Part 14 - The feeling that never had before

Holaaaaa.... 🤣

Aku tuh gitu,
Seneng ngeliat kamu penasaran dan kesel gitu di part lalu 😅

Sekali lagi,
Lapak senang-senang.
Tidak ada yang harus tersakiti karena semua akan mendapatkan kebahagiaannya masing-masing 💜


🌷🌷🌷🌷🌷🌷🌷🌷


Shin mengumpat kesal karena harus segera menuju ke kantornya ketika dia baru saja tiba di Gimpo oleh kakak sialannya itu. Tidak bisakah Hyun berhenti sebentar saja untuk tidak membuatnya kelelahan dalam bekerja? Seharusnya jadwalnya kembali ke Gimpo adalah besok dan bukan sore ini, shit!

Dia sudah kehilangan kesabarannya selama dua hari ini lantaran apa yang dia alami di Seoul ternyata tidak membuatnya senang sama sekali. Masalah pekerjaannya seakan kian bertambah dengan serangan ocehan sana sini dari kakaknya dan pamannya seakan penderitaannya tidak cukup sampai disitu.

Juga ketika malam menyapa di tengah lelap tidurnya, dia memimpikan Nayla yang sedang menangis selama dua malam berturut-turut. Damn! Dia sudah pasti gila karena sempat-sempatnya mencemaskan wanita gila itu ketika dirinya tidak ada.

Saat dia sudah tiba di gedung kantornya, dia segera menuju ke ruangan Percy tapi entah kemana orang itu pergi karena ruangannya kosong. Lalu saat dia keluar, disitu dia melihat sosok Laura sedang berdiri membelakanginya sambil menerima telepon dalam suara serak dan sepertinya sedang menangis di sudut koridor. Ada apa dengan dirinya? pikir Shin.

Dia mencoba mendekat untuk melihat apa yang terjadi pada wanita itu dan samar-samar bisa mendengar ucapan terbata-bata dari Laura disitu.

"Aku sudah tidak bisa, sir. Ini sangat berat dan aku tidak bisa melakukannya lagi." ucap Laura sambil terisak dengan bahu yang terguncang.

Alis Shin mengerut bingung dan Laura terdengar seperti menolak melakukan sesuatu. Dengan siapa dia berbicara?

"Kau tidak tahu karena kau tidak disini. Aku hanya... aku sudah tidak tahan mendengarnya mengatakan hal yang tidak ingin kudengar. Kau tahu jelas kalau aku tidak seperti itu, bukan?" kembali Laura bersuara dalam isakan yang begitu pedih.

Shin bersandar di tembok sambil menyilangkan tangannya untuk mengawasi Laura yang masih berkomunikasi dengan ponselnya. Dia mendengar pembicaraan itu tanpa ekspresi dan dengusan nafas yang terdengar kasar. Apakah Laura memiliki hubungan dengan oranglain dan merencanakan sesuatu yang tidak baik diantara mereka? Jika ya, Shin tidak akan tinggal diam dan membiarkan Laura mengusik ketenangan yang sudah sangat sulit terjadi ketika mereka berkumpul.

Tidak lama kemudian, Laura sudah selesai menelepon sambil mengusap wajahnya dan berbalik lalu tersentak kaget hingga melompat ketika melihat Shin berdiri disitu. Shin hanya menatapnya dengan datar sambil mengangkat alisnya setengah seakan memberitahukan wanita itu bahwa dia sudah mendengar semuanya.

"S...Shin! Kau disini?" tanya Laura kaget sambil mencengkeram ponselnya erat-erat.

"Bisa kau jelaskan dengan siapa kau berbicara dan apa maksud dari semua itu?" tanya Shin dengan nada dingin.

Laura terkesiap. "Sejak kapan kau disini dan apa yang sudah kau dengar?"

"Cukup lama sehingga aku tahu apa rencanamu." balas Shin santai.

Laura mengedarkan pandangan sekeliling dan langsung menarik tangan Shin agar bergerak untuk menuju ke ruangan kerjanya. Setelah tiba di ruang kerjanya, Laura menaruh ponselnya dan mengusap wajahnya dengan gugup seakan dia bertambah frustrasi.

"Aku harap kau tidak salah paham, Shin." ucap Laura dengan suara gemetar.

"Yeah. Aku tidak salah paham dan tidak akan salah dengar karena kau berniat untuk membuat masalah pada konstruksi yang sudah berjalan sehingga terkesan adanya hambatan disitu. Pantas saja urusan disini tidak kelar-kelar dan ternyata ada oknum yang berniat menyabotase disini." balas Shin dengan alis terangkat menantang sambil menyilangkan tangannya.

"Aku hanya melakukan perintah." sahut Laura membela diri.

"Betul sekali. Kau hanya menjalankan perintah yang sama sekali tidak kau saring dulu apakah itu benar atau tidak. Malahan kau menjerumuskan temanmu sendiri. Apa-apaan sih kau ini? Apa tidak cukup kau membuat kekacauan seperti kemarin?" desis Shin kesal.

Shin masih mendendam soal Laura dan Nayla yang mengotori mobilnya dengan muntahan mereka sehingga mobil yang baru dibelinya harus masuk ke dalam bengkel untuk waktu lama.

"Aku minta maaf dan karena itulah aku sudah mengatakan kalau aku sudah tidak bisa. Aku tidak tahan mendengar hinaan yang Percy lontarkan padaku. Aku bukan jalang dan apa yang terjadi diantara kami itu adalah kesalahpahaman dimana aku masih belum bisa melupakannya." isak Laura sedih dan ekspresi yang begitu pilu.

"Kalau kau tidak ingin dikatai seperti itu, berhentilah bersikap seolah kau seperti itu. Jika dia tidak mau mendengar penjelasanmu, jelaskan padanya apapun yang terjadi. Tidak dengan cara murahan yang kau lakukan hanya demi bisa mendekatinya." ucap Shin dengan nada tidak peduli.

"Aku sudah menjelaskannya meski baru sedikit. Tapi dia tidak percaya dan tidak mau mendengarku lagi." sahut Laura dengan serak.

"Kalau begitu angkat kepalamu tinggi-tinggi dan lepaskan apa yang sudah menjadi masa lalu. Tugasmu sudah selesai karena sudah menjelaskannya. Masalah dia mau percaya atau tidak, itu adalah hak Percy. Dalam hal ini kau tidak bisa memaksakan kehendak, Laura!" ujar Shin dengan tegas.

Laura langsung terdiam mendengar ucapan Shin dan sorot matanya begitu sayu. Wajahnya memerah dan terlihat dia sudah menangis cukup lama. Sedari awal, Shin sudah yakin kalau ada unsur kesengajaan dengan adanya Laura di dalam proyek ini. Dia sudah sangat yakin kalau para tetua ikut andil dalam masalah ini dan Shin tidak akan diam saja mulai dari sekarang. Mereka harus membayar apa yang sudah mereka perbuat dalam mengacaukan hidupnya.

"Maafkan aku, Shin. Aku janji aku tidak akan mengulang perbuatanku lagi. Aku akan menyelesaikan permasalahan yang sudah kubuat dengan orang lapangan karena Percy sudah menemukan ada yang tidak beres dalam lokasi." tukas Laura sambil mengusap wajahnya yang sembap.

"Bagus! Lakukan itu dan jangan cari masalah lagi atau aku akan menendangmu keluar dari sini dengan cara tidak hormat!" desis Shin tajam lalu hendak keluar tapi langkahnya tertahan ketika Laura mencengkeram tangannya dan menghalangi langkahnya dengan berdiri di hadapannya.

"Ada apa?" tanyanya dingin.

Laura menatapnya dengan raut wajah penuh syukur dan tersenyum penuh kelegaan kearahnya. "Terima kasih untuk mau menyembunyikan hal ini dari Nayla dan Percy."

"Aku tidak bilang aku akan membantumu untuk menyembunyikannya. Aku bilang aku ingin kau membereskan permasalahan yang sudah kau buat dan memberimu kesempatan agar kau tidak mengulang perbuatanmu!" koreksi Shin tegas.

Laura mengangguk patuh dan menatapnya seakan ingin menyampaikan sesuatu dari ekspresinya yang gugup.

"Ada apa lagi? Katakan saja. Aku tidak punya banyak waktu untuk meladenimu." sewot Shin dengan nada sinis.

"Aku ingin kau menutup matamu sebentar karena aku ingin mengucapkan terima kasihku." ucap Laura tanpa melihat kearahnya.

Alis Shin semakin mengerut dengan keanehan wanita gila itu. "Aku tidak butuh ucapan terima kasihmu jika..."

"Aku janji kalau aku tidak akan mengulang perbuatanku lagi dalam mengacaukan proyek ini jika kau mau menerima ucapan terima kasihku. Sekali ini saja, Shin." ucapnya dengan sungguh-sungguh dan kini menatapnya dengan tatapan penuh harap.

Shin tertegun ketika melihat Laura seakan memohon padanya dengan air mata yang berlinang begitu saja dari kedua matanya. Apa yang diharapkannya dan kenapa harus seperti itu?

"Please..." ucapnya lagi dengan suara tercekat.

Shin mendengus pelan lalu menutup matanya sesuai dengan permintaan wanita itu. Dia belum sempat bergerak ketika dia merasakan Laura menarik kerah jasnya sehingga dia agak sedikit membungkuk dan... shit! Laura menciumnya tepat di bibirnya sambil melumatnya pelan. Belum selesai kekagetan Shin, ketika dia membuka matanya disitu dia mendapati Nayla berdiri di ambang pintu dengan Percy yang ada di belakangnya. Double shit!

Shin menatap Nayla yang sedang melihatnya dengan sorot mata sedih dan tubuh yang berguncang seakan membawanya teringat dengan mimpi soal Nayla yang menangis di depannya selama dua malam ini. Bahkan ketika Shin memanggilnya, wanita itu membalikkan tubuhnya seakan tidak ingin dirinya melihat kesedihannya.

"Jangan panggil-panggil Nayla, Shin. Kau tahu jelas kalau phobianya kepada bajingan semakin menjadi dengan melihatmu mencium wanita yang katanya adalah teman baiknya. Disamping itu, kau adalah pria bajingan yang sudah mengambil ciuman pertamanya. Dengan begitu posisimu sudah tamat di hadapan Nayla."

Ucapan Percy barusan seakan menamparnya dan membuat Shin merasa tidak terima karena kesalahpahaman ini. Percy bahkan merangkul Nayla untuk keluar dari situ dan Shin tidak mau tinggal diam.

Dia menoleh kearah Laura dengan berang ketika wanita itu menatapnya dengan tatapan sedih dan menyesal. Damn!

"Kau benar-benar tidak termaafkan, Laura!" desis Shin sambil menunjuk kasar kearahnya.

Laura mengangguk. "Inilah yang terjadi padaku ketika Percy melihatku berciuman dengan Riley. Kesalahpahaman. Dan sekarang aku ingin melihat apakah kau bisa mewujudkan ucapanmu sendiri soal yang kau bilang akan menjelaskannya apapun yang terjadi. Kita lihat apakah Nayla akan mendengarkanmu atau tidak."

"Kau..."

"Inilah caraku untuk membalasmu karena kau tidak akan pernah memahami perasaanku, Shin. Kau dan Percy adalah wujud pria egois dalam mementingkan egonya dan menganggap wanita tidak layak untuk dihargai." tambah Laura sambil mengusap airmatanya.

Shin menggertakkan giginya dan tidak mau berlama-lama meladeni wanita itu. Percy benar, pikirnya. Dia adalah jalang. Shin segera berlari untuk mengejar Nayla dan mengumpat ketika pintu lift itu tertutup. Tanpa berkata apapun, Shin segera berlari menuju tangga darurat dan turun dengan langkah lebarnya yang cepat.

Dia tidak tahu kenapa dia merasa harus menjelaskannya pada Nayla dan tidak suka melihat ekspresi sedih dari wanita gila itu. Hanya saja mimpi tentang wanita itu yang menangis selama dua malam berturut-turut membuatnya sedikit banyak merasa terbeban ketika berada di Seoul. Hati kecilnya selalu menyuruhnya untuk kembali ke Gimpo karena sepertinya dirinya dibutuhkan.

Dia berlari dengan cepat ketika sudah mencapai lantai dasar dan segera keluar menuju lobby lalu berhenti tepat ketika pintu lift itu terbuka. Sambil bernafas terengah-engah, Shin bisa melihat Nayla yang sedang menyentuh wajah Percy dimana keduanya sedang bertatapan. Crap!

Keduanya menoleh dan tersentak menatapnya. Percy yang terlihat marah dan Nayla yang terlihat sedih. Tapi Shin tidak peduli karena dia segera meraih tangan Nayla lalu menariknya keluar dari pintu besi itu.

"Shin, lepaskan dia!" seru Percy yang mengejar mereka.

"Lepaskan aku, brengsek!" desis Nayla sambil melancarkan sebuah tendangan keras kearahnya tapi dengan cepat Shin menghindar dan mengangkat tubuh Nayla ke dalam gendongannya seperti memikul karung beras.

"Aku tidak akan melepaskanmu sebelum aku berbicara." balas Shin dan langkahnya terhenti ketika Percy menghadangnya.

"Lepaskan dia!" seru Percy dengan nada tajam.

"Minggir! Kita akan berurusan juga tapi nanti setelah aku menyelesaikan urusanku dengan Nayla!" balas Shin yang kembali melanjutkan langkahnya tapi Percy bergeser untuk kembali menahan langkahnya.

Shin menangkup kedua kaki Nayla yang tidak berhenti bergerak dan menahan nafasnya ketika wanita itu memukul punggungnya dengan keras sambil mengumpat.

"Shin, aku..."

"Diam kau, brengsek! Aku tidak punya banyak waktu untuk meladenimu karena sebenarnya kau yang bermasalah disini! Cari jalangmu itu dan buat perhitungan padanya! Tanyakan apa yang dia lakukan tadi dan ini semua adalah ulahnya!" teriak Shin berang sambil memukul bokong Nayla dengan kencang sampai wanita itu menegang diatas gendongannya karena Nayla terus memberontak.

"Jika kau masih tidak bisa diam, aku akan menyetubuhimu sekarang juga!" ancam Shin murka sambil terus melangkah dan mengabaikan tatapan tertegun dari semua pekerja dan Percy yang ada disitu.

Tidak ada perlawanan dari Nayla karena sepertinya wanita itu cukup terkejut dengan pukulan bokong yang dilakukannya dan Shin tidak peduli jika dia akan mengalami ruam-ruam karena itu bisa diurusnya nanti.

Dia menghempaskan tubuh Nayla di kursi penumpang bagian depan dan memakaikan sabuk pengamannya. Nayla tampak terdiam dengan sorot mata kosong dan tidak berdaya. Damn! Shin mendengus saja sambil menutup pintu mobilnya dengan kencang dan melirik sinis kearah Percy yang kembali mendatanginya.

"Kau tidak bisa melakukan itu, Shin! Dia sudah memintaku untuk menjadi kekasihnya dan..."

"Tutup mulutmu, bajingan! Aku bilang pergi ke Laura sekarang dan selesaikan urusanmu! Semua masalah yang terjadi karena ulahnya yang masih mengharapkanmu! Jika kau masih tidak mau mendengarkanku untuk menyelesaikan urusanmu seperti saat di festival waktu itu, maka aku akan memakai hak mutlakku sebagai CEO untuk menendang kalian keluar dari proyek ini!" sela Shin dengan sengit dan wajah yang semakin berang.

Tanpa menunggu balasan Percy, Shin masuk ke dalam mobilnya dan melajukan mobilnya untuk keluar dari area gedung dengan Nayla yang masih duduk terdiam di sampingnya.

Damn! Apa sih yang ada dalam pikirannya saat ini? Kenapa dia bisa sampai semarah ini hanya karena kesengajaan yang dilakukan Laura dan kesedihan yang terpancar dari wajah Nayla? Ini tidak benar, pikirnya. Dia sudah semakin tidak mengerti apa yang dilakukannya dan sedang apa dirinya sekarang.

BUGG!

Shin meringis kesakitan dan spontan menginjak pedal rem ketika menerima sebuah pukulan keras di kepalanya. Dia menoleh dengan berang kearah Nayla dimana wanita itu juga menatapnya dengan tatapan yang sama.

"Apa yang kau lakukan, huh?" bentak Shin geram.

"Kau sangat kurang ajar dan tidak tahu malu! Berani-beraninya kau membawaku dengan cara kampungan seperti ini dan apa maumu sebenarnya? Kau sudah asik berciuman dengan temanku dan sekarang kau..."

"Jangan menyebutnya dengan sebutan teman! Wanita itu tidak layak untuk mendapatkan perhatianmu!" sela Shin sambil mendengus dan kembali melajukan kemudinya dalam kecepatan diatas rata-rata.

"Setelah kau menciumnya lalu kau mengatainya seperti itu? Memangnya wanita serendah itu di matamu?" seru Nayla dengan suara tercekat.

Haish! Shin menggeram ketika melihat Nayla yang kembali menangis tiba-tiba karena mendapati teman sialannya itu kembali dihardik oleh oranglain. Kemarin dia juga menangis saat Percy mengatai Laura jalang dan sekarang giliran Shin yang mengatainya tidak layak.

"Aku mengatakan itu bukan karena aku merendahkan wanita. Tolong dibedakan. Aku mengatakannya karena itu adalah kenyataan dan dia tidak seperti apa yang kau pikirkan. Dan kau tidak perlu merasa harus bertanggung jawab atas apa yang menimpa orang lain akibat dari apa yang mereka lakukan." ujar Shin dengan tegas dan penuh penekanan.

"Tapi kau mengeluarkan kalimat yang tidak pantas untuk orang yang baru saja kau cium!" bentak Nayla kesal.

"Aku tidak menciumnya dan aku dijebak! Lagipula apa bedanya aku yang mengatainya dengan kau yang juga sering mengataiku?" balas Shin tidak kalah kesalnya.

"Karena kau pantas!" sahut Nayla cepat.

"Kalau begitu sama! Dia juga pantas dan kau juga pantas mendapat predikat gila dariku!" sembur Shin sambil memukul setirnya dengan berang.

Nayla kembali memukul Shin tapi kali ini di lengannya dan itu tidak kencang. Wajahnya merengut dan dia membuang muka keluar jendela sambil mencengkeram sabuk pengamannya erat-erat. Keduanya terdiam dan menciptakan keheningan yang begitu menyesakkan. Shin tidak suka dengan suasana seperti ini. Aneh, pikirnya.

"Aku tidak tahu apa yang aku lakukan saat ini tapi aku hanya ingin bilang kalau apa yang kau lihat itu hanya salah paham. Itu ulah Laura yang ingin membalas ucapanku soal penjelasan yang tidak diterima Percy padanya." ujar Shin memulai pembicaraan sambil menghembuskan nafas disitu.

Nayla menoleh kearahnya dengan alis berkerut lalu menatapnya dengan tatapan menerawang. Shin melirik kearahnya dan mendapati Nayla sedang menghela nafas dan memijat pelan keningnya.

"Sebenarnya aku lelah. Dua hari ini jantungku bermasalah dan aku benci dengan kondisi tubuhku sekitar belasan menit yang lalu." ujar Nayla memulai pembicaraannya. "Bersama Percy, aku mulai cukup tenang dan tidak ada yang kukhawatirkan karena sepertinya aku nyaman dengannya. Tapi... tetap saja aku merasa ada yang tertinggal di dalam sana."

"Mungkin kau sudah menyukai Percy secara tidak langsung." balas Shin sambil membelokkan kemudinya menuju ke sebuah tempat yang sudah lama tidak dikunjunginya.

"Begitukah?" tanya Nayla kemudian.

Shin mengangguk. "Kau hanya mengalami satu fase tertarik pada lawan jenis dengan reaksi tubuh yang cukup standart."

"Tapi kenapa aku merasakan degupan yang menyakitkan setiap kali mengingat dirimu, Shin?"

Eh? Shin langsung menoleh kearah Nayla dengan tatapan kaget. "Maksudmu? Kau membenciku sekali sampai sebegitunya?"

"Aku memang membencimu." balas Nayla langsung. "Hanya saja saat melihatmu yang tadi seperti itu pada Laura malah membuat dadaku berdegup semakin kencang dan hatiku terasa semakin nyeri. Aku sampai mencoba berpikir untuk bagaimana jika aku berpacaran saja dan meminta Percy menjadi kekasihku."

"Apakah Percy langsung menerimamu?" tanya Shin sambil memperhatikan papan jalan yang mengarah ke sebuah perbukitan dengan jalan yang mulai menanjak.

"Tidak. Dia kaget dan tidak sempat menjawab karena lift sudah berbunyi lalu kau yang langsung menarikku." jawab Nayla kemudian.

Shin mengangguk dan menatap Nayla dengan tatapan penuh simpati yang palsu. "Maaf mengganggu kesenanganmu. Semoga kau tidak semakin membenciku."

Nayla menggeleng dengan ekspresinya yang bingung. "Justru sebaliknya. Aku malah merasa lega kau datang dan mengejarku demi menjelaskan sesuatu padaku. Lalu saat kau mencengkeram tanganku dan mengangkatku lalu memukulku, disitu aku baru tersadar kalau aku tidak merasakan apa-apa."

"Maksudmu?" tanya Shin tidak mengerti dan menoleh kearah Nayla dengan alis berkerut.

"Lihat ini." ujar Nayla sambil mengarahkan pergelangan tangannya lalu mengangkat rambut panjangnya yang tergerai untuk memperlihatkan leher jenjangnya. "Aku tidak ruam dan tidak gatal seperti biasanya. Waktu kau iseng padaku, tubuhku langsung bereaksi. Tapi sekarang tidak terjadi apa-apa."

Shin menggaruk kepalanya yang tidak gatal dan melirik kearah Nayla dengan tidak yakin. "Apa jangan-jangan kau sudah naksir padaku dan mulai menyukaiku?"

"What? Yang benar saja." desis Nayla ketus.

"Siapa tahu? Aku kan hanya menebak. Bisa jadi kau sudah terbiasa dengan keisenganku dan kau tidak akan terpengaruh padaku lagi mengingat aku sudah keterlaluan padamu." balas Shin sambil mengangkat bahunya dengan cuek.

Wait! Shin tersentak ketika baru menyadari apa yang dikatakannya barusan. Astaga! Apakah mungkin ciuman yang dia lakukan pada Nayla sudah memberikan sedikit pengaruh pada wanita itu bahwa sentuhan fisik tidak lagi mempengaruhi wanita itu? Jadi dengan kata lain, jika Shin menyentuhnya maka dia tidak akan berubah menjadi wanita mengerikan? Whoaaa... Shin mendadak senang dengan pikiran ngawurnya barusan.

"Dan yang lebih anehnya lagi, kau kan sudah dua hari tidak ada karena ada urusan di Seoul, bukan?" tanya Nayla kemudian dan Shin langsung mengangguk.

"Ada apa memangnya?" tanya Shin balik dan melajukan kemudinya secara perlahan memasuki sebuah pekarangan rumah.

"Selama dua hari tidak melihatmu, dadaku terasa sesak dan degup jantungku tidak normal. Tapi sekarang baik-baik saja." jawab Nayla dengan wajah sungguh-sungguh.

"Wah jangan-jangan kau rindu padaku." celetuk Shin riang sambil menoleh kearah Nayla dengan senyuman lembut padanya. "Sepertinya kau mulai naksir padaku. Mungkin saja kau teringat dengan ciuman kita."

Wajah Nayla semakin merengut dan itu malah membuatnya terlihat semakin menggemaskan di mata Shin. Heck! Wanita gila itu bisa membuatnya gemas juga.

"Aku tidak mungkin naksir padamu, Shin. Aku hanya merasa aneh kenapa reaksi tubuhku malah berubah-ubah saat bersamamu. Dengan Percy, aku malah merasakan kesedihan yang dia rasakan seperti ketika aku melihat wanita yang tersakiti oleh pria-pria kenalanku." ucap Nayla mengoreksi.

"Perasaan yang kau rasakan pada Percy adalah simpati. Sedangkan padaku, kau tidak simpati melainkan suka atau naksir. Intinya seperti itu." balas Shin dengan penuh percaya diri.

Nayla mendengus dan menatap Shin dengan galak. "Kalau kau masih saja narsis, aku tidak akan segan-segan menendangmu dan menusukmu dengan apapun yang kutemukan di dekat sini, Shin!"

Shin menyeringai sambil menarik gigi kemudinya ketika sudah menghentikan mobilnya lalu mencondongkan tubuhnya kearah Nayla agar bisa melihat wanita itu lebih dekat. "Jika hal ini bisa membuatmu senang atau tenang, aku akan memberitahukannya padamu. Selama dua hari aku di Seoul, aku selalu terbeban untuk segera kembali kesini. Aku merasa ada yang tertinggal dan aku sampai memimpikan dirimu yang menangis di hadapanku."

Nayla mengerjap kaget dan menatap Shin dengan tatapan menilai sekarang. Alisnya tetap berkerut dan dia berusaha untuk menjauh dari Shin sebisanya.

"Apa maksudmu?"

"Mungkin aku bisa merasakan kegelisahanmu dan kesakitanmu itu. Orang bilang rindu itu berat. Lalu akan menimbulkan sebuah perasaan yang sakit jika tidak melihatnya lalu gelisah jika tidak mengetahui kabarnya. Selama ini aku tidak pernah merasakan hal seperti itu karena wanita yang pernah bersamaku sama sekali tidak berarti untukku. Tapi... ini pertama kalinya aku merasakan hal ini dan aku merasa lebih baik saat bersamamu sekarang." ujar Shin dengan jujur.

Memang seperti itu yang Shin rasakan selama dua hari ini. Bukan berniat untuk merayu atau menggoda. Lagipula apa untungnya merayu dan menggoda wanita seperti Nayla yang jika berdekatan dengan pria saja sudah mencak-mencak tidak karuan? Nayla tidak seperti wanita yang selama ini dikenalnya. Dia berbeda.

"Aku merasa jijik mendengarmu mengucapkan kalimat seperti itu tapi dengan berat aku sampaikan kalau aku juga sepertinya merasa demikian." balas Nayla tanpa beban dan mood Shin langsung drop seketika.

"Kau tahu? Memang sangat tidak ada gunanya berbicara baik-baik padamu. Aku sewot, kau bilang aku brengsek. Aku jujur, kau malah jijik. Kalau pria tidak tahan dengan ocehan wanita lalu memilih untuk mundur, kau pasti bilang kalau pria akan main tinggal saja setelah mendapatkannya. Cih! Sungguh sangat wanita sekali!" cetus Shin judes sambil melepas sabuk pengamannya dengan kasar.

Nayla terkekeh dan ikut melepas sabuk pengamannya lalu mengedarkan pandangannya keluar jendela. "Kita sedang berada dimana?"

"Rumah kayu milik samchon yang dihadiahkannya padaku karena kalah taruhan." jawab Shin sambil membuka pintu diiikuti Nayla.

"Sepertinya disini menyenangkan." gumam Nayla sambil menutup pintu mobilnya dan berjalan untuk menatap sekelilingnya.

"Benar sekali. Rumah kayu ini cukup menyenangkan dan sejuk karena berada di kaki bukit." ujar Shin sambil duduk diatas kap mobilnya.

Nayla menoleh kearahnya sambil memeluk tubuhnya sendiri. "Kenapa kau mengajakku kesini, Shin?"

"Entahlah. Aku juga bingung kenapa bisa berniat membawamu kesini." jawab Shin sambil melepas jasnya dan hendak memakaikannya untuk Nayla tapi dia ragu. "Mau kupakaikan atau kau mau pakai sendiri?"

"Untuk apa?" tanya Nayla bingung.

"Kulihat kau sepertinya kedinginan." jawab Shin pelan lalu melingkari jasnya di tubuh Nayla.

"Apa kau seperti ini untuk mencari perhatianku agar aku menyukaimu?" tanya Nayla dengan alis berkerut sebal.

Shin mendengus sambil menggertakkan giginya. See? Tidak ada gunanya sama sekali dengan menjadi orang baik sekali saja dimata wanita gila itu. Selalu saja dicurigai dan tidak ada baik-baiknya sama sekali.

"Terserah kau saja. Aku sudah cukup lelah untuk berdebat denganmu." tukas Shin sambil berjalan melewati Nayla dan menuju kearah rumah kayu itu.

"Aku hanya bertanya dan maklumi aku. Kupikir semua pria selalu melakukan hal klise untuk menarik perhatian wanita dengan bersikap layaknya gentleman dan..."

Suara Nayla terhenti ketika Shin yang berjalan di depannya tiba-tiba menghentikan langkahnya dan berbalik untuk menatapnya dengan sorot mata tajam tanpa senyuman disitu.

"Aku maklum saja jika kau tidak pernah bersama dengan pria tapi karena kau sudah tahu jelas mengenai keadaanmu, berhentilah mencurigai oranglain yang tidak kau kenal. Don't judge people until you step in their shoes. Things are not always what it looks like from the outside!" ucap Shin dengan penuh penekanan sambil menatap tajam kearah Nayla seakan itu adalah peringatan keras darinya.

Nayla tertegun sambil membalas tatapannya lewat sepasang bola mata berwarna hijaunya yang berkilat tajam dan seakan penuh minat. Dia mengangguk sebagai jawaban lalu tersenyum hangat padanya. Deg! Shin tidak menyangka kalau wanita itu bisa memberikan senyuman hangat padanya.

"Kau cukup menyeramkan jika marah. Sudahlah bukakan pintunya." ucap Nayla dengan gerakan tangan seakan menyuruhnya untuk segera berbalik.

Shin pun kembali melanjutkan langkahnya untuk membuka pintu rumah itu dan masuk ke dalamnya dimana Nayla memekik kagum melihat rumah kayu miliknya pemberian pamannya. Dia dan pamannya memiliki persamaan menyukai rumah kayu yang minimalis dan tenang.

"Apakah aku boleh tinggal disini saja? Rumah Appa Ian terlalu besar dan membosankan. Jika disini aku bisa bermain api unggun diluar sana atau camping sambil membakar jagung. Kurasa lahan diluar juga bagus untuk melakukan latihan menembak atau melempar pisau." cetus Nayla sambil berlarian menyusuri rumah itu dengan antusias.

Shin memperhatikan sikap wanita itu yang malah terlihat seperti anak kecil yang kesenangan karena mendapatkan sesuatu yang disukainya. Dia mendudukkan dirinya di sofa panjang sambil selonjoran dan menyilangkan tangannya tanpa berkata apapun. Nayla masih sibuk memeriksa rumah dengan membuka kulkas, membuka laci rak, naik keatas lalu turun lagi. Seperti itu.

"The house is awesome! Apakah aku boleh tinggal disini?" tanya Nayla dengan cengiran lebarnya.

Shin mengarahkan telapak tangannya kearah Nayla seolah ingin menadah sesuatu. "Bayar uang sewa untuk dua bulan dimuka."

"Kenapa aku harus membayar?" tanya Nayla.

"Tidak ada yang gratis di dunia ini, sayang. Kalau kau mau tinggal maka kau harus..."

"Kalau aku menjadi pacarmu, apa aku boleh tinggal dirumah ini secara gratis?" sela Nayla sambil menyingkirkan kaki Shin yang sedang selonjoran agar turun dari sofa dan duduk disitu.

"A..apa?"

Nayla mengarahkan tubuhnya kearah Shin tanpa ragu dan sorot mata penuh tekadnya itu terlihat mengerikan bagi Shin. "Kalau aku menjadi pacarmu, aku bisa tinggal gratis disini kan?"

"Solusi macam apa itu?" pekik Shin dengan mata melebar kaget.

Nayla terdiam lalu bergeser maju untuk semakin mendekat pada Shin dan itu membuatnya heran. Kenapa wanita itu bisa mendekatinya tanpa perlu merasa risih? Apalagi melihat wajahnya yang tersenyum manis padanya seakan memiliki maksud terselubung disitu.

"Sini tanganmu."

Deg! Shin menatap kosong kearah tangannya yang kini digenggam Nayla lalu wanita itu menaruh tangan sialannya itu tepat diatas dadanya. Holy crap! Tentu saja Shin merasakan degup jantungnya yang tidak beraturan dengan telapak tangannya yang juga berdetak dalam ritme cepat yang dirasakannya saat ini.

"Nayla..."

"Degup jantungku tidak karuan tapi terasa menyenangkan. Bukan sakit atau nyeri saat kau tidak ada tadi atau saat aku melihatmu berciuman dengan Laura." ujar Nayla menjelaskan dengan mimik wajah sungguh-sungguh. "Sekarang aku tanya padamu, kenapa kau harus merasa perlu menjelaskan soal ciumanmu tadi padaku sampai membawaku kesini?"

Shin mengerjap bingung lalu menggelengkan kepalanya. "Aku tidak tahu."

"Apa kau takut aku akan salah paham padamu?" tanya Nayla kemudian.

Shin mengangguk.

"Aku kan bukan siapa-siapa untukmu. Kenapa kau harus takut kalau aku salah paham?" tanya Nayla lagi.

"Aku juga tidak mengerti. Yang jelas, aku tidak suka melihat wajahmu terlihat sedih seperti tadi." jawab Shin jujur.

Nayla mengangguk paham. "Kau benar. Aku merasa sedih dan begitu sakit melihat dirimu yang mencium Laura padahal kau dengan kurang ajarnya sudah mengambil ciuman pertamaku. Lalu aku merasa lega ketika melihat dirimu yang mengejarku sampai terengah. Apakah kau turun dengan menggunakan tangga darurat?"

Shin mengangguk.

"Padahal kan diruanganmu ada lift khusus CEO." balas Nayla dengan kekehan geli.

"Itu tidak terpikirkan olehku. Yang kupikirkan adalah bagaimana caranya bisa mengejarmu dan menjelaskannya padamu. Aku tidak berniat mencium Laura dan tidak menyangka kalau dia akan bersikap seperti itu. Dia masih menaruh harapan pada Percy dan berniat melakukan sesuatu agar bisa mendekatinya lagi tapi itu ketahuan olehku. Dia tidak terima ucapanku dan membalasku dengan membuatku melakukan kesalahan yang pernah dia lakukan lalu menantangku untuk menjelaskannya padamu." tukas Shin menjelaskan.

Nayla mengerjap dan menurunkan tangan Shin keatas pangkuannya sambil tetap menggenggamnya. Erat. Hangat. Dear heart, please stay down! batin Shin yang mulai mengerang panik sekarang.

"Sebenarnya aku juga tidak percaya kalau Laura akan melakukan hal itu, apalagi aku tahu jelas bagaimana masa lalunya dan dia sudah menceritakan semuanya tentang Percy padaku." ujar Nayla pelan.

Shin menegakkan tubuhnya dan memposisikan dirinya untuk semakin mendekat pada Nayla. Dia yang duduk di sofa panjang dengan kedua kaki melebar mengapit tubuh mungil Nayla yang sedang duduk menyamping menghadap kearahnya. Keduanya saling menatap dengan satu tangan yang saling menggenggam.

"Jadi kau sudah sadar apa yang sedang kau katakan, Nayla?" tanya Shin dengan nada sepelan mungkin.

Nayla mengangguk. "Aku ingin mencoba. Mungkin tidak akan berjalan lancar tapi aku benar-benar ingin berusaha menghilangkan phobiaku ini, Shin. Ketika aku berhadapan dengan Percy, aku merasakan sebuah kenyamanan dalam arti yang berbeda. Mungkin kau benar soal aku yang menaruh simpati padanya. Tapi dengan kau, rasa nyaman yang kurasakan lain."

Aku juga, ucap Shin dalam hati. Entah karena dia terbawa suasana atau memang dia merasakan hal itu. Yang jelas, dua hari selama berada di Seoul membuatnya berbeda. Masih dengan kegilaan yang parah namun dalam kondisi yang berbeda.

"Kalau begitu biarkan aku melakukan hal yang berguna untukmu dan jangan mengambil alih tugasku untuk mengatakannya lebih dulu, Nayla." putus Shin akhirnya.

"Baiklah." balas Nayla sambil menarik nafas dan membetulkan posisi duduknya.

Kini giliran Shin yang meraih tangan Nayla untuk ditaruh tepat didadanya yang bergemuruh kencang dan Nayla terkesiap saat merasakannya. Shit! Kenapa suasana seperti ini malah terkesan canggung?

"Aku tidak tahu apa yang kurasakan padamu saat ini. Jika bilang cinta, itu rasanya terlalu dini dan tentu saja itu omong kosong. Daripada kau bilang ingin mencoba atau sekedar ingin mencari tahu, bagaimana kalau aku mengajakmu untuk membuat kenangan indah bagi kita berdua? Seperti bagaimana kita merasa nyaman dan merasa bahagia ketika kita bersama? Saling bertukar kabar untuk sekedar bercerita apa yang sudah kita lakukan sepanjang hari itu? Sampai kita bisa menentukan akan dibawa kemana hubungan kita?" ucap Shin lembut.

Mata Nayla berkaca-kaca dan dia menatap Shin dengan penuh arti.

Sedetik.

Dua detik.

Tiga detik.

Lalu keduanya saling mendekat untuk... berpelukan. Kedua tangan Nayla yang melingkar di bahu Shin dan kedua tangan Shin yang melingkar di pinggang Nayla.

Tubuh Nayla gemetar namun itu karena dia terisak di bahu Shin. Bisa jadi itu merupakan rasa lega yang dirasakannya karena akhirnya bisa melakukan kedekatan seperti ini. Bahkan Nayla seakan mengeratkan pelukan itu dan menenggelamkan kepalanya pada bahu Shin. Pelukan itu terasa benar.

Dia tidak menyangka kalau wanita itu akan merasakan hal yang begitu berat dalam menyikapi keadaan yang tidak seharusnya diperlihatkan padanya.

Jika memang apa yang dipikirkannya adalah benar, bisa jadi dengan adanya Nayla disini karena rencana Wayne dan Noel, ayah dan kakaknya yang berusaha untuk menghilangkan phobianya. Sementara dirinya dan Percy, secara tidak langsung ditugaskan untuk menjadi objek pelatihannya. Namun Shin tidak akan membiarkan mereka dengan seenaknya menjerumuskan Nayla dalam keadaan seperti kemarin. Tidak. Dia akan melakukannya dengan cara yang benar. Dia akan menjaga dan melindungi Nayla sampai wanita itu bisa merasakan kebahagiaan yang pantas untuk didapatkannya.

Sambil memeluk Nayla dalam pelukan yang lebih erat dan sebuah kecupan yang dia berikan diatas pucuk kepala Nayla, disitu Shin tersenyum sambil bersuara dalam hatinya : I'm going to be a person who makes you happy in a way nobody else can, Nayla. You can keep my word from now on.




🌷🌷🌷🌷🌷🌷🌷🌷




JENGGGG!!! 😂😂😂

Dari part ini aku sudah berikan penegasan bahwa :

Nayla dengan Shin
Laura dengan Percy

Seterusnya kita lihat pemulihan hubungan Percy dengan Laura yang masih punya rasa lah mereka itu.

Kalo Shin?
Aku kepengen lihat dia menderita dikit dalam ngeladenin Nayla selama masa pencobaan itu.

Ini masih dalam tahap pedekate, genks.
Belom jadian 😂

Dan scene mereka berpelukan ini aku dapetin waktu lagi bengong di kamar sambil liatin anak lagi main 😏

"Kok kenapa nggak Percy aja thor?"
Sorry not sorry, sweetheart.
Half badboy, act like gentleman and play safe aren't my cup of coffee 😎

Because I'm a bad boy lover indeed 💜






P.S :
Uncle Brant lagi aku tulis dan belum kelar.
Daddy Ashton juga lagi proses mikir untuk dituangin ke dalam tulisan 😅

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top