Part 17 - A togetherness to remember

This part is dedicated to ariarydr
One of my loyal readers who I appreciate the most for her votes and critical comments.
Happy birthday to you and may all your wishes come true 💜

Send her some regards, genks!
I purple all of you 💜💜💜💜💜



🌷🌷🌷🌷🌷🌷🌷🌷



Shin mendengus sambil menekan pelipisnya yang membiru dengan pijatan tangannya yang pelan. Jangan lupakan juga cakaran yang memanjang di pipi kanannya yang harus dihindarinya agar dia tidak meringis. Itulah pekerjaannya selama dua hari ini dan tentu saja itu sangat memalukan. Apalagi Percy yang tidak henti-hentinya mengejeknya dengan seringaian puasnya yang menyebalkan. Damn!

T

api Shin tidak harus serta merta mengumpat atau merutuk apa yang didapatinya. Setelah kejadian ciuman liarnya di dalam mobil karena ketika dia melepas ciuman itu untuk mengambil nafas, disitulah Nayla melakukan sesuatu pada wajahnya. Well… wanita gila itu melakukan pukulan telak pada wajahnya. Bahkan sempat dihitung oleh Shin dalam jumlah dua pukulan di dekat pelipisnya dan kuku Nayla yang panjang tergores tidak sengaja di pipinya.

Kejadian itu diakhiri oleh permintaan maaf Nayla dengan wajah yang memucat dan terlihat penuh penyesalan. Hmmm.. Shin mendapati satu kenyataan yang lebih gila dari sebelumnya mengenai Nayla. Bahwa wanita itu mungkin mulai merasakan perubahan dalam hatinya, hanya saja reaksi tubuhnya seakan menolak untuk menerima perubahan itu lewat pukulan yang dilakukannya.

Ketidaksadaran Nayla soal kekerasan yang dilakukannya pada Shin membuat wanita itu menghindarinya sejak dari kemarin pagi atau setelah ciuman itu berakhir sampai sore ini karena dia tidak enak hati padanya. Ck! Wanita itu bisa merasa tidak enak juga padanya. Apa kabar soal yang kemarin-kemarin sebelumnya?

“Kenapa sih kau masih bermain kucing-kucingan dengan Nayla sampai hari ini? Apakah kalian tidak bosan?” ejek Percy sambil memasuki ruangan kerjanya tanpa mengetuk pintu dahulu.

“Jangan mengejekku! Kau juga sama!” desis Shin ketus lalu menerima sodoran berkas dari Percy. “Apakah rapat barusan berjalan dengan lancar?”

Percy mengangguk. “Hanya aku dan Nayla saja yang ada di ruang rapat itu. Tidak ada masalah dan semua sudah berjalan dengan lancar meski ada beberapa hal yang masih belum terselesaikan.”

“Apakah Laura masih terjun ke lapangan tanpa adanya pendampingan dari sini?” tanya Shin dengan alis terangkat curiga kearah Percy.

“Sepertinya begitu dan kurasa tidak perlu ada pendampingan karena masalah yang terjadi itu berasal darinya.” jawab Percy acuh.

“Jangan bohong padaku, Percy! Kita sama-sama tahu kalau kita adalah bajingan disini. Meskipun kau lebih bajingan dariku karena masih sempat-sempatnya menggauli mantan yang mati-matian kau tolak itu. Cih!” cibir Shin sambil menatap sengit kearah Percy.

Percy mengangkat bahunya. “Katakanlah win win solution untukku yang sudah lama tidak menyentuh wanita dan hanya dia yang dekat padaku saat ini.”

“Jadi kalau Nayla tidak memiliki phobia maka kau juga akan sembarangan menyetubuhinya, begitu?” tanya Shin dengan nada tinggi.

Percy mengerutkan alisnya dan menatap Shin heran. “Santai, brother. Aku tidak sampai melakukan hal itu pada wanita baik-baik saja.”

“Dan kau menganggap Laura adalah wanita yang bisa kau pakai dengan sembarangan?” balas Shin dengan nada tidak percaya.

“Kau ini kenapa sih? Kenapa jadi menceramahiku dan seakan tidak senang terhadap apa yang kulakukan pada Laura dan mencurigaiku seperti itu?” desis Percy tidak terima.

“Aku bukan ingin menceramahimu atau mencurigaimu! Aku hanya tidak suka caramu yang murahan itu! Jujur saja kalau kau masih menyukainya dan menaruh harapan lebih padanya. Kau masih menginginkan Laura, that's the point!” seru Shin langsung.

“Aku tidak menganggapnya sama sekali.” celetuk Percy langsung. “Dia…”

“Bagaimana kalau kubilang Laura sempat mengalami bentrok dengan pihak pengelola yang sempat disuruhnya untuk melakukan sabotase itu? Mereka sempat menggertak dan hampir melakukan kekerasan pada wanita itu kalau aku tidak menyuruh dua orang anak buahku untuk mengikutinya!” sela Shin dengan alis terangkat tinggi-tinggi.

Percy tercengang dan ekspresi kagetnya sudah bisa menjadi jawaban untuk Shin. Sadly but true kalau Laura benar-benar nekat terjun sendirian untuk mengatasi urusan yang sempat dilakukannya dan berbuntut pada keributan yang tidak dikehendaki kemarin. Untungnya, Shin sudah meminta dua orang kepercayaan yang bekerja sebagai staff keamanan pada keluarga besarnya agar mengikuti Laura secara diam-diam.

Shin tahu jelas bahwa pihak lokal yang ada disekitaran Gimpo termasuk orang yang tidak mudah untuk diajak kerjasama. Untuk proses pembebasan lahan saja sempat terjadi masalah sampai berbulan-bulan dan akhirnya sampai dibawa ke meja pengadilan dengan pihak Ryeung Holdings Group sebagai pemenangnya.

Tentu saja pihak mereka yang menang jika Kim Hyun dan Ashley Mananta yang menjadi kuasa hukum perusahaan besar mereka. Belum lagi bimbingan dari pengacara senior yang adalah ayah mertua pamannya yang bernama Gordon Wirawan turut andil dalam memenangkan kasus itu.

Sudah teramat salah jika uncle Wayne dan pamannya mengutus Laura untuk menjalani pekerjaan yang tidak seharusnya dilakukan oleh seorang wanita. Shin bahkan menentang keras cara kerja mereka dan memaki mereka dengan umpatan paling kasar kemarin setelah mendapati laporan dari kedua anak buahnya.

“Apakah dia baik-baik saja?” tanya Percy kemudian dengan suara pelan.

“Dia masih bersikeras untuk bekerja agar urusannya cepat selesai dan aku mengijinkannya asal dia didampingi oleh kedua anak buahku.” jawab Shin datar sambil menaruh berkas yang diberikan Percy tadi keatas meja tanpa berniat untuk melihatnya.

“Apakah dia terkena pukulan atau…”

“Dia baik-baik saja. Dia hanya tidak ingin hal itu diketahui oleh siapapun termasuk Nayla. Jika wanita gila itu tahu bahwa Laura hampir mengalami hambatan di lapangan, aku tidak bisa membayangkan kalau besoknya akan ada berita tentang orang-orang yang mati terkapar dengan pisau beracunnya itu. Dia sangat berbahaya.” sela Shin sambil tertawa hambar mengingat sosok wanita gila itu.

Percy mengangguk menyetujui. “Yeah. Dia memang sangat berbahaya dan aku tidak meragukan kemampuannya. Terlebih lagi soal kemampuannya yang bisa membuat high quality playboy sepertimu menjadi seseorang yang begitu receh seperti itu. Wajahmu saja sudah berantakan tapi kau masih bisa tertawa saat membicarakannya. Wow! Apa kau sudah merasa jatuh cinta, jerk?”

Shin mengangkat alisnya setengah seakan tidak ambil pusing dengan ejekan Percy. “Tidak usah repot-repot mengejekku. Sekarang ayo kita berbicara sebagai seorang pria sejati disini. Apa maksudmu mengintimidasi Laura sampai sebegitunya? Memangnya kau benar-benar mau melepasnya begitu saja sementara apa yang kau lakukan selama ini hanya karena belum bisa mengalihkan perhatianmu padanya?”

“Kurasa kau sudah terlalu banyak ingin tahu atas niat ikut campurmu yang tidak diperlukan.” komentar Percy sinis.

“Tidak juga. Aku hanya kasihan kalau Laura tidak ada dan kau akan menjadi lilin diantara aku dan Nayla nantinya.” balas Shin dengan angkuh.

“Memangnya kau sudah yakin kalau Nayla akan menerimamu sebagai kekasihnya?” sahut Percy dengan cibiran.

“Tidak juga sih. Aku tidak akan menargetkan sesuatu jika aku masih belum yakin tapi yang sudah pasti adalah dia memilihku, bukan kau.” tukas Shin enteng sambil terkekeh geli.

Percy terdiam lalu menghela nafas dan mengambil duduk di kursi kosong yang ada di depan meja kerja Shin dengan ekspresi yang masam. Shin sudah menduga kalau bajingan tengik itu hanya berlagak tega padahal masih peduli terhadap Laura.

“Aku tidak tahu apa yang harus kulakukan, Shin. Aku merasa penjelasannya itu terkesan mengada-ada dan tidak bisa percaya padanya lagi.” ucap Percy jujur.

“Itu berarti kau terlalu mencintainya dan sangat kecewa ketika kau tahu dia tidak jujur padamu sedari awal. Aku saja cukup heran ketika kau menjelaskannya padaku kemarin tapi yang harus kau lihat adalah satu titik kecil pada selembar kertas putih. Alasannya yang tidak ingin kau disakiti itulah yang membuatnya mempertahankan hal itu untuk tidak diketahui olehmu dan hal itu kau sebut dengan tidak jujur alias bohong.” tukas Shin kemudian.

“Kau tidak tahu bagaimana rasanya dibohongi, jerk.” balas Percy dengan ketus.

Aigooo! Memangnya hidupmu itu tidak penuh dengan kebohongan? Lagipula soal bohong membohongi itu sudah hal yang biasa. Drama kehidupan apalagi. Mungkin kau lupa kalau aku berasal dari negara yang menghasilkan banyak drama percintaan yang membosankan tapi selalu sukses menyita perhatian khayalak khususnya para wanita rumahan yang kurang diajak berlibur oleh suaminya.” sahut Shin dengan ekspresi tengilnya.

“Ah aku tahu… drama yang sedang membooming itu! Yang terjun dalam dunia game, bukan? Aku sampai mengira kalau itu adalah The Hunger Games versi Korea tapi sepertinya itu sangat tidak masuk akal.” ucap Percy dengan tatapan penuh simpati.

Shin menatap Percy dengan ekspresi jijik. “Diam-diam kau menonton drama? Really?”

Percy meringis mendengar seruan Shin. “Aku tidak menonton tapi aku sempat mendengar Nayla dan Laura yang asik membahas drama itu sambil berteriak ‘PCY sangat keren! Hyun Bin Ahjussi menggairahkan! Aku suka dengan kacamata culun yang dipakai Chanyeol Oppa!’. Astaga! Aku sampai ingin menulikan pendengaranku mendengar histeris mereka lalu melakukan pencarian tentang drama itu di Wikipedia.”

“Lalu apa yang kau dapatkan?” tanya Shin ingin tahu.

“Jujur saja aku merasa terhina dengan apa yang dikagumi oleh para wanita gila itu! Tokoh utama dalam drama itu tampak begitu… pas-pasan dengan wajah seadanya.” jawab Percy sambil mengusap wajahnya dan terkekeh geli setelahnya.

Shin mengerutkan alisnya sambil berpikir. “Jangan-jangan Nayla menyukaiku karena aku memiliki tampang seorang Idol?”

Percy langsung mengangkat wajahnya dan menatapnya dengan tatapan naik turun lalu mengerutkan alisnya dengan ekspresi meringis. “Kalau begitu apakah aku berperan menjadi fanboymu sekarang?”

“What the fuck! Jangan melantur lagi! Pokoknya jangan keterlaluan pada Laura. Aku tidak suka. Jangan mempermalukan kaum pria yang memiliki standart tinggi seperti kita. Jangan sampai terlihat kalau kita hanya memikirkan urusan seputar selangkangan saja meski itu ada benarnya.” ujar Shin sambil mengangkat bahu setengah.

“Oh, jadi kau suka bermain-main di sekitar selangkangan rupanya.” timpal Percy sambil tertawa.

"Bisakah kita hentikan omong kosong ini? Aku merasa seperti pria polos yang sedang digoda oleh gladiator biseks sepertimu.” sahut Shin geli.

“Setidaknya aku sudah sempat melampiaskan hasratku dan kau yang masih menahan diri dengan menjadi biarawan suci karena penolakan wanita.” ujar Percy tidak mau kalah.

“Aku bukan ditolak. Aku masih dalam tahap bersabar untuk menyimpan hal terbaik yang akan kunikmati paling akhir.” balas Shin lugas.

Percy tertawa. “Yeah, definisi kesabaran yang kau maksud adalah mati-matian menahan diri untuk tidak kelewatan supaya bisa menjaga kepalamu agar tidak terputus dari lehermu. Jadinya kau cuma bisa sampai batas mencium bibirnya tapi lihat murka apa yang kau dapatkan?”

Shin hanya melengos mendengar ejekan Percy dan mengabaikannya sambil melihat kearah lain. Mungkin Percy masih bisa mengejeknya sekarang tapi lihat saja kalau nanti dia akan membuktikan kalau Nayla akan bertekuk lutut padanya.

Tatapannya beralih keatas meja kerjanya ketika Percy menaruh sesuatu disana sambil beranjak berdiri dari kursinya. “Titipan untuk kekasih yang sedang bersembunyi karena tidak mau melihatnya.”

Shin tertegun melihat satu pouch berwarna merah dan segera membukanya. Dia melihat ada plester bermotif bunga-bunga, salep untuk lebam dan cairan penghilang nyeri beserta kapasnya ada didalam pouch itu. 

“Titipan dari siapa?” tanya Shin dengan alis berkerut bingung.

“Tentu saja dari Nayla. Dia menitipkan ini padaku setelah keluar dari ruang rapat dengan malu-malu dan buru-buru pergi meninggalkanku menuju ruangannya.” jawab Percy sumringah.

Eh?

“Benarkah?” tanya Shin dengan senyum merekah. Hatinya mendadak berbunga-bunga dan rasa senangnya datang begitu saja.

Percy berckckck ria sambil menyilangkan tangannya. “Apa kau tidak sadar kalau kau terlihat seperti pria yang baru pernah jatuh cinta? Hentikan ekspresimu yang menggelikan itu.”

Shin tertawa dan menggenggam pouch itu dengan senang sambil beranjak dari kursinya.

Wait! Kau mau kemana?” tanya Percy heran saat Shin sudah berjalan mengitari meja kerjanya hendak keluar.

“Mencari wanita yang memberiku ini untuk berterima kasih.” jawab Shin sambil terus melangkah menuju pintu tanpa menoleh lagi.

“Tunggu!” seru Percy dan Shin langsung berhenti melangkah.

“Apa? Jangan bilang kalau kau mau ikut, aku tidak sudi!” desis Shin judes.

Percy memutar bola matanya dan menatap Shin kesal. “Hanya ingin bilang padamu kalau Nayla tidak ada di ruangannya. Sepertinya tadi dia bilang mau mencari dokumen yang ada di ruangan arsip di lantai teratas dan… hey! Shin! Aku belum selesai!!!”

Shin pun tidak mau mendengar kelanjutan ocehan Percy karena dia sudah sangat bersemangat untuk segera menuju ke ruangan arsip yang berada satu lantai diatas lantai ruangannya. Sambil menggenggam pouch pemberian Nayla, dia berjalan dengan tidak sabaran menaiki tangga darurat karena tidak mau menunggu lift yang tidak langsung terbuka untuknya dan sama sekali tidak ingin diinterupsi oleh Percy.

Begitu dia tiba di lantai teratas dan begitu lengang karena tidak ada siapapun di lantai itu lantaran hanya terdapat satu ruangan arsip dokumen untuk semua berkas penting mereka, disitu Shin segera membuka satu-satunya pintu yang ada di lantai itu dan menutupnya dengan pelan.

Dia melayangkan tatapan kepada lemari kabinet yang berjejer rapi hingga membentuk lorong-lorong pada ruangan yang luas itu dan berhasil menemukan satu sosok mungil yang sedang berkutat di sudut lorong kelima. Begitu dia sudah tiba di depan lorong itu, dia tersenyum melihat Nayla yang sedang berusaha mengambil odner yang berada di rak tertinggi sambil berjinjit.

Shin melangkah dengan pelan agar derap langkahnya tidak terdengar dan memposisikan dirinya tepat di belakang Nayla lalu mengambilkan odner yang diinginkan wanita itu tanpa susah payah. Dia bisa merasakan tubuh Nayla menegang dan… BUGG!! Oh shit!

Shin meringis sambil menjatuhkan odner dan pouch itu untuk mengusap rahangnya yang terkena pukulan tiba-tiba. Ya Lord! Apakah harus sebegini sengsara dalam menjalani karmanya dengan membuatnya tertarik pada wanita gila itu?

“Shin! Apa yang kau lakukan disini dan kenapa kau tidak bersuara sama sekali?” pekik Nayla kaget sambil mendekat dan membungkuk kearahnya untuk melihat kondisi Shin yang begitu memalukan.

Tangan Shin yang menangkup rahangnya ditarik Nayla dan wanita itu terkesiap dengan mata yang melebar kaget dan sinar matanya meredup ketika melihat apa yang terjadi pada Shin.

Hiks…” terdengar isakan pelan dari Nayla. “Maafkan aku. Seharusnya kau jangan mendekat padaku atau aku akan terus menyakitimu.”

Eh? Shin tertegun melihat Nayla yang menangis hanya karena tidak sengaja memukul rahangnya. Damn! Lagi-lagi dia berpikir konyol bahwa ada sesuatu yang baik di balik kesengsaraannya. Wanita itu terlihat begitu menyesal dan berkali-kali mengucapkan maaf.

“Jangan menangis. Kau itu kan wanita yang kuat. Daripada kau menangis, ambil pouchmu dan obati aku.” ujar Shin sambil terkekeh dan bergeser untuk duduk bersandar pada lemari kabinet yang ada di belakangnya.

Nayla mengerjap pelan lalu mengangguk. Dia mengusap pipinya yang basah dan membereskan odner yang berserakan di lantai lalu kembali dengan pouchnya. Dia menekuk kedua lututnya untuk duduk menyamping karena memakai terusan selutut dan membuka pouchnya tanpa bersuara.

“Apa yang kau lakukan disini sendirian? Kenapa kau tidak meminta bantuan kepada office boy untuk mengambilkan dokumen yang kau butuhkan?” tanya Shin kemudian.

Nayla masih bekerja pada aktifitasnya dalam mengambil kapas dan membubuhkannya dengan cairan penghilang nyeri. “Kupikir tidak akan setinggi itu dan kalau tidak bisa mengambilnya maka aku akan mengambil tangga yang ada di ujung sana.”

Shin menoleh kearah ujung lorong yang berada di sebrang dan memang ada sebuah tangga yang teronggok disitu. Dia meringis pelan ketika ada sensasi dingin mendarat tepat di rahangnya yang terkena pukulan tadi.

“Maaf.” gumam Nayla pelan. “Lain kali jika ingin datang, harap memanggilku dan jangan diam-diam seperti pencuri tadi. Aku tidak suka. Kau membuatku kaget.”

“Memangnya dengan aku memberi pengumuman kedatanganku, kau akan senang menemuiku?” balas Shin langsung.

Nayla mengangkat wajahnya untuk menatap Shin dengan tajam. “Aku hanya akan menyakitimu dengan memukulmu tanpa sadar, Shin.”

“Apa kau sedih melihatku terkena pukulanmu?” tanya Shin langsung.

Nayla langsung mengangguk dan terus mengusap rahangnya dengan kapas yang sudah diberi obat padanya. “Aku tidak mau menyakitimu.”

“Kalau begitu kendalikan dirimu. Insting kewaspadaanmu hilangkan ketika bersamaku. Aku bukanlah musuhmu, ingat?” balas Shin dengan senyuman setengahnya.

“Tidak semudah itu. Aku…”

“Kalau begitu untuk apa kita mencoba sesuatu yang sudah bisa dipastikan tidak akan berhasil jika sedari awal kau sudah seperti ini?” sela Shin tegas dan itu membuat Nayla terkesiap.

“Kau… ingin me..”

“Aku tidak ingin menyerah. Hanya memberimu pengertian. Kita baru berbaikan dua hari yang lalu dan kembali bersikap seperti ini sekarang. Aku sudah tidak mempermasalahkan soal kau yang memukulku sampai mencakarku. Tapi kau yang terlalu mengambil hati soal ini dan aku merasa kalau nantinya aku akan sedikit memaksamu.” ucap Shin lagi dengan nada santai.

Shin mencoba menyentuh tangan Nayla yang sedang mengusap rahangnya dan wanita itu kembali terkesiap. Tangan kirinya sudah melayang kearahnya tapi dengan cepat ditangkap oleh Shin dan dia menatap Nayla dengan hunusan tajam.

“Kendalikan dirimu. Jika kau masih ingin mencoba denganku dalam menghilangkan phobiamu, maka aku akan bersikap dengan caraku. Aku tidak akan segan-segan menahan pukulanmu sekalipun kita harus bergulat.” tambah Shin dengan alis terangkat seolah menantangnya.

Tangan Nayla yang digenggam Shin mulai gemetar dan Shin malah menangkupnya lalu mencium punggung tangannya tanpa sekalipun mengalihkan tatapannya. “Ini latihan. Tahan dirimu. Lihat mataku dan tidak usah pikirkan hal yang lain. Ada aku disini dan kau tidak akan disakiti karena aku tidak akan membiarkanmu terluka.”

Nafas Nayla mulai memburu dan dia menganggukkan kepalanya sambil menggertakkan giginya seolah menahan sesuatu. Tangan kiri yang masih dicengkeram Shin mulai memberontak tapi itu tidak dilepaskan Shin begitu saja. Untungnya wanita itu memakai terusan sehingga tidak memungkinkan dirinya untuk melakukan tendangan.

“Hitung satu sampai sepuluh dalam hatimu. Tarik nafas dalam-dalam. Kudengar kau pernah melakukan yoga saat pelatihan?” tanya Shin kemudian, berusaha untuk mengalihkan perhatian.

Nayla mengangguk dan sepertinya sedang melakukan apa yang disuruh Shin. Dengan wajah yang memerah seakan menahan gejolak dalam dirinya, Nayla bernafas dalam hembusan nafas kasar sambil mengerjap tidak nyaman.

“Jadi kenapa kau bisa membenci pria?” tanya Shin lagi seakan memancing wanita itu untuk bersuara.

Kedua tangan Nayla mulai kembali memberontak tapi cengkeraman Shin mengetat dimana keduanya masih berkutat dan duduk diatas lantai itu.

“Karena pria itu bajingan! Aku benci melihat kalian yang selalu menyakiti wanita dan menganggap wanita hanyalah barang yang bisa kalian pakai seenaknya.” jawab Nayla dengan geraman yang tertahan.

“Siapa yang melakukan itu?” tanya Shin dingin.

Nayla terdiam dan tidak langsung menjawab. Dia menatap Shin dengan tatapan ragu seakan memikirkan jawabannya. Hmmm

“Bukan kau.” jawabnya pelan.

“Artinya aku bukan bajingan, bukan?” balas Shin dengan seulas senyuman tipis.

“Meski bukan kau yang kulihat tapi kau tetap bajingan karena aku tahu sepak terjangmu di luaran sana.” ujar Nayla sambil mendesis dan kembali berusaha untuk melepaskan cengkeraman Shin tapi sia-sia.

“Kau percaya dengan semua kabar burung itu tanpa menanyakan kepastiannya dariku? Kau mendengar berita dan mempercayainya begitu saja tanpa mau mendengar dari pihak korban yang dibicarakan, apakah itu caramu dalam berhadapan dengan oranglain? Lantas kau juga pasti berpikir buruk tentang ayahmu, pamanmu, saudaramu bahkan semua orang. Lalu pertanyaanku sekarang, apakah kau sudah sangat layak untuk menghakimi oranglain atas tuduhan sepihakmu? Sementara kau masih suka bersikap kasar dan mengeluarkan ucapan seenakmu. Jadi bagian mananya yang harus kupahami? Bisakah kau menjelaskannya padaku? Correct me if I’m wrong, lady.” ujar Shin dengan tegas dan lugas. Sama sekali tidak ada emosi di dalam nada suaranya karena Shin masih bisa tersenyum licik ketika kedua tangan Nayla mulai melemah.

Nayla seakan merenung dan menundukkan kepalanya untuk berpikir. Dia terlihat sedih dan mulai terlihat tenang tapi Shin tidak mau melepaskannya karena wajahnya masih terasa sakit. Dalam hatinya sudah berdoa semoga ketampanannya tidak berkurang.

“Kupikir aku adalah orang yang tidak pantas untuk diperjuangkan karena keanehanku yang seperti ini.” gumam Nayla dengan pelan.

“Kau tidak aneh. Kau itu unik.” koreksi Shin cepat.

Nayla mendongak dan tersenyum melihatnya. “Kau benar-benar berusaha untuk menarik perhatianku yah? Apa kau menaruh taruhan yang besar untuk memenangkan persaingan ini?”

Damn! Shin langsung mendesis sinis dan menatap Nayla tidak suka. Dia heran dengan isi kepala wanita itu yang menumpuk dengan pikiran sampah dalam kecurigaan yang kebenarannya masih diragukan. Sebagian dari Shin merasa tertantang untuk mendapatkannya dan sebagian lainnya lagi Shin ingin menunjukkan diri bahwa dia bisa berubah. Itu saja.

“Awalnya memang sebuah persaingan tapi lama-lama aku menganggap itu adalah tantangan. Jika aku bisa mendapatkanmu, itu adalah bonus khusus untukku. Aku tidak mau sampai terjadi masalah mengingat ikatan keluarga kita yang cukup dekat. Tentunya aku tidak mau merusak persahabatan mereka dengan menjadi bajingan yang menyakiti salah satu anak perempuannya. Disamping itu, masih ada persahabatan para kakak yang membuat kita harus menjaga satu sama lain bukan? Jadi, mulailah dari situ. Sekalipun kita tidak bisa berakhir menjadi kekasih, kita masih bisa berteman.”  jawab Shin menjelaskan.

Alis Nayla berkerut. “Kau sudah menciumku seperti itu dan masih berani bilang kalau kita tidak akan menjadi kekasih? Aku sudah menderita kerugian yang begitu banyak!”

“Jika aku boleh bilang, yang banyak merugi adalah aku. Apa kau tidak lihat wajah tampanku ini? Berhati-hatilah karena nanti akan ada banyak bekas luka yang membuatku tidak bisa melupakanmu.” balas Shin ketus.

Mmmm.. jadi maksudnya kalau kau lihat wajahmu menjadi jelek maka kau akan bilang itu gara-gara aku?” sahut Nayla dengan alis berkerut.

Shin mengangguk. “Dan aku akan dendam padamu karena setiap kali melihat bekas luka yang membuatku teringat padamu.”

Nayla menatapnya dengan tatapan melembut lalu mendekatkan wajahnya untuk memperhatikannya dengan seksama. Hal itu membuat Shin menahan nafasnya selama sepersekian detik dan mengamati sepasang bola mata hijaunya yang tampak begitu cemerlang.

“Kau seperti ini juga menyakitiku. Aku sudah tenang dan kau bisa melepas cengkeramanmu.” ujar Nayla pelan dan Shin baru tersadar kalau dia belum melepas cengkeramannya.

“Maaf.” ucap Shin sambil mengusap kedua pergelangan tangan Nayla akibat ulahnya. “Aku hanya tidak mau menambah rasa bersalahmu karena memukulku secara tidak sadar lalu menjauhiku hanya supaya kau tidak menyakitiku lagi.”

Nayla mengangguk. “Aku tidak merasa nyaman jika hal ini terus berulang, Shin. Aku takut jika tidak bisa menahan diri untuk memukulmu setiap….”

BLAZZZZZZ!!!

Tiba-tiba sekelilingnya menggelap dengan hanya sebuah lampu kecil yang menyala di ujung koridor. Terdengar bunyi klik pada pintu utama ruangan berikut jendela secara otomatis. Saat ini sudah pukul setengah enam sore dimana aktifitas kantor yang sudah jam pulang akan menonaktifkan seluruh ruangan dalam gedung yaitu penerangan dan seluruh elektronik yang ada di setiap ruangan.

Great! Kini mereka terjebak dan Nayla mulai gelisah lalu kembali panik dengan beranjak dari duduknya dan berlari menuju kearah pintu.

“Pintu terkunci, Shin! Bagaimana ini? Kita tidak akan bisa pulang dan kita tidak mungkin menginap disini, bukan?” serunya panik.

Shin masih duduk di posisinya dan mengarahkan tatapannya kearah jendela yang tertutup tirai. Sepertinya hari sudah senja dan dia menoleh kearah Nayla yang kembali padanya. Wanita itu mengambil map kecil yang dibawanya untuk mengambil ponselnya lalu menggeram kesal.

“Ponselku mati karena habis baterai. Apa kau membawa ponselmu, Shin?” tanya Nayla dengan gugup.

Shin menggelengkan kepalanya. “Aku kesini hanya membawa pouchmu dan ponselku masih ada di ruangan kerjaku.”

Nayla mendesah kecewa dan mendudukkan dirinya tepat disamping Shin untuk bersandar di lemari kabinet sambil meluruskan kaki jenjangnya disitu. Shin pun segera melepas jasnya dan menutupi tubuh Nayla yang sepertinya kedinginan.

Thanks.” gumam Nayla pelan.

“Kita menunggu saja sampai ada yang datang menjemput kita. Aku yakin kalau Percy akan mencariku dan dia tahu kalau aku menyusulmu kesini.” ujar Shin kemudian.

Nayla menoleh dan langsung mengembangkan senyuman lega. Dia melingkari lengan Shin lalu menyandarkan kepalanya di bahu pria itu. Damn! Apakah Nayla tidak cukup gila dengan moodnya yang berubah-ubah? Sebentar main pukul, sebentar marah, sebentar sedih dan sebentar bersikap manis seperti ini. Rasanya Shin bertambah menyesal untuk semua dosa yang pernah dia perbuat sampai harus menanggung karma yang begitu menyiksanya dalam permainan emosi yang naik turun.

“Kau yang bersandar padaku jadi jangan pukul aku, okay?” ucap Shin seakan memberi peringatan pada Nayla.

Nayla tersenyum lalu mengangkat wajahnya untuk melihat Shin. “Aku janji tidak akan memukulmu. Aku sebenarnya kedinginan sedaritadi karena pendingin di ruangan ini hampir membuatku mati rasa.”

“Lalu memelukku untuk menghangatkan tubuhmu? Ah, kau sangat murah hati.” balas Shin dengan ekspresi jenaka.

Nayla mengangguk dan mengeratkan pelukan di lengannya sambil memejamkan matanya. Ruangan itu begitu sunyi dan semakin gelap karena cahaya senja semakin memudar berganti sinar bulan yang menerangi tidak seberapa dari celah tirai jendela. Shin pun memiringkan kepalanya tepat diatas kepala Nayla yang bersandar diatas bahunya.

Kebersamaannya kali ini terkesan begitu alami dan tidak disengaja. Shin merasakan ketenangan yang begitu damai dan menyenangkan. Keduanya sama-sama terdiam seakan menikmati momen yang langka seperti itu.

“Boleh aku bertanya sesuatu?” tanya Shin kemudian.

Nayla mengangguk saja.

“Sebenarnya apa hubunganmu dengan Alex, sih adik dari kakak iparku Ashley?” tanya Shin lagi.

“Tidak ada hubungan apa-apa dan hanya sekedar mengelabui Petra waktu itu untuk melihat kesungguhannya pada Joan.” jawab Nayla langsung.

“Jadi kalian tidak pernah berpacaran dan mengkhianati persahabatanmu dengan Joan dalam urusan cinta segitiga lalu ketahuan berciuman oleh ayahmu?” tanya Shin lagi.

Nayla mengangkat kepalanya dan Shin pun juga. Mereka berdua bertatapan dalam keremangan yang masih bisa menangkap siluet wajah masing-masing.

“Aku tidak percaya kalau gosip itu menyebar sampai ke telingamu. Dasar para kakak yang tidak bisa menjaga mulut dengan terus menggosipkan para adiknya.” cetus Nayla sambil mengggeram pelan.

Shin terkekeh sambil mengarahkan kepala Nayla untuk kembali bersandar di bahunya. “Karena aku tahu itu hanya gosip makanya aku bertanya untuk kebenarannya.”

“Kau tidak percaya pada mereka, bukan?” tanya Nayla kemudian.

Shin menggeleng. “Tidak. Justru karena aku tidak percaya pada mereka makanya aku bertanya padamu. Lagipula aku bukan tipe orang yang hanya mendengar dari satu sisi saja untuk berasumsi. Aku akan mendengar dari dua sisi yang berhubungan agar bisa mencerna apa yang terjadi. Kuharap kau mengerti maksudku.”

Nayla terdiam dan tidak menyahut tapi memposisikan dirinya untuk menyamping kearah Shin agar bisa memeluk tubuhnya lebih banyak. Shin merasakan kedua lutut Nayla yang begitu dingin karena mereka duduk diatas lantai granit yang dingin.

Kemudian dia merangkul pinggang Nayla dan memindahkan wanita itu diatas pangkuannya dengan posisi dirinya yang duduk bersila dan Nayla yang duduk diantara kakinya yang menekuk.

“Jangan pukul aku.” bisik Shin pelan.

Nayla menggelengkan kepalanya. “Aku sudah mulai terbiasa dengan kedekatan ini tapi masih sering kaget dengan respon mendadak yang tidak diinginkan. Ingatkan aku jika aku mulai keterlaluan.”

“Itu sudah pasti.” balas Shin sambil tersenyum.

“Jadi menyambung soal yang kau katakan tadi, kurasa kau benar. Aku harus mulai berpikir dari dua sisi dan tidak hanya dari sisiku saja lalu memberikan asumsi sehingga aku berpikir yang tidak-tidak.” ucap Nayla kemudian.

Shin tersenyum saja mendengar pengertian yang diberikan Nayla barusan. Jika memang kebersamaan dalam keheningan sangat bermanfaat, seharusnya dia sudah melakukannya sejak dulu. Tidak usah sampai harus ada kejadian seperti ini dimana sebenarnya adalah…

Drrrttt… ddrrrttttt….

Damn!

“Apakah itu bunyi getaran sebuah ponsel?” tanya Nayla dengan alis berkerut dan dia langsung merogoh ponsel kecil sialan milik Shin yang ada pada saku jas miliknya yang dipakainya itu.

“Oh… yeah. Sepertinya aku lupa kalau…”

“Sedaritadi ada ponsel di saku jasmu dan kau berlagak lupa?” seru Nayla dengan berang sambil mengangkat ponsel cadangannya tinggi-tinggi di depan wajahnya.

Shin mengambilnya dan mengangkat ponselnya dengan tatapan tidak berdosanya. “Halo”

“Dimana kau, Shin? Kantor sudah tutup sementara kau dan Nayla tidak berada dimanapun. Apa kau masih berada di ruang arsip dan tidak bisa keluar? Atau kau memang sengaja ingin dicari dengan alasan kau tidak membawa ponsel sementara ponsel darurat untuk mengirim sinyal ini selalu kau bawa kemanapun?” balas Percy disebrang sana dengan nada lantang.

Nayla mengumpat kesal sambil beranjak dari pangkuannya untuk segera mengumpulkan barang-barangnya. Shin harus merutuk Percy yang selalu saja mengganggu kesenangannya saat ini.

“Jika kau sudah tahu cepat buka pintunya.” ujar Shin dengan nada sedatar mungkin.

“Tanpa perlu kubuka pun kau punya kode master key untuk membuka pintu mana saja yang ingin kau masuki. Sudahlah. Jangan banyak alasan. Aku tidak mau mengganggumu lagi karena harus mengantar Laura pulang.” tukas Percy sambil terkekeh geli.

Sial! Untuk apa Percy repot-repot meneleponnya jika dia sudah berada di luar kantor. Dasar perusak suasana!

“Tutup telepon sialanmu sekarang juga dan jangan membuatku bertambah murka!” bentak Nayla kesal sambil menghentakkan heelsnya ke lantai.

Shin langsung terkesiap untuk menutup ponselnya dan beranjak berdiri sambil memberikan cengirannya. “Jangan marah, please.”

“Bagaimana bisa aku percaya padamu kalau kau selalu mencari kesempatan dalam kesempitan?!” balas Nayla geram.

“Namanya juga sedang usaha. Bukankah usaha itu harus menggunakan akal dan kelicikan yang matang? Lagipula matinya penerangan dan listrik itu memang dilakukan secara otomatis.” sahut Shin santai sambil berjalan menuju ke pintu ruangan lalu menempelkan ponsel kecilnya dan…klik! Pintu pun terbuka.

“Aku kesal denganmu yang selalu mencari-cari alasan dan…”

Shin menarik Nayla dalam pelukannya sebelum mereka benar-benar keluar dari ruangan itu. Barang-barang Nayla pun terjatuh ke lantai dan Shin tidak mempedulikannya.

“Maafkan aku, okay? Aku membutuhkan waktu untuk bersamamu dan ingin mengatakan kalau kebersamaan tadi sangat berkesan untukku.” ucap Shin dengan nada berbisik sambil mengecup pucuk kepala Nayla.

Nayla masih terdiam dan tidak mengatakan apa-apa. Kedua tangan wanita itu terkepal erat di samping tubuhnya dan dia terlihat menahan dirinya untuk tidak melakukan sesuatu.

“Kau sangat brengsek.” desis Nayla sambil mengendalikan nafasnya yang memburu.

Shin menarik diri dan menangkup kedua bahu Nayla sambil terkekeh geli. “Kini aku jadi tahu kalau ternyata kau tidak ada masalah lagi jika berdekatan denganku. Kau bahkan memelukku duluan untuk mendapatkan kehangatan. Kedepannya rasanya akan lebih mudah untuk menyentuhmu lebih dari apa yang kulakukan tadi.”

Sebelum Nayla mengeluarkan luapan murkanya, disitu Shin segera berlari dengan cepat menuju ke tangga darurat dan Nayla mengejarnya dengan kecepatannya yang tidak main-main. Tapi Shin tidak mau kalah karena dia termasuk pelari yang cepat juga dengan terus menghindar dari tangkapan Nayla.

Keduanya berlarian menyusuri gedung itu, dari satu lantai ke lantai lainnya dengan saling menyerang lewat apapun yang bisa menghalau langkahnya dan melempar barang yang bisa digapainya sampai mereka lelah dan menyerah dengan sendirinya.

Seperti itulah kebersamaan yang dilakukan mereka dan Shin berani bersumpah kalau itu akan menjadi kenangan indah yang layak untuk diingat sampai kapanpun bersama Nayla.



🌷🌷🌷🌷🌷🌷🌷🌷



Aku tulis part ini dengan senang hati dan memakan waktu 2.5 jam untuk 4.801 words buat kalian.

Agak-agak gimana gitu sama Oppa 😫
Bapernya masih akut banget.







Masih dalam edisi baper akut yang nggak kuat nahan serangan Oppa kurang ajar itu 😔😔😔

Disarankan agar hati kalian kuat menerima serangan dibawah ini :















And author be like after see those pics :





Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top