Part 20 - Camp Kiss!

Hello 🤗

Sorry, baru sempet upload.
Siap untuk menjadi lebih gila dari sebelumnya? 😂


🌷🌷🌷🌷🌷🌷🌷🌷


Shin menoleh kearah Jin-Wook yang masih asik bermain game di ponselnya. Dia melirik sekilas pada game Mario Bros yang sedang dimainkan pria itu lalu menggelengkan kepalanya.

Shin sedang duduk di atas bangku kecil, tepat di depan tenda yang tadi dibangunnya bersama Jin-Wook dan Percy. Sedangkan Nayla dan Laura sedang sibuk membuat makan malam di rumah kayunya.

Rumah kayunya memiliki lahan hijau yang luas dan berada di dataran tinggi. Sekelilingnya merupakan tanah berumput dengan jalan menanjak yang mengarah kearah bukit. Jika bisa berjalan sampai keatas sana, maka mereka bisa menyaksikan matahari terbit yang sangat indah disana.

"Aku tidak menyangka kalau kau suka dengan game jaman dulu seperti itu." komentar Shin sambil melihat Jin-Wook yang mengerang kecewa karena kalah.

Jin-Wook menoleh kearahnya. "Ini seru. Aku suka memainkan game ini setiap kali aku merasa penat."

"Kenapa kau tidak memainkan Pokemon Go saja?" tanya Shin langsung. "Disini terdapat banyak PokeStops dan Gym untuk melatih Pokemon yang kau miliki. Apalagi jika kau terjun ke tebing yang ada diatas sana, kau akan menghadapi pertempuran hidup sekalian."

"Maksudmu pertempuran antara hidup dan mati? Kau tega sekali, hyeongnim!" seru Jin-Wook datar.

Percy terkekeh mendengar percakapan konyol yang dilakukan keduanya. Mereka sama-sama menduduki bangku kecil dan duduk mengelilingi api unggun yang sudah dibuat mereka, sambil menantikan makan malam dari kedua wanita yang masih memasak di dalam rumah.

"Maklumi saja kakak tertua yang satu ini, dude. Dia tidak mengerti soal game, tahunya hanya bermain dalam menarik perhatian wanita yang susah didapati." ejek Percy sambil menyeringai geli.

Shin mendesis. "Apa sih hubungannya? Jangan asal mengaitkan sesuatu yang tidak ada sangkut pautnya seperti itu."

"Apa yang dikatakan Percy itu ada benarnya." tukas Jin-Wook tiba-tiba. "Wanita memang seperti game dengan kita sebagai pemainnya. Mereka senang dipermainkan oleh para pria, tapi selalu bersikap jual mahal dengan tingkahnya yang memberikan kita game over."

"Tepat sekali!" seru Percy yang langsung mengarahkan tangannya kearah Jin-Wook untuk bertos ria.

"Aku sampai bingung kenapa sih kalian harus sampai sebegitu semangatnya dalam mengejar wanita? Ashley-ssi bahkan memintaku untuk mengawasimu, hyeongnim. Katanya kau sedang kasmaran." cerita Jin-Wook dengan wajah tanpa dosa.

Shin mendengus mendengar ucapan Jin-Wook. Kakak iparnya itu sudah pasti menjadi orang yang tertawa paling keras ketika apa yang diucapkannya itu adalah benar.

"Sepertinya kau mulai menyukainya, hanya kau belum mau sadar dan masih mengelak. Dasar munafik!"

Begitulah kata kakak ipar sialannya waktu itu, setelah Shin mengingatkannya untuk memberikan Nayla makan ketika wanita itu demam tinggi.

"Oh, kau baru sadar? Kalau tidak, mana ada yang namanya menapaki masa depan sambil bergandengan tangan di tangga darurat tadi sore?" celetuk Percy yang semakin berapi-api mengejeknya.

Jin-Wook mengangguk setuju. "Hyeongnim sudah cukup umur untuk berumah tangga. Dia akan genap berusia 30 tahun nanti. Ada baiknya mulai berpikir serius dari sekarang."

"Apa kau sudah memiliki kekasih, Jin-Wook?" tanya Percy ingin tahu.

Jin-Wook menggeleng dengan kesan bangga di wajahnya. "Aku belum memilikinya karena wanita itu merepotkan. Lagipula aku masih muda, umurku baru 26 tahun dan masih ingin menikmati kesendirianku. Mungkin sekitar lima tahun lagi, baru kupikirkan untuk menikah."

"Kau ingin menikah di usia 31 tahun? Bukankah barusan kau menyuruhku untuk berpikir serius karena umurku yang baru akan genap 30 tahun?" tanya Shin dengan alis terangkat setengah.

"Kau dan aku berbeda, hyeongnim. Kau itu bajingan, aku tidak. Kau itu tidak pernah serius dalam berhubungan, tapi aku sangat menghargai sebuah hubungan. Aku baperan, kau tahu?" jawab Jin-Wook sambil mengangkat bahunya.

"Maksudnya?" tanya Shin tidak mengerti.

"Aku yang serius dalam berhubungan, seringkali merasa yang paling tersakiti karena terlalu terbawa perasaan." jawab Jin-Wook menjelaskan.

"Memangnya sudah berapa kali kau disakiti?" kini giliran Percy yang bertanya.

"Tidak pernah." jawab Jin-Wook langsung.

"Lalu atas dasar apa kau mengatakan hal seperti barusan?" tanya Shin bingung.

"Pengalaman hidup. Melihat banyaknya wanita yang mengejar diriku dan mengagumi ketampananku, aku memutuskan untuk menjadi kesukaan mereka. Lumayan kan jika aku mendapat fans, tidak perlu memakai perasaan, hanya kagum saja." jawab Jin-Wook dengan bangga.

Pletak!

Shin dan Percy pun langsung menggelepak kepala Jin-Wook secara bersamaan sampai pria itu mengadu kesakitan.

"Apa bedanya dengan kau menjadi bajingan, bodoh?" sewot Shin gemas.

Jin-Wook mengusap kepalanya dan menatap Shin kesal. "Kenapa kalian malah memukulku? Aku kan hanya melakukan apa yang wajar. Seperti kalian tidak tahu saja bagaimana menjadi pria muda yang tampan."

"Tidak ada gunanya berbicara denganmu. Lebih baik kau lanjutkan permainan Mario Brosmu itu. Aku heran kenapa kau bisa terpilih menjadi asisten pengacara sekaliber Ashley Mananta, main game konyol itu saja masih bisa kalah. Yang kau tangani sekarang adalah kasus serius, dude." cetus Percy ketus.

"Namanya juga permainan, pasti ada yang kalah dan yang menang. Kalau pengadilan, itu lain lagi. Untuk mengadu kelicikan, aku ahlinya." balas Jin-Wook santai.

"Aku tidak heran kalau kau bisa menjadi ahli soal kelicikan. Mulut sialanmu itu sangat pintar dalam membalikkan ucapan kami. Ditambah lagi dengan tampangmu yang sok tampan itu." timpal Shin datar.

"Aku memang tampan." ujar Jin-Wook dengan ekspresinya yang begitu serius. "Biar begini, aku menjadi incaran para wanita. Tadi pagi saat di ruang rapat pun, kedua yeodongsaeng yang cantik itu bahkan hampir mengeluarkan liurnya karena terpesona olehku."

Nyatanya, ucapan yang terdengar sungguh-sungguh dari Jin-Wook tidak membuat kedua pria itu kagum. Malahan mereka meringis ngilu karena menganggap pria itu mengada-ada.

"Aku merasa kalau aku lebih tampan. Lihat mataku, aku mewarisi sepasang mata biru milik ayahku yang tajam dan terang. Tubuhku juga lebih tinggi dan gagah. Soal keperkasaan? Tidak usah diragukan lagi, ada saksi hidup yang masih sibuk di dalam sana. Kau bisa tanyakan padanya nanti." ujar Percy menyombongkan diri.

Alis Jin-Wook terangkat. "Kau pernah tidur dengan Nayla-ssi?".

Pletak!

Sebuah gelepakan kembali mendarat mulus diatas kepala Jin-Wook, pria itu kembali mengadu kesakitan. Barusan adalah Shin yang melakukan.

"Jaga ucapanmu! Nayla bukan wanita yang mudah untuk disentuh." tukas Shin gemas.

Jin-Wook mencibir dengan bibir yang merengut sebal. "Yeah. Boleh dilihat tapi jangan disentuh. Seperti barang pecah belah yang dijual di RH-Dept bagian barang antik."

Percy tertawa keras. "Dia menggemaskan. Kau tidak tahu bagaimana Shin diperlakukan ketika sembarangan menciumnya. Dia bahkan pernah pingsan setelah dicium."

Shin terdiam sambil menatap Percy dengan dingin. Tidak bisakah bajingan itu menutup mulutnya sedikit saja untuk tidak memberitahukan kelemahan orang seperti itu? Ini bukan soal Nayla yang menjadi objek ejekannya, tapi tetap saja caranya tidak bisa ditolerir.

Jin-Wook yang sudah mengenal karakter semua keturunan keluarga Kim, hanya mengerjap dan memperhatikan ekspresi Shin dengan waspada. Dia tahu kalau Shin sedang meredam emosinya dan menunggu waktu untuk meledak.

"Jadi dengan kata lain, satu wanita lagi yang bernama Laura-ssi?" tanya Jin-Wook yang mencoba untuk mengalihkan pembicaraan.

Percy mengangkat bahunya setengah. "Begitulah. Dia itu mantan kekasihku."

"Mantan? Bagaimana bisa kau terlibat dalam satu proyek bersama mantan? Apakah tidak aneh jika kalian saling berhadapan? Aku kuatir nantinya akan menjadi affair yang berkepanjangan." ujar Jin-Wook prihatin.

"Memang sudah menjadi affair." celetuk Shin langsung. "Dia bahkan berani melakukan seks di ruangan kerjanya."

Jin-Wook meringis. "Eeewww... yang benar saja. Apa kau tidak punya uang untuk menyewa kamar hotel? Kudengar kau adalah pewaris Tristan yang kaya raya. Seharusnya bisa kau lakukan di tempat tertutup dan tidak tergesa-gesa."

"Bukan hal yang aneh untukku melakukannya di ruang kerjaku sendiri. Aku pernah melakukannya beberapa kali dengan menggauli asistenku di kantor." balas Percy geli.

Shin hanya mendengus saja mendengar lanjutan pembicaraan yang mengarah pada kehidupan seks ala Percy di jamannya. Dia terkesan begitu santai dan biasa saja ketika Jin-Wook bertanya untuk kelanjutan ceritanya.

Dia sendiri pun masih berpikir apa yang dialaminya saat ini? Tidak mungkin kalau dia akan bertahan dengan situasi seperti sekarang. Masa proyek yang dijalani mereka tinggal beberapa minggu lagi, hanya ada sedikit hambatan yang sedang diurus oleh Jin-Wook. Selebihnya? Shin tidak tahu apa yang harus dilakukannya ketika proyek ini selesai.

Jika Shin harus kembali pada perusahaannya, Percy pun demikian, lalu Nayla dan Laura juga. Bagaimana bisa dia melanjutkan trial berupa latihan untuk membimbing Nayla agar wanita itu sembuh dari phobianya? Apalagi jika mereka tidak lagi tinggal dalam keadaan seperti ini. LDR tidak termasuk daftar hubungan yang direncanakannya, tapi dengan Nayla kan belum menjadi kekasih. Masih belajar. Itu katanya.

Tapi Shin bukan orang yang sabar, dan dia juga bukan orang yang munafik. Dia tidak akan bisa bertahan dengan hanya mengandalkan hubungan yang tidak memberi kepastian, juga dia tidak ingin terikat komitmen. Baginya, hubungan dengan wanita adalah sekedar fling belaka. Sama sekali tidak berniat serius di dalamnya. Tapi Nayla? Itu berbeda. Dia bukanlah wanita yang pantas diperlakukan seperti itu.

Jujur saja, semakin lama, Shin semakin ragu pada dirinya sendiri. Dia tidak berani untuk berjanji bukan karena dia pengecut. Dia hanya tidak yakin jika dirinya tidak akan menyakiti Nayla, bahkan bisa jadi akan semakin memperparah kondisinya. Balik lagi, Shin bukan orang yang sabar dan sama sekali tidak tertarik dengan komitmen. Apalagi jika harus menahan hasratnya yang besar dengan menanti seseorang yang akan pingsan, hanya dengan menciumnya saja.

Shin tersentak ketika ada sebuah nampan tersodor kearahnya. Disitu terlihat ada Spicy Beef Ramen ala Korean yang menggiurkan. Makanan itu adalah mie yang dimasak dalam kaldu dan ada beberapa topping sebagai pelengkap, yaitu telur setengah matang, daging sapi, dan juga kimchi.

Shin mengangkat wajahnya untuk melihat Nayla yang sedang tersenyum tipis kearahnya. "Maaf lama, aku ingin menikmati ramen yang panas sebagai makan malam di acara berkemah dengan hawa dingin seperti ini."

"Tidak apa-apa, terima kasih." balas Shin senang lalu mengambil alih nampan itu dan menaruhnya diatas pangkuannya.

Laura pun menyusul dan memberikan makanan yang sama kepada Jin-Wook. Percy sendiri mendapatkan ramen yang berkuah bening karena pria itu memang tidak bisa menikmati makanan Korea yang pedas.

Kedua wanita itu membawa makan malam secara susul menyusul. Mereka bahkan masih sempat membuat makanan pendamping dan meletakkan diatas meja kecil yang dibawa mereka, berupa Korean BBQ Chicken Wing, Cheese Tteokbokki, dan beberapa kaleng bir.

"Aku rela menunggu lebih lama lagi jika hidangan makan malam seperti ini." ujar Percy ceria sambil asik menekuni ramennya.

"Aku sangat senang dengan wanita yang pintar memasak seperti kalian." puji Jin-Wook tulus.

Kedua wanita itu memberikan senyuman diiringi wajah yang tersipu malu. Heck! Shin dan Percy hanya memutar bola matanya melihat hal itu. Apa sih bagusnya pria culun itu? Tidak ada kerennya sama sekali, gerutu Shin. Karena dia merasa bahwa dirinya lebih keren diantara kedua pria itu.

Nayla mengambil duduk sambil bersimpu karena masih mengenakan rok pensilnya, demikian juga Laura. Mereka berdua baru saja akan memulai makan malamnya ketika keduanya mendapatkan perlakuan yang menyenangkan.

Adapun Shin segera melepas jaket parasut Adidas-nya dan memakaikannya pada Nayla yang hanya mengenakan kemeja selengannya. Laura pun dipakaikan sebuah jas oleh Percy. Hanya Jin-Wook yang melihat semua itu sambil mengunyah.

"Maaf, bukannya aku tidak tahu berterima kasih. Tapi aku tidak memiliki jas atau jaket yang bisa menghangatkan kalian disaat para pria ini sudah menyodorkannya." ujar Jin-Wook dengan mulut penuh.

Nayla dan Laura terkekeh sementara Shin dan Percy hanya mendengus pelan sambil melotot tajam kearah Jin-Wook yang kembali asik menikmati ramennya. Jika bukan karena Jin-Wook adalah putra dari orang kepercayaan kakeknya, Park Yoo-Jin, sudah pasti Shin akan segera menendangnya keluar dari proyek ini. Untung saja, Alex sudah kembali lebih dulu dan tidak ikut berada disini.

"Apakah enak?" tanya Nayla ketika Shin sudah mulai menekuni ramennya.

Shin mengangguk sebagai jawaban. Suasana dingin membuatnya lapar, dan makanan ini tentu saja merupakan perpaduan yang seimbang untuk tubuhnya. Untuk ukuran wanita seperti Nayla, bisa membuat makanan seenak ini saja sudah mendapat nilai lebih dari Shin untuknya. Dengar-dengar, wanita itu sempat mengikuti kelas memasak pada duo chef yang adalah istri dari para sahabat pamannya, dimana salah satunya adalah ibu mertua dari kakaknya.

"Apakah ada yang kurang?" tanya Nayla lagi.

Shin menggeleng sambil asik mengunyah dan kembali menyuapi dirinya dalam suapan yang besar.

"Apakah daging yang kumasukkan cukup banyak?" tanya Nayla dengan semangat.

Shin kembali menggelang sambil mengerutkan alisnya dan mulut yang masih sibuk mengunyah.

"Bagaimana dengan kuahnya? Apakah cukup seimbang dengan kimchi yang kumasukkan?"

Astaga! Apakah wanita itu harus bertanya dengan pertanyaan yang bertubi-tubi seperti itu? Ikhlas atau tidak sih? Shin mulai menggerutu dalam hati sambil menatap Nayla dan menahan diri untuk tidak sewot. Jika seorang pria tidak memberikan penilaian atau mengeluarkan suara tentang makanan yang disajikan untuknya, itu berarti enak.

"Apakah aku complain dengan makananmu ini?" tanya Shin dengan ekspresi busuknya.

Nayla menggeleng. "Kau hanya diam saja. Biasanya pria diam itu karena dua hal. Yang satu karena marah, yang kedua karena menahan diri."

Yeah, aku menahan diri untuk tidak berteriak menyuruhmu diam, balas Shin dalam hati.

"Itu hanya asumsimu. Yang benar adalah jika pria sedang makan lalu diam, itu tandanya dia menikmati. Kau tenang saja, aku adalah orang yang selalu berterus terang. Jika tidak enak, sudah pasti aku tidak akan mau memakannya." ujar Shin sambil kembali menyuapkan ramen ke dalam mulutnya.

Nayla terkekeh. "Kau ini. Begitu saja marah. Aku kan hanya ingin iseng padamu. Habisnya kau terlihat serius dan tidak banyak bicara."

Nayla pun mulai menekuni ramennya sambil mengikuti obrolan yang terjadi diantara mereka. Kebanyakan seputar perkembangan bisnis yang digeluti, kelicikan dari para pengusaha yang terjadi dan menjadi kasus yang sering ditangani Jin-Wook, juga urusan Percy yang pernah kebagian tugas membeli popok untuk keponakannya yang baru lahir.

Suasana makan malam cukup menyenangkan, bahkan makanan yang banyak itupun sanggup dihabiskan oleh mereka. Shin tidak pernah berkumpul bersama teman sampai seperti ini. Kebanyakan adalah bertemu dengan kolega bisnisnya yang ujung-ujungnya hanya sekedar basa basi untuk memuluskan kerja sama bisnis. Selebihnya? Tidak pernah.

Dia berpikir kalau berteman hanya melibatkan sebuah hubungan yang akan menyusahkannya. Tapi ternyata, semua pikirannya itu salah total. Dia tidak menyangka kalau akan mendapat seorang teman seperti Percy yang gila, Nayla yang konyol, dan Laura yang pintar-pintar bodoh. Belum lagi dengan Jin-Wook yang dikiranya sangat professional, ternyata pria itu seakan tidak tahu malu untuk membanggakan diri dan tidak tahu diri untuk menghabiskan makan malam itu seolah dia kelaparan.

Mereka berlima memutuskan untuk tidak tidur sepanjang malam itu, agar mereka bisa menikmati matahari terbit. Tapi tetap saja, itu hanya wacana. Pasalnya, Jin-Wook sudah tertidur dengan dengkuran keras di dalam tenda itu tanpa berpikir kalau posisi tidurnya sudah mengambil semua ruang tenda itu. Percy dan Laura pun sedang berada di rumah kayu, karena katanya Percy ingin membantu Laura. Cih! Alasan yang tidak masuk akal untuk Shin, sudah jelas-jelas pria itu memiliki niat terselubung.

"Apa kau mau berjalan menyusuri jalan menanjak itu?" tanya Nayla yang membuyarkan lamunan Shin.

Shin mengangkat wajahnya untuk melihat Nayla yang sudah berdiri di hadapannya. Wanita itu sudah menyelesaikan urusan bersih-bersih setelah makan malam usai, dan dia sudah mengganti pakaiannya berupa setelan training wear berwarna pink. Tampak muda dan masih bersemangat seperti tadi, padahal saat ini sudah tengah malam. Sudah jam tiga pagi.

"Kau berani?" tanya Shin dengan ekspresi meremehkan.

Dia menerima uluran jaketnya dari Nayla yang tadi sempat dipakaikannya pada wanita itu, lalu memakainya kembali.

Nayla memberikan senyum setengahnya yang angkuh. "Aku bahkan masih sanggup melihat di tengah kegelapan. Jangan meremehkan wanita yang satu ini, Oppa. Kau akan menyesal nantinya."

Shin tertawa lalu beranjak dari duduknya. "Tentu saja. Ayo kita kesana. Tidak mau mengajak yang lainnya?"

Nayla mengangkat bahunya. "Sebenarnya aku ingin berjalan sendiri. Tapi karena kulihat kau duduk sendiri sambil melamun, aku kuatir kalau kau akan kemasukan roh jahat. Daripada hal itu terjadi, aku terpaksa mengajakmu."

Shin memutar bola matanya dan mulai berjalan di samping Nayla. Mereka berjalan menuju ke jalan panjang yang menanjak menuju kearah bukit. Kanan kiri jalan yang dilewati mereka hanyalah pohon-pohon besar dan tidak ada apapun. Suara berisik dari kunang-kunang pun terdengar begitu jelas karena suasana malam yang begitu sunyi. Senyap. Hening.

"Apa kau sering berjalan keatas sana untuk melihat matahari terbit, Shin?" tanya Nayla memulai pembicaraan sambil memasukkan kedua tangannya ke dalam saku hoodie yang dikenakannya.

"Itu sudah lama sekali. Aku lupa kapan persisnya, karena biasanya aku berjalan kesini hanya sendirian saja." jawab Shin yang juga ikut memasukkan kedua tangannya ke dalam saku jaketnya.

"Tidak dengan keluargamu?" tanya Nayla lagi.

Shin menggeleng. "Keluarga kami cukup aneh. Tidak terlalu dekat dan bahkan terasa asing. Aku baru bisa merasakan kekeluargaan jika aku bersama samchon. Barulah ketika hyeong menikah dengan Ashley, suasana dingin dalam keluarga kami mencair. Aku pun sudah terbiasa menjalani kehidupanku sendirian."

Nayla terdiam dan tidak langsung menanggapi jawabannya. Dia terlihat berpikir lalu menghela nafas dengan pelan.

"Kupikir semua yang ada di dunia ini bisa merasakan kebahagiaan yang sama seperti diriku dalam hal keluarga. Nyatanya banyak yang tidak seberuntung diriku. Aku memiliki orangtua yang sangat menyayangi anak-anaknya. Kakakku pun juga." ujar Nayla akhirnya.

Shin menoleh kearahnya. "Lalu kenapa kau bisa sampai seperti ini? Apa yang menyebabkan dirimu harus mengalami phobia itu?"

Nayla meringis pelan. "Mungkin karena aku terlalu terbuai dengan kasih sayang dari seorang ayah dan kakakku sehingga aku menjadikan mereka sebagai panutan hidupku soal pria idaman. Nyatanya, semakin aku bertambah dewasa, atau ketika aku sudah memahami hubungan antar lawan jenis, disitu aku merasa tidak sesuai dengan apa yang kupikirkan selama ini."

"Kau terlalu berpikiran positif dan menganggap tidak ada yang buruk di dalam dunia ini." gumam Shin pelan lalu tertawa kecil. "Sungguh anak perempuan yang baik sekali."

Nayla tersenyum kecut. "Yeah. Aku yang terlalu berpikir positif dan mengira semua akan baik-baik saja. Terlebih jika melihat para ayah yang begitu menyayangi keluarganya. Tapi begitu aku bisa melihat bagaimana kakakku menjalani masa remajanya yang begitu nakal dengan menjadi player dan mencampakkan wanita tanpa beban, lalu Alejandro yang juga menjalani hal yang sama. Berlanjut dengan para anak laki-laki lainnya yang juga memiliki gaya hidup yang sama."

"Tidak ada pria baik-baik di muka bumi ini, Nayla. Kecuali bayi laki-laki yang baru lahir, seperti keponakanmu atau keponakanku." balas Shin santai.

Nayla mengangguk menyetujui. "Harusnya itu adalah hal sederhana yang bisa kumengerti, tapi ternyata tidak semudah itu. Ketiga kakak perempuanku yaitu Alena, Ashley dan Vanessha seringkali memberitahukanku tentang banyak hal agar aku bisa menyadari. Demikian juga dengan Joan. Tapi aku tetap merasakan sebuah penolakan yang menguar dari hatiku begitu saja."

Shin terdiam dan membantu Nayla untuk menaiki sebuah tanjakan yang cukup curam. Nayla menggumamkan terima kasih dan Shin hanya tersenyum sebagai balasan.

"Dan karena itu, kau menolak semua pria yang mendekatimu? Karena kau menolak untuk terluka dan tidak mau dianggap sebagai wanita yang mudah didapatkan?" tanya Shin kalem.

"Tidak juga. Mungkin karena aku merasa risih dengan perlakuan mereka yang ada maunya itu. Akhirnya, aku mulai mengerti kalau semua pria sudah pasti akan menjadi bajingan. Hanya saja karena pengertian yang sudah bisa kuterima itu, membuatku menjadi takut dan tidak mau kepada pria manapun, khususnya yang suka padaku." jawab Nayla sambil terkekeh.

"Lalu kenapa kau bisa menerimaku dan mau belajar bersamaku, Nayla?" tanya Shin.

Nayla menghentikan langkahnya, demikian juga Shin. Mereka berdua kini saling berhadapan dan saling menatap dengan pikirannya masing-masing.

"Aku merasa kau berbeda. Aku bisa merasakan rasa sakit yang kau pendam selama ini. Kita sama-sama memiliki rasa tertolak yang sama. Bedanya adalah kau yang dulu ditolak karena kekuranganmu, dan aku yang merasa tertolak karena kelebihanku dalam berpikir. Kau juga kesepian, dan kau selalu menyembuhkan kesendirianmu itu dengan caramu sendiri." jawab Nayla dengan pelan.

Shin mengerjap dalam diam. Tidak membalas ucapan Nayla yang benar adanya. Alasannya yang menjadi playboy selalu dianggap orang adalah asumsi untuk pembelaan diri. Pada intinya, dia hanya ingin memberikan pelajaran bagi para wanita yang begitu sombong dengan kelebihannya, dan selalu memandang remeh pria yang menyukai mereka, apalagi jika pria itu tidak memiliki apa-apa.

"Lalu? Apa lagi yang kau rasakan padaku?" tanya Shin sambil mengangkat alisnya setengah.

"Entahlah. Awalnya kupikir kau itu pemaksa, tapi ternyata tidak juga. Sepertinya kau memiliki alasan kenapa kau melakukan itu. Kau hanya bertindak sesuai dengan apa yang kau pikirkan dan mencari tahu lewat tindakan yang sudah kau lakukan. Lalu ketika kau sudah melihat dampaknya, maka kau akan memiliki pengertian yang cukup besar dalam menanggapinya." jawab Nayla kemudian.

"Kau mulai sok tahu rupanya." balas Shin dengan suara bergumam.

Nayla tersenyum hangat padanya. "Bukan berarti aku tidak tahu apa-apa tentangmu, bukan? Jadi, sudahi basa basi ini. Aku ingin membicarakan sesuatu yang penting."

"Aku pikir kau akan terus bersikap jual mahal dengan berlagak ingin berjalan sendiri, padahal ingin ditemani dan menyampaikan sesuatu padaku." sahut Shin sambil terkekeh.

Nayla mengangguk dengan mantap. Dia menatap Shin begitu lama dalam tatapan yang memiliki arti dan pengertian di dalamnya. Tampak kesedihan, kekuatiran dan juga kelegaan di dalam sorot mata Nayla yang sedang memperhatikannya. Wanita itu seperti sedang berpikir untuk apa yang ingin disampaikannya.

"Aku tahu kalau mungkin aku wanita paling aneh yang kau hadapi seumur hidupmu, Shin." ujar Nayla setelah berpikir lama. "Dan aku memang tidak tahu apa yang akan kulakukan jika hubungan ini tidak berjalan dengan lancar karena keanehanku, tapi... aku sudah berusaha keras untuk menolak perasaan bodoh yang terus menggerogoti pikiranku sendiri."

Shin tertegun. Dia merasakan betapa beratnya perasaan Nayla ketika mengatakan hal itu. Apakah mungkin wanita itu berniat untuk menyerah? Damn! Dia tidak menyukai pikirannya barusan tapi ekspresi Nayla saat ini seperti apa yang dipikirkannya.

"Mungkin kau juga akan berpikir kalau aku akan menganggap pembelajaran kita ini hanyalah sekedar mengisi waktu luangmu disaat kita melakukan proyek bersama ini, lalu jika kita kembali pada urusan kita seperti semula, maka semuanya akan hilang begitu saja." ucap Nayla dengan tawa hambar.

"Aku juga memikirkan hal yang sama." balas Shin sambil mengangguk menyetujui.

Nayla mengerutkan alisnya dan menghela nafas dengan berat. "Dan soal ucapan kita tadi di tangga darurat, membuatku berpikir kalau aku harus melakukan sesuatu jika ada hal yang tidak diinginkan terjadi. Aku tidak mau tersakiti dengan sikap bajinganmu, Shin."

Deg! Perasaan Shin soal Nayla yang menyerah semakin besar. Wanita itu seakan menjaga hatinya sampai sedemikian sehingga dia tidak mau menguji dirinya lebih keras lagi. Dia akan kembali menutup rapat hatinya dan tidak akan menerima siapapun. Termasuk dirinya.

"Katakan saja apa yang kau inginkan dan jangan bertele-tele." sahut Shin dengan dingin.

Mendadak dia merasa marah dan tidak terima kalau wanita itu belum-belum sudah menyerah begitu saja. Dia tahu kalau dia adalah satu-satunya pria brengsek, tapi tentu saja apa yang membuat Nayla seperti itu bukan karena ulahnya. Dan jika Nayla menganggap semua pria itu sama, Shin menolak untuk disamaratakan dengan kakaknya, ayahnya, atau semua pria yang ada dalam keluarganya.

Shin tersentak ketika Nayla melangkah untuk mendekatinya lalu meraih satu tangannya dan... Shit! Shin tertegun ketika melihat ada sebuah gelang berbentuk seperti paku melingkar sudah terpakai di pergelangan tangan kanannya.

"Apa ini?" tanya Shin dengan alis berkerut dan menatap Nayla bingung.

Gelang itu seperti ada sistem yang mengaturnya, karena Nayla tampak sibuk menggesekkan jarinya di permukaan gelang itu selama beberapa kali.

"Hukuman untuk pria bajingan yang kuciptakan sendiri. Namanya gelang dosa." jawab Nayla dengan mimik wajah bangga.

What?

"Apa maksudmu?" tanya Shin semakin heran dan mencoba melepas gelang itu tapi tidak bisa. Heck! "Apa-apaan ini, Nayla?"

"Kau sudah berjanji akan menapaki masa depan denganku, tapi hubungan kita masih belum tahu kemana arahnya. Jadi, aku membuat suatu bukti perjanjian yang khusus kubuat untukmu. Yaitu gelang ini. Gelang ini bisa mendeteksi degup jantung dan system syaraf yang terhubung langsung ke otakmu, dia akan memberikan reaksi jika kau tertangkap sedang mendekati wanita lain selain diriku." ujar Nayla mantap.

What. The. Fuck!

"Ini sama sekali tidak lucu." ucap Shin dengan sengit.

"Maafkan aku tapi mau tidak mau harus kulakukan. Aku masih belum bisa memberikan kepercayaan padamu. Tapi kau sudah pasti harus mempercayaiku. Seribu persen aku tidak akan mendekati pria lain jika kau tidak ada." balas Nayla dengan tatapan yang meyakinkan.

"Jadi kau membuat gelang ini untuk menguntitku? Kau bertindak posesif untuk mengendalikan gerakanku dan berpikir dengan seperti ini, maka kau akan mendapatkanku?" seru Shin geram.

"Tenang saja, Oppa. Aku bukan wanita posesif. Aku juga bukan wanita yang cemburuan. Hanya saja ada batas-batas tertentu yang tidak bisa kupercayai darimu. Gaya hidup seorang playboy yang suka main sembarangan itu yang ingin kutolak dari hidupmu. Kau harus mulai hidup sehat. Aku kan tidak mau mendapatkan pria yang membawa sumber penyakit, aku masih suci." tukas Nayla menjelaskan tanpa beban.

"Nayla!"

Nayla merengutkan bibirnya tanda tidak suka dibentak oleh Shin barusan. Dia menyilangkan tangannya sambil menatap Shin dengan tatapan sinis dan tajam.

"Kenapa sih kau marah? Memangnya kau tidak bisa mengambil nilai positif dari apa yang kulakukan?" tanya Nayla dengan alis berkerut.

"Memakaikanku gelang seperti ini dan tidak bisa kulepaskan. Memangnya nilai positif apa yang bisa kupetik dari hal konyol ini? Menghadapi wanita gila sepertimu saja sudah mengorbankan seluruh jiwa dan melelahkan batinku." desis Shin geram.

"Itu berarti aku sudah menaruh semua perasaan anehku hanya padamu saja, Oppa. Don't you see? Selama ini aku tidak pernah peduli kepada pria manapun, tapi kau berbeda. Aku tidak mau sampai kecolongan oleh wanita lain yang tidak selevel denganku. Aku sudah mempelajari mantan wanitamu yang tidak oke. Jadi, bersabarlah sedikit lagi. Kalau aku sudah bisa menguasai diriku dan aku sudah bisa melepaskan pikiran anehku, kau akan kulepas." balas Nayla sambil terkekeh dan menyelinapkan kedua tangannya di pinggang Shin untuk memeluk.

"Tapi tetap tidak bisa ditolerir. Ini bisa termasuk tindakan kejahatan karena kau sudah melanggar HAM. Aku merasa hidupku tidak bebas dan..."

Cup!

Nayla memberikan sebuah ciuman hangat di sudut bibirnya dengan lembut dan begitu singkat. Hal itu sukses membuat Shin bungkam dan tubuhnya kaku selama sepersekian detik. Biasanya, Shin yang memulai lebih dulu jika ada kontak fisik yang terjadi di antara mereka. Tapi lihat sekarang, wanita itu berani memulainya lebih dulu.

"Kalau kau keberatan, aku akan melepaskan gelang ini. Aku hanya tidak ingin menaruh kecurigaan yang berlebihan. Hanya ingin menenangkan diriku saja dan mengerti kalau kau tidak akan macam-macam. Tapi tentu saja tidak bisa. Aku masih belum bisa." ucap Nayla jujur dan meraih pergelangan tangan Shin kembali.

Shin menahan tangan Nayla yang akan membuka gelangnya itu. Dia benar-benar lupa soal Nayla yang tidak mudah mempercayai oranglain dan selalu menaruh curiga pada pria dalam kategori apapun.

"Kau bilang gelang ini akan memberikan reaksi jika aku terdeteksi sedang mendekati wanita lain. Jadi, reaksi apa yang dimaksud?" tanya Shin kemudian.

"Menyetrummu dengan daya listrik paling kuat hingga menusuk sampai ke tulang." jawab Nayla dengan alis terangkat tinggi-tinggi.

Shin kembali tertegun lalu memejamkan matanya sambil menghembuskan nafasnya dengan berat. "Kau benar-benar berniat untuk membunuhku yah?"

Nayla menggelengkan kepalanya. "Tidak juga. Hanya ingin melihat usaha kerasmu dalam menahan diri. Disamping itu, aku tidak rela untuk berbagi. Aku sangat pelit, apalagi jika berhubungan dengan hal yang kusukai."

Shin langsung tersenyum. "Jadi, aku sudah termasuk dalam hal yang kau sukai?"

Nayla langsung mengangguk tanpa perlu berpikir. Sikap terang-terangannya ini membuat Shin senang. Dia tidak seperti wanita lain yang suka menjaga sikap untuk malu-malu seakan memberikan misteri bagi pria.

"Baiklah, aku terima gelang dosa ini. Asal dengan satu syarat." tukas Shin dengan suara tegas.

Nayla mencibir. "Kenapa sih harus memakai syarat? Masih bagus aku menyukaimu. Jangan sok jual mahal, aku tidak suka!"

"Kalau boleh jujur, aku sama sekali tidak merasa bangga disukai oleh wanita gila sepertimu. Aku hanya merasa kau itu berbeda." balas Shin ketus.

"Sama saja. Kau kan juga menyukaiku. Akui sajalah, tidak usah malu-malu mengakui. Katakan apa syaratmu?" celetuk Nayla sambil mundur satu langkah untuk menjauhi Shin.

"Syaratnya adalah jika aku sudah memenuhi keinginanmu sebagai seorang pria waras berdasarkan definisi dari seorang Nayla lewat gelang ini, maka kau harus menerimaku sebagai pendamping pertama dan terakhir untukmu." ujar Shin dengan seringaiannya yang licik.

"Heh? Maksudmu kau ingin melamarku? Ish! Aku tidak semudah itu!" seru Nayla protes.

"Dilarang jual mahal! Kau menyuruhku jangan jual mahal, itu berlaku untukmu juga!"

"Tapi kenapa harus menerimamu sebagai pendampingku? Belum-belum aku sudah merasa kalau kau mengajakku untuk menikah." kembali Nayla memprotes.

"Karena kita sudah membuang banyak waktu. Aku itu orang yang tidak sabaran. Lagipula kau berjanji untuk menapaki masa depan bersamaku." balas Shin tidak mau kalah.

"See? Kau memang tergila-gila padaku! Tapi kau itu sok cool dan sok bersikap nyolot padaku!" sahut Nayla kesal.

"Belum-belum kau sudah begitu padaku. Ya sudah, kita tidak usah belajar seperti ini. Lepaskan gelang ini sekarang juga. Kau tidak mau memenuhi kesepakatanku, itu berarti aku juga tidak mau menyetujui apa yang kau mau padaku." ujar Shin sambil mengulurkan tangannya yang memakai gelang pemberian Nayla agar dibuka olehnya.

Nayla mengerutkan alisnya. "Jadi, kau benar-benar tidak serius untuk menjalani hubungan denganku, kan? Baru dikasih hal seperti itu saja sudah menyerah."

"Siapa bilang aku menyerah? Aku menyuruhmu melepaskan gelang ini agar kau tidak usah mengetesku seperti ini. Aku akan membiarkan kau mengetahui keseharianku selama 24 jam agar kau tenang dan tidak perlu curiga padaku." balas Shin dengan senyuman tengilnya.

"Eh? 24 jam bersamamu? Apa kau gila? Kau mengajakku hidup bersamamu, begitu?" tanya Nayla dengan berang.

"Yeah. Hidup bersama untuk saling belajar dan saling mengenal diri kita lebih baik lagi. Sehidup dan semati. Seperti itu." jawab Shin tanpa ragu.

Nayla terdiam dan matanya melebar kaget melihat Shin. Wanita itu benar-benar kaget dan bungkam setelah mendengar ucapan Shin yang keluar begitu saja dari mulut lancangnya. Apakah Shin sudah cukup gila? Ya. Dia sudah gila. Dan ini adalah pertama kalinya dia mengeluarkan pernyataan yang terdengar seperti sebuah lamaran. Heck!

"Jadi kau mengajakku tinggal bersama tanpa perlu menanyakan pendapatku lebih dulu yah?" cetus Nayla sambil mendesis geram.

Eh?

"Aku..."

PLAK!

Shit! Shin tersentak mendapatkan sebuah tamparan keras begitu saja dari wanita gila itu. Apa yang menjadi kesalahannya lagi sekarang? Pada umumnya, wanita akan terharu lalu menangis karena merasa senang jika dilamar. Tapi sekarang? Kenapa Nayla memukulnya? Meski ini adalah pertama kalinya untuk Shin juga, tapi dia yakin dia sudah melakukan hal itu dengan benar.

"Seenaknya saja mengajakku hidup bersama! Kita masih ada orangtua yang harus kau tanyai pendapat mereka. Masih ada keluarga yang juga perlu tahu. Juga teman-teman dan sahabat kita. Jangan main seenaknya kau mengajakku seperti ini, kau benar-benar sudah menghinaku. Harus berapa kali kubilang kalau aku bukan wanita gampangan seperti itu!" sewot Nayla panjang lebar sambil menatapnya kesal. Ralat. Wanita itu terlihat tersinggung.

PLAK!

Kini giliran Shin yang menampar Nayla karena sudah tidak bisa menerima pukulan tanpa alasan dari wanita gila itu. Meski pukulan itu termasuk pelan dan tidak sekeras yang diterima Shin, tapi hal itu membuat Nayla tersentak dan mengusap pipinya sambil menatap Shin kaget.

"Itu adalah hukuman untukmu karena tidak menghargai perasaan oranglain padamu. Sekarang aku bertindak tegas padamu agar kau sadar kalau kau adalah wanita paling egois yang pernah ada. Setiap kali kau meremehkan perasaan dan ucapan oranglain, ingatkan dirimu atas tamparan yang baru saja kulakukan!" desis Shin sambil melanjutkan langkahnya dan mendengus kesal.

Kenapa wanita itu tidak bisa melihat hal baik sedikit saja tanpa perlu memancing emosinya? Shin malah merutuk dirinya sendiri karena sudah bertindak kasar pada seorang wanita seperti tadi. Damn! Dia merasa kalau hidupnya benar-benar kacau dengan menerima Nayla masuk ke dalam hatinya saat ini. Sepertinya Tuhan benar-benar menghukumnya atas apa yang pernah dia perbuat di masa lalu.

Shin tersentak ketika langkahnya tertahan karena ada sebuah pelukan erat dari arah belakangnya. Dia menoleh dan mendapati Nayla yang memeluknya dengan begitu erat.

"Nayla..."

"Kenapa sih kau sering marah-marah seperti kakek tua yang sensitif? Aku minta maaf, okay? Jangan tinggalkan aku seperti tadi. Tidak apa kau memukulku, aku tidak marah karena memang sudah seharusnya kau membalas perbuatanku yang aneh ini. Terima kasih, Shin."

Shin membalikkan tubuhnya untuk menghadap Nayla dengan alis berkerut. "Terima kasih untuk apa?"

"Terima kasih sudah mengajarkanku banyak hal. Jika aku salah, kau menegurku. Jika aku tidak benar, kau bisa bertindak tegas padaku. Jika aku keterlaluan, kau tidak perlu menjaga sikap untuk sekedar menjaga perasaanku. Barusan aku tahu niatmu untuk melamar, tapi aku hanya ingin kau tidak usah berbelit-belit. Aku lelah mendengarnya. Aku hanya menunggu saat yang kutunggu-tunggu darimu sebenarnya." jawab Nayla sambil memainkan kedua tangannya dan memainkannya sedikit.

"Saat yang ditunggu-tunggu?" tanya Shin bingung.

Nayla mengangkat bahunya. "Mungkin kau sedang bersikap sopan padaku. Jadi kuanggap, kau menjaga wajahmu agar tidak menerima pukulanku. Tapi perlu kau ketahui, kalau aku sudah bisa berpikir sedikit nakal dengan kau yang menarikku ke dalam pelukanmu, lalu menciumku di tengah-tengah hutan seperti ini."

Setelah mendengar itu, Shin langsung menarik Nayla dalam pelukannya dan melakukan persis seperti apa yang diinginkan wanita itu. Menciumnya dengan liar, nyaris kehabisan nafas. Nayla benar-benar sulit untuk dibaca dan dimengerti. Ada saja yang dilakukannya untuk membuat Shin tidak berdaya.

"Shin..." desah Nayla sambil mendorong kedua bahunya untuk mengambil nafas.

Shin melepasnya dan membiarkan wanita itu menarik nafas. Sorot mata wanita itu begitu sayu, tampak cantik dengan segala kepolosannya. Bahkan wanita itu sudah bisa membalas ciumannya dengan sangat baik, tapi itu baru ciuman standart yang diberikan Shin padanya. Yang namanya belajar, harus ada tahapan untuk naik ke level lebih tinggi bukan?

"Jangan menampar atau memukulku, okay?" ucap Shin seakan mengingatkan Nayla untuk menahan dirinya sendiri.

Nayla mengerut bingung. "Kau mau apa?"

"Aku mau membawamu ke level ciuman yang jauh lebih tinggi." jawab Shin dan langsung menekan tubuh Nayla untuk bersandar pada salah satu pohon besar yang ada di belakangnya.

Shin mencium Nayla dengan begitu keras dan dalam. Dia menggigit bibir bawah Nayla sampai wanita itu membuka mulutnya. Disitu Shin melancarkan serangan lidahnya untuk menikmati mulut Nayla dengan seluruh perasaannya. Ciuman-ciuman yang Shin lakukan begitu menggoda kemudian kasar, menempel lalu terlepas, kedua tangannya pun melepaskan rambut Nayla yang terikat dengan lidah yang saling meluncur.

Di tengah kegelapan malam itu, mereka melakukan ciuman itu cukup lama. Bahkan merupakan rekor ciuman terpanjang dan terlama yang dilakukan Shin. Dan dia boleh berbangga diri bahwa sampai ciuman liar itu berakhir, wanita itu tidak melayangkan pukulan kepadanya. Melainkan erangan lembut yang keluar dari mulutnya dan rona merah pada kedua pipinya ketika mereka saling bertatapan dalam diam.



🌷🌷🌷🌷🌷🌷🌷🌷



Akhirnya...
Ada adegan french kiss juga, yes?

Efek baper belom ilang,
Jadi aku membuat tokoh wanita agak sedikit agresif dan 'genit'

🙈🙈🙈🙈🙈

Semoga kalian bahagia.

I purple you 💜








Foto yang terakhir bikin noona gemesh!
Bibirnya kinclong banget, Jin!
Jadi visual nggak usah kurang ajar gitu napa? Hufftt!!

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top