Empat Belas
Renjana tidak pernah makan bersama keluarga orang lain sebelumnya. Dengan keluarga kerabat dekatnya pun tidak. Dia selalu mewakilkan kehadirannya di acara keluarga kepada Cinta. Sejak dulu dia memang tidak suka keramaian, dan keluarganya sudah menerima itu sebagai bagian dari sifatnya. Orang tuanya hanya menawarkan, tetapi tidak pernah memaksa kalau Renjana tidak mau datang ke acara arisan, syukuran, ataupun acara lain yang dihelat oleh salah satu keluarga besarnya.
Orang yang pernah makan bersama Renjana di luar rumah selain keluarganya hanyalah Justin dan sahabat-sahabatnya. Jadi, kejadian di resor ini adalah pengalaman baru yang lain bagi Renjana. Dia sudah beberapa kali makan bersama Tanto, dan sekarang dia berada di meja yang sama dengan Bu Helga, Tanto, dan si cantik Nistya.
Tidak seperti teman makannya yang santai, Renjana malah tegang sendiri, padahal Bu Helga bahkan lebih ramah daripada biasanya. Sambil melayani Nistya, dia tetap mengajak Renjana ngobrol.
"Jangan terlalu takut sama karbo," katanya ketika melihat piring Renjana hanya berisi buah-buahan. "Sarapan itu penting biar kamu punya cukup energi supaya kuat beraktivitas sampai waktu makan siang."
"Iya, Bu," jawab Renjana patuh. Sebenarnya alasan Renjana hanya mengambil buah adalah karena potongan buah-buahan lebih simpel untuk dimakan. Dia tidak perlu menghawatirkan ada sisa makanan yang kemungkinan bisa menempel di sudut bibir, atau remah-remah yang berceceran. Kalau itu sampai terjadi, dia tidak akan terlihat elegan. Renjana selalu makan dengan rapi dan taat table manner, tapi apa pun bisa terjadi saat gugup. Dan sekarang dia tidak setenang biasanya.
"Aku mau bikin toast," ujar Tanto. "Kamu mau topping apa?" tanyanya pada Renjana.
"Nggak usah," sambut Renjana sungkan.
"Cokelat atau jam?" tanya Tanto lagi seolah tidak mendengar penolakan Renjana.
"Nanti saya bikin sendiri, Mas." Renjana ikut berdiri. Biasanya dia tidak pernah menyiapkan sarapan sendiri, bagaimanapun simpelnya. Sejujurnya, dia belum pernah memasukkan roti dalam toaster. Ini akan jadi pengalaman pertamanya. Semoga saja dia tidak perlu memanggil petugas resor untuk mengajarkannya, karena itu akan memalukan.
"Biar Tanto saja," Helga menengahi. "Memanggang roti itu nggak ada sulit-sulitnya. Kamu lebih suka cokelat atau selai?"
"Cokelat," ujar Renjana lirih. Perlahan, dia duduk kembali.
"Papa, Nistya juga mau roti cokelat dong," timpal Nistya. Dia menunjuk mangkuknya. "Serealnya udah habis nih, padahal belum kenyang."
"Oke, Sayang." Tanto mengusap kepala keponakannya. "Cokelat untuk Nistya dan Cinta, jam untuk Papa Tanto." Dia menatap ibunya. "Ibu nggak sekalian?"
Helga menggeleng. "Ibu makan rebusan saja. Umur segini, Ibu harus membatasi konsumsi gula dan lemak. Beda sama kalian yang kondisinya masih prima."
Renjana menarik sudut bibir demi sopan-santun. Bu Helga salah karena menyangka dirinya sekuat orang lain yang terlahir dengan kondisi jantung sempurna. Renjana sengaja menyuap potongan buah yang tersisa di piringnya supaya tidak perlu merespons kata-kata Bu Helga.
"Oh ya, Cinta, kamu kapan pulang?" tanya Helga setelah Tanto beranjak untuk memanggang roti.
Pertanyaan itu mengingatkan Renjana kalau tadi dia bermaksud mengecek jadwal penerbangan untuk hari ini atau besok. Sekarang dia tidak yakin lagi dengan rencana itu.
Sepertinya dia tetap akan mengikuti jadwal yang sudah ditetapkannya. "Belum tahu, Bu. Tapi saya sudah membayar sampai minggu depan sih karena rencananya mau tinggal selama 2 minggu di sini. Jadi mungkin saya akan tinggal sampai minggu depan." Apakah Renjana harus menanyakan kapan Bu Helga pulang juga? Tapi itu akan terdengar tidak sopan. Tidak, dia tidak akan menanyakannya. Rasa penasaran akan ditelannya diam-diam.
"Kalau kamu reservasi online, nggak bisa di-refund, kan? Sayang banget kalau nggak tinggal sampai selesai." Helga mencondongkan tubuh ke arah Renjana. Senyumnya lebar. "Tapi kalau mau lanjut setelah waktu stay kamu habis, kamu nggak usah mikirin soal biaya perpanjangan vila. Nikmati saja liburan kamu sebelum kembali ke Jakarta. Tanto juga masih sekitar 3 mingguan di sini. Jadi ada yang bisa nemenin kamu jalan-jalan. Dia sengaja mengambil cuti panjang untuk menghabiskan waktu bersama Ibu. Kalau di Jakarta, kami malah jarang ketemu, karena dia sibuk banget dengan pekerjaan. Apalagi dia sudah tinggal sendiri."
"Oooh...." Ternyata Renjana tidak perlu bertanya karena apa yang ingin diketahuinya sudah terjawab. Informasi yang didapatnya malah jauh lebih lengkap.
"Jadi, kalau kamu memutuskan untuk nambah waktu liburan, nggak perlu menghubungi resepsionis. Bilang sama Ibu saja, biar Ibu yang urus."
Itu tawaran yang menggoda. Bukan soal tarif vila yang memang lumayan merogoh kocek karena itu hanya masalah kecil. Renjana bisa menutupnya. Ini tentang menghabiskan lebih banyak waktu bersama Tanto. Menikmati perasaannya sebelum kembali ke dunia nyata, dan menjadikan semua ini sebagai memori manis yang mungkin akan selalu terkenang seumur hidup.
Renjana merasa wajahnya menghangat saat menyadari betapa impulsif dirinya saat ini. Dia bukan dirinya. Renjana versi 10 hari yang lalu tidak akan melakukan apa pun yang sedang dikerjakannya sekarang.
"Terima kasih, Bu." Renjana buru-buru meraih gelas jusnya dan menyesapnya untuk menutupi rona wajahnya.
"Oh ya, di Jakarta kamu tinggal di daerah mana?"
Renjana spontan tersedak. Tempat tinggal adalah bagian yang tidak boleh dia sebutkan. Syukurlah ponsel Bu Helga berdering sehingga Renjana tidak harus menjawab pertanyaan itu.
Bu Helga meraih ponselnya untuk menerima panggilan video itu.
"Daddy... Daddy...!" teriak Nistya ketika neneknya memperlihatkan layar ponsel. "Nistya lagi sarapan sama Eyang dan Papa nih! Mama masih berenang," dia berceloteh sebelum ayahnya bertanya.
Renjana menarik napas lega karena Bu Helga sudah fokus menemani Nistya ngobrol dengan ayahnya. Semoga pertanyaan tentang alamat itu terlupa dan tidak akan diulang lagi. Renjana tidak mau berbohong, tetapi dia juga tidak mungkin mengatakan yang sebenarnya. Apa yang terjadi di tempat ini akan terputus setelah dia pulang. Tidak akan terhubung, apalagi berlanjut di Jakarta.
Renjana sudah lama yakin jika hidupnya tidak akan serupa dengan buku-buku dongeng yang dibacakan ibunya sebagai pengantar tidur. Berbahagia selamanya setelah bertemu pangeran tampan tidak ditakdirkan untuknya. Dia hanyalah putri yang tinggal di istana indah, yang semua kebutuhannya tersedia. Semua, kecuali cinta dengan akhir bahagia itu.
Tak mengapa. Renjana sudah menerima kenyataan itu sejak tahu kondisinya berbeda dengan kebanyakan perempuan lain. Dia akan menemukan cara untuk menghabiskan hidup tanpa merasa merana dan kesepian.
Semoga saja Ezra akan segera menemukan jodoh dan menikah. Semoga juga istrinya tidak keberatan memiliki beberapa orang anak. Renjana akan membantunya membacakan dongeng bagi anak-anak itu. Keponakannya. Membuat mereka menyayangi Renjana dan menobatkannya sebagai bibi terbaik dari seluruh bibi yang ada di dunia.
"Toast kamu!" Sebuah piring berisi dua keping roti panggang yang diletakkan di depan Renjana mengakhiri lamunannya. Tanto sudah kembali duduk di kursinya.
"Terima kasih, Mas."
Tanto tidak menjawab karena langsung bergabung dalam percakapan dengan ibu dan ponakannya. Interaksi Tanto dan adiknya yang berada dalam sambungan telepon mengingatkan Renjana pada Ezra dan Cinta yang selalu saling mengejek.
Cara menunjukkan perhatian memang berbeda-beda. Ezra mengejek Cinta untuk menunjukkan perasaan sayang. Cara yang sama tidak dipakainya untuk Renjana karena Ezra nyaris tidak pernah meledek Renjana. Kata-katanya selalu manis dan suportif. Cara lain untuk menunjukkan kasih sayang itu adalah dengan membawakan buku baru, atau sekadar menyendokkan lauk ke piring Renjana ketika mereka makan bersama. Ezra selalu memberikan tempatnya di sofa saat Renjana datang bergabung, padahal kalau Cinta yang menempati tempat itu, Ezra akan menarik dan menjatuhkan dengan sadis ke atas karpet. Lalu tertawa puas saat Cinta mengomel sambil memukulinya dengan bantalan kursi.
Renjana tidak mau menguping percakapan keluarga yang intim itu, jadi dia mulai menggigit rotinya pelan-pelan. Sebenarnya dia suka roti yang dipanggang sampai pinggirannya garing, tapi dia bertekad menghabiskan rotinya. Ini makanan yang dibuat Tanto untuknya. Walaupun bagi laki-laki itu membuatkan roti panggang adalah sesuatu yang biasa, tapi bagi Renjana, ini spesial. Untuk pertama kalinya ada seorang laki-laki yang menyiapkan makanan untuknya. Memang hanya roti panggang yang roti dan alat panggangannya disediakan resor, tetapi ada usaha Tanto untuk menyiapkannya, dan Renjana sangat menghargainya.
Renjana sudah menghabiskan satu roti panggangnya ketika percakapan telepon yang dilakukan keluarga Tanto selesai. Dia menyesap minumannya. Perutnya sudah kenyang karena tidak terbiasa sarapan banyak, tapi dia harus mengosongkan piringnya. Pasti bisa, dia berusaha menyakinkan diri sendiri. Dia tidak boleh menyisakan makanan yang sudah dibuat Tanto.
"Hari ini kegiatan kalian apa saja?"
Renjana tidak tahu pertanyaan Bu Helga itu ditujukan pada dirinya atau Tanto, jadi dia diam saja.
"Rena mau ngambil foto di Buton Tengah, Bu. Jadi kami akan ke sana," jawab Tanto. Dia lantas menatap Renjana. "Ikut ya. Daripada di resor terus. Dari sini kita ke kota, terus naik feri untuk menyeberang ke Buton Tengah. Ada banyak spot bagus di sana. Kamu pasti suka."
"Apa saya nggak akan mengganggu?" tanyanya ragu. Tentu saja Renjana ingin ikut. Dia sudah memutuskan untuk menunda kepulangannya ke Jakarta. Alasannya berhubungan dengan Tanto. Untuk menghabiskan waktu lebih banyak bersama laki-laki itu. Tapi dia khawatir akan mengganggu ipar Tanto. Dari gambaran yang diberikan oleh Bu Helga dan Tanto, perempuan itu terkesan gahar dan mengintimidasi. Belum tentu juga dia suka kegiatannya diikuti oleh orang asing.
"Kalau dianggap mengganggu, nggak mungkin diajak dong. Kalau ada tambahan orang, ngobrolnya juga lebih enak. Nggak bosan. Lagian, saya pasti bakalan dicuekin Rena kalau dia sudah mulai memotret."
"Iya, kamu ikut Rena dan Tanto saja," Helga ikut mengompori. "Nanti Ibu minta staf restoran menyiapkan bekal untuk makan siang kalian. Kamu mau makan apa untuk nanti siang?"
"Ehm... saya... terserah Ibu saja." Menu makan siang, tidak terlalu penting asal dia ikut. Renjana hanya perlu memikirkan bagaimana mencairkan suasana saat bersama ipar Tanto. Itu lebih sulit karena dia tidak komunikatif.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top