Delapan Belas

Setelah sering bersama Tanto, suara laki-laki itu semakin familier. Sekarang Renjana bisa segera mengenali tawanya yang lepas saat mendengarnya. Tanto terasa seperti ujung magnet yang berbeda kutub dengannya karena Renjana tidak bisa menahan diri untuk menoleh ke sumber suara itu.

Hanya sekejap. Renjana lantas memalingkan wajah. Tanto duduk santai bersama dua orang laki-laki lain. Salah seorang di antaranya sama-sama tidak memakai kaus. Laki-laki bertelanjang dada memang pemandangan yang biasa di pantai. Banyak laki-laki yang melakukannya. Pantai adalah tempat yang lazim bagi mereka untuk melepas pakaian di depan umum tanpa harus merasa melanggar norma kesopanan. Tujuan mereka melepas pakaian bisa supaya lebih leluasa bergerak, atau sekadar memamerkan hasil olahraga yang dilakukan secara teratur. Kotak-kotak di perut bukan bawaan lahir. Orang harus bekerja keras untuk mendapatkannya. Yang aneh itu adalah Renjana tersipu padahal dia hanya melihat sekilas.

Hari ini Renjana belum bertemu Tanto. Perjalanan ke Buton Tengah kemarin cukup menguras energinya, jadi dia memutuskan beristirahat lebih lama daripada biasanya. Pukul 10, barulah Renjana keluar dari vilanya untuk sarapan. Lebih tepatnya, brunch. Sudah terlalu siang untuk disebut sarapan.

Di restoran itu, Renjana sempat bertemu dengan Bu Helga, dan beliau memberitahu jika Tanto sedang pergi ke bandara untuk menjemput teman-temannya yang datang untuk liburan. Sepertinya tempat ini adalah tempat liburan favorit bagi keluarga dan kolega Tanto.

Renjana memilih menjauhi meja Tanto. Dia tidak pernah berinteraksi dengan laki-laki dewasa yang bertelanjang dada, dan tidak akan memulainya sekarang. Apalagi jika orang itu adalah Tanto. Renjana khawatir akan merasa sangat gugup dan salah tingkah di depan laki-laki itu.

Sekarang, Renjana baru menyadari jika dirinya memang kurang bersosialisasi. Tentu saja dia tahu jika lingkungan pergaulannya terbatas karena dia cenderung pendiam, tetapi dia tidak merasa sifatnya itu akan memberinya masalah. Kini, di tempat ini, saat berada sendiri, Renjana baru paham jika kemampuan berinteraksi dengan orang lain adalah hal yang sangat penting. Bahwa manusia adalah makhluk sosial yang tidak bisa hidup sendiri. Ternyata, di waktu-waktu tertentu, bacaan dan tontonan saja tidak cukup untuk menghabiskan waktu.

Renjana terus berjalan menjauhi Tanto dan teman-temannya. Dia menuju dermaga, salah satu tempat favoritnya untuk menghabiskan waktu menjelang malam seperti ini.

Ada beberapa tamu yang juga memilih dermaga sebagai tempat nongkrong sambil menungggu malam tiba, tetapi Renjana tetap bisa mendapatkan tempat favoritnya di ujung dermaga. Yang menyenangkan di tempat ini adalah semua pengunjung saling menghargai karena mereka yang datang bersama pasangan mengobrol dengan suara rendah, nyaris berbisik sehingga tidak saling mengganggu. Semua orang sepertinya sepakat membiarkan keheningan hanya dirobek oleh suara alun gelombang yang mistis.

Ketika malam akhirnya jatuh dan lampu-lampu di sepanjang dermaga telah mengambil alih tugas matahari sebagai sumber cahaya, pengunjung dermaga itu mulai mengundurkan diri hingga akhirnya Renjana tinggal sendiri. Tidak seperti di awal-awal kedatangannya, dia tidak khawatir tentang keamanan lagi. Dia yakin tidak akan ada orang jahat yang datang untuk mengganggunya. Ada banyak CCTV di resor ini. Beberapa orang satpam juga berjaga di berbagai sudut. Penjahat yang hendak melakukan aksinya di tempat ini pasti akan berpikir dua kali. Kesempatan untuk berhasil sangat kecil.

Renjana memejamkan mata dan menarik napas dalam-dalam. Saat matanya tertutup seperti ini, indranya yang lain menjadi lebih sensitif. Bukan hanya alun gelombang, debur ombar yang pecah di pasir juga dapat ditangkapnya. Aroma laut yang khas terhidu jelas. Kulit lengannya yang tidak tertutup terasa dingin diembus angin. Sepertinya, ini pertama kalinya indra yang dimilikinya bekerja maksimal di saat yang bersamaan. Renjana mempertahankan posisi itu cukup lama.

Sebuah kesadaran lamat-lamat merayapi benaknya. Mungkin selama ini dia salah menjalani hidupnya. Mungkin seharusnya dia tidak pasrah pada kondisi kesehatannya. Sudah terlalu lama dia percaya jika dirinya tidak berdaya. Dia lahir untuk menjadi beban keluarga. Walaupun semua orang mengatakan jika dirinya penting, Renjana tidak benar-benar memercayai itu. Dia menganggap itu hanyalah kata-kata hiburan.

Mungkin ini adalah saat yang tepat bagi Renjana untuk mengubah persepsi tentang dirinya sendiri. Dirinya penting. Dia harus percaya itu. Dia bisa menemukan cara untuk membuat dirinya berguna. Pasti ada sesuatu yang bisa dilakukannya. Bukankah dokter mengatakan jika kondisinya akan baik-baik saja selama dia menjalani kegiatan sesuai limitnya? Dan dia tahu batas itu.

"Kalau kamu sedang meditasi, lanjutkan saja. Jangan biarkan saya mengganggumu."

Renjana spontan membuka mata. Dia terlalu larut pikirannya sehingga tidak mendengar langkah kaki yang mendekatinya. Tanto duduk di dekatnya dengan santai. Syukurlah penampilannya sudah berbeda dengan tadi sore saat Renjana melihatnya. Tubuhnya sudah terbungkus oleh kaus.

"Saya... saya nggak sedang meditasi kok, Mas." Renjana buru-buru menurunkan kedua kaki yang tadi diangkat dan dilipat dalam posisi bersila di atas tempat duduknya. Posisi yang dianggapnya nyaman.

"Tadi saya lihat vila kamu gelap, jadi saya menyusul ke sini, tempat favorit kamu. Lain kali, nyalain lampu, seenggaknya lampu teras kalau kamu berniat berada di luar sampai malam."

"Ooh... tadinya saya nggak berniat keluar sampai malam sih, Mas." Hari ini Renjana menghabiskan banyak waktu untuk beristirahat. Selain karena kelelahan akibat perjalanan ke Buton Tengah kemarin, juga karena tadi siang dia mendapat tamu bulanan. Punggungnya terasa pegal. Dia hanya keluar vila untuk brunch. Baru tadi sore dia berjalan-jalan menyusuri pantai sambil menunggu waktu makan malam.

"Kamu belum pernah cerita alasan kamu datang berlibur di tempat yang terpencil seperti ini seorang diri."

Alasannya terlalu personal, dan kalau Renjana menceritakannya, dia juga harus membongkar kebohongannya sendiri. Renjana tidak tinggal lebih lama hanya untuk merusak suasana nyaman yang didapatnya dari Tanto. Kenangan manis yang direncanakannya akan buyar kalau dia jujur sekarang. Renjana berusaha memikirkan alasan yang masuk akal, tapi tidak berhasil menemukannya dengan cepat.

"Mungkin kamu perlu waktu untuk paham bahwa patah hati adalah sesuatu yang alami," ujar Tanto lagi tanpa menunggu pertanyaannya dijawab. "Hampir semua orang pernah mengalaminya. Tapi percaya deh, sakitnya nggak akan selama yang kamu pikirkan. Apalagi kamu masih sangat muda. Kamu mungkin masih akan patah hati beberapa kali lagi sebelum bertemu orang yang ditakdirkan untuk kamu."

Renjana melongo menatap Tanto. Apa yang laki-laki itu bicarakan?

"Kamu nggak sedang patah hati?" tanya Tanto setelah mengerti ekspresi lawan bicaranya. "Saya pernah melihat kamu nangis di sini. Kelihatannya waktu itu kamu sedih banget. Jadi aku pikir kamu sedang patah hati. Apalagi yang bisa membuat cewek seumuran kamu bisa sesenggukan kalau bukan putus cinta?"

Kehilangan saudara kembar yang juga belahan jiwa pasti lebih menyedihkan daripada sekadar putus cinta. Sayangnya Renjana tidak bisa menjawab seperti itu. "Saya nggak sedang patah hati dan bukan itu yang bikin saya menangis."

"Ah...." Tanto mengangguk paham. "Kalau begitu, kamu pasti sedang punya masalah dengan orang tuamu, dan kamu berada di sini dalam rangka kabur?"

Mata Renjana kian membelalak. Tanto salah kalau dia ada masalah dengan orang tuanya, tetapi dia bisa menebak dengan tepat kalau Renjana kabur dari rumah. "Dari mana Mas tahu kalau saya kabur?"

"Kalau bukan pacar yang bikin kamu nangis, ya tersangkanya pasti orang tuamu. Tapi sebesar apa pun masalahnya, kabur bukan penyelesaian. Semua perbedaan pendapat bisa didiskusikan. Bayangkan bagaimana perasaan orang tuamu saat ini. Mereka pasti sangat khawatir padamu. Ini pertama kalinya kamu bepergian sendiri, kan?"

Renjana mengangguk. Ternyata dia sangat terbaca. Bahasa tubuhnya pasti menggambarkan hal itu dengan jelas.

"Dan kamu memilih tempat yang nggak terpikirkan oleh tuamu untuk kamu datangi?"

Renjana lagi-lagi mengangguk. Dia sudah kehilangan keberanian untuk menatap Tanto.

"Lebih baik telepon orang tuamu untuk ngabarin keadaan kamu. Kalau kamu belum mau pulang, setidaknya mereka tahu kamu baik-baik saja. Bikin orang tua khawatir itu dosa lho."

Renjana diam saja. Apa yang dikatakan Tanto memang adalah solusi paling baik kalau masalahnya adalah pertikaian dengan orang tua. Tapi karena bukan itu alasan Renjana melakukan perjalanan ini, dia tidak mungkin mengabari orang rumah tentang keberadaannya, karena Renjana yakin, hanya butuh waktu beberapa jam bagi orang tuanya dan Ezra untuk sampai ke tempat ini dan menjemputnya pulang. Dan waktu bersama Tanto akan segera berakhir. Belum saatnya.

"Sudut pandang orang tua dan anak sering kali berbeda, tapi saya yakin hampir semua orang tua menginginkan yang terbaik untuk anak-anaknya. Saya sudah pernah cerita tentang perbedaan pendapat dengan ayah saya, tapi akhirnya kami bisa mengatasinya. Memang saya yang mengalah, tetapi saya tidak menyesali keputusan saya. Kalaupun saya mengikuti passion menjadi fotografer, belum tentu saya bisa sesukses Rena. Bisa jadi, untuk makan saja susah."

Renjana tidak percaya itu. Tanto terlihat seperti orang yang bisa melakukan apa pun dengan baik.

"Baiklah, saya akan menghubungi orang tua saya," jawab Renjana hanya untuk mengakhiri percakapan tentang orang tuanya. Dia tidak mau Tanto berakhir menanyakan siapa nama orang tua dan pekerjaannya. Renjana tidak mau menambah daftar kebohongannya. Dan dia tidak mungkin jujur juga. Tanto mengakui kalau dia pengusaha dan sepertinya usahanya sudah mapan. Pengusaha yang mapan jelas mengenal orang tua Renjana.

**

Di Karyakarsa udah tamat ya. Boleh ke sana kalau pengin baca lebih cepet. Cuman berbayar sih....

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top