Dua Puluh Tiga
Tanto mengerahkan tenaganya yang tersisa untuk mengejar Risyad, tapi sahabatnya itu terus melaju meninggalkannya dan akhirnya menyentuh pantai lebih dulu.
"Yang kemarin itu gue ngalah, bukan kalah. Gue salah strategi karena langsung jor-joran di awal, jadi agak kedodoran pas mau finish." Risyad tertawa kencang saat Tanto akhirnya berjongkok di sebelahnya. "Tunangan gue mantan atlet renang nasional, Bro, jadi gue harus rajin-rajin latihan biar nggak kalah melulu kalau balapan sama dia. Malu dong kalau laki-laki perkasa kayak gue harus kalau sama perempuan cantik, apalagi dia tunangan gue sendiri. Mau ditaruh di mana harkat dan martabat gue?"
"Gue memang butuh lebih banyak latihan kalau masih berani ngajak tunangan atlet renang nasional balapan." Tanto mengakui kekalahannya tanpa berdebat. Dia lantas meraih kausnya yang tadi dilempar begitu saja di atas pasir saat akan berenang. "Ngomong-ngomong, kapan lo mau nikah?"
Risyad terkekeh. "Kalau mau gue sih besok, tapi gue kan nggak nikah sama diri sendiri. Jadi gue tunggu aba-aba dari Kie dan nyokap gue. Perempuan kan lebih ribet urusan seremonial dan segala macam perintilannya. Kie emang santai, nyokap gue yang heboh. Semua butuh pemikiran dan pertimbangan. Belajar dari kawinan Tian, model undangan, menu, dan bentuk kue pengantin aja bisa dibahas berminggu-minggu sebelum diputusin. Kita yang laki-laki kan nggak ikut ngurusin hal kayak gitu. Kita kan bermodal kesiapan mental buat ngucapin ijab kabul aja. Berabe kalau harus diulang. Bisa jadi bahan bakar omelan Kie seumur hidup. Gue nggak mau anak gue tahu kalau ayah mereka mendadak blank dan lupa hafalan saat hubungan orang tua mereka diresmikan."
Tanto ikut tertawa. Dia meninju lengan atas Risyad. "I'm happy for you, Bro."
"Gue juga bahagia bisa ketemu Kie." Risyad balas memukul lengan Tanto. "Terima kasih udah sangat suportif. Nggak kayak si Rakha yang terus-terusan membujuk gue untuk meninjau keputusan gue menikah. Gue heran kenapa dia bisa segitunya menentang pernikahan padahal orang tuanya bahagia banget."
"Dia sebenarnya nggak menentang pernikahan. Dia hanya nggak mau menikah, jadi dia mencari orang yang akan menemaninya membusuk di panti jompo. Dan kandidat yang cocok itu ya elo. Dia tahu nggak mungkin menyeret gue untuk mengikuti jejaknya."
"Sialan!" maki Risyad. "Gue kan nggak sebejat dia!"
"Tapi lo kan nggak selurus dan se-family man kayak gue."
"Hallah... ngakunya family man, tapi belum nikah-nikah juga padahal udah uzur," ejek Risyad. "Kalau lo beneran family man, lo pasti sudah nikah duluan daripada si Yudis."
"Lo mengartikan kata family man terlalu sempit, Bro," Tanto membela diri. "Untuk jadi laki-laki yang sayang keluarga, lo nggak harus buru-buru nikah. Sebelum membentuk keluarga sendiri, sudah ada oarang tua gue, Bayu, dan anak-istrinya. Mereka juga keluarga gue, dan gue sayang banget sama mereka."
"Ngomong-ngomong soal membentuk keluarga sendiri itu, gimana prospek tetangga vila kita yang cantik itu?" goda Risyad. "Tadi malam, setelah entah sejak kapan, lo akhirnya makan malam berdua sama cewek, tanpa nawarin gue sama Rakha ikut gabung. Atau, itu sudah jadi rutinitas lo selama berada di sini ya?"
"Gue kan sekalian ngecek kondisi Cinta. Soalnya kemarin kesakitan banget. Lo lihat sendiri, kan?"
"Yang artinya lo peduli banget sama dia." Risyad kembali meninju lengan Tanto. "Tapi gue senang melihat lo kasmaran lagi. Jadi saat weekend, lo nggak perlu nongkrong sama Rakha sambil ceramahin dia supaya kembali ke jalan yang bener. Percuma. Yang ada, mulut lo udah berbusa, dia tetap bejat. Jadwal lunch dan dinner lo juga jadi lebih bervariasi. Nggak hanya makan dalam rangka bisnis sama klien saja, tapi juga bareng pujaan hati."
"Apa gue nggak kelihatan kayak gandeng ponakan gue kalau jalan sama Cinta?" Tanto tidak berusaha mengelak seperti sebelumnya. "Gue jadi ingat si Rakha yang ngatain gue cocok jadi sugar daddy-nya Cinta."
"Astaga, masih dibahas lagi. Laki-laki itu nggak menua, Bro. Kita jadi makin matang, bukan tua."
"Tadi lo bilang gue uzur!" gerutu Tanto.
"Maksud gue dengan uzur itu menyangkut umur yang dianggap lazim untuk nikah. Kita sudah melampaui batas itu, kan? Tapi secara fisik dan penampilan, kita prima." Risyad menyeringai lebar.
Mau tidak mau Tanto berdecak mendengar kata-kata Risyad yang narsistik. "Kiera nggak pernah mual dengerin kamu ngomong gini? Sombong banget!"
Risyad tergelak. "Sejak awal dia tahu kalau gue sombong. Itu salah satu daya tarik gue yang bikin dia jatuh cinta."
"Kalau Kiera denger lo ngomong gitu, gue yakin dia pasti langsung muntah-muntah."
Gelak Risyad makin menjadi. Keduanya beriringan menuju vila Tanto, tempat mereka menginap.
"Udah janjian sarapan sama Cinta?" tanya Risyad ketika mereka berada di depan vila Cinta. Tempat itu tertutup rapat. Kelihatannya si penghuni sedang menikmati menjadi putri tidur.
"Setelah mandi, baru gue jemput dia. Mau sarapan bareng?"
"Gue lagi malas jadi suporter lo. Usaha aja sendiri. Jomlo lama nggak bikin kemampuan merayu lo beneran hilang, kan?"
Tanto melempar tatapan sebalnya. "Lo sudah lupa kalo lo pernah bermohon dan berlutut di depan kaki gue, minta bantuan gue waktu lo mencoba PDKT sama Kiera? Peran gue dalam hubungan lo sangat besar. Jangan pura-pura amnesia!"
"Hei, gue nggak sehina itu!" elak Risyad.
"Lo emang hina banget waktu jatuh cinta sama Kiera. Tapi tenang saja, gua nggak butuh bantuan buaya kayak lo untuk PDKT sama perempuan. Gue bisa melakukan semuanya sendiri."
"Kalau perempuan itu Cinta, lo emang nggak butuh bantuan siapa pun. Kelihatan banget kalau dia suka sama lo. Dikasih senyum dikit aja dia sudah meleleh. Dia bikin gue teringat sama gebetan gue zaman masih SMP. Malu-malu meong. Cinta memang cocok sih sama lo yang nggak butuh tantangan."
Tanto membiarkan Risyad menggodanya. Dia juga melakukan hal sama ketika Risyad mengejar Kiera. Hidup itu memang seperti lingkaran yang terus berputar.
Setelah mandi dan berganti pakaian, Tanto menyeberang ke vila Cinta. Aneh, tirainya masih tertutup rapat. Biasanya Cinta membuka tirai pagi-pagi supaya cahaya masuk melalui dinding kaca.
Apakah Cinta sakit lagi? Kekhawatiran mendadak menghinggapi Tanto. Apalagi setelah ketukan dan bel tidak berhasil membuat Cinta keluar untuk membuka pintu.
Bodoh, Tanto memaki diri sendiri. Seharusnya dia meminta nomor telepon Cinta dari kemarin-kemarin, karena itu akan memudahkan komunikasi mereka. Tanto kembali menggedor pintu. Nihil.
Dia lalu menghubungi Renata. Mungkin saja dia tahu kondisi Cinta. Syukur-syukur kalau Cinta bersamanya ke perkampungan nelayan. Kelihatannya hubungan mereka beberapa hari ini meningkat drastis. Cinta tampak sangat mengagumi Renata.
"Cinta ikut kamu?" tanya Tanto tanpa basi-basi ketika panggilannnya diangkat Renata.
"Tidak," jawab Renata. "Aku keluar dari resor masih subuh banget, biar bisa dapat gambar bagus sebelum kabut hilang. Maksud kamu, Cinta nggak ada di vilanya? Mungkin sudah ke restoran."
"Kami sudah janjian mau sarapan bareng. Aku agak khawatir karena tirainya masih tertutup rapat. Nggak biasanya dia meninggalkan vila dalam keadaan seperti itu. Kamu punya nomor Cinta?"
Renata terdengar mendesah. "Jadi kamu belum punya nomornya? Astaga, gerakan kamu bahkan lebih lambat daripada siput. Coba cari ke restoran dulu. Mungkin dia lupa membuka tirai dan nggak nunggu kamu samperin karena sudah lapar banget."
Masuk akal. Tanto bergegas menuju restoran. Dia memilih lewat lobi dan mampir di resepsionis. Mungkin saja pegawai bagian depan resor itu melihat Cinta.
"Oh, tamu yang tinggal di sebelah vila Bapak sudah check out tengah malam tadi, Pak. Kebetulan saya sendiri yang melayaninya."
"Mbak pasti salah orang," kata Tanto yakin. "Coba periksa lagi."
Petugas itu dengan patuh membuka komputernya untuk mengecek. "Benar, Pak. Mbak di vila nomor 4, di sebelah vila Bapak sudah check out," kali ini dia memberikan informasi lebih lengkap dengan menyebut nomor vila yang ditempati Cinta.
"Namanya Cinta?" tanya Tanto lagi, masih tidak yakin. Cinta tidak mungkin pergi tiba-tiba tanpa memberi tahunya. Mereka sudah janjian untuk sarapan bersama.
"Reservasi dilakukan online atas nama Mery, Pak, bukan Cinta."
Tanto tidak mengejar. Dia teringat kalau Cinta kabur ke sini, jadi masuk akal jika dia tidak menggunakan namanya sendiri untuk reservasi. "Dia pakai mobil resor ke Baubau?" Mudah menemukan jejak Cinta di Baubau, apalagi kalau dia menggunakan mobil resor.
"Tidak, Pak. Orang yang menjemputnya membawa mobil sendiri."
"Dia dijemput?" Tanto mengernyit.
"Iya, Pak. Laki-laki yang menjemputnya yang melakukan proses check out. Mbak itu menunggu sambil duduk di sofa." Pegawai itu menunjuk salah satu dari beberapa set sofa yang ada di lobi resor.
"Terima kasih." Tanto bergegas masuk lift untuk menuju ruang kontrol keamanan. Petugas yang berjaga di ruangan itu spontan berdiri saat melihat Tanto masuk. Tampangnya awas. Bagian ini memang bukan tempat yang akan dikunjungi bos kalau tidak ada masalah.
Tengah malam, pikir Tanto. Seharusnya dia menanyakan jamnya secara spesifik untuk menghemat waktu, tapi Tanto enggan menghubungi resepsionis untuk mengonfirmasi hal itu lagi. Kesannya terlalu pribadi. "Tolong perlihatkan lobi mulai dari jam sebelas ya."
"Baik, Pak." Petugas keamanan itu duduk dan mengikuti perintah Tanto. Bersama-sama, mereka menyaksikan tayangan CCTV lobi yang dipercepat untuk menemukan bagian yang dicari Tanto.
"Berhenti!" kata Tanto. Dia melihat Cinta dan seorang laki-laki memasuki lobi. "Putar kembali dengan kecepatan normal."
Dalam tayangan itu tampak Cinta menuju sofa, sementara laki-laki yang menjemputnya langsung ke meja resepsionis. Laki-laki itu memakai topi sehingga wajahnya tidak terlalu jelas. Tapi dia terlalu muda untuk menjadi ayah Cinta. Mungkin itu kakaknya. Tanto tidak mau memikirkan kemungkinan lain.
Tanto terus mengawasi tayangan di layar dengan saksama. Ketika Cinta dan laki-laki itu sudah berada di luar lobi, Tanto beralih ke monitor yang lain. Seorang laki-laki di kursi sopir keluar dan membukakan pintu untuk Cinta. Kemudian mereka pergi.
Cinta ikut dengan sukarela. Tanto bisa membaca gesturnya. Dan itu mengganggunya. Kalau Cinta tahu dia akan dijemput dan harus pulang, kenapa dia tidak memberi tahu Tanto?
Tanto kemudian mengecek waktu kedatangan mobil yang menjemput Cinta. Ini keanehan yang lain. Waktu penjemputannya juga agak tidak masuk akal. Pesawat terakhir yang mendarat di Baubau biasanya tidak pernah melewati pukul 6 sore. Perjalanan dari bandara ke tempat ini paling lama satu setengah jam. Tidak mungkin bisa lebih dari itu kecuali kalau mobil itu rusak di jalan. Dan kenapa mereka harus meninggalkan hotel tengah malam? Pesawat pertama menuju Makassar untuk selanjutnya ke Jakarta baru akan terbang pada pukul setengah delapan pagi.
Ada apa sebenarnya?
**
Di Karyakarsa udah tamat ya. Bisa baca cepet di sana. Tengkiuuu....
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top