Part 22 - The meeting

Hai 🤗

Maaf membuatmu menunggu lama 😊
Happy Reading


💜💜💜💜💜


Nayla hampir saja berlari ketika sudah keluar dari mobil yang membawanya tiba di rumah sakit itu, jika tidak ada cengkeraman erat yang melingkar di lengannya. Dia menoleh dengan panik dan mendapati Shin sedang menatapnya dengan tatapan menegur.

"Tenangkan dirimu." ucapnya pelan.

"Aku tidak bisa tenang jika tidak melihat ayahku, Shin." balas Nayla dengan suara tercekat.

Dia bahkan tidak henti-hentinya menangis sepanjang perjalanannya menuju ke Jakarta. Pikirannya sudah melayang jauh kemana-mana, membayangkan hal terburuk yang akan menimpa ayahnya ketika ibunya meneleponnya sambil terisak.

Ayahnya memang suka mengerjainya, juga para ayah yang suka mengerjai para anak dengan berlagak sakit. Tapi kali ini, Nayla yakin kalau ini benar-benar darurat. Jika ibunya yang menelepon, itu berarti memang hal yang serius dan bukan main-main.

"Ayahmu akan baik-baik saja." ujar Shin menenangkan sambil merangkul bahunya dan berjalan berdampingan untuk masuk ke dalam rumah sakit itu.

Ada beberapa pengawal yang menyambut kedatangan mereka dan langsung mengarahkan jalan ke lift. Mereka menuju ke lantai teratas gedung itu.

Nayla segera melangkah keluar ketika pintu lift sudah terbuka. Dia spontan mencengkeram tas tangannya kuat-kuat, untuk menahan rasa gugup yang semakin menghantamnya. Kekuatirannya semakin bergejolak dan dia mulai merasa takut.

Pintu ruangan terbuka dan Nayla bisa melihat sosok Noel muncul dengan wajahnya yang muram. Spontan Nayla berlari kearah kakaknya lalu memeluknya erat.

"Apa yang terjadi dengan Dad? Kenapa dia bisa tiba-tiba seperti ini?" isak Nayla pelan dari balik bahu Noel.

Noel mengusap punggungnya seolah menenangkan. "Dad kelelahan. Dia memaksakan diri untuk terjun langsung ke dalam beberapa proyek yang sedang kami kerjakan."

Nayla menggeram kesal dan menarik diri dari Noel. "Apa sih yang diinginkan pria tua itu? Kenapa harus bekerja keras seperti itu? Dasar orang gila kerja!"

"Jangan memarahinya lagi. Mom sudah melakukan hal itu sedaritadi dan Dad sudah kembali pusing." cetus Noel sambil tersenyum hambar lalu mengalihkan tatapannya kearah belakang Nayla.

Noel memiringkan kepalanya untuk bisa lebih jelas memperhatikan Shin yang sedang menatapnya dengan alis berkerut. Pria itu memberikan seringaian gelinya melihat ada Shin yang datang menemani Nayla sampai kesini.

"Apa kabarmu, Shin? Kulihat kau cukup tegar sampai hari ini." sapa Noel sambil meninju bahu Shin dengan pelan.

Shin tidak menanggapi dan hanya melengos saja. Dia mendorong Nayla dengan pelan supaya wanita itu bisa segera maju untuk masuk ke dalam ruang rawat daripada harus meladeni Noel.

Nayla segera melangkah masuk, diikuti Shin yang ada di belakangnya. Nafasnya tertahan ketika melihat ayahnya sedang terbaring dengan wajahnya yang pucat, dan ibunya berdiri di sampingnya sambil mengusap airmatanya bersama dengan tantenya, Lea -adik dari ayahnya. Kelima sahabat ayahnya yaitu Nathan, Christian, Adrian, Juno, dan Liam juga sudah ada disitu, melihat kedatangannya dengan berbagai macam ekspresi.

"Dad!" seru Nayla sambil berlari menghampiri Wayne yang kini sudah menyadari kehadirannya.

Nayla memeluk pria tua itu dan menangis dengan isakan keras sekarang. Rasa lega bercampur kesal menjadi satu. Ketakutannya akan kehilangan ayahnya menguap begitu saja, berganti dengan luapan amarah yang tidak bisa dia ungkapkan selain menangis tersedu-sedu.

"Jangan menangis seolah aku sudah mati, nak." ucap Wayne serak sambil mengusap kepala Nayla dengan lembut.

"Kau yang membuatku berpikir demikian dengan memberiku kabar seperti ini." balas Nayla sedih.

"Aku tidak akan mati sebelum memiliki cicit!" sahut Wayne pelan namun terdengar ketus.

Nayla mengangkat kepalanya dan menatap Wayne dengan wajah sembapnya yang merengut. "Kau sangat egois! Aku kesal kenapa kau terus bekerja seperti orang gila!"

"Nayla!" tegur Cassandra dengan tegas.

Nayla terdiam dan menatap ibunya dengan lirih. Melihat sepasang mata hijau ibunya yang berair adalah bukti bahwa ayahnya benar-benar sakit. Jika tidak, Nayla sudah pasti akan menusuk ayahnya dengan tangannya sendiri karena sudah membuatnya panik selama perjalanannya kesini, jika ayahnya hanya mengerjainya.

"It's okay, baby." ujar Wayne sambil menarik Cassandra mendekat padanya dengan merangkul pinggangnya.

Cassandra menunduk kearah Wayne yang kini sudah duduk bersandar di kepala ranjang dengan bantal besar yang menyangga punggungnya. Sorot mata teduh ayahnya memberikan makna penuh cinta ketika dia menatap ibunya. Itu adalah pemandangan yang sangat indah untuknya sedari kecil dari kedua orang tuanya.

"Kamu jangan coba-coba suruh aku tenang! Kamu yang nggak pernah dengerin aku untuk istirahat cukup selama beberapa hari ini!" ujar Cassandra dengan suara bergetar dan air matanya kembali berlinang.

Wayne mengangguk dan memeluk tubuh Cassandra dengan erat. Dia menaruh kepalanya di bahu Cassandra yang terguncang.

"Aku masih sama-sama kamu sampai kita punya lima cucu dan sepuluh cicit, sayang. Tenang aja." balas Wayne santai.

Ucapan Wayne barusan spontan membuat kelima sahabat ayahnya bergeming untuk memberikan komentar-komentar yang tidak berguna.

"Siapa yang bakalan punya anak sampai lima?" tanya Nathan tiba-tiba sambil mengerutkan alisnya dan menoleh pada Noel.

Noel langsung menggelengkan kepalanya ketika semua orang menoleh kearahnya dan spontan merasa tertuduh. "Jangan lihatin aku! Aku nggak mau punya anak lebih dari satu!"

"Enak aja kamu ngomong! Selama kamu masih kepengen jadi menantu, kamu harus kasih cucu lagi! Senggaknya tiga orang cucu!" sahut Liam dingin.

Juno terkekeh geli bersamaan dengan Christian disitu. Sementara Adrian hanya menyilangkan tangan sambil menatap Shin dengan penuh arti.

"너 왜 나를 그렇게 생각하니, 삼촌?" tanya Shin dengan alis berkerut kearah Adrian.
(Kenapa kau melihatku seperti itu, paman?)

"아무것도. 너를 볼 수있어서 기뻐. 여기있을 수있어." jawab Adrian sambil memberikan senyuman lebarnya.
(Tidak apa-apa, hanya senang saja bisa melihatmu berada disini)

"Suruh saja Shin dan Nayla yang memberikan cucu untuk kalian. Aku hanya ingin memiliki satu anak saja, tidak lebih." ucap Noel kemudian.

Shin langsung bergeming ketika mendengar Noel berbicara dalam bahasa Inggris yang dimengertinya, karena sedaritadi komunikasi yang mereka lakukan dalam bahasa Indonesia.

"Apa maksudmu, Noel?" tanya Shin dengan tampang busuknya.

"Ayahku menginginkan setidaknya lima cucu sebelum dia mati. Dan aku hanya bisa memberinya seorang cucu saja. Sisanya adalah jatahmu." jawab Noel enteng.

"What?" seru Shin kaget

Nayla mendesis tajam kearah Noel. "Jangan berulah lagi, kak! Aku nggak suka cara kak Noel yang kampungan kayak gini! Semisal Mom nggak nangis-nangis waktu telepon tadi, aku juga nggak bakalan percaya kalo Dad beneran sakit!"

Wayne mendengus sambil menatap Nayla dengan kesal. "Jadi kalau Mom nggak nangis, kamu nggak bakalan percaya kalau Dad sakit?"

Nayla menoleh pada Wayne dan mengangguk tanpa ragu. "Sorry not sorry, Dad. Seumur hidup aku sudah mengenal semua kelicikan dari para ayah dan sudah terbiasa karenanya."

"Kamu tuh yah, jadi anak bener-bener kurang ajar." omel Wayne judes. "Dad sakit malah curiga yang nggak-nggak! Jangan-jangan tadi kamu dateng pake nangis-nangis segala, itu juga palsu?"

"Enak aja! Aku beneran takut kalo Dad sakit keras! Dad tahu kan kalo aku sayang banget?" balas Nayla tidak terima.

Jika ada sesuatu hal yang terjadi dengan Wayne, sudah pasti Nayla yang akan maju lebih dulu untuk menyusulnya. Dia sangat menyayangi ayahnya, tidak ada yang bisa memberikan figur seorang ayah yang luar biasa dalam hidup Nayla selain Wayne. Dan dia juga yakin kalau Wayne pun tahu perasaannya.

"Kalau beneran kamu itu sayang, kenapa juga masih bikin Dad cemas dan kepikiran soal kamu sampai sekarang?" sahut Wayne sambil menarik nafas lelah.

Nayla menggenggam lembut tangan Wayne dengan ekspresi sedihnya kembali. Dia tidak menyukai pemandangan yang ada di depannya saat ini. Wayne yang tampak begitu pucat dan terbaring lemah. Ingin rasanya Nayla menggantikan posisi ayahnya berbaring disitu, dan menyedot semua rasa sakit yang dirasakan ayahnya.

Cassandra pun sudah tampak tenang dan duduk di sofa yang ada di samping ranjang. Lea tampak menenangkan Cassandra sambil memberikan rangkulan pada bahu ibunya, tantenya itu pun memberikan ekspresi yang tidak kalah sedihnya dengan ibunya. Kelima sahabat ayahnya pun tidak banyak bersuara dan hanya mengobrol dalam suara rendah.

Shin sudah berbincang dengan Adrian dalam bahasa mereka dan terlibat dalam obrolan yang cukup serius. Sementara itu, Noel berdiri tepat di samping Nayla yang berada di sisi ranjang yang lain.

"Dad nggak usah mikirin aku. Aku udah dewasa. Aku udah bisa jaga diri sendiri." ujar Nayla dengan suara dan ekspresi yang meyakinkan.

Wayne menggeleng. "Dad masih belum melihat kamu bahagia seperti yang lainnya. Kamu masih aja kayak begini."

"Masih kayak begini, gimana maksudnya?" tanya Nayla dengan alis berkerut bingung. "Aku tuh udah jadi cewek kuat. Nggak bakalan cengeng ataupun manja kalau nggak ada maunya."

Noel terkekeh geli sambil merangkul bahu adiknya dan menariknya dalam dekapan erat. "Aku senang punya adik kayak kamu. Gemes!"

Nayla mendesis sambil melepaskan tangan Noel yang merangkul bahunya dengan lancang. "Aku masih harus bikin perhitungan sama kakak brengsek kayak kamu! Dad juga! Kenapa sih harus bikin urusan yang receh begini dalam proyek ini? Jalanin hidup itu kudu bahagia. Kalo nggak bisa, yah jangan kepohin hidup orang."

"Justru karena kami sangat bahagia, makanya kami juga ingin kamu bisa bahagia." balas Noel mantap.

Nayla sudah ingin membalas Noel, tapi Wayne langsung menyela. "Dad nggak kepo. Dad akui kalau salah dalam hal ini, tapi Dad juga mau kamu itu bisa lepas dari phobia kamu. Itu aja."

"Aku udah sembuh! Aku udah baik-baik aja kalau dekat sama cowok." sahut Nayla tegas.

Ucapannya barusan membuat suasana di sekitarnya langsung hening dan semua pasang mata terarah padanya. Kecuali Shin yang masih berbicara dalam suara rendah dengan Adrian yang tatapannya malah mengarah pada Nayla.

"Tahu darimana kalau kamu udah sembuh?" tanya Cassandra heran.

"Aku udah dipeluk dan dicium sama Shin. Setelahnya aku baik-baik aja." jawab Nayla tanpa beban.

Merasa namanya disebut, ucapan Shin terhenti dan menoleh kearah Nayla dengan bingung. Ekspresinya semakin bingung ketika semuanya malah menatapnya sekarang.

Noel yang lebih dulu memberikan respon dengan menghampiri Shin sambil mengarahkan tangan untuk mengajaknya bertos ria. Shin membalas Noel dengan wajah yang semakin bingung tanpa berkata apapun. Sementara Nayla masih membalas tatapan Wayne yang kini melihat putrinya dengan tajam.

"Ada apa?" tanya Shin pada Noel.

"Aku ucapkan terima kasih karena kau sudah melakukan sesuatu yang hebat seperti yang dikatakan adikku tadi." jawab Noel sumringah.

"Hah? Apa maksudmu?" tanya Shin lagi.

"Kim Shin, bisakah kau kemari?" panggil Wayne tiba-tiba.

Nayla mengerutkan alisnya dan menoleh kearah Shin yang terlihat semakin bingung saja. Para ayah pun masih terdiam saja sambil mengulum senyum penuh arti.

"Sepertinya ada yang mengincar keponakanku lagi." gumam Adrian sambil melirik kearah Juno yang terlihat acuh tak acuh.

"If i may said, keponakanmu yang kembali mengincar salah satu dari putri sahabatmu." balas Juno dengan suara yang sengaja dibuat kencang agar bisa didengar Shin.

Shin pun menoleh kearah Juno dan dari sorot matanya, sepertinya Shin sudah paham apa yang terjadi saat ini.

"Apa yang kau katakan pada ayahmu?" tanya Shin dengan suara berbisik kepada Nayla.

"Aku hanya bilang kalau aku sudah sembuh dari phobiaku." jawab Nayla santai.

Shin tercengang dan menoleh pada Wayne yang kembali memanggilnya.

"Apa benar kau sudah mencium putriku?" tanya Wayne langsung.

Shin sepertinya membeku, pikir Nayla. Karena pria itu terlihat menatap Wayne dengan ekspresi kaget, lalu melirik kearah para pria tua lainnya yang juga sedang menatap kearahnya, seolah sedang menunggu jawabannya.

"Ya." jawab Shin kemudian.

"Kenapa kau menciumnya? Apakah kau sudah mencintainya?" tanya Wayne lagi.

Shin mengerjap bingung lalu menoleh kearah Nayla yang malah mengangkat bahunya tanda dia juga tidak tahu apakah pertanyaan itu perlu dijawab atau tidak. Karena Nayla sudah terbiasa dengan pertanyaan wajib dari sekumpulan para ayah yang kelewat kepo.

"Entahlah." jawab Shin seadanya.

"APA?" seru keenam para pria tua yang terlihat tidak terima dengan jawaban Shin barusan.

Hanya Noel yang tertawa geli, dia yang terlihat kesenangan disitu. Sementara Cassandra dan Lea pun hanya terdiam saja sambil memperhatikan Nayla dan Shin secara bergantian.

"Bagaimana bisa kau menciumnya tapi tidak tahu apa kau sudah mencintainya atau belum?" tanya Christian heran.

Shin menghela nafas seolah mengingatkan dirinya untuk bersabar lalu menatap Christian dengan datar. "Apakah ketika kau mencium wanita, itu sudah pasti kau mencintainya?"

"Tentu saja! Aku mencium istriku dan sudah pasti aku mencintainya." balas Christian langsung.

"Lalu bagaimana dengan kabar jalang-jalangmu yang dulu? Apa kau juga mencintainya ketika menciumnya?" sahut Shin ketus.

"KIM SHIN!" tegur Adrian keras. "Pertanyaanmu sangat tidak terpuji!"

"Dengan kata lain, kau menganggap Nayla adalah seorang jalang?" tanya Nathan kemudian.

Shin langsung menoleh kearah Nayla dan bertanya. "Apa kau merasa diperlakukan seperti jalang olehku karena sudah menciummu?"

Nayla menggeleng. "Biarkan saja. Kita sama-sama tahu akan dibawa kemana pembicaraan ini, Shin."

Shin mengangguk paham.

"Jika Dad berpikir ingin mencari-cari kesalahan dengan menekan untuk menyatukan kami, maaf sekali. Kami tidak bisa! Jangan menggunakan keadaanmu yang sekarang untuk membuatku harus mengambil keputusan. Kau tahu jelas kalau aku mencintaimu dengan seluruh nafas hidupku, Dad." ucap Nayla dengan tegas. "Jadi, kalau kau memang mencintaiku seperti yang pernah kau katakan sedari kecil, maka jadilah seperti ayah yang seharusnya."

"Aku memang tidak akan melakukan perjodohan atas hidupmu, karena aku pun tidak mau dijodohkan seperti itu. Maksudku adalah aku ingin memperjelas hubungan diantara kalian! Aku tidak mau kau sampai disakiti." ucap Wayne dingin.

"Aku tidak akan menyakiti Nayla." balas Shin langsung.

Nayla memberikan senyuman tulus kearah Shin yang menatap Wayne dengan tajam dan begitu serius. Dia tahu kalau Shin berkata apa adanya dan bersikap jujur kepada siapapun, termasuk ayahnya.

"Jangan terlalu memberinya harapan jika kau tidak sanggup melakukannya, Shin." sahut Wayne. "Dia adalah putriku satu-satunya dan dia rapuh meski terlihat kuat. Aku tidak akan segan-segan untuk menghancurkanmu jika hal itu terjadi, terlepas dari siapa kau untuk sahabatku."

Nayla melirik kearah Adrian yang mengangguk menyetujui apa yang diucapkan Wayne barusan. Yang lainnya pun masih terdiam dan menyimak percakapan mereka. Bahkan Noel pun juga.

"Aku. Tidak. Akan. Menyakitinya." kembali Shin mengulang perkataannya, kali ini dengan penuh penekanan.

"Sudahlah, Dad. Kami berdua sudah membicarakan hal ini dan tidak akan menyakiti satu sama lain selama kami dalam masa pengenalan. Kau tahu jelas kalau segala sesuatunya ada proses dan tidak ada yang instan untuk memperoleh kebahagiaan." ujar Nayla kemudian.

Wayne kembali menghela nafas dan menatap Nayla dengan penuh arti. "Aku tahu. Aku hanya ingin memperjelas saja. Jika memang kalian sudah membicarakannya, ya sudah. Aku hanya perlu tahu apakah Shin akan menyakitimu atau tidak? Jika dia yakin dan kau pun juga yakin, maka aku tidak akan mempermasalahkannya."

"Lagipula untuk apa sih adanya pengenalan seperri itu? Memangnya selama kalian memutuskan untuk bersama, apakah tidak bisa saling mengenal? Jika memang sudah yakin, kenapa harus membuang waktu lagi? Cara kalian sangat tidak efisien." komentar Noel dengan nada ketus.

"Urusanku adalah urusanku, bukan urusanmu. Lebih baik kau pulang saja dan urus anakmu saja di rumah." celetuk Nayla yang tidak kalah ketusnya.

"Yeah, kau benar sekali. Lebih baik aku mengurus istri dan anakku di rumah daripada kau yang begitu keras kepala." tukas Noel sambil mendengus lalu menatap Wayne. "Aku pulang dulu, Dad. Aku malas berurusan dengan anak perempuanmu yang tidak tahu berterima kasih. Kabari aku jika kau ingin pulang."

Wayne mengangguk pelan. Noel pun menghampiri Cassandra dan Lea lalu mencium kening kedua wanita itu. Noel berpamitan dengan para ayah dan kini berjalan mendekati Shin sambil menatapnya dingin.

"Jika aku tahu kau lalai dalam menjaga hatinya, aku akan datang padamu untuk menusuk tubuhmu dan mengambil hatimu, lalu melemparnya ke kandang anjing sebagai makan malam mereka." ucap Noel dengan nada penuh ancaman lalu dia pun pergi meninggalkan ruangan itu.

Nayla tercengang mendengar ancaman kakaknya kepada Shin barusan. Apakah dia tidak salah dengar untuk apa yang diucapkan Noel tadi? Biasanya kakaknya memiliki naluri iseng yang tidak ada habisnya, tapi sekarang? Nayla mendadak merasa waswas dengan sikap Noel yang tidak biasa itu, dia pun menoleh pada Shin yang kini sedang menatapnya dengan alis terangkat setengah.

Perasaan ragu itu muncul kembali. Disaat dia sudah merasa yakin, tapi dengan melihat bagaimana kakaknya memberikan ancaman pada Shin, jelas membuatnya merasa bahwa kakaknya mengetahui sesuatu tentang Shin dimana pria itu belum memberitahukannya.

"Aku sudah tidak apa-apa, Nayla. Kau bisa pergi jika kau mau." ujar Wayne kemudian.

Nayla mengerjap dan menatap Wayne. "Apa kau mengusirku?"

"Tidak. Hanya saja kulihat sepertinya kau perlu beristirahat. Wajahmu agak pucat, apa kau baik-baik saja?" tanya Wayne sambil menggenggam tangan Nayla dan meremasnya pelan.

Nayla mengangguk pelan dengan ekspresi ragu. Seolah mengerti apa yang menjadi kegundahannya, Wayne menatap kearah semua orang yang ada disitu.

"Bisakah aku meminta waktu pribadi dengan Nayla? Hanya sebentar saja."

"It's okay, buddy. Kami akan pergi dari sini, tapi kabari kami sesegera mungkin jika ada hal yang penting." ujar Nathan sambil merangkul bahu Lea.

"Take care, Wayne." tukas para sahabat ayahnya sambil memberikan senyuman dan menyingkir dari ruangan itu.

Cassandra tersenyum pada Shin dan melingkari tangannya pada lengan Shin. "Ayo kuajak kau minum kopi di kafe bawah, Shin."

Shin mengangguk dan menoleh pada Nayla sekilas, lalu mengikuti ibunya keluar dari ruangan itu. Kini hanya tinggal dirinya dengan Wayne disitu.

"Sekarang cuma ada kamu dan Dad disini. Ayo cerita. Pasti banyak hal yang ingin kamu ceritain sama Dad." ujar Wayne sambil menepuk sisi ranjangnya yang kosong agar Nayla duduk disitu.

"Daughty time, huh?" celetuk Nayla sambil duduk di samping Wayne dan menyelinap masuk ke dalam selimut untuk memeluk ayahnya dengan erat.

Wayne tertawa pelan sambil mengusap kepalanya dengan penuh sayang. "Dad tahu kalau kamu bakalan ragu dengan kabar Mom. Tapi Dad juga kaget kenapa bisa merasa lemas tiba-tiba, mungkin karena Dad kurang tidur dan kangen sama kamu."

"Ish! Jangan gombal deh, Dad. Jangan lupa kalau Dad sendiri yang tugasin aku jauh-jauh dari Dad." balas Nayla sambil mengeratkan pelukannya pada Wayne.

Ini adalah satu-satunya hal yang paling disukai Nayla seumur hidupnya. Memeluk ayah kesayangannya dengan erat dan mendapatkan perhatian dari ayahnya yang hangat. Sejak dia lahir sampai sekarang, tidak pernah sekalipun Wayne mengeraskan suaranya padanya. Pria tua itu selalu memperlakukannya dengan lembut dan penuh kasih, juga mampu mempertegas dirinya dengan disiplin dan kalimat yang memotivasi.

"Kamu tahu jelas kalau Dad ingin kamu berkembang. Cara supaya kamu bisa naik tinggi adalah membiarkan kamu terbang jauh supaya kamu bisa mengepakkan sayap kamu sendiri tanpa Dad. Makanya Dad relain kamu pergi biar kamu bisa mandiri." ujar Wayne menjelaskan.

"Aku tahu." balas Nayla sambil terkekeh.

Wayne terkekeh lagi. "Jadi, apa yang mau kamu ceritakan pada Dad?"

Nayla tersenyum lalu menarik diri untuk duduk menyamping agar bisa menatap Wayne. "Kalau Dad mau kepo bilang aja. Pasti Dad kepengen tahu kan, hubungan aku dengan Shin itu udah sampai mana?"

"Terserah kamu aja mau cerita yang mana. Kalau kamu nggak nyaman ceritain hal itu sama Dad, juga nggak apa-apa." balas Wayne kalem sambil menatap Nayla dengan teduh.

Nayla terdiam sejenak lalu mengangguk pelan. "Aku dengan Shin masih begitu aja, Dad. Masih mencoba untuk ngejalanin hubungan."

"Maksudnya kalian udah pacaran?" tembak Wayne langsung.

Nayla berdecak. "Kebiasaan Dad yang suka ngegas itu nggak hilang deh. Aku tuh belum pacaran sama Shin. Kita saling belajar untuk mengenal satu sama lain dan berkomitmen untuk nggak selingkuh."

"Apa bedanya dengan pacaran? Kalo teman tanpa status, nggak kayak gitu. Mana ada temenan tapi pake komitmen serius begitu?"

"Buktinya Dad bisa temenan sama para ayah sampai sekarang. Itu kan komitmen juga." balas Nayla heran.

Wayne tertawa sambil mengusap pipi Nayla dengan lembut. "Pertemanan yang Dad lakukan itu berbeda dengan yang kamu lakukan. Kami sudah berteman sejak muda dan seperti yang kamu lihat kalau kita sudah seperti keluarga. Sedangkan kamu? Pertemanan lawan jenis itu mah ujung-ujungnya udah pake perasaan."

"Belum tentu juga."

"Kalau belum tentu itu namanya bullshit berat. Daripada kamu cuma php-in anak orang, mendingan kamu kelar sampai disini aja. Jangan sampai kamu malah ngerusak hati orang lewat dari kamu yang nggak bisa nentuin sikap. Cowok bisa komitmen, itu berarti punya rasa sama kamu. Dan kalau Dad lihat tadi, sepertinya Shin memang udah sayang sama kamu."

"Dia itu kayak cabe, Dad. Pedes banget jadi orang. Nyebelin. Tapi nggak tahu kenapa, aku tuh ngerasa dia itu jujur sama aku. Cuma yah itu, aku jadi ragu waktu denger kak Noel tadi."

Wayne menghela nafas. "Dia memang berlebihan. Jangan didengerin. Sedikit banyak, Noel merasa bersalah karena sudah kasih kamu contoh yang nggak baik. Makanya dia merasa nggak rela kalau akhirnya kamu mulai bisa buka hati sama cowok."

"What?" pekik Nayla kaget. "Bukannya dia emang niat buat ngerjain aku dengan sengaja kasih proyek kerja sama bareng Shin dan Percy? Niatnya dia kan mau bikin aku kesel."

"Dia memang iseng sama kamu, tapi niatnya kepengen kamu sembuh. Cuma dia hanya nggak terima aja kalau kalian malah nggak bisa kasih kepastian soal hubungan. Itu aja." ujar Wayne kalem.

Nayla terdiam. Tidak ada lanjutan lagi dari pembicaraan itu karena dokter masuk untuk memberi kunjungan rutin mengecek kondisi ayahnya. Wayne sudah membaik dan hanya perlu istirahat panjang tanpa perlu melakukan kesibukan. Ayahnya yang tidak menyukai suasana rumah sakit meminta untuk segera pulang, tapi dokter menyarankan agar dirinya bisa menginap semalam lagi.

Nayla masih berada di kamar perawatan ayahnya sampai dua jam kemudian, bersama dengan ibunya dan juga Shin. Yep! Pria itu mengobrol ringan bersama ayahnya dan sama sekali tidak membahas tentang pekerjaan. Hanya pembicaraan khas pria dan ibunya terkadang ikut menimpali.

Kemudian, Nayla undur diri bersama Shin agar bisa mendapatkan waktu istirahatnya karena mereka berdua sudah cukup lelah.

"Aku akan antar kau pulang ke rumahmu lebih dulu." ujar Shin sambil membukakan pintu belakang mobil jemputannya.

"Memangnya kau akan pulang kemana setelah mengantarku, Shin?" tanya Nayla dengan alis berkerut.

Shin masuk dan duduk di sampingnya lalu menutup pintu mobilnya. "Aku akan menginap di hotel saja."

"Kenapa tidak ke rumah Appa Adrian?" tanya Nayla lagi.

Shin menggeleng. "No. Aku terlalu lelah untuk meladeni pertanyaan seputar hubungan kita jika aku menginap di rumahnya. Belum lagi sih kembar yang akan melontarkan pertanyaan bertubi-tubi jika belum puas mendapatkan jawaban."

"Kalau begitu menginap saja di rumahku." sahut Nayla tanpa perlu berpikir.

Shin tertegun mendengar sahutan Nayla. Dia terlihat tidak percaya terhadap apa yang dia dengar barusan, tapi dia juga yakin kalau dia tidak salah dengar.

"Aku tidak mungkin menginap di rumahmu." balas Shin kemudian.

"Why?"

"Aku tidak mau kalau orang tuamu berpikir kalau aku akan melakukan hal yang tidak pantas kepada putrinya di rumahnya sendiri." jawab Shin seadanya.

Aneh, pikir Nayla. Seharusnya Shin merespon ajakannya barusan dengan senang seperti pria-pria pada umumnya. Tapi kenapa dia bisa menolak dengan tegas?

"Kau adalah tamu. Tidak ada yang akan mencurigaimu melakukan hal yang tidak mungkin seperti itu." ujar Nayla yang sepertinya cukup masuk akal.

Well... katakanlah begitu karena Nayla merasakan sesuatu yang berbeda kali ini. Dia merasa aman dan tenang bersama dengan Shin saat ini. Entahlah. Perasaan seperti Nayla yang tidak akan diperlakukan secara tidak pantas oleh pria itu, meski keinginan jahat sudah pasti ada.

"Tetap tidak boleh. Aku tidak pernah menginap di rumah keluarga wanita." ucap Shin dengan sungguh-sungguh.

"Memangnya kenapa?" tanya Nayla heran.

"Itu terkesan terlalu resmi. Kau dan aku hanya..."

"Kalau begitu resmikan saja!" sela Nayla tegas.

Shin tersentak kaget dan menatap Nayla dengan mata terbelalak lebar. "A..apa maksudmu?"

"Resmikan saja hubungan kita." jawab Nayla tanpa ragu.

Nayla bisa melihat kebisuan Shin yang terjadi selama beberapa saat. Pria itu cukup kaget. No! Sepertinya dia memang shocked. Apalagi melihat ekspresi wajahnya yang seperti orang tolol seakan dia baru saja menerima kabar kematian. Sial!

"Aku tidak mengerti apa yang kau katakan, Nayla." ucap Shin kemudian.

Nayla mendengus sambil membuang tatapan keluar jendela. Mobil yang ditumpangi mereka sudah melaju sedaritadi dan menyusuri jalanan ibukota yang cukup padat di malam hari.

"Kurasa kau mengerti apa maksudku, hanya saja kau berlagak bodoh." celetuk Nayla dingin.

"Tentu saja aku tidak mengerti. Kenapa kau tiba-tiba bisa mengatakan hal seperti itu? Apa yang kau bicarakan dengan ayahmu tadi?" sahut Shin dengan tatapan menuduh.

"Tidak ada yang kami bicarakan. Dia hanya sekedar memberiku nasehat bahwa jika aku tidak berniat untuk menjalani hubungan sedari awal, lebih baik sudahi saja sampai disini." balas Nayla sambil menoleh dan menatap Shin dengan kesal.

Kini wajah Shin yang kaget berubah menjadi pucat. Nayla mengerutkan alisnya dan tidak mengerti kenapa ekspresinya bisa cepat sekali berubah-ubah.

"Maksudmu kau menyerah dengan hubungan yang sedang kita pelajari ini?" tanya Shin dengan tatapan tidak percaya.

"Justru karena aku tidak menyerah, makanya aku berikan keputusan dadakanku seperti barusan. Lagipula, kita masih saling belajar setelah meresmikan hubungan." jawab Nayla langsung.

"Belajar apa?"

"Belajar untuk mencintaimu."

"Nayla!"

"Pada intinya aku tidak ingin menyakitimu, okay? Aku pun juga berusaha untuk mengendalikan diriku agar bisa mempercayaimu dan menerima dirimu." seru Nayla.

Shin menyipitkan matanya dengan tatapan menuduh. "Apakah ini karena aku yang tidak mau menginap di rumahmu, sehingga kau berpikir kalau aku akan bermain dengan sembarang wanita di hotel nanti?"

"Aku sama sekali tidak berpikiran kearah sana! Justru sebaliknya, aku yang akan menginap di hotel bersamamu." balas Nayla dengan enteng.

Lagi. Shin kembali memberikan ekspresi kagetnya yang kentara. Matanya melebar kaget, bibirnya terbuka dan dia terlihat frustrasi. Apakah pria harus bersikap berlebihan ketika wanita ingin menginap bersamanya? Dasar orang aneh, rutuk Nayla dalam hati.

"Nayla, kurasa kau cukup lelah. Sebaiknya kau beristirahat saja dan kita bisa bicarakan hal ini besok." ujar Shin kemudian.

"Apa kau menolakku?" tanya Nayla langsung.

Shin menatap Nayla dengan sengit. "Aku menyuruhmu beristirahat bukan berarti aku menolakmu."

"Kau berpikir kalau aku terlalu cepat memutuskan setelah berbicara dengan ayahku. Kau merasa aku terlalu menuntutmu. Kau kaget ketika aku memintamu untuk meresmikan hubungan ini, yang artinya adalah kau tidak serius denganku!"

"Hentikan itu, Nayla. Respon kaget yang aku berikan itu wajar. Kita sudah melakukan pembicaraan tentang hubungan kita, bukan? Kenapa kau mulai meragukanku?" balas Shin sinis.

"Aku tidak meragukanmu." sahut Nayla langsung.

"Jika tidak meragukanku, kenapa kau malah mengatakan hal yang tidak kusukai seperti barusan?"

"Karena aku ingin bersamamu, tapi kau menolak."

"Tapi tidak dengan menginap di tempatmu atau di tempatku!"

"Kan bisa beda kamar."

"Tidak!"

"Sebelumnya, kita pernah tinggal serumah dan itu tidak masalah."

Shin mendengus dan tidak mau membalas Nayla lagi. Pria itu malah membuang mukanya keluar jendela. Dia terlihat tidak senang dengan setiap ucapan Nayla padanya. Nayla pun demikian. Mereka saling membuang tatapan dan tidak bersuara lagi sampai mereka tiba di mansion keluarga Nayla.

"Nayla.."

Nayla tidak menggubris panggilan Shin dan membuka pintu mobilnya lalu menutupnya dengan keras. Dia melangkah masuk ke dalam rumahnya dengan langkah kasar dan mengabaikan sapaan ramah pelayan rumahnya. Sama sekali tidak menoleh kearah Shin lagi dan terus melangkah menuju kamarnya.

"Kenapa sih gue?" maki Nayla seorang diri ketika sudah berada di kamarnya. "Kenapa gue pake ngomel sama cowok itu, cuma karena dia bersikap jadi cowok bener? Mau lu tuh apa sih, Nay?"

Nayla terus merutuki dirinya sendiri sambil melempar tasnya, melepas sepatunya dengan kasar, dan menjatuhkan dirinya pada ranjang. Kemarahan yang dirasakannya bukan kepada Shin, tapi malah kepada dirinya sendiri. Sungguh menyebalkan, rutuk Nayla dalam hati. Dia merasa seperti wanita agresif yang begitu posesif.

"Nggak bener nih." gumam Nayla pelan. "Nggak mungkin banget gue bisa jadi bucin, padahal gue yang dulu udah menghina para cowok. Ish!"

Yeah. Nayla menolak untuk menjadi wanita yang agresif, impulsif, apalagi posesif. A big NO! Tidak ada sejarahnya seorang Nayla menjadi wanita yang demikian. Karena itu, Nayla segera beranjak dari ranjangnya untuk membersihkan diri tanpa perlu memikirkan hal itu secara berlebihan.

Mungkin aja yang barusan itu karena otak gue lagi sengklek, batin Nayla sambil terkekeh geli.


💜💜💜💜💜


I got my first day of my period 😣

Hari ini bawaannya sensi, emosi dan kesel banget.
Kepengen banget bisa lempar sepatu ke muka orang gitu 🤣

Apa kabar kalian?
Aku sangat rindu padamu 💜








너 행복해. 너 행복해.
너를 너무 사랑하고 너를 그리워.



Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top