Dua Puluh Lima

Ketika hampir semua sahabatmu sudah memiliki pasangan, entah itu istri atau calon istri, intensitas pertemuan berkurang drastis. Itu yang dirasakan Tanto. Akhir pekan yang dulunya menjadi ajang kumpul-kumpul tanpa batas, nyaris tidak ada lagi. Pertemuan sering kali dijadwalkan mendadak, ketika waktu luang cocok. Itu pun biasanya tidak lama, dan tidak semua orang bisa datang karena di hari kerja, jadwal sudah tersusun rapi dan tidak bisa diubah seenaknya.

Bukannya Tanto mengeluh. Dia ikut senang ketika sahabat-sahabatnya bahagia. Dia paham jika siklus hidup memang seperti itu. Setelah mapan, seorang laki-laki akan fokus mencari pasangan yang akan menemaninya menghabiskan sisa usia. Alasan mengapa dirinya belum berada di posisi teman-temannya adalah karena dia belum seberuntung mereka dalam menemukan pasangan.

Bukan karena Tanto terlalu pemilih. Sama sekali tidak. Dia hanya bukan tipe yang gampang jatuh cinta, dan dia tidak impulsif sehingga tidak terjebak dalam hubungan coba-coba ketika bertemu dengan perempuan-perempuan yang memberinya sinyal minta digaet.

Tanto merasa kriterianya tidak sulit atau ketinggian. Dia hanya ingin pasangan dewasa yang bisa mengerti dirinya dan kesibukannya. Itu kriteria yang standar, kan? Ketertarikan, tentu saja ada di urutan teratas, karena bagaimanapun, pasangan itu adalah urusan hati. Sedewasa dan sepengertian apa pun seorang perempuan, kalau getarannya tidak ada, ya sama juga bohong. Bagaimana mau hidup bahagia tanpa cinta? Perasaan sayang, rindu, dan membutuhkan adalah hal yang harus ada dalam hubungan, karena itu adalah bahan bakar yang akan membuatnya bertahan untuk tetap menyala sampai maut memisahkan.

Idealnya seperti itu. Masalahnya, di dalam kehidupan nyata, kriteria dan ketertarikan ternyata bisa saja bersimpang jalan. Tanto baru saja mengalaminya. Beberapa bulan lalu dia bertemu dengan seseorang yang sangat jauh dari kriterianya. Perempuan itu sangat jauh dari sosok dewasa yang diinginkannya. Dia juga tidak mempunyai kepercayaan diri yang seharusnya dimiliki oleh perempuan dengan paras dan penampilan menarik. Dan anehnya, dengan dua minus gigantik itu, dia malah menarik perhatian Tanto. Ketertarikan besar yang sudah cukup lama tidak dirasakan Tanto pada lawan jenisnya.

Awalnya Tanto merasa itu adalah romansa liburan. Adalah hal yang lumrah ketika merasakan ketertarikan pada seseorang yang berada di tempat yang sama dan menghabiskan sebagian besar waktu berdua. Hukum alam seperti itu. Cinta yang tumbuh karena kebersamaan.

Jadi ketika mendapati perempuan itu pergi begitu saja tanpa berpamitan, Tanto merasa romansa itu berakhir bersama selesainya masa liburan. Perasaan tertariknya akan memudar, dan akhirnya hilang. Sama seperti kisah-kisah cintanya terdahulu. Apalagi umur kebersamaannya dengan perempuan itu sangat pendek. Juga tidak ada kata rayuan, umpan yang dilempar, atau pengakuan soal perasaan. Hubungan itu sangat kasual, mirip persahabatan yang singkat. Bedanya, ada rasa tertarik di sana. Tanto tertarik, dan tahu jika perempuan itu, Cinta, juga tertarik padanya. Hanya saja, mereka sama-sama menahan diri karena tahu jika hubungan yang dimulai di tempat liburan biasanya tidak bertahan di dunia nyata yang tekanannya berbeda. Tanto yakin begitu.

Kapan Tanto menyadari jika apa yang dirasakannya ternyata lebih daripada sekadar romansa liburan? Ketika dia sadar jika dia masih mengingat profil rapuh Cinta setelah kembali ke Jakarta. Mudah sekali membayangkan mata bulat, besar, dan jernih yang menatapnya malu-malu. Pipi yang gampang sekali bersemu merah. Cinta terlihat sangat polos untuk seorang perempuan yang mengaku sudah berumur 23 tahun.

Tanto sudah sering bertemu dengan perempuan yang lebih muda daripada Cinta, tetapi penampilan dan gayanya jauh lebih dewasa dari umurnya. Sikap mereka yang berani mencerminkan jika mereka sudah memiliki pengalaman dengan laki-laki. Alih-alih tersipu, tatapan mereka menggoda. Tanto menduga jika kepolosan Cinta itulah yang membuatnya tertarik, karena menumbuhkan perasaan ingin melindungi. Mungkin Renata benar saat mengatakan bahwa Tanto adalah tipe yang mengayomi. Buktinya tidak terbantahkan.

Setelah menerima bahwa apa yang dirasakannya lebih dalam daripada sekadar romansa liburan, Tanto berusaha mencari tahu keberadaan Cinta. Seharusnya tidak terlalu sulit, karena meskipun Jakarta luas, hanya sedikit orang yang memiliki pesawat pribadi, atau punya uang untuk menyewanya. Tanto tahu Cinta berada dalam salah satu golongan itu.

Saat mengetahui Cinta sudah meninggalkan resor, Risyad membujuk Tanto untuk menyusul ke bandara. Mungkin saja Cinta ikut dalam penerbangan kedua hari itu. Di bandara, mereka berhasil mendapatkan bocoran tentang jet pribadi yang hanya mendarat beberapa jam. Datang dengan satu orang penumpang laki-laki, di luar awak kabin, dan berangkat dengan tambahan seorang penumpang perempuan.

"Coba aja cari di IG," usul Risyad. "Hampir nggak ada penduduk Jakarta yang berusia di atas 20 tahun yang nggak punya IG. Apalagi Cinta pasti punya banyak hal yang bisa dipamerin."

Menurut Tanto, Cinta bukan tipe orang yang suka pamer. Dia bahkan nyaris tidak pernah bercerita tentang dirinya sendiri. Tetapi dia tidak mau membantah Risyad yang sudah sangat suportif. Toh Risyad tidak salah. Salah satu tujuan orang memiliki akun media sosial memang untuk mendokumentasikan kegiatan, penampilan, atau harta bendanya. Iya, kata lainnya tetap saja pamer.

Ada banyak nama Cinta yang muncul, tetapi tidak ada satu akun pun yang sesuai dengan deskripsi Cinta. Baik wajah, ataupun isi beranda.

Nada notifikasi membuat Tanto mengalihkan perhatian pada ponselnya. Undangan perayaan ulang tahun anak Yudis. Senyum Tanto terbit. Dasar bapak muda songong!

**

Tanto tiba berbarengan dengan Rakha. Di dalam sudah ada Risyad dan Dyas yang datang bersama pasangan mereka.

"Lo nggak salah ngundang kita di acara ulang tahun anak lo?" tanya Rakha pada Yudis yang menyambut mereka. "Jangan bilang kalau kita bakal disuguhin susu formula, karena gue nggak yakin bini lo mau membuka botol wine di acara ulang tahun anaknya. Dan lo nggak mungkin berani melawan titah sang Ratu. Martabat lo sejak nikah sudah berada di telapak kaki bini lo. Udah jadi rahasia umum kalau lo cemen di rumah."

Yudis hanya tertawa mendengar ejekan Rakha. "Anak gue kan belum punya teman. Komunikasi sama gue dan Kay aja masih pakai bahasa Tarzan. Kay sebenernya pengin ngerayain ulang tahun di panti aja. Tapi nyokap gue tetap ngotot pengin ada makan-makan di rumah, biar spesial. Supaya ada dokumentasi juga buat kenang-kenangan kalau anak gue udah gede. Tapi karena Kay nggak suka perayaan besar, yang diundang hanya keluarga yang beneran dekat. Termasuk kalian. Gue sengaja pisahin waktunya biar lebih nyaman."

"Rakha nggak akan nyaman datang di acara ulang tahun anak kecil," timpal Risyad. "Karena tahu dia nggak akan pernah bikin acara yang sama. Saat tua nanti, dia akan merayakan ulang tahunnya sendirian sambil nge-wine di panti jompo."

Dyas menepuk pundak Rakha yang duduk di sebelahnya. "Belum terlambat untuk kembali ke jalan yang benar, Bro. Pintu tobat memang selalu terbuka selama nyawa lo masih ada, tapi mendingan dilakukan sekarang, daripada nyesal beneran di panti jompo."

Rakha menepuk dada pongah. "Di antara kita semua, gue adalah satu-satunya orang yang nggak pernah menyesali keputusan yang pernah gue ambil. Lo tahu kenapa? Karena gue selalu membuat keputusan yang tepat." Dia menunjuk Yudis dan Dyas. "Berdasarkan riwayat kehidupan asmara lo berdua yang kacau, gue bakal jadi orang yang bego banget kalau sampai mau mengikuti nasihat lo."

Dhyas mengedikkan bahu. "Nasihat orang sudah belajar dari pengalaman adalah guru terbaik. Tapi kalau lo nggak terima, ya itu keputusan lo sendiri. Tapi jangan bilang gue nggak pernah ngingetin ya."

"Nasihat gue untuk Setan ini kalau dibukukan, serinya udah ngalahin Naruto," sela Tanto bosan. "Orang yang udah telanjur sesat dan nggak mau diselamatkan, ya dibiarin aja. Toh karmanya bukan kita yang dapat."

Rakha berdecak mencemooh. "Hari gini ngomongin karma. Tapi kalau karma itu beneran ada, hal buruk apa yang sudah lo lakukan di masa lalu sampai lo ditinggal kabur ABG yang belum sempat lo tembak? Padahal, di antara kita semua, lo dan Dhyas yang paling lurus. Tapi cobaannya tetap bikin sesak. Ditinggal pas lagi sayang-sayangnya itu nyebelin, kan? Apalagi belum sempat ditembak. Pasti penasaran banget."

Yudis tergelak. Dia menatap Tanto tidak percaya. "Lo naksir anak ABG? Yang bener aja. ABG kan bukan tipe lo banget."

"Lo belum lihat ABG-nya kayak apa sih." Rakha mengangkat kedua jempolnya. "Kalau jempol kaki gue bisa diangkat, gue angkat juga deh. Lima tahun mendatang, saat dadanya udah melewati proses pertumbuhan, dia bisa jadi perempuan paling seksi se-Indonesia."

Tanto mendesis sebal. "Dia bukan ABG! Sejak kapan umur 23 tahun masih dianggap ABG?"

"Lo beneran percaya dia berumur 23?" bantah Rakha penuh semangat. "Gue yakin dia pasti merekayasa umurnya. Orang yang kabur setelah lempar-lempar sinyal kalau dia suka sama lo itu sama sekali nggak bisa dipegang kata-katanya. Man, perempuan itu bagusnya digerayangi, bukan dipegang kata-katanya."

"Jangan salahkan gue jika lo dilempar Kay dari rumah ini kalau dia sampai dengar ocehan lo itu," omel Yudis.

"Setelah ini, Kie mungkin akan menyuruh gue berhenti nongkrong sama lo," sambung Risyad.

Rakha menoleh ke dinding kaca, ke arah ruang tengah tempat para perempuan ngobrol santai. Mereka memang duduk di teras samping, sengaja memisahkan diri supaya suara mereka tidak mengganggu tuan putri, empunya hajatan yang sedang terlelap di pangkuan Kayana, istri Yudis. "Inilah alasan gue nggak mau punya hubungan eksklusif," katanya merendahkan suara. "Karena nggak mau hidup gue diatur dan dikendalikan perempuan."

"Gue nggak merasa dikendalikan," elak Yudis. "Gue merasa bahagia. Gue belum pernah sebahagia ini. Entah gimana hidup gue tanpa istri dan anak gue." Dia menoleh pada Tanto. "Gue jadi penasaran sama gebetan lo itu."

"Nanti juga lo dikenalin setelah Tanto berhasil nemuin orangnya," Risyad ikut dalam percakapan itu. "Ada baiknya kalau kita bantuin biar tugas Tanto lebih mudah. Juga sebelum Cinta kehilangan koneksi dengan perasaannya selama liburan, dan akhirnya menemukan orang lain. Ngalamin cinta yang layu sebelum berkembang di umur segini itu kan nggak banget."

"Gimana mau bantuin nyari kalau nggak tahu orangnya seperti apa?" gerutu Dyas. "Eh, ada foto atau video? Pasti ada dong. Kan liburan bareng."

Semua orang sontak menoleh pada Tanto. Yang ditatap mengangkat tangan lalu mengeluarkan ponsel. Ada beberapa foto Cinta dan dirinya yang sengaja diambil Renata saat mereka ke Buton Tengah. Iparnya mengirimkan foto-foto itu setelah disunting. Ponsel itu lalu berpindah tangan kepada Dyas yang melihat sebentar sebelum menyerahkannya pada Yudis.

"Gue kenal dia." Yudis menggerakkan jarinya di atas layar ponsel untuk memperbesar gambar. "Iya, nggak salah lagi. Gue malah baru ketemu dia dua minggu lalu saat jemput nyokap gue di rumah sakit."

"No way!" seru Risyad takjub. Dia menepuk punggung Tanto. "Kalu sudah jodoh memang nggak ke mana."

Tanto juga terkejut. Dia sudah menghabiskan waktu mengubek-ubek media sosial, tanpa hasil. Padahal Yudis ternyata mengenal Cinta. Kalau tahu bakal seperti ini, sejak awal dia sudah terbuka dan meminta bantuan teman-temannya. "Lo yakin nggak salah orang?"

"Kalau nggak percaya, lo bisa tanya Kay dan nyokap gue di dalam. Nyokap gue lebih kenal dia sih karena temenan sama ibunya. Gue lebih kenal sama kakaknya. Gue yakin lo semua juga tahu dia." Yudis mengernyit. "Eh, tapi namanya bukan Cinta sih. Kecuali kalau yang kalian temui di resor itu hantu. Cinta sudah meninggal."

"Tunggu dulu!" potong Rakha bingung. "Dia bukan Cinta, gue bisa mengerti itu. Berarti dia memang sengaja memalsukan namanya. Yang bikin gue bingung itu adalah lo menyebut kalau Cinta yang asli sudah meninggal. Jadi apa hubungan Cinta palsu ini dengan Cinta yang asli itu?"

"Cinta yang asli itu adalah kembarannya. Yang ini namanya Renjana. Nyokap gue juga baru tahu perihal meninggalnya Cinta itu waktu di rumah sakit. Sepertinya memang ditutup dari media. Dia meninggal di Alaska saat sedang traveling. Dia sedang merintis karir sebagai fotografer."

Semua kepingan puzzle yang selama ini hilang dan menjadi pertanyaan Tanto dan Renata lantas jatuh di tempat seharusnya. Tanto langsung mengerti. Perempuan yang dia temui, Renjana telah menggunakan identitas Cinta sebagai dirinya, tanpa memperhitungkan pertemuan dengan orang yang mengenal Cinta dan menyadari perbedaan karakter mereka.

"Siapa kakaknya?" tanya Tanto cepat. Kalau Yudis yakin mereka semua tahu kakak Cinta, maksudnya Renjana, pasti akan lebih mudah menemukannya.

"Ezra Wiryawan," jawab Yudis mantap. "Gebetan lo itu namanya Renjana Wiryawan. Anak emas Batara Wiryawan."

"Batara Wiryawan yang itu?" Rakha bersiul.

"Iya, Batara Wiryawan yang itu," jawab Yudis.

Tanto tidak terlalu peduli siapa orang tua Renjana. Dia senang karena bisa menemukannya. Pencarian dan rasa penasarannya sudah berakhir. Sekarang hanya perlu mencari cara untuk bertemu dengannya, tapi itu tidak akan sesulit mencarinya.

**

Di Karyakarsa udah tamat ya. Bisa melipir ke sana kalau mau baca cepet....

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top