Lima

Tanto mengamati bungalo di sebelah tempat tinggalnya dengan saksama. Gordennya tertutup rapat. Tidak ada suara atau tanda-tanda kehidupan yang lain. Apakah anak itu dan keluarganya sudah mengakhiri liburan dan keluar dari resor? Karena mustahil orang yang sedang menikmati liburan di tepi pantai membiarkan bungalo mereka tertutup dari akses pemandangan laut. Mereka membayar mahal untuk bisa menikmati laut dan udara pantai dengan leluasa.

Tanto menahan seorang staf hotel yang kebetulan melintas.

"Mbak, tamu yang di sebelah sudah check out ya?"

Pegawai itu mengikuti arah pandangan Tanto. "Oh, Mbak yang itu ya, Pak? Setahu saya, dia belum check out, Pak. Sepertinya dia akan tinggal lumayan lama karena sudah membayar bungalonya untuk 2 minggu. Kebetulan saya yang bertugas saat dia check in. Dia baru masuk 3 hari yang lalu."

Sementara mereka bicara, seorang pegawai lain yang membawa baki melewati mereka dan langsung menuju bungalo yang menjadi topik pembicaraan. Tanto mengawasi laki-laki yang membawa makanan itu sampai menghilang karena terhalang oleh rimbun tanaman di taman bungalo sebelah.

"Sepertinya tamunya memang masih ada, Pak," kata staf yang ditahan Tanto. "Dia memang jarang keluar. Dia selalu memesan makan untuk dimakan di bungalo."

"Mereka nggak pernah makan di restoran?" Tanto mengernyit. Aneh. Restoran resor menampilkan pemandangan yang memikat, dan para tamu biasanya menikmati makan di sana.

"Mereka?" Staf itu tampak bingung. "Setahu saya, tamu di bungalo itu sendiri saja, Pak."

"Sendiri?" Yang benar saja! Anak itu tampaknya belum cukup umur untuk berlibur di tempat seperti ini seorang diri. Saat mereka bertemu di pantai tadi pagi, anak itu mengatakan jika keluarganya sedang tidur di bungalo. Atau, mereka tidak sedang membicarakan orang yang sama? "Tamunya perempuan, dan masih muda banget?"

Staf itu mengangguk. "Iya, Pak, tamunya perempuan dan memang masih muda."

Setelah stafnya pergi, Tanto tertawa saat menyadari jika sebenarnya anak di bungalo sebelah tidak mengatakan apa-apa tentang keluarganya. Dia hanya membenarkan dugaan Tanto bahwa dia berlibur bersama keluarganya. Sialan! Tanto merasa dikerjai oleh anak kecil.

Sekarang Tanto mulai memahami raut kecurigaan yang ditampilkan anak itu. Orang yang berada sendiri di tempat asing biasanya memang lebih waspada, karena tahu dia hanya bisa mengandalkan diri sendiri saat terlibat masalah.

**

Menjelang matahari tenggelam, Renjana memutuskan keluar dari bungalo. Di waktu seperti ini, jarak pandang sudah pendek. Orang-orang pasti lebih fokus menikmati pemandangan, daripada mengamati tamu resor yang lain. Kekhawatirannya mungkin terlalu berlebihan, tapi dia memang lebih suka waspada daripada harus dipaksa pulang sebelum waktunya.

Udara mulai terasa dingin. Renjana merapatkan kardigan. Nasib punya tubuh kurus ya begini. Sangat sensitif terhadap perubahan temperatur, sekecil apa pun itu.

Dermaga kayu yang ditujunya tampak sepi. Hanya ada beberapa siluet yang jaraknya lumayan berjauhan. Dermaga itu adalah tempat favorit Renjana di resor ini. Tidak butuh banyak usaha dan tenaga untuk mencapainya.

Renjana menapak undak-undakan yang menghubungkan pasir pantai dan badan dermaga. Undak-undakan itu lumayan tinggi, sehingga saat air pasang sekalipun, dermaga itu tidak akan tertutup oleh air laut.

Di ujung dermaga itu ada gazebo yang dilengkapi dengan kursi kayu yang diatur melingkar. Renjana beruntung karena tamu resor yang juga sedang berada di dermaga itu memilih bersandar di pagar kayu yang kokoh ketimbang duduk di gazebo, sehingga dia bisa duduk dengan nyaman.

Semilir angin, pantai, pekik camar yang beranjak pulang, air laut yang mengalun sehingga Renjana merasa sedang berada di sebuah perahu yang sedang berlayar, dan langit merah jingga kehitaman adalah keajaiban yang tidak pernah alpa membuat kagum.

Renjana menatap horizon. Apakah keindahan kaki langit itu yang membuat Cinta ingin kembali ke tempat ini? Kalau iya, Renjana tidak bisa menyalahkannya. Rasa sendu yang ganjil bahkan bisa Renjana rasakan ketika menyadari jika sinar matahari perlahan mulai meredup, dan cahayanya mulai tergantikan oleh lampu-lampu yang dipasang di sepanjang dermaga, padahal Renjana tidak punya kenangan atau ikatan emosional apa pun dengan tempat ini. Menakjubkan bagaimana fenomena alam yang terulang setiap hari menimbulkan reaksi yang sangat berbeda ketika disaksikan di tempat yang tidak biasa. Di hari-hari biasa, Renjana melalui pergantian hari di dalam kamar. Siang dan malam berarti pergerakan jarum jam, dan perubahan sumber penerangan, dari matahari menjadi lampu. Tidak ada aroma laut dan angin yang mengelus wajahnya seperti ini.

Renjana mengusap dada yang mendadak perih dan terasa penuh. Teganya Cinta meninggalkan dia sendiri seperti ini. Mereka dilahirkan nyaris bersamaan. Dengan kondisi kesehatan yang sangat bertolak belakang, seharusnya Cinta yang menangisinya, bukan sebaliknya.

Renjana menyusut mata dengan ujung kardigannya. Sialan, seharusnya dia tadi mengantongi tisu. Renjana mengatur napas sehingga tangisnya tidak pecah menjadi isak yang tidak terkontrol. Jadi seperti ini rasanya kehilangan belahan jiwa. Sakitnya nyaris tak tertahankan.

Usaha Renjana menahan tangis akhirnya gagal, ketika jari-jarinya bermain di layar ponsel dan akhirnya berhenti pada sebuah video yangg dikirim Cinta dalam salah satu perjalanannya.

"Lihat langitnya, Ren." Cinta mengarahkan kamera pada langit yang penuh taburan bintang, seolah dia berada sangat dekat dengan atap bumi itu. "Aku harap kamu di sini sehingga kita bisa melihat langitnya bersama-sama secara langsung. Aku bisa memotretnya untukmu, tapi foto, sebagus apa pun, tidak akan pernah bisa menangkap keindahan yang sebenarnya." Kamera Cinta lalu kembali fokus pada wajahnya. Senyumnya mengembang sedih. "Kutukan jadi kembar itu ya seperti ini. Aku selalu teringat kamu setiap kali sampai di tempat baru yang indah banget. Rasanya aku egois banget karena menikmati hal-hal seperti ini sendiri. Kita membaca semua dongeng dan cerita petualangan berdua, tetapi hanya aku yang punya kesempatan untuk menjalani petualangan menelusuri semua imajinasi kita. Maafkan aku ya, Ren."

Bahu Renjana bergerak naik-turun menahan supaya tangisnya tidak menjelma menjadi teriakan histeris. Seharusnya dia yang minta maaf karena tidak bisa berada di sisi Cinta saat melakukan perjalanannya. Kalau dia ada di sana ketika Cinta mengalami kecelakaan, mungkin saja Renjana bisa melakukan sesuatu untuk menyelamatkannya. Mungkin dia, untuk pertama kali, dan sekali itu saja, dia bisa berbuat sesuatu untuk Cinta. Selama ini dia hanya menerima, dan tidak pernah memberi apa pun.

**

Tanto mengurungkan niat menegur ketika melihat perempuan itu terisak-isak sambil menatap ponselnya. Rasanya masih sulit dipercaya jika dia bukan remaja tanggung yang belum cukup umur untuk punya KTP dan bepergian sendiri, karena kalau itu benar, dia tidak akan bisa check in tanpa menunjukkan kartu identitas.

Apalagi resor ini eksklusif sehingga butuh cukup banyak uang untuk bisa berlibur di sini, dan perempuan itu sudah membayar deposit untuk 2 minggu. Seorang remaja tanggung tidak akan memilih menghabiskan waktu seorang diri di tempat seperti ini. Tempat ini bukan Bali yang punya fasilitas luar biasa untuk memanjakan turis. Resor ini malah terkesan terisolasi. Desa terdekat adalah perkampungan nelayan yang hanya menawarkan pemandangan, bukan mal dan tempat perbelanjaan yang menjadi tempat nongkrong favorit para remaja.

Tanto berdiri cukup lama untuk mengawasi perempuan itu. Mungkin saja tadi pagi dia memang berniat bunuh diri, bukan sekadar berjalan sambil melamun, dan lantas tidak sengaja masuk ke dalam laut. Bisa saja kali ini dia memutuskan melompat dari ujung dermaga. Kalau hal itu sampai terjadi, tempat ini tetap terlalu gelap untuk dilihat orang lain yang juga berada di dermaga. Lampu-lampu yang dipasang di dermaga tidak dimaksudkan untuk menggantikan sinar matahari, tetapi sekadar untuk memberi cahaya temaram yang menimbulkan kesan romantis. Penerangan seperlunya untuk membantu tamu mengenali arah.

Untunglah kecurigaan Tanto tidak terbukti karena setelah menunggu cukup lama, dia akhirnya melihat perempuan itu berdiri, menatap cakrawala beberapa saat, sebelum akhirnya berbalik. Tanto berpaling sehingga membelakangi perempuan itu ketika melewatinya. Ini jelas bukan saat yang baik untuk memulai percakapan.

Perempuan itu mungkin baru saja menangisi hati dan kisah asmaranya yang berantakan. Dan berhadapan dengan perempuan patah hati sama saja dengan membuka kandang macan, dan membiarkan raja rimba itu berkeliaran. Tanto tidak mau jadi orang yang salah di tempat yang salah, yang akhirnya menjadi sasaran taring macan yang mengamuk karena merasa terganggu.

**

Di Karyakarsa udah sampai bab 27 ya. Bisa ke sana kalau pengin baca lebih cepet. Tapi berbayar ya.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top