Enam Belas
Matahari menyorot garang. Walaupun sudah memakai outer, kulit Renjana tetap terasa terbakar. Matahari yang tegak lurus di atas kepala, pasir pantai yang terhampar sepanjang mata memandang, dan air laut memanglah kombinasi sempurna untuk menimbulkan suhu tinggi yang menyengat. Ini adalah salah satu hari terpanas yang pernah dirasakan Renjana seumur hidup. Tapi dia tidak akan mengeluh. Sedapat mungkin, dia akan mencoba menikmati perjalanan hari ini.
Pantai Katembe yang mereka datangi sepi pengunjung. Mungkin karena mereka datang pada hari kerja. Tapi suasana sepi itu membuat Renata leluasa mengambil foto dari berbagai sudut. Renjana bisa melihat perubahan ekspresi ipar Tanto itu saat sedang bekerja. Renata tampak serius, sangat berbeda dengan sosok yang tadi ngobrol ngalor-ngidul di dalam mobil.
Percakapan sepanjang perjalanan tadi didominasi oleh Tanto dan Renata. Renjana lebih banyak diam. Dia baru bicara saat Renata yang duduk di sebelahnya bertanya. Syukurlah Renata tidak menanyakan hal-hal yang bersifat pribadi. Dia jelas tahu bagaimana membuat orang yang ditemaninya bicara merasa nyaman. Atau dia memang bisa membaca kalau Renjana tidak ingin dikulik lebih dalam. Renjana tidak tahu yang mana di antara dugaannya itu yang benar, tapi dia menyukai pembawaan Renata yang menghargai privasinya.
"Jangan duduk di sini." Sebuah botol air mineral mendadak muncul di depan wajah Renjana. "Matahari kayaknya happy banget hari ini. Lebih baik pindah ke bawah pohon. Sunscreen-nya sudah dipakai ulang, kan? Kalau lupa, kamu bisa gosong lho."
"Sudah kok, Mas." Renjana meraih botol air mineral itu. Masih dingin karena baru dikeluarkan dari cooler. "Terima kasih." Ternyata orang yang sudah berpengalaman melakukan perjalanan sudah memikirkan hal yang sebenarnya simpel, tetapi penting seperti cooler.
Air itu terasa terasa sejuk di leher Renjana. Dia menghabiskan setengah isinya sebelum menutup kembali botol itu. Tadi dia hanya membawa sebotol air mineral berukuran kecil yang diselipkan di ransel. Air itu sudah habis saat mereka masih berada di atas feri. Renjana baru berencana menanyakan air minum kepada sopir ketika Tanto tiba-tiba muncul.
"Pindah, yuk!" Tanto mengulurkan tangan.
Renjana menatap tangan itu sebelum menyambutnya. Gerakan Tanto yang menariknya berdiri terasa kuat. Bukan kuat yang menyakiti jari-jari Renjana dengan genggamannya, tetapi kuat karena tarikannya mantap. Dia hanya perlu satu entakkan, dan Renjana sudah berdiri tegak. Kuda-kuda Tanto tidak goyah sama sekali.
Mungkin aku yang terlalu kurus, pikir Renjana. Tidak perlu orang setegap Tanto untuk bisa menariknya berdiri. Siapa pun bisa melakukannya.
Perlahan, Renjana menarik tangannya dari genggaman Tanto. Dia tidak keberatan dengan tautan itu. Tapi dia tidak mau kalau Renata dan sopir melihatnya. Mereka bisa salah paham. Kasihan Tanto kalau harus menghabiskan waktu untuk menjelaskan bahwa tidak ada hubungan apa-apa di antara mereka.
Renjana ikut menahan langkah ketika Tanto akhirnya berhenti dan memberi isyarat supaya Renjana duduk di sebuah batu karang yang permukaannya rata. Ada pohon nyiur yang menjadi peneduh.
"Rena sangat fokus saat kerja," kata Tanto. Pandangannya terarah pada Renata yang sekarang sedang berada di atas tebing yang cukup tinggi. Perempuan itu sibuk dengan kameranya.
Renjana ikut-ikutan mengamati Renata. Gestur perempuan itu tampak seperti prajurit wanita dalam film-film superhero. Seandainya Cinta diberi umur panjang, Renjana yakin, beberapa tahun ke depan dia bisa mencapai posisi yang sama dengan Renata. Cinta cerdas, pekerja keras, dan memiliki tekad baja untuk mengejar impiannya.
"Pasti menyenangkan bisa menjadikan hobi sebagai pekerjaan," gumam Renjana.
"Pasti," jawab Tanto. "Kenapa kedengarannya kamu seperti mengeluh? Jurusan yang kamu ambil sekarang nggak sesuai dengan pekerjaan impianmu?"
Renjana tidak punya pekerjaan impian. Saat masih kecil, dia mengimitasi semua yang Cinta cita-citakan. Renjana ingin menjadi pelukis atau arsitek karena Cinta mengatakan itulah profesi yang diinginkannya. Setelah beranjak besar dan sadar dengan keterbatasannya, Renjana mulai kesulitan menyebutkan cita-cita ketika orang-orang menanyakannya. Bisa jadi apa dirinya dengan kemampuan otak rata-rata dan kondisi fisik yang lemah? Lagi pula, kalau tujuan orang bekerja adalah untuk mendapatkan uang, Renjana tidak perlu melakukannya. Uang orang tuanya luar biasa banyak. Ayahnya adalah sosok yang selalu muncul di artikel majalah Forbes setiap tahun sebagai salah satu orang terkaya di Asia. Tidak pernah keluar dari 10 besar selama lebih dari satu dekade.
"Aku nggak tahu mau kerja apa setelah lulus nanti," ujar Renjana jujur dengan nada pasrah. Dia tidak perlu berbohong pada Tanto. Toh laki-laki itu sudah mendapatkan gambaran tentang dirinya selama interaksi mereka. Tanto pasti sudah tahu kalau Renjana bukan orang paling cerdas di dunia.
"Jangan terlalu sedih," hibur Tanto. "Orang seperti Rena yang beruntung menjadikan hobi sebagai pekerjaan populasinya sangat sedikit. Mungkin nggak sampai satu persen. Kebanyakan orang harus memisahkan hobi dengan pekerjaan karena keduanya memang sering kali bertolak belakang. Tapi tidak berarti kalau kamu nggak bisa melakukan keduanya juga. Itu gunanya ada akhir pekan, atau liburan. Saat untuk hobi. Asal pintar membagi waktu, hobi dan pekerjaan bisa selaras kok."
"Mas termasuk yang beruntung seperti Mbak Renata?" Renjana memberanikan diri menanyakan sesuatu yang dia tahu lebih pribadi daripada semua pertanyaan yang pernah diajukannya pada Tanto.
Tanto menelengkan kepala, pura-pura berpikir. "Sayangnya tidak. Saya termasuk dalam 99% orang yang nggak bisa menjadikan hobi sebagai profesi. Pekerjaan impian saya adalah menjadi fotografer profesional seperti Rena. Berkeliling ke berbagai ke tempat eksotis di dunia dan mengabadikan tempat itu supaya tetap bisa dinikmati orang, puluhan atau bahkan ratusan tahun mendatang. Jadi mereka punya gambaran seperti apa tempat itu di masa lalu, kalau pembangunan sudah merusak bentuk aslinya."
Renjana tersenyum miris. Aneh bagaimana takdir mempertemukannya dengan orang-orang yang hobi fotografi seperti Tanto dan Renata. Apakah itu ada kaitannya dengan Cinta yang tidak bisa lepas dari kameranya? Mungkin Tuhan –melalui Tanto dan Renata-- ingin menunjukkan kepada Renjana tentang semua aktivitas yang akan dilakukan Cinta dalam setiap perjalanannya.
"Mengapa Mas tidak mengejar impian itu?" tanya Renjana lagi.
"Karena saya anak sulung, dan saya nggak sampai hati mengecewakan ayah saya yang sudah begitu yakin jika saya adalah penerus yang tepat untuk usahanya."
Seperti Ezra, pikir Renjana. Dia ingat pertengkaran Ezra dengan ayahnya ketika kakaknya itu lulus SMA dan berniat mengambil jurusan kedokteran. Ayah mereka menolak ide itu mentah-mentah. Menurutnya, Ezra dilahirkan untuk menjadi pengusaha, bukan dokter. Dan Ezra kemudian mengalah. Mengamuk dulu, tapi akhirnya luluh.
"Tapi ayah Mas tidak salah, kan?"
"Bahwa saya bisa jadi pengusaha seperti dirinya?" Tanto mengedikkan bahu. "Untungnya tidak. Sial sekali kan kalau saya melepas impian menjadi fotografer terus nggak bisa kerja di belakang meja juga? Jadi, apa pekerjaan impian kamu?" Tanto balik bertanya.
"Tidak ada. Tadi saya sudah bilang kalau saya belum tahu akan kerja apa setelah lulus nanti," Renjana mengulang jawabannya.
"Tidak tahu mau kerja apa, dan pekerjaan impian itu berbeda. Kamu sudah dengar versi saya."
Renjana berpikir keras. Apa yang dia sukai dan paling banyak menghabiskan waktunya untuk dikerjakan? "Saya sangat suka membaca. Pekerjaan yang bisa mengakomodir hobi itu mungkin adalah jadi pegawai perpustakaan." Wajahnya memerah. Profesi itu pasti terdengar kekanakan. Tanto pasti belum pernah mendengar ada orang dewasa yang bercita-cita menjadi pustakawan. "Tapi itu bukan profesi lazim di Indonesia sih."
"Profesi impian nggak perlu lazim, kan? Aneh banget kalau impian orang-orang bisa menjadi kelaziman karena sama semua. Namanya juga impian, jadi itu harus paling personal dan menyenangkan untuk dikerjakan. Jadi, kamu baca apa, fiksi atau nonfiksi?"
"Dua-duanya." Renjana lega karena respons Tanto yang positif. "Saya paling suka novel, buku biografi, dan buku-buku motivasi." Renjana merasa butuh penguatan yang konsisten tentang eksistensinya. Buku-buku berbau motivasi memberikan itu. Dari biografi orang-orang hebat dia juga mendapatkan pelajaran bahwa perjuangan untuk mencapai kesuksesan bisa sangat sulit dan berdarah-darah. Sayangnya Renjana belum bisa meyakinkan diri bahwa dengan keterbatasannya dia juga bisa menjadi sosok yang berguna untuk diri sendiri, apalagi orang lain.
"Menjadi seorang pustakawan pasti cocok untuk kamu. Tempatnya tenang, jauh dari hiruk-pikuk, dan kamu nggak perlu banyak berinteraksi dengan banyak orang. Apalagi sekarang semuanya sudah memasuki era digital. Kontak fisik dan percakapan verbal semakin berkurang."
Renjana kagum dengan pengamatan Tanto. Laki-laki itu bisa paham kalau Renjana tidak nyaman berinteraksi dengan orang asing.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top