publik, Bu. Akun sosial media kan bisa diakses banyak orang. Nggak semua orang nyaman memamerkan kehidupan pribadi di sana."

"Kamu termasuk yang rajin update status?" tanya Helga.

Renjana meringis sambil menggeleng. Foto terakhir yang dia unggah adalah foto jejak kaki Cinta dan Ezra yang tertinggal di pasir saat keduanya berjalan bersisian. Liburan terakhir mereka di Bali. Fungsi Instagram bagi Renjana nyaris sama dengan Bu Helga. Menguntit. Yang Renjana kuntit adalah foto-foto yang diambil Cinta dalam perjalanannya. Selain bersahabat dengan kamera, Cinta juga jago merangkai kata. Kutipan dalam setiap unggahannya selalu menyentuh hati Renjana. "Saya nggak aktif di media sosial, Bu."

"Kenapa? Gadis cantik seperti kamu, asal pintar berpose dan berbicara di depan kamera, gampang banget lho jadi influencer. Zaman sekarang, anak muda lebih menikmati mencari uang di internet daripada bekerja di kantor. Waktunya lebih fleksibel karena bisa diatur sendiri, dan penghasilannya besar."

Pipi Renjana terasa hangat mendengar pujian Bu Helga. "Saya nggak bisa berpose, apalagi bicara di depan kamera, Bu. Canggung banget." Pekerjaan yang Renjana pikir cocok untuknya, kalaupun dia bisa bekerja adalah duduk di belakang meja untuk mengolah data. Pekerjaan yang minim interaksi dengan orang lain.

Setelah kepergian Cinta, baru kali ini Renjana merasa seringan ini. Mungkin karena ini untuk pertama kalinya dia makan siang dengan makanan yang dimasaknya sendiri. Ada perasaan jika dirinya ternyata bisa berguna dan dapat melakukan sesuatu yang selama ini tidak terbayangkan untuk dia kerjakan. Dia bukan hanya sekadar porselin rapuh yang harus selalu dijaga supaya mengilap dan tidak pecah.

Mengobrol dengan Bu Helga sangat menghibur. Bisa dikatakan jika ini adalah hari terbaik selama petualangannya. Sama sekali tidak ada rasa bosan. Hari pertama yang dilaluinya tanpa ebook untuk membunuh waktu.

Dan, hari ini belum berakhir. Beberapa jam lagi, dia akan berjalan-jalan ke desa tetangga resor bersama Tanto. Memikirkannya saja, jantung Renjana terasa berdetak lebih cepat. Tanto bukan orang asing, tetapi tetap saja bukan teman dekat yang dikenal Renjana dengan baik. Ini, lagi-lagi untuk pertama kali Renjana memercayakan insting dan menyetujui ajakan seorang laki-laki yang baru dikenalnya. Semoga saja perubahan-perubahan yang dipilihnya saat mengambil keputusan tidak akan berakhir dengan penyesalan.

**

Untuk acara jalan-jalan sore, Renjana menjatuhkan pilihan pada rok lebar bermotif kembang-kembang kecil dan blus katun warna putih. Dia memang tidak punya banyak pilihan. Rencana awal perjalanan yang tidak membutuhkan variasi pakaian ini sudah melenceng jauh.

Tetapi Renjana langsung merasa konyol telah memikirkan soal padu-padan pakaian saat Tanto yang muncul di depan vilanya sama sekali tidak memperhatikan penampilannya. Laki-laki itu hanya tersenyum lebar seperti biasa dan berkata, "Siap untuk melihat seperti apa kehidupan desa nelayan di Pulau Sulawesi?"

Tentu saja orang seperti Tanto tidak akan tertarik untuk mengamati penampilan perempuan yang dianggapnya belum cukup umur. Laki-laki dewasa biasanya tertarik pada perempuan yang memiliki lekuk tubuh menakjubkan, bukan perempuan yang lurus menjulang, tanpa otot dan lemak yang memperindah bentuk tubuh. Bagi Tanto, ini pastilah acara jalan-jalan dengan keponakan kesepian yang harus dihibur.

Lebih baik begitu. Renjana menghela dan mengembuskan napas panjang-panjang. Tolol sekali memikirkan ketertarikan di tempat seperti ini. Apalagi dia tidak akan pernah punya hubungan asmara jangka panjang. Tidak ada akhir bahagia untuknya. Mana ada laki-laki yang mau menjalin hubungan serius dengan perempuan penyakitan yang tidak akan bisa memberikan keturunan?

Renjana memiringkan topi lebarnya untuk menutupi wajah. Apa yang baru saja melintas di benaknya pasti membuat kulitnya merona. Sudah lama dia tidak memikirkan cinta. Justin adalah satu-satu orang yang berhasil menembus hatinya. Wajar, karena waktu itu dia masih remaja. Pertahanannya belum kokoh. Sekarang semuanya berbeda. Semoga saja.

"Siap!" Suara Renjana seperti tercekik. Dia berdeham dan melanjutkan, "Pasti menyenangkan." Dia bersyukur karena terdengar lebih tegas. Semoga saja Tanto tidak memiliki kemampuan membaca gestur, sehingga tidak bisa menebak kegugupannya.

Beriringan, mereka berjalan menuju ke desa nelayan yang jaraknya lebih dari satu kilometer. Tidak ada batas nyata antara bagian dari resor dan desa itu. Sepertinya batas itu hanya disepakati lisan atau tulisan, tanpa perlu menambahkan tembok sebagai pemisah. Renjana yakin jika hubungan pemilik resor dan masyarakat di sekitarnya pastilah sangat baik.

"Gimana kelas memasaknya tadi?" tanya Tanto setelah mereka cukup jauh meninggalkan vila.

"Jauh lebih mudah daripada yang saya bayangkan." Renjana hampir menyebutkan nama Bu Helga yang telah berbaik hati mengajaknya di kelas itu, tetapi dia mengurungkan niat. Toh Tanto belum tentu kenal dengan wanita yang ramah itu. "Besok saya ikut kelas lagi. Tapi karena menunya lokal, pasti lebih sulit daripada hari ini."

"Yang sulit itu malah menyenangkan karena ada tantangannya. Ngerjain sesuatu yang nggak menantang itu bakal sangat membosankan, kan?"

Renjana merasa tersindir, walaupun tahu Tanto tidak bermaksud menyinggungnya. Renjana sadar betul jika dia bukan orang yang menyukai tantangan. Dia menyukai zona aman dan nyamannya. Mengapa harus waswas menyeberangi jembatan darurat yang dibuat dari batang kelapa kalau ada jembatan beton yang ditopang rangka baja yang kokoh?

"Iya juga sih." Renjana memilih tidak mendebat. Pendapatnya pasti akan terdengar menggelikan di telinga Tanto. Ingatan Renjana kembali terbang pada Cinta. Seandainya Cinta yang bertemu Tanto, percakapan mereka pasti seru. Sepanjang pengamatan Renjana, karakter keduanya tampak mirip. "Mas sudah pernah ke desa itu sebelumnya?" untuk mengalihkan perhatian, Renjana menunjuk perkampungan nelayan yang semakin dekat di depan mereka. Bentuk rumah-rumah panggung yang tadinya samar kita mulai terlihat jelas.

"Sering banget sih. Malah sudah lumayan akrab dengan beberapa orang di sana."

Renjana spontan menoleh saat mendengar jawaban itu. Apakah Tanto mengambil cuti panjang dan menghabiskannya di resor ini? Karena mustahil untuk akrab dengan masyarakat sekitar kalau hanya berlibur beberapa hari. Tapi Renjana memilih tidak menanyakannya. Lebih baik menghindari topik yang bersifat pribadi.

"Kenapa?" Tanto ikut menoleh sehingga pandangan mereka bertaut. Sudut bibirnya mencuat, menampilkan senyum lebar. Sorot matanya sarat canda. "Orang yang ramah seperti saya gampang banget akrab sama orang. Buktinya, kamu yang kabur saat pertemuan pertama kita, sekarang sudah mau diajak jalan-jalan."

Renjana buru-buru melepaskan pandangan dan beralih pada hamparan pasir putih dan halus yang mereka tapaki. Meskipun masih silau, tapi sinar matahari sudah lebih ramah, tidak menyengat lagi seperti tadi siang, saat Renjana keluar dari gedung utama resor menuju vilanya.

"Nggak semua orang punya kemampuan bersosialisasi seperti Mas," kata Renjana terus terang. Interaksi dengan orang asing yang bisa terjalin secara alami adalah sesuatu yang nyaris mustahil untuk orang setertutup dirinya. Renjana adalah tipe pasif yang menunggu didekati, bukan yang akan memulai percakapan.

"Karakter orang memang beda-beda." Tanto melompat, menapaki tumpukan batu karang yang tertanam di atas pasir. Mereka sudah memasuki wilayah perkampungan nelayan. Dia mengulurkan tangan pada Renjana.

Renjana menatap tangan itu sejenak sebelum menyambutnya,. Dia mengikuti Tanto naik di atas batu karang. Setelah melewati pijakan beberapa batu karang, mereka kembali menapaki pasir putih. Renjana segera melepaskan tangannya dari genggaman Tanto.

Entah mengapa dadanya terasa berdesir. Sudah berapa lama sejak terakhir kali dia berpegangan tangan dengan laki-laki? Era Justin memang belum satu dekade, tapi kenangan itu telah tertimbun dalam, nyaris tak teringat lagi. Jadi desir ini benar-benar terasa baru. Sedikit menakutkan, anehnya, juga menyenangkan. Tumpukan rasa yang membingungkan ketika diserap sekaligus.

"Rumahnya mungil-mungil ya," gumam Renjana, mencoba mengalihkan fokus dari debaran jantungnya.

"Fungsi rumah bagi mereka itu masih primer. Masih murni sebagai tempat tinggal. Selama ada tempat berlindung dari hujan dan panas, kamar untuk tidur, juga dapur untuk memasak, sudah cukup sih. Segi estetis belum menjadi prioritas. Sudah ada beberapa rumah yang bertransformasi menjadi rumah beton, tapi kebanyakan masih rumah panggung." Tanto menunjuk asap yang mengepul dari salah satu rumah di dekat mereka. "Kayu bakar masih menjadi bahan bakar utama di sini."

"Beneran?" Ini kehidupan yang tidak pernah bersinggungan dengan Renjana. Selama ini dia hanya melihat orang menggunakan bara untuk membakar seafood atau sate. Asapnya membuat mata orang yang berada di dekat pemanggangan itu ikut pedih. Sulit membayangkan orang menggunakan kayu bakar untuk memasak semua jenis hidangan yang akan dimakan sebanyak 3 kali sehari.

"Beneran dong," jawab Tanto. "Liburan di tempat seperti bikin kita lebih rileks dan lebih menikmati hidup setelah berjibaku dengan ritme metropolitan yang putaran rodanya cepat banget. Di sana, kalau gerakan kita lambat, kita bisa ketinggalan, atau malah dilibas orang lain. Semuanya tentang pencapaian dan materi. Di sini lebih pada menghabiskan hari demi hari saja. Mengalir. Target tidak berada di urutan paling atas prioritas kita."

Renjana sekali lagi menatap Tanto. Kali ini dengan tatapan kagum. Jujur, dia tidak pernah memikirkan makna hidup terlalu jauh. Dia tinggal di Jakarta, tetapi tidak menjalani kehidupan keras seperti yang baru saja dideskripsikan Tanto. Dia tidak perlu melakukan apa-apa. Semua sudah disediakan orang tua untuknya. Renjana tidak perlu memikirkan pencapaian apa pun. Sekarang, saat mendengar kata-kata Tanto, Renjana merasa dia hidup dalam gelembung nyaman yang tidak bersentuhan dengan dunia luar. Eksklusif.

"Bersyukurlah kalau hidup kamu mudah dan menyenangkan untuk dijalani." Tanto menarik tangan Renjana menuju garis pantai, menyongsong sebuah sampan yang hendak merapat.

Renjana tertatih mengikuti. Dia memikirkan kata-kata Tanto. Hidupnya mudah, itu benar. Menyenangkan? Tidak selalu. Dia punya banyak keterbatasan yang harus diterima sebagai bagian dari dirinya.

"Dapat banyak, Pak?" tanya Tanto pada nelayan yang menarik sampan kecilnya keluar dari air laut.

"Lumayan, Pak." Nelayan berkulit legam itu tersenyum menunjuk ke dalam sampan. "Tapi kecil-kecil."

Renjana menatap tangannya yang masih berada dalam genggaman Tanto. Desir itu kembali hadir. Sepertinya dia dalam masalah. Hatinya.

**

Ceritanya udah tamat di Karyakarsa ya. Buat yang pengin baca lebih cepat, bisa ke sana. Tengkiuuu...

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top