Dua Puluh Tujuh

Mungkin seperti ini perasaan seorang pengelana yang kehabisan air minum dan sekarat kehausan ketika tiba-tiba bertemu oasis. Atau korban kapal karam yang terapung-apung di tengah laut dan sudah kehabisan tenaga untuk terus berenang atau sekadar mengapung ketika mendadak menemukan balok atau benda apa pun yang cukup besar untuk dijadikan tempat berpegang supaya tidak tenggelam.

Kata lega, haru, senang, bahagia, dan bersemangat, sepertinya menjadi terlalu dangkal untuk menggambarkan perasaan itu. Karena itulah yang berkecamuk di benak Renjana ketika melihat Tanto.

Ada banyak pertanyaan yang seharusnya mengganggunya, seperti: Bagaimana Tanto menemukannya? Bagaimana dia bisa kenal Ezra? Dan masih ada berjuta bagaimana yang lain. Tetapi itu tidak penting sekarang. Dia akhirnya bertemu Tanto. Itu menakjubkan. Seperti jawaban dari harapan dan mimpi yang terlalu indah untuk menjelma nyata.

"Halo, Renjana...," sapa Tanto.

Renjana bergeming. Bahkan fakta bahwa Tanto sudah tahu bahwa dirinya bukan Cinta tidak menyurutkan letupan antuasiasme yang mengalir deras dalam darahnya. Ternyata rindu yang berbayar tuntas bisa membuat hal-hal lain yang seharusnya mengkhawatirkan menjadi tidak berarti.

"Hei, jangan bengong di situ dong," ujar Ezra. "Masa tamunya nggak disambut?" Dia lantas berdiri dan meringis pada Tanto. "Aku tinggal ya, biar kalian bisa ngobrol. Aku harap dia nggak mendadak gagu saking kagetnya."

"Terima kasih sudah diizinkan ke sini," ujar Tanto.

"Tidak usah berterima kasih. Aku melakukan ini lebih untuk Renjana sih." Ezra menghampiri adiknya. Dia merangkulnya sejenak sambil berbisik. "Selera kamu boleh juga. Lumayanlah."

Renjana merasa wajahnya merona. Godaan Ezra seperti mantra yang membebaskannya dari kebekuan. Dia kembali mendapatkan kendali gerakannya. Dia menunggu sampai Ezra menjauh sebelum ragu-ragu menghampiri Tanto. Kecemasan yang tadi tidak dirasakannya karena melihat Tanto berada di depannya terasa tidak nyata, kini mendadak menyeruak. Apa yang harus dikatakannya? Tanto pasti menganggapnya sebagai seorang pembohong besar.

Tanto berdiri menyambut Renjana yang mendekatinya. "Kamu tidak boleh mencium seseorang lalu meninggalkannya begitu saja."

"Saya... saya...." Renjana kembali kehilangan kata-kata. Rasanya memalukan diingatkan kembali pada peristiwa dia mencium Tanto. Waktu itu dia berani melakukannya karena yakin tidak akan bertemu Tanto lagi. Sekarang bagaimana memberi penjelasan untuk sikapnya yang tidak bisa dibilang sopan itu? Kurang ajar adalah kata yang lebih tepat. "Maaf," katanya lemah sambil menunduk.

"Di-ghosting itu rasanya nggak enak banget," ujar Tanto lembut. "Jangan lakukan itu lagi ya."

Apakah Renjana tidak salah dengar? Kepalanya sontak terangkat. Saat pandangannya tertaut dengan Tanto, dia merasa perlu duduk untuk menenangkan diri. Apakah itu berarti bahwa perasaannya berbalas? Renjana bahkan tidak berani membayangkan itu. Dia selalu menganggap bahwa percikan yang dirasakannya hanya sepihak. Laki-laki seperti Tanto di luar jangkauannya. Sulit percaya jika laki-laki sedewasa itu bisa tertarik dengan seseorang yang memiliki karakter lemah seperti dirinya.

"Kamu nggak mau mengatakan apa-apa?" Tanto mengambil tempat di dekat Renjana. "Kamu bisa memulainya dengan menjelaskan mengapa kamu pergi tanpa pamit. Aku yakin kepulanganmu direncanakan. Bukan kepergian yang mendadak karena Ezra tiba-tiba muncul di resor dan langsung membawamu pergi."

"Saya...." Renjana menarik napas panjang, mencoba mengumpulkan keberanian untuk mengakui semua kesalahannya. "Saya minta maaf karena sudah berbohong. Saya bukan Cinta." Dia memulai dari hal yang paling dasar. Namanya.

"Mengapa harus menggunakan nama Cinta?" kejar Tanto. "Padahal nama kamu bagus banget."

Waktu itu, Renjana membuat pembenaran jika dia memakai nama Cinta untuk menyamarkan dirinya. Tapi dia tahu itu tidak benar. Seandainya orang suruhan orang tuanya menemukannya di resor, mereka akan segera mengenali wajahnya, perubahan nama itu tidak akan ada pengaruhnya.

"Saya melakukan perjalanan itu untuk Cinta. Saya pikir, dengan memakai namanya saya akan merasa lebih percaya diri karena saya belum pernah bepergian ke mana pun sendirian. Tidak seperti Cinta yang sudah berkeliling dunia." Atau mungkin, Renjana sejak awal ingin membuat Tanto terkesan padanya, dan berharap mengambil identitas Cinta akan menyuntikkan kekuatan yang tidak dimilikinya.

"Ezra sudah cerita sedikit tentang Cinta dan tujuan kamu berada di resor. Aku tahu orang tuamu khawatir karena kamu melakukan sesuatu di luar kebiasaanmu, tapi aku senang karena kamu memutuskan mengunjungi resor, karena kita tidak akan bertemu kalau kamu tidak ke sana."

Renjana juga senang telah melakukan petualangan itu dan bertemu Tanto. Perjalanan itu adalah pencapaian terbesarnya, mengingat betapa lemah dan penakutnya dirinya. Sekarang, saat melihat Tanto ada di sisinya seperti ini, Renjana merasa jika laki-laki itu adalah hadiah dari Cinta untuknya, karena secara tidak langsung, Cinta-lah yang mempertemukan mereka.

"Kamu nggak mau bilang senang bertemu dengan aku juga?" tanya Tanto saat Renjana diam saja.

Renjana tahu Tanto menggodanya, karena laki-laki itu pasti sudah paham apa yang dirasakannya. Renjana bahkan telah menciumnya. Memang hanya di pipi, tetapi itu tetap saja ciuman. Hal sepribadi itu sama saja dengan pernyataan perasaan tanpa kata-kata.

"Saya juga senang karena menggantikan Cinta kembali ke resor itu," ucap Renjana jujur tanpa menatap Tanto. Wajahnya pasti sudah semerah lampu lalu lintas.

"Dan senang karena bertemu denganku, kan?" goda Tanto lagi.

"Saya senang bertemu Mas Tanto," ulang Renjana patuh. Rasanya seperti anak TK yang sedang mengulang instruksi gurunya. Seandainya saja kemampuan berkomunikasinya tidak minus, percakapan ini akan berjalan dua arah dan menyenangkan. Sekarang Tanto mungkin saja sedang mempertanyakan keputusannya datang ke rumah ini. Pikiran itu membuat Renjana resah. Dia tidak mau Tanto menyesal mencarinya. "Sejak kapan Mas Tanto kenal sama Kak Ezra?" Renjana memberanikan diri memulai percakapan. Tanto tidak boleh menganggapnya membosankan. Tanto tidak boleh berlari keluar dari rumahnya dengan tekad tidak akan kembali lagi.

"Baru beberapa hari lalu. Aku dikenalkan oleh Yudis, anak Ibu Ayudia. Aku sudah mencoba mencarimu lewat media sosial, tapi nggak berhasil. Cinta yang ada di sana nggak ada yang sesuai dengan deskripsi kamu. Memang nggak cocok karena nama kamu ternyata bukan Cinta."

Pencarian itu mungkin akan berhasil kalau akun media sosial Cinta belum dihapus setelah kepergiaannya. Ezra menutup akun Cinta sebulan setelah Cinta dimakamkan supaya tidak perlu membalas berbagai pesan berisi tawaran pekerjaan atau kerja sama yang masuk di kotak pesan. Untuk memutus hubungan Cinta dengan dunia yang sudah ditinggalkannya. Ezra bilang, kenangan tentang Cinta biarlah menjadi milik keluarga saja.

"Jadi, mengapa kamu pergi tanpa pamit?" Tanto mengulang pertanyaan yang tadi belum dijawab Renjana.

Ada banyak alasan yang sayangnya tidak bisa diungkap Renjana semua sekarang. Mungkin egois, tapi dia bahagia melihat Tanto di sini. Di dekatnya. Kenyataan bahwa Tanto mencarinya karena laki-laki itu memiliki perasaan yang sama dengannya masih membuatnya takjub. Renjana tidak ingin merusak itu sekarang dengan penjelasan panjang yang emosional. Dia ingin menikmati ini.

Salahkah jika dia ingin merasakan punya hubungan yang normal seperti semua pasangan lain yang saling mencintai? Mungkin salah, karena hubungan yang baik seharusnya diawali dengan kejujuran. Tapi kejujuran akan membawa Tanto menjauh darinya. Tidak, jangan sekarang.

"Saya... saya memulai perkenalan dengan berbohong tentang identitas saya." Renjana mengepalkan tangan. Itu tidak melenceng dari kenyataan. Dia hanya tidak akan mengungkapkan semuanya sekarang. "Waktu itu saya kira kita nggak akan sering bertemu, apalagi sampai dekat. Kalau saya pamit, saya pasti akan memberikan nomor telepon atau alamat saya kalau Mas Tanto memintanya. Dan itu berarti saya harus menjelaskan bahwa saya sudah berbohong. Mas Tanto pasti akan tahu saya bukan Cinta seandainya kita bertemu lagi di Jakarta." Renjana menunduk. "Kenyataannya begitu, kan? Mas Tanto sekarang tahu kalau saya bukan Cinta."

"Hanya nama kamu yang berubah. Penampilan, sikap, dan karakter kamu tetap sama karena kamu nggak bisa memalsukan itu." Tanto meraih tangan Renjana dan menggenggamnya. "Tapi kalau kebohongan itu masih mengganggumu, kita bisa berkenalan ulang." Senyumnya mengembang. "Perkenalkan, namaku Pradhananda Subagyo. Biasanya dipanggil Tanto, tapi kamu bisa memanggilku dengan nama apa saja yang kamu sukai."

Renjana menatap tangannya yang terbungkus genggaman Tanto. Hangat, tegas, dan melindungi. Rasanya menenangkan dan menyenangkan. Sama persis seperti yang diingatnya ketika Tanto menggenggam tangannya saat mereka masih di resor. "Renjana," katanya nyaris berbisik. "Renjana Wiryawan."

**

"Suka kejutannya?" Ezra merangkul Renjana setelah mereka melepas Tanto pulang. "Makanya, jangan sok-sok nolak dulu. Jadi, udah langsung ditembak dong?" Dia mengangkat jempol. "Aku suka orang yang tahu apa yang dia mau dan gercep mendapatkannya. Ya, persis seperti dia. Approved."

Renjana menyikut perut Ezra. "Apaan sih, Kak!" katanya malu-malu.

"Sekarang aku sudah lega karena terlepas dari beban harus mengingatkan kamu seandainya kamu memilih orang yang salah. Katanya, cinta itu kan buta. Jadi bisa saja kamu ngamuk dan kita harus bertengkar kalau pilihanmu nggak sreg di mataku. Untung saja cintamu nggak buta karena Pradhananda Subagyo benar-benar pilihan bagus. Kamu memang harus mendapatkan seseorang yang dewasa, yang nggak egois lagi saat membuat keputusan."

"Rasanya dia terlalu sempurna untuk aku yang punya banyak kekurangan," keluh Renjana. Bahkan setelah mendengar apa yang dikatakan Tanto dalam pertemuan yang cukup lama tadi, tetap masih sulit memercayai kalau laki-laki itu benar-benar jatuh cinta padanya. Entah apa yang dilihat Tanto pada dirinya.

"Kekurangan kamu itu cuma satu. Kamu nggak percaya diri." Ezra mengusap kepala Renjana. "Jangan terlalu mengasihani diri sendiri karena menganggap dirimu tidak sesempurna orang lain. Kekuatan jantung bukan ukuran kesempurnaan orang. Kualitas orang tidak dinilai dari situ. Ubah sudut pandang kamu. Mulailah optimis. Aku yakin orang seperti Pradhananta itu lebih suka punya pacar yang percaya diri daripada yang minderan."

"Namanya Tanto," ralat Renjana.

"Aku lebih suka Pradhananta daripada Tanto. Kayak nama jadul banget," ejek Ezra sengaja memanas-manasi Renjana. "Kalau dengar Tanto, orang pasti pikir kalau namanya Sumanto, Sukanto, dan akhiran "to" lain yang lahirnya di era proklamasi."

"Tanto bagus kok," gerutu Renjana.

"Ye... yang baru punya pacar semangat banget belain pacarnya," goda Ezra lagi.

"Apaan sih! Sssttt...." Renjana memberi isyarat supaya Ezra diam saat melihat orang tua mereka yang tadi keluar untuk bermain golf sudah kembali.

"Ada apa?" tanya ibu mereka penasaran. "Kok kelihatan pada senang banget gitu?"

"Renjana sih yang lebih senang, Ma," jawab Ezra jail. "Tadi baru resmi punya pacar. Mama nggak mau bikin syukuran? Undang orkestranya Adi MS sekalian. Isyana minta nyanyi Mozart Opera Arias."

"Kak Ezra!" Renjana membelalak, tidak percaya diserang seperti itu. Biasanya Ezra sangat lembut padanya. Cinta-lah yang selalu mendapat sikap jailnya. Renjana terkadang iri dengan cara mereka berkomunikasi, tapi tidak pernah protes karena menganggap Ezra menilainya rapuh sehingga harus dijaga dengan baik secara fisik dan mental.

"Kenapa?" balas Ezra. "Kan bukan rahasia. Dia ngaku kok sama aku. Pacar kamu itu gentleman banget. Aku yakin dia pasti minta ketemu Mama dan Papa kalau ke sini lagi. Jadi Mama-Papa harus dikasih tahu duluan biar nggak kaget kalau ada yang datang ngapelin kamu."

Renjana tidak protes lagi. Dia tidak mau Ezra kembali memperlakukannya seperti porselin rapuh. Dia suka digoda seperti ini. Dia tidak mau Ezra kehilangan keceriaan dan kejailan karena tidak diasah setelah kepergian Cinta.

"Kok Mama nggak tahu Renjana dekat dengan seseorang, tiba-tiba udah punya pacar aja sih?" protes sang ibu.

"Ya, Mama nggak mungkin tahu. Mereka kan PDKT-nya waktu Renjana liburan. Pantas aja betah."

"Tapi kan Renjana udah hampir 3 bulan pulang. Kok nggak pernah datang ke sini sih?" Protes ibunya masih berlanjut.

Ezra mengacak rambut Renjana. "Ceritain sama Mama deh. Aku malas dengerin detail kisah cinta orang lain. Udah dapat ringkasannya dari Pradhananta. Aroma romance-nya cukup untuk bikin mual sebulan."

Renjana hanya bisa cemberut saat melihat Ezra terbahak-bahak, sementara orang tua mereka masih kebingungan.

**

Kalau pengin baca lebih cepet, bisa ke Karyakarsa ya. Yang di Watty ini jarang aku tengok, jadi update pas kebetulan inget aja. Tengkiuuu...

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top