Part 7 - The painful first kiss
Udah nggak tahu harus ngomong apaan di lapak sebelah 😩
Pantes aja aku dapetin notif ampe seribuan lebih di email dengan subject komenan di The Controller 😩
Kalo semalam babang kasih kado taon baru berupa prolognya Darren.
Ini aku kasih sih Nayla aja...
Apa? Minta uncle Brant?
Kasih gak yah?
🌷🌷🌷🌷🌷🌷🌷🌷
“Pokoknya aku nggak mau tetep disini, Dad”, ucap Nayla sambil mengangkat sebuah pancake yang baru saja dibuatnya dan menaruhnya ke piring. “Aku mau pindah”
Dengan ponsel yang dijepit diantara telinga dan bahunya, Nayla menelepon ayahnya untuk bernegosiasi.
“Jangan banyak protes, sayang. Dad hanya ingin kamu belajar mandiri dan tahu bagaimana susahnya mencari penghasilan”, ujar Wayne, ayahnya dari sebrang sana.
“Aku ngerti banget kalo Dad kepengen aku banyak belajar dan mandiri tapi nggak kayak gini caranya. Nggak dengan membiarkan aku tinggal sama dua cowok aneh itu”, desis Nayla sambil menuangkan satu sendok adonan ke dalam panci datarnya untuk kembali membuat pancake.
“Jadi maunya kamu itu apa?”, balas Wayne dengan suara jenuh.
“Aku mau tinggal diluar! Di hotel, di apartemen atau dimanapun! Pokoknya nggak disini!”, sahut Nayla dengan nada tidak mau tahu.
“Nggak bisa. Tinggal sendirian di negeri orang nggak akan pernah Dad penuhi! Disitu bahaya”, ucap Wayne tegas.
“Lebih bahaya lagi tinggal sama mereka, Dad! Ah, Dad itu nggak paham sih apa rasanya jadi aku disini dengan stucked sama dua cecunguk itu”, desis Nayla tajam.
“Kalaupun mereka macam-macam, senggaknya Dad tahu siapa bajingan yang nyelakain kamu. Kalau kamu tinggal sendirian, Dad akan kesusahan cari orangnya”, balas Wayne kalem.
“Bullshit! Udahlah, Dad! Nggak usah sok innocent dengan jadi bokap yang nggak ngerti apa-apaan. Jaman aku masih kecil dulu aja, Dad dan para bokap masang alat-alat pelacak buat mantau kita dari jauh. Lagian, aku tuh sekarang udah jadi cewek jagoan! Udah bisa mukul orang, nendang orang, bahkan tembak orang. Emangnya ada yang bakalan berani sama aku?”, celetuk Nayla sambil membalikkan pancake yang ada diatas pancinya sambil mendengus kesal.
“Tetap nggak bisa jadi jaminan kalau kamu bakalan aman. Pokoknya kamu tetap tinggal di mansion keluarga Kim”, ucap Wayne dengan suaranya yang penuh kendali.
“Dad!”
“Take it or leave it. Your choice”, balas Wayne mantap.
“Aku nggak mau”, sahut Nayla langsung.
“Kalau gitu Dad nggak akan kirimin uang jajan sepeserpun dan...”
“Daddy!!! Jangan tega gitu sama anak ceweknya gini dong! Uang jajan aja udah dibatesin, sekarang pake acara nggak mau kirimin! Sedih aku tuh!”, sela Nayla sambil mengerang kesal.
Dia memindahkan posisi ponselnya pada telinga yang lain dan menjepitnya lagi dengan bahu lalu mengangkat pancake yang sudah jadi. Kemudian dia mengulang untuk membuat pancake lagi seperti tadi.
“Ya udah, ikutin aja apa kata daddy. Kapan lagi masih bisa denger perintah daddy dan kamu bisa minta ini itu sama daddy? Kamu kan udah bukan anak kecil dan harus jadi cewek keren kayak mommy”, ujar Wayne dengan lugas.
“Soal jadi keren mah udah, Dad! Cuma Dad aja yang belum keren dengan jadi bokap paling tega sama anak ceweknya”, sahut Nayla dengan sindiran pedas.
Wayne terdiam sejenak lalu berujar. “Kalau kamu masih niat jadi anak yang suka nyahutin orangtua, kamu nggak usah jadi keturunan Setiawan lagi”.
“Fine! Aku akan cari ayah baptis aku yang paling bisa manjain aku”, balas Nayla tidak mau kalah.
“Maksud kamu sih Appa Ian? Ckckck sorry not sorry, baby girl. Daddy udah kasih ultimatum untuk semua sahabat daddy kalau jangan pernah menerima panggilan kamu selama enam bulan ini, dengan kata lain nomor ponsel kamu udah di diblocked sama mereka”, sahut Wayne santai.
“What? Daddyyyyy....”, rengek Nayla frustrasi.
“Jangan merengek lagi, Dad harus sarapan karena Mom udah nungguin. Kamu juga harusnya bersiap-siap untuk bekerja karena disana sudah jam delapan!”, ujar Wayne tegas.
“Tapi Dad... Hallo? Hallo...? HALLOOOO?!”, seru Nayla gemas sambil meraih ponselnya dan menatap layarnya yang menunjukkan bahwa komunikasi itu sudah diputuskan oleh ayahnya.
Grrrrrr... daddy keterlaluan, rutuk Nayla dalam hati. Dia mendengus sambil menaruh pancakenya dengan kasar diatas piringnya dan alisnya berkerut ketika melihat piring yang harusnya sudah ada lima buah pancake tapi kenapa hanya tinggal satu buah yang barusan saja ditaruhnya?
Spontan dia menoleh kearah suara dentingan pisau dan garpu di ruang makan dan matanya melebar kaget ketika dia melihat kedua pria sialan itu sedang asik mengunyah. Grrrr....
Nayla segera berjalan menuju ke meja makan dan melihat betapa brengseknya kedua pria itu yang tega memakan pancake buatannya dengan masing-masing mengambil dua buah pancake dengan bacon dan omelette. Haissshhhh!
“Siapa yang menyuruh kalian menikmati sarapanku?”, pekik Nayla kesal.
Baik Percy dan Shin mengangkat wajahnya lalu menoleh kearahnya dengan wajah tanpa berdosanya yang membuat Nayla semakin mendengus.
“Tadi aku sudah bilang kalau aku mau pancakenya”, jawab Shin kalem.
“Aku tidak mendengar pertanyaan sialanmu itu”, balas Nayla geram.
“Karena kau masih asik menelepon dengan bahasa anehmu itu”, sahut Shin cuek.
“Hey!!! Aku menelepon bukan berarti kau bisa main ambil seenaknya makananku!”, seru Nayla yang semakin berang.
“Lagipula kau kan membuat banyak, sayang. Mana mungkin kau bisa habis? Apalagi omelette, bacon dan orange juice yang ada dimeja terkesan seperti kau membuatkannya untuk kami juga”, ujar Percy dengan mulut penuh.
“Porsi makanku memang banyak dan aku tidak membutuhkan simpati palsumu untuk menghabiskan makananku”, sahut Nayla ketus.
“Kalau begitu mulai dari sekarang, kau harus diet. Kurangi porsi makanmu karena sudah ada dua orang pria yang akan mengambil jatah makanmu”, tukas Percy sambil memberikan seringaiannya yang menyebalkan.
Nayla mengambil duduk di kursi utama sambil melotot galak kearah Percy. “Aku tidak mau kalau kalian selalu bersikap brengsek seperti ini! Harusnya kalian membuat sarapan kalian sendiri”.
“Diantara kita hanya kau yang sebagai perempuan disini, yeodongsaeng. Terimalah takdirmu dengan membuatkan makanan untuk kami mulai dari sekarang karena kita tidak mendapat juru masak di mansion ini, hanya cleaning service saja yang membantu kita”, ucap Shin sambil asik memotong pancakenya lalu melahapnya.
Mata Nayla melebar kaget dan kini tatapannya sepenuhnya kearah Shin dengan ekspresi menuntut penjelasan. “A...apa? Jadi tidak ada koki yang akan memasak untuk kita?”.
Shin mengangguk sebagai jawaban dan Percy hanya terkekeh geli.
“Masakanmu lumayan. Cukup enak dan aku suka. Perlu kau ketahui kalau aku tidak pilih-pilih makanan. Kau menaruh racun pun akan kumakan asal aku tidak kelaparan”, ucap Percy dengan ceria.
Nayla menoleh kearah Percy dengan sinis. “Siapa yang bilang kalau aku bersedia untuk memasak disini?”.
“Memangnya kau mau kalau kita pergi keluar makan terus?”, balas Percy dengan alis berkerut.
Nayla terdiam. Apa yang ditanyakan Percy membuatnya bungkam karena jika dia harus keluar untuk mencari makan, itu artinya uang jajannya akan habis untuk makan saja dan dia tidak mau menjadi gembel di negeri orang.
“Bukankah disini banyak street food yang menjual banyak jajanan?”, tanya Nayla sambil menoleh kearah Shin yang ternyata sedang menatapnya sambil bertopang dagu.
“Makanan pinggiran tidak sehat dan aku tidak mau bertanggung jawab jika kau sakit atau semacamnya kepada para orangtua dan para kakak yang menyebalkan itu”, jawab Shin santai.
“Dan bagaimana aku harus memasak? Aku juga harus bekerja! Ya Lord... cobaan apalagi ini???”, keluh Nayla sambil mengacak-acak rambutnya dengan frustrasi.
Kedua pria itu hanya berckckck ria sambil bersandar dengan santai karena sudah menyelesaikan sarapan mereka sedangkan Nayla belum. Mendapati kenyataan seperti ini saja sudah membuat Nayla cukup kenyang alias tidak ada nafsu makan. Rasanya dia harus mencari kakaknya untuk membuat perhitungan, dia curiga kalau semua yang menimpanya kali ini sudah direncanakan. Ugh!
“Aku dan Shin akan berbelanja di swalayan untuk bahan masakan, kami akan patungan jadi kau tidak usah keluar uang untuk makanan dan cukup memasak saja”, tukas Percy kemudian yang membuat Nayla langsung mengangkat wajahnya dan menatap pria itu dengan tatapan curiga.
“Aku tidak percaya kalau kau akan berbaik hati seperti itu, apalagi kau itu bokek! Dan dia juga!”, cetus Nayla judes lalu menunjuk kasar kearah Shin.
“Betul apa yang dikatakan Percy”, tambah Shin dengan santai. “Kami yang berbelanja dan kau yang memasak tapi dengan satu syarat”.
Shit!
“Jika kami sudah membeli bahan masakan dan kau tidak memasak atau tidak keburu untuk memasak maka kau harus menanggung semua tagihan makan malam jika kita makan diluar”, timpal Percy sambil menyeringai.
“Apa?”, pekik Nayla kaget.
“Dan juga bahan masakan yang sudah kami beli harus kau masak dengan tiga macam menu yang berbeda. Kau tidak bisa meminta bahan apa yang harus kami beli karena kami akan membeli sesuai budget yang kami punya”, tambah Shin lagi.
Baiklah! Kini Nayla sudah benar-benar tidak memiliki minat untuk menikmati sarapan lagi selain mendengus kasar sambil beranjak dari duduknya. Seandainya saja dia memiliki pisau atau pistolnya saat ini, sudah pasti dia akan membunuh kedua pria sialan itu lalu memutilasi mereka. Dia sudah sangat rela untuk dihukum seumur hidup asal keduanya bisa dihabisi olehnya.
Dia tahu kalau kedua pria itu ingin membalasnya dan mengerjainya karena Nayla sudah lebih dulu mengerjai mereka kemarin dengan bertingkah seperti wanita gila dan mempermalukan mereka di depan umum. Tapi tetap Nayla tidak akan mau diam saja diperlakukan seperti ini oleh mereka.
“Kau mau kemana, Nayla?”, tanya Percy dengan alis berkerut dan ikut beranjak dari kursinya.
Shin masih duduk di meja makan dan meneguk kopinya dengan santai. Percy mengikutinya di belakang ketika Nayla hendak menaiki anak tangga.
“Pergi dan jangan mengekoriku!”, tegur Nayla dengan alis terangkat tinggi-tinggi saat Percy masih mengekorinya di belakang.
“Kau kan harus makan. Masih ada pancake dan omelette, juga bacon. Sayang sekali jika tidak dihabiskan”, ujar Percy sambil menunjuk asal ke meja makan.
Nayla menggertakkan giginya dan menatap Percy dengan masam. “Mendadak aku tidak lapar”.
“Kau tidak lapar?”, tanya Percy heran.
Nayla mengangguk. “Karena kau dan Shin sudah membuatku kesal”.
“Benarkah kau tidak lapar?”, tanya Percy lagi.
Alis Nayla berkerut. “Benar. Kenapa memangnya? Tidak usah memaksaku untuk makan!”.
Mata Percy melebar dan senyumannya melebar. Dia terlihat senang dan Nayla bisa mendengar kekehan geli dari Shin di ruang makan.
“Baguslah kalau begitu! Kebetulan aku masih lapar dan aku bisa menghabiskan apa yang ada di meja dengan Shin. Terima kasih, cantik”, ucap Percy sambil bertepuk tangan lalu berlari kecil kearah meja makan untuk melanjutkan ritual makannya.
Nayla hanya bisa melongo dengan mulut terbuka ketika Percy dan Shin yang kini kembali asik mengunyah lalu mengobrol ringan seolah tidak terjadi apa-apa barusan. Dia benar-benar tidak percaya ada pria yang bersikap begitu brengsek dan dalam hatinya dia meringis memikirkan nasib wanita yang akan menjadi pasangan mereka.
Nayla pun kembali melanjutkan langkahnya dengan menaiki tangga untuk menuju ke kamarnya dan segera bersiap-siap untuk bekerja. Dia lebih baik pergi berangkat lebih awal ketimbang harus bersirobok dengan kedua pria itu.
Setengah jam kemudian, dia sudah memakai terusan sederhananya untuk bekerja dan segera keluar dari kamarnya. Ketika dia keluar kamar, disitu bertepatan dengan Shin yang baru saja ingin masuk ke kamarnya yang ada di sebrangnya.
Pria itu menoleh kearahnya dengan kedua tangan yang dimasukkan ke dalam saku jogger pantsnya dan menatapnya dengan tatapan menilai.
“Kau mau kemana?”, tanyanya heran.
“Bekerja”, jawab Nayla dingin.
Shin hanya tertawa pelan. “Kelihatannya kau bersemangat sekali untuk bekerja tapi perlu kuingatkan kalau hari ini tidak ada jadwal pertemuan apapun karena konstruksi baru dilangsungkan dan tidak membutuhkan kehadiran kita di kantor”.
“Aku tahu. Tapi aku masih ada pekerjaan lain yang harus kuselesaikan dan bermaksud untuk kekantor saja”, balas Nayla datar.
“Maksudnya kau ingin menghindari kami?”, sahut Shin blak-blakan.
“Ah, kau cukup tahu diri rupanya”, tukas Nayla dengan nada mencibir.
Shin memberikan senyum setengahnya sambil mengangkat bahunya dengan santai. “Selamat bekerja kalau begitu dan hati-hati”.
Nayla hanya melengos saja dan pergi meninggalkan pria itu tanpa menoleh lagi ke belakang. Dia segera menuju ke lobby mansion dan alisnya berkerut karena tidak mendapati mobilnya ataupun Russell disitu. Ada yang aneh, pikirnya.
Nayla pun segera menelepon Russell dan telepon itu diangkat pada dering pertama.
“Yes, Miss”, jawab Russell kemudian.
“Dimana kau? Seharusnya kau sudah berada di...”
“Maaf kalau aku tidak memberitahukan kepergianku semalam karena sir Noel memang tidak menghendakiku untuk mengatakannya padamu. Aku sudah berada di Jakarta dan sedang bersama dengan sir Noel”, sela Russell dengan tenang.
“What the heck! Apa-apaan lagi ini? Bukankah harusnya kau mendampingiku disini untuk melindungiku?”, seru Nayla kaget.
“Sir Noel bilang kalau kau sudah tidak membutuhkan perlindunganku. Dia memintaku untuk menjaga Mrs. Vanessha karena beliau lebih membutuhkan perlindunganku”, sahut Russell.
“Aku disini bersama dengan dua orang pria gila! Lagipula kakak iparku adalah istrinya dan kenapa malah kau yang disuruh untuk menjaganya?!”, tukas Nayla dengan berang.
“Maaf, Miss. Aku hanya mendengarkan perintah sir Noel dan bukan kau. Jika kau mau protes, silahkan saja dengan dia. Bukan aku”, balas Russell dengan nada masam.
“Mana orangnya? Aku yakin kau sedang bersamanya dan...”
“Sir Noel bilang dia tidak mau berbicara denganmu dan menyuruhku untuk menutup telepon ini...”
“Tunggu dulu! Jadi, dimana mobilku?”, sela Nayla cepat dengan nafas yang memburu kesal.
“Ada di garasi”.
Jawaban singkat Russell itu menjadi ucapan terakhir orang brengsek itu karena telepon langsung dimatikan. Damn! Apa maksud Noel padanya sekarang? Rencana apa yang sedang dilakukan kakak sialannya itu dengan menjebaknya dalam situasi seperti ini?
Nayla menghela nafas ketika merasakan perutnya mendadak bergemuruh lapar. Inilah akibatnya kalau pagi-pagi dia sudah emosi dan menyetir dalam keadaan kesal bukanlah hal baik untuk dilakukannya. Dengan sangat terpaksa, Nayla kembali masuk ke dalam mansion dan bisa melihat kedua pria itu turun dari anak tangga dengan penampilan seperti akan pergi.
“Lho, kau tidak jadi pergi bekerja?”, tanya Shin dengan alis terangkat.
“Memangnya hari ini ada jadwal untuk bekerja?”, tanya Percy balik.
Nayla hanya mendengus dan mengabaikan pertanyaan mereka dengan terus melewati mereka dan menaiki anak tangga. Percuma saja. Dia tahu kalau kedua pria itu hanya berlagak tidak tahu soal apa yang akan dihadapinya hari ini.
Begitu dia masuk ke dalam kamarnya dan menguncinya, disitu dia menjatuhkan dirinya ke ranjang lalu menenggelamkan kepalanya kepada bantal untuk menangis terisak disitu. Dia menangis bukan karena sedih tapi marah. Sangat marah.
Jika ayah dan kakaknya berniat untuk menyembuhkan phobianya, tidak begini caranya. Tidak dengan harus tinggal bersama dua pria yang dihindarinya sekaligus dan bertatap muka dengan mereka setiap harinya sampai beberapa bulan ke depan.
Dia pun tidak ingin menghindari kaum pria karena phobianya yang konyol. Mau bagaimana lagi? Setiap kali berhadapan dengan pria, setiap kali itulah dia mencurigai mereka dan tidak bisa percaya pada mereka sedikitpun. Baginya, semua pria adalah bajingan. Tidak ada ketulusan didalamnya dan hanya memakai wanita sebagai pemuas mereka.
Belum lagi jika ada pria-pria posesif dengan segala aturannya yang harus didengar dan tidak mau dibantah, yang membatasi gerakan wanitanya dengan dalih agar tidak ada yang menyakiti mereka. Heck! Apakah tidak ada alasan yang lebih konyol untuk menutupi keegoisan mereka dalam hal hukum karma? Karena banyaknya dosa yang mereka perbuat dengan menyakiti wanita sebelumnya, mereka takut ketika cinta sejatinya itu akan mengkhianatinya atau takut diambil orang.
Setelah Nayla puas meluapkan kemarahannya dengan menangis, disitu dia beranjak dari posisi telungkupnya untuk duduk di tepi ranjangnya sambil berpikir sejenak. Dia lapar. Dan sudah saatnya dia harus mencari makanan lalu...
Tok...tok...tok...
Pintu kamarnya terdengar diketuk dan Nayla mendengus kesal. Siapa lagi kalau bukan kedua pria menyebalkan itu? Sambil mengusap kedua pipinya yang basah, Nayla berjalan menuju kearah pintu dan membukanya lalu....
Sebuah paper bag cokelat berlogo coffee shop terkenal langsung terarah padanya menghalangi wajah sih pemberi. Disitu Nayla memiringkan wajahnya untuk melihat wajah Percy yang sedang tersenyum padanya. Ish!
“Aku sedang tidak berminat untuk bercanda. Pergilah”, ujar Nayla dengan nada masam.
“Maafkan aku, okay? Jika tadi aku sudah keterlaluan padamu dan menyakitimu, aku minta maaf. Tadi kau belum sarapan, disini ada espresso dan chocolate muffin. Makanlah”, tukas Percy dengan mimik wajah serius lalu menaruh paper bag coklat ke kenop pintu kamarnya.
“Maaf, aku takut kalau aku menarik tanganmu untuk menerima kantong ini maka nanti kau akan alergi. Aku sedang tidak sakit dan aku menolak dianggap sebagai sumber penyakit jadi.. makanlah. Aku mau pergi gym dulu”, ucap Percy lagi dengan hangat sambil tersenyum.
Nayla mengerjap dan menunduk untuk melihat paper bag yang ada di kenop pintu kamarnya. Dia menghela nafas dan berusaha untuk berpikir positif saja dengan menerima niat baik Percy kali ini karena kelihatannya dia tidak sedang bercanda.
“Terima kasih”, ucap Nayla kemudian lalu mengangkat wajahnya kembali untuk menatap Percy yang masih tersenyum.
“Sama-sama”, balas Percy. “Aku pergi dulu dan akan berbelanja ke swalayan setelahnya”.
Nayla mengangguk saja dan Percy pergi berlalu meninggalkannya. Dia segera meraih paper bag dari kenop pintunya dan menutup pintu itu. Sebenarnya dia bukan pecinta kopi, apalagi muffin. Dia lebih memilih teh dan cupcake. Tapi karena dia lapar, kenapa tidak dia nikmati? Toh perutnya memang lapar.
Tapi belum sempat dia menikmati muffin itu, pintu kamarnya kembali diketuk. Nayla memutar bola matanya dan kembali harus merasa kesal karena sudah sangat terganggu dengan hal ini. Jika Percy kembali untuk mengerjainya, demi apapun Nayla akan menendang perutnya keras-keras.
Dia membuka pintu kamar itu dan sekarang ada Shin yang sudah berdiri di hadapannya dengan sebuah nampan yang... Omo, omo! Apakah itu adalah samgyetang yang mengepul dalam mangkuk sup beserta kimchi sebagai pelengkapnya?
Nayla menatap kaget kearah Shin dimana pria itu masih menatapnya dengan ekspresi biasa saja. Ish!
“Bisakah kau minggir? Nampan ini cukup berat”, ujar Shin pelan.
Nayla langsung bergeser untuk membiarkan Shin masuk ke dalam kamarnya. Seperti anak kecil yang kelaparan, Nayla langsung mengekori Shin yang sedang menaruh nampan berisi makanan menggiurkan itu diatas meja kaca dalam kamarnya.
“Disini ada samgyetang dan garlic rice. Ahjumma yang membersihkan mansion ini yang menyiapkan makanan ini untukku di kulkas supaya setiap kali aku lapar, aku tinggal memanaskannya”, ujar Shin menjelaskan.
“Terima kasih”, ucap Nayla tanpa melihat kearah Shin karena dia sudah sibuk menghirup aroma samgyetang, sup ayam favoritnya jika dia berada di Korea.
Shin melihatnya dengan tatapan menilai lalu menghela nafas saja, dia menegakkan tubuhnya ketika Nayla sudah mulai meraih sumpit untuk segera menikmati makanan yang dibawakannya.
“Ngomong-ngomong, kenapa kau tahu kalau aku suka dengan makanan Korea seperti ini?”, tanya Nayla sambil menyeruput kuah sup itu dan mendesah lega.
“Samchon pernah bilang kalau kau harus menikmati makanan berat setiap kali sarapan”, jawab Shin seadanya.
Nayla mendongak dan menatap Shin takjub. “Appa Ian memberitahukan hal itu padamu? Wahhh... dia benar-benar ayah baptisku yang paling pengertian. Berbeda dengan ayahku yang super tega”.
Shin hanya mengangkat bahunya dengan acuh. “Kalau begitu makan saja. Aku ada janji dengan seseorang dan jangan melakukan tindakan konyol selama aku tidak ada disini”.
“Siap, komandan”, sahut Nayla sambil membungkuk hormat padanya dan kembali menunduk untuk menikmati sarapannya.
Baru saja dia ingin mencapit kimchi yang menggiurkan itu, gerakannya terhenti ketika ada sesuatu yang mendarat di kepalanya.
Cup!
Nayla merasakan tubuhnya menegang dengan tatapan kosong selama sepersekian detik menerima kecupan pada pucuk kepalanya. Dia melirik kearah Shin yang sedang menyeringai geli padanya.
“Itu adalah ucapan terima kasihku untuk kau yang sudah membuatkan sarapan enak seperti tadi. Sekaligus aku penasaran apakah kau akan mengalami alergi yang lebih parah jika sebuah kecupan benar-benar mendarat pada kulitmu? Jika ya, aku senang kalau ternyata aku bisa melihat wajah anehmu seperti semalam”, ucap Shin geli lalu melenggang pergi keluar kamar dengan santai.
Shit!
Nayla masih belum bergerak dari posisinya sambil meletakkan sumpit yang ada di tangannya. Dia menarik nafas dengan dalam lalu menghembuskannya dengan keras. Kulit kepalanya mulai gatal sehingga dia harus menggaruk kepalanya dengan... wait! Bukan itu! Bukan itu yang mengganggu Nayla saat ini karena ada hal yang semakin mengusiknya selain ruam-ruam yang akan muncul dalam waktu beberapa menit.
Dia merasakan nafasnya semakin memberat dengan degup jantung yang memburu cepat dan bertalu-talu dalam ritme yang berantakan. Ini adalah respon pertamanya yang paling berbeda dari sebelumnya.
Oh please...
Ketika kesadarannya mulai kembali, disitu Nayla mengambil langkah cepat untuk beranjak dari duduknya dan keluar dari kamarnya untuk mengejar Shin yang sedang berjalan menuju ke anak tangga.
Tanpa berkata apa-apa, Nayla berlari mengejar Shin dimana pria itu terlihat berbalik untuk menoleh kearahnya dan disitu semuanya terjadi.
Nayla dengan seluruh amarahnya, melayangkan pukulan telak pada pipi Shin lalu berbalik untuk membelakangi Shin sambil memelintir satu tangan pria itu dan menarik tubuh jangkung Shin sampai terpelanting ke depannya.
Pria itu mengerang kesakitan sambil mengumpat kasar lalu meringkuk seolah menahan rasa sakitnya. Dia pun berguling ke samping untuk segera bangun dan menatap Nayla dengan sorot mata penuh amarah.
“Aku sudah memberikanmu peringatan agar jangan pernah macam-macam denganku apalagi sampai menciumku lagi! Jika kau masih mencuri kesempatan seperti tadi, aku bersumpah kalau aku akan..."
Ucapan Nayla terhenti ketika Shin membalas untuk menyerangnya dengan menubrukkan tubuhnya dengan tubuh besarnya sampai mereka terjatuh ke lantai. Kepala Nayla tidak sampai terantuk lantai karena tangan Shin menopangnya dan dengan cepat, pria itu menangkap kedua tangan Nayla yang hendak memukulnya lalu mencengkeramnya dalam satu kepalan erat diatas kepala Nayla. Kedua kaki Nayla pun sudah dijepit kuat dengan kedua kaki panjang Shin.
Pria itu menatap Nayla dengan berang dan sorot matanya penuh dengan ancaman.
“Aku belum bilang satu hal padamu. Jika ada yang berani menginjak harga diriku sebagai seorang pria, maka aku tidak akan membiarkan orang itu sampai aku memastikannya sendiri kalau dia sudah menderita. Dengan begini, aku tidak akan sungkan untuk membuatmu jera karena sudah berani melakukan penghinaan seperti tadi padaku!”, desis Shin geram.
Kemudian, Shin memiringkan wajahnya dan mencium bibir Nayla dengan kasar. Shin melumatnya, menghisapnya lalu menggigit bibir bawahnya sampai berdarah.
Saat ciuman itu terjadi, Nayla tidak sanggup untuk memberontak ataupun bergeming. Seluruh otot sendinya terasa ngilu dan tubuhnya terasa lemas tak berdaya. Degup jantungnya yang memburu semakin cepat dalam ritme yang semakin tidak beraturan. Nafasnya memberat dan dadanya terasa sesak hingga kepalanya pening seolah berputar.
Shin bahkan tidak mempedulikan reaksi diam Nayla dan terus menciumnya dengan cara yang paling kasar. Ciuman pertamanya direnggut begitu saja dan Nayla sudah memantapkan hatinya untuk membenci pria itu seumur hidupnya.
Shin melepas ciuman itu seolah memberikan Nayla waktu untuk bernafas dan itu memberikan sedikit kelegaan baginya. Tapi kelegaan itu tidak berlangsung lama karena Shin kembali menciumnya. Kali ini lebih lembut, bahkan sangat lembut dari sebelumnya.
Shin menghisap pelan bibir bawahnya yang berdarah, menjilati bagian bibirnya yang terluka lalu kembali menyesapnya dengan penuh perhatian. Nayla pun tidak sadar mengeluarkan suara desahan yang begitu pelan sampai membuka mulutnya dan... dia tersentak ketika lidah Shin meluncur ke dalam rongga mulutnya dengan mulus. Shit!
Mata Nayla berkaca-kaca dan airmata mengalir begitu saja ketika mendapat perlakuan tidak pantas dari Shin padanya. Tubuhnya sudah gemetar dan memanas. Dia sudah tidak sanggup untuk menahan gejolak familiar yang sudah menjalar di sekujur tubuhnya.
“WHAT THE FUCK ARE YOU GUYS DOING?!”, teriak Percy tiba-tiba dari arah belakang dan ciuman itu pun terhenti.
Nayla masih terbaring diatas lantai ketika Shin ditarik paksa oleh Percy dan terdengar seperti kedua pria itu berargumen. Dia mencoba untuk mengatasi dentuman hebat yang terjadi pada dadanya dengan sengatan panas yang sudah menyebar di sekujur tubuhnya. Disitu dia tidak lagi bisa menahan reaksi tubuhnya selain memejamkan matanya dan tidak sadarkan diri.
🌷🌷🌷🌷🌷🌷🌷🌷
Part ini aku tulis kemarin saat lagi bengong karena sudah lelah dengan ulah sih kecil 😳
Rasanya pengen ngebanting sesuatu tapi aku lampiaskan pada Nayla untuk nyeleding Shin disini 😆
Jadi yang suka sama Shin udah mulai kesel?
Atau udah beralih ke Percy?
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top