Dua Puluh Empat
"Mbak Avi, makalah yang sudah aku print itu di mana ya?" Renjana membuka laci-laci mejanya karena permukaan meja yang semalam berantakan saat dia mengerjakan tugas sudah dirapikan Mbak Avi.
"Sudah aku jilid dan dimasukin dalam tote bag, Mbak. Laptop dan bindernya juga udah masuk. Semuanya sudah di mobil. Mbak Renjana sarapan dulu, baru kita ke kampus. Bapak sama Ibu sudah di meja makan."
Renjana mendesah. Sejak dia kembali dari petualangannya dua bulan lalu, sarapan bersama yang sudah lama tidak wajib dilakukan karena jadwal setiap orang berbeda-beda, sekarang dihidupkan lagi. Di akhir pekan, Ezra juga datang untuk melengkapi formasi keluarga mereka.
Renjana tahu jika orang tuanya bermaksud baik. Mereka ingin Renjana merasa diperhatikan, tetapi rasanya terlalu berlebihan. Ibunya yang aktif mengurangi sebagian besar kegiatannya supaya bisa lebih sering bersamanya. Jadwal ke salon dan klinik kecantikan yang biasanya berbeda, sekarang disamakan.
Mbak Avi dan Mbak Fisa, asisten ibunya yang dulu jarang bertemu sekarang sudah menjadi sahabat akrab saking seringnya jalan bersama. Mbak Fisa bahkan sering bergurau kalau sudah 2 bulan ini dia makan gaji buta karena lebih sering nonton film di laptopnya ketimbang mengurusi kegiatan Ibu Restu Wiryawan yang menjadi bosnya.
Saat kembali ke rumah, Renjana menjelaskan alasan kepergiannya. Dia bahkan menunjukkan jurnal Cinta. Perjalanan itu adalah sesuatu yang personal, hadiah terakhirnya untuk Cinta. Waktu itu kedua orang tuanya dan Ezra tampak mengerti, tapi pengawasan untuk Renjana tetap meningkat. Padahal Renjana sudah mengatakan bahwa dia tidak akan melakukan hal seperti itu lagi. Dia tidak akan pergi berlibur ke mana pun seorang diri. Petualangan tidak akan menjadi gaya hidupnya karena dia tidak seaktif dan sekuat Cinta. Dia juga tidak memiliki kemampuan berbaur, padahal beradaptasi terhadap orang dan lingkungan baru adalah skill dasar yang harus dikuasai oleh seorang penjelajah. Ternyata pengertian itu tetap dibarengi dengan kontrol maksimal. Saat Renjana hanya bersama Mbak Avi, ibunya atau Mbak Fisa akan menghubungi secara berkala untuk memantau keberadaan mereka.
Seperti kata Mbak Avi, ayah dan ibunya sudah duduk sambil ngobrol di meja makan saat Renjana turun. Piring mereka masih kosong, yang artinya mereka menunggu Renjana.
"Mau makan apa, Sayang?" tanya ibunya begitu Renjana duduk.
"Sandwich aja, Ma. Hari ini aku ada kuliah pagi. Kalau sarapan berat takut malah ngantuk." Renjana menyesap jus yang sudah disiapkan untuknya. Dia sudah kembali ke rutinitas di mana semuanya serba dilayani.
Mbak Avi melongo dengan mata terbelalak lebar saat Renjana mengatakan sudah tahu cara membuat spageti. Dapur adalah bagian dari rumah yang nyaris tidak pernah dikunjungi Renjana. Apa pun yang ingin dimakannya, Renjana hanya perlu menunggu di meja makan atau di kamarnya.
"Iya, Avi bilang kamu kuliah sampai jam 12. Setelah makan siang, kalian langsung ke rumah sakit ya. Jadwal kontrol ke dr. Hadi."
Renjana mengangguk patuh. Dia tidak akan melupakan jadwal itu karena seminggu ini ibunya sudah mengingatkan sampai 3 kali, dan Mbak Avi terus mengulang informasi itu seolah Renjana sudah memasuki periode pikun.
"Kita akan ketemu di sana. Jangan sampai terlambat. Jadwal dr. Hadi padat banget."
"Iya, Ma." Didampingi ibunya dalam setiap kontrol ke dokter adalah hal yang wajib. Renjana tidak pernah memasuki ruang periksa tanpa ibunya. Biasanya, ibunya malah sudah lebih dulu sampai di rumah sakit sebelum Renjana yang biasanya start dari sekolah tiba.
"Hanya pemeriksaan rutin untuk memastikan kondisi kamu baik-baik saja," lanjut ibunya. Tangannya menyentuh jari Renjana. "Kamu beneran nggak melakukan aktivitas berat selama liburan, kan?"
Renjana menggeleng. Tubuhnya sudah menyerah sebelum dia menaklukkan bukit kecil. "Aku pasti baik-baik saja," katanya untuk membesarkan hati ibunya. Renjana tidak mau ibunya sedih dan menangis lagi seperti saat menyambutnya pulang 2 bulan lalu. Malam itu, ibunya ikut tidur di kamar Renjana, memeluknya sepanjang malam.
"Mama minta maaf karena tidak melahirkan kamu sesempurna Cinta," bisik ibunya malam itu. "Setiap kali melihat Cinta yang bebas melakukan apa pun yang dia inginkan, Mama selalu merasa bersalah. Kamu pasti terkekang dengan banyaknya batasan yang akhirnya harus Mama tetapkan untukmu sejak kecil. Tapi Mama melakukannya karena sangat menyayangi kamu."
Renjana percaya itu. Dia tahu kalau dia diistimewakan oleh semua anggota keluarganya. Hanya saja, kadang-kadang, seperti kata ibunya, semua perhatian itu memang terasa membatasi kebebasannya. Menjadikan dirinya selalu tergantung pada orang lain. Tidak mandiri. Kekurangan kepercayaan diri.
Ingatan itu menimbulkan rasa haru. Renjana tidak ingin menitikkan air mata di pagi hari seperti ini. Dia buru-buru menghabiskan rotinya lalu mencium tangan kedua orang tuanya sebelum meninggalkan ruang makan.
Di dalam mobil, Renjana menyumpal telinga uuntuk mendengarkan lagu-lagu dari iPod yang sebenarnya tidak terlalu dia nikmati. Dia menopang dagu sambil mengawasi lalu lintas yang padat. Kecekatan Mbak Avi menyelip di antara iring-iringan kendaraan itu mengingatkan Renjana bahwa dia juga tidak bisa menyetir. Dengan siapa pun dia keluar, Renjana selalu menjadi penumpang.
"Padat banget," gerutuan Mbak Avi membuyarkan lamunan Renjana. "Kirain bisa lolos setelah lampu merah yang tadi. Eh, sekarang malah kena lampu merah lagi di tempat yang sama."
"Kita kan nggak buru-buru, Mbak," kata Renjana. Mereka tadi berangkat lebih awal karena Renjana buru-buru menghabiskan makanan untuk memutus percakapan dengan ibunya.
"Iya sih, tapi nggak lolos dari antrean setelah 2 kali lampu merah rasanya konyol aja."
Renjana tersenyum. Mbak Avi teramat sangat sabar menghadapi dirinya, tapi bisa ngomel tidak jelas karena terjebak lampu merah. Renjana lalu melarikan pandangan pada jendela. Pengemudi mobil yang berada persis di sebelah mereka sedang menurunkan kaca jendela. Terlihat kibasan tangannya seperti sedang mengusir sesuatu. Mungkin nyamuk atau lalat, pikir Renjana. Mbak Avi kadang-kadang juga ngomel kalau tiba-tiba saja ada nyamuk di dalam mobil, padahal dia merasa tidak pernah membiarkan jendela mobil terbuka lama.
Tubuh orang itu lantas condong ke arah kemudi sehingga Renjana bisa melihat wajahnya. Astaga! Renjana spontan merunduk, padahal tahu kaca mobilnya cukup gelap untuk bisa dilihat dari luar. Jantungnya berdebar kencang sehingga dia merasa perlu memegang dada kirinya.
"Kenapa, Mbak?" tanya Avi khawatir. Dia rupaanya menyadari gerakan Renjana yang spontan. "Mbak Renjana sakit?"
"Ti... tidak." Renjana mengangkat kepala untuk mengintip, tetapi mobil tadi sudah berlalu, digantikan mobil lain. Warna lampu sudah berubah, dan mereka sekarang diklakson kendaraan di belakang mereka karena masih berhenti. "Aku... aku baik-baik saja. Mbak Avi jalan saja." Renjana menegakkan tubuhnya dan kembali ke posisi normal. Tapi tangannya masih bergetar.
Ketika meninggalkan resor malam itu, Renjana sudah tahu jika itu adalah akhir kebersamaannya dengan Tanto. Semua yang terjadi di tempat itu sudah menjelma kenangan yang akan diingatnya entah sampai kapan. Mungkin seumur hidup.
Rencananya seperti itu. Tetapi ternyata Renjana tidak bisa langsung rela dan memutus ikatan itu. Rasanya ada yang kurang. Dia memang bisa membayangkan wajah Tanto dengan mudah, tetapi pasti jauh lebih gampang melakukannya kalau dia punya bukti bahwa Tanto benar-benar nyata, bukan sosok imajinatif yang sengaja diciptakannya untuk menghibur diri. Dan Renjana lalu mencari nama Tanto di Instagram. Nihil, padahal Renjana sudah menghabiskan banyak waktu untuk melakukannya. Semua nama yang ada "Tanto-nya" tidak terlihat seperti akun yang akan dimiliki oleh Tanto yang dicari Renjana. Tanto pastilah nama panggilan sehingga laki-laki itu tidak menggunakannya di media sosial. Renjana menyesal tidak menanyakan nama lengkapnya. Dia toh bisa menanyakannya kepada Bu Helga atau Renata, kalau sungkan bertanya langsung.
Jadi Tanto sudah kembali ke Jakarta jug, batin Renjana. Dia tidak mungkin salah lihat. Renjana yakin jika pengemudi mobil tadi adalah Tanto. Meskipun kejadian tadi tidak bisa disebut pertemuan karena Tanto tidak melihatnya, Renjana cukup terguncang. Perasaannya bercampur aduk. Dia tidak tahu mana yang lebih dominan antara antusias atau malah cemas.
Renjana tidak bisa membohongi diri kalau dalam hati terdalam, yang coba ditekannya, ada harapan untuk bertemu Tanto. Meskipun alam sadarnya mengatakan itu bukan ide bagus. Pertemuan hanya akan merusak kenangan yang sudah diciptakannya dengan sempurna. Di sini, di Jakata, di dunia nyata yang sangat berbeda dengan suasana resor, seorang Tanto tidak akan memperhatikannya. Atau, anggaplah Tanto juga tertarik. Apakah Renjana akan tega menyeretnya dalam hidupnya yang penuh keterbatasan? Tentu saja tidak. Tanto berhak mendapatkan seseorang yang lebih baik.
Renjana tidak mengikuti kuliah dengan baik. Pikirannya mengembara ke mana-mana. Tiba-tiba saja kuliah hari itu sudah selesai. Saatnya untuk mengunjungi restoran langganan yang hanya menyajikan makanan sehat dalam menu mereka. Seperti halnya saat berada di kampus, di restoran, Renjana tidak benar-benar menikmati makanannya. Isi piringnya habis sebelum dia menyadarinya. Dia bergerak seperti robot saat Mbak Avi memintanya kembali ke mobil supaya tidak terlambat sampai di rumah sakit.
Di depan ruang runggu dr. Hadi, Renjana melihat ibunya sedang ngobrol dengan seorang perempuan sebayanya.
"Eh, itu Renjana datang!" seru ibunya.
Renjana berusaha mengingat-ingat di mana dia pernah bertemu dengan teman ngobrol ibunya, tetapi tidak bisa menemukan wajah itu dalam memorinya. Dia lalu memaksakan senyum saat perempuan setengah baya itu memeluk dan mencium kedua belah pipinya.
"Sudah lama banget Tante nggak lihat kamu. Tahu-tahu sudah besar dan cantik banget kayak gini. Kalau berpapasan di jalan, Tante pasti nggak ngenalin kamu."
Renjana menatap ibunya bingung.
"Kamu sudah lupa sama Tante ya?" tanya Ibu itu saat melihat ekspresi Renjana. "Dulu kita kan sering ketemu saat Tante nganterin Yudis ikut lomba Tamiya dan kalian, kamu dan Cinta juga datang untuk nemenin Ezra. Ingat?"
Bahkan kata-kata itu tidak bisa membangkitkan ingatan Renjana.
Ibu Renjana tertawa. "Dia sudah nggak ingat, Bu. Waktu itu Renjana dan Cinta masih play group."
Ibu itu ikut tertawa. "Memang masih terlalu kecil untuk mengenali orang-orang yang mengajaknya bicara sih. Saya saja kaget banget waktu Yudis memperkenalkan Ezra versi dewasa beberapa tahun lalu saat perayaan ulang tahun kantor ayahnya. Kebetulan waktu itu mereka sedang ada proyek bersama."
Renjana bersyukur karena pintu ruang periksa yang bersebelahan dengan ruangan dr. Hadi terbuka, dan Ibu itu pamitan untuk masuk setelah dipersilakan perawat. Renjana tidak terlalu nyaman bersama orang baru. Terutama yang sangat ramah, karena dia tidak tahu bagaimana cara membalas kehangatan itu. Yang ada, sikap kikuknya malah keluar.
"Tante Ayudia pernah menjalani transplatasi hati," kata ibunya ketika melihat pandangan Renjana terus terarah pada pintu ruang dokter yang sudah tertutup. "Dia juga penyintas kanker. Dia beneran hebat."
"Mama kelihatannya akrab banget sama Tante itu." Renjana tidak ingat wajah itu berada dalam lingkaran teman dekat ibunya.
"Yayasan kita dan yayasan Tante Ayudia sering terlibat kegiatan yang sama. Cuma beberapa tahun ini dia fokus sama pengobatan, jadi kami memang nggak terlalu sering ketemu lagi."
Renjana tidak bertanya lagi. Ibunya memiliki yayasan yang bergerak di bidang sosial, jadi pasti mengenal banyak orang. Dan jika ibu tadi memiliki yayasan juga, itu artinya mereka memang berada dalam lingkaran pergaulan yang sama.
Setelah selesai menjalani pemeriksaan rutinnya, Renjana dan ibunya kembali bertemu dengan Tante Ayudia yang sedang menunggu pintu lift terbuka. Mereka turun berbarengan. Renjana diam saja menyaksikan ibunya kembali berbasa-basi. Ternyata mereka parkir di basement yang sama.
Renjana sudah hendak masuk dalam mobilnya setelah berpamitan pada Tante Ayudia ketika perempuan itu menahan lengannya. "Kenalan dulu sama Yudis dan Kayana, istrinya. Itu mereka datang. Biar nggak hanya ibu-ibu kalian saja yang nggak putus tali silaturahmi, kalian juga tetap saling kenal."
Renjana yakin kemungkinan besar untuk bertemu anak dan menantu Tante Ayudia di luar rumah sakit ini sangat kecil, tapi dia tidak menolak. Toh dia hanya perlu tersenyum sebentar dan bersalaman. Tidak akan sampai dua menit.
**
Yang belum main ke Karyakarsa, bisa ke sana untuk baca versi tamat lebih cepet ya. Tengkiuuu untuk semua support-nya ya! Lopyuol, Gengs....
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top