Part 11 - The craziest woman of all time
Hari ini aku akan update 2 cerita.
Cerita pertama : Trio koplak ini dulu
Cerita kedua : Uncle Brant
Apa kalian senang?
Semoga kalian bahagia 😛
🌷🌷🌷🌷🌷🌷🌷🌷
Shin memutarbalikkan sepotong daging yang sudah hampir matang diatas panggangan dengan apik lalu mencapitnya untuk ditaruhnya diatas piring kosongnya.
Lagi-lagi sebuah sumpit dengan lancang sudah mencapit daging hasil panggangannya dan raib tanpa disentuh olehnya. Damn! Shin melirik tajam kearah wanita yang entah kenapa sudah makan sedaritadi tapi tidak kenyang juga. Apalagi wanita itu benar-benar tidak memanggang apapun selain memakan hasil panggangan orang lain.
"Bisakah kau berhenti mengambil makananku? Lihat! Aku bahkan belum sempat memakan sepotong pun!" celetuk Shin dengan ekspresi judes.
Nayla terkekeh sambil menatapnya dengan alis terangkat tinggi-tinggi. "Kan kau sendiri bilang kalau aku lebih baik menikmati makan malamku saja daripada mengeluh perut lapar terus."
"Tapi kau sudah memakan habis semua porsiku." protes Shin langsung.
"Oppa, jangan pelit-pelit kepada wanita yang sering kau nistakan ini. Itu tidak baik hukumnya. Buat aku senang dan jangan selalu membuatku marah." balas Nayla enteng sambil mencapit daging wagyu yang sudah matang diatas panggangannya lalu melahapnya tanpa berdosa.
"Tidak ada untungnya aku royal padamu dan tidak ada gunanya aku membuatmu senang. Menyingkirlah dariku agar aku bisa tenang menikmati makananku." usir Shin dengan ketus.
Nayla mengerucutkan bibirnya ketika Laura yang duduk di hadapan Shin berseru nyaring. "Shin Oppa, aku sudah memanggang cukup banyak daging. Ini, makanlah. Aku sudah cukup kenyang dan aku akan bantu untuk memanggangnya untukmu."
Shin terkesiap dan menatap Laura dengan penuh haru. "Terima kasih, cantik. Kau tahu saja aku sangat lapar."
Shin menerima uluran mangkuk yang berisi daging panggang dari Laura dan langsung melahapnya dengan antusias. Pria itu benar-benar kelaparan dan ingin rasanya dia melahap habis makanan yang ada di meja sendirian.
"Makanlah, Nayla. Kau harus makan banyak karena cuaca disini sepertinya akan menurun. Jangan sampai perutmu kosong." terdengar suara Percy yang begitu lembut dan spontan Shin menoleh.
Shin melihat interaksi antara Nayla dan Percy saat ini. Percy yang mengoper makanannya dengan lugas dan Nayla yang terlihat malu-malu melihatnya. Dia hanya memutar bola matanya dan mengangkat kedua bahunya lalu kembali menunduk untuk menikmati makan malamnya yang tertunda berkat sih wanita aneh yang sedang duduk di sebelahnya.
Dibanding menatap Nayla yang terus sewot sana sini dan tidak ada habisnya mengeluarkan rapalan kalimat kutuk dari mulutnya yang menyebalkan, Shin lebih memilih menikmati pemandangan indah yang ada di hadapannya sambil tersenyum ketika Laura dengan telaten menaruh potongan daging diatas selembar daun selada dan menyusunnya dengan berbagai topping di dalamnya lalu menikmatinya dengan lahap.
"Ngomong-ngomong sebelum kau kesini, kau tinggal dimana, Laura?" tanya Shin memulai pembicaraan dan mengabaikan Nayla yang masih merengek meminta daging panggangan kepada Percy.
Laura terlihat masih mengunyah dan membalas tatapan Shin lewat sorot mata hijaunya yang indah. Ah, wanita dengan sepasang mata hijau memang menarik, pikirnya kemudian.
"Aku menempati sebuah apartemen di Jakarta Selatan selama aku bekerja sebagai intern di perusahaan uncle Wayne." jawab Laura kemudian.
Shin melirik singkat kearah Percy yang sepertinya pria itu sedang menyimak obrolannya dengan Laura. Ckckck. Mulut bilang benci, sikap terlihat cuek tapi telinga seperti wartawan infotainment yang kekurangan gossip terbaru.
"Jadi kau tidak tinggal dengan keluargamu?" tanya Shin lagi sambil kembali melanjutkan aktifitas makan malamnya dengan memanggang daging kembali lalu melirik waspada kearah Nayla yang sepertinya masih sibuk mengunyah daging yang berhasil diambilnya dari Percy.
Laura menggeleng pelan. "Kupikir aku lebih senang tinggal di negara lain daripada di tanah kelahiranku."
"Kenapa begitu? Memangnya kau tidak rindu pada keluargamu?" tanya Shin heran dengan alis berkerut lalu kembali melirik kearah Percy yang terlihat sibuk memanggang daging dengan ekspresi masam.
Laura mengerjap gelisah seolah jawaban untuk pertanyaan Shin barusan akan membuat oranglain tersinggung dan itu sudah pasti ada hubungannya dengan Percy. Jika dilihat bagaimana interaksi keduanya selama seminggu ini, sepertinya Laura tidak terkesan seperti apa yang diceritakan Percy padanya. Hanya terlihat adanya penyesalan dan kesedihan dalam diri wanita itu. Secara visual, wanita itu tidak terkesan seperti wanita penggoda atau wanita yang menjadi penjahat perasaan dan tega melakukan hal seperti itu kepada Percy.
Entahlah. Penilaian Shin terhadap wanita tidak akan pernah salah. Kecuali pada wanita gila yang sedang duduk di sampingnya dan terlihat masih asik mengambil jatah daging panggangan Percy sekarang. Ish! Apakah wanita itu tidak takut muntah jika mengisi perut kecilnya dengan makanan sebanyak itu?
"Biasanya mereka yang datang mengunjungiku." jawab Laura akhirnya dengan seulas senyuman hambar.
"Woahh keluargamu sangat perhatian. Kurasa orangtuamu adalah orangtua yang sangat perhatian dan aku sangat menghargai orangtua yang seperti itu karena kebanyakan orangtua jaman sekarang kurang perhatian kepada anaknya sendiri karena kesibukan yang selalu menjadi alasan." balas Shin jujur.
"Mereka memang orangtua yang sangat baik. Bahkan mereka menyayangiku dan Joan seperti anaknya sendiri setiap kali kami bertemu dengan mereka." tiba-tiba Nayla ikut masuk dalam obrolan mereka.
Shin otomatis menoleh kearah Nayla yang tersenyum lebar kearahnya dan Laura secara bergantian. Alisnya terangkat ketika bisa melihat rona merah pada pipi Nayla lalu menunduk kearah meja untuk melihat dua botol soju yang sudah kosong.
"Bisakah kau jangan meminum terlalu banyak dan makan dalam jumlah yang keterlaluan? Aku tidak mau repot-repot mengangkatmu karena kau itu sudah bertambah gendut." tegur Shin sambil menyingkarkan botol soju yang masih belum terjamah ke sudut meja didekatnya.
Alis Nayla berkerut tidak suka. "Aku tidak gendut. Lagian kata siapa aku gendut? Memangnya kau pernah menggendongku?"
"Shin menggendongmu ketika kau demam tinggi dan kami berniat membawamu ke rumah sakit waktu itu." sahut Percy dengan mulut penuh.
Shin hanya memutar bola matanya dengan jengah ketika melihat Nayla terkesiap kaget dan melotot galak kearahnya. Dia sangat heran kenapa Nayla tidak lelah jika harus terus menarik urat dan menyemburkan emosinya yang tidak beralasan itu.
"Lalu saat kau menggendongku, apa yang terjadi denganku? Apakah aku bertambah parah?" tanya Nayla sambil mengarahkan posisinya untuk menatap Shin dengan seksama.
Shin yang kaget langsung tersentak sambil mundur dengan waspada karena Nayla yang tiba-tiba mengubah posisi duduknya menjadi berlutut di sampingnya dengan sorot mata penasaran. Mereka menempati meja pendek dengan lantai berkarpet sebagai alas duduknya. Sistim duduk lesehan itu dipilih mereka lantaran mereka merasa lebih leluasa untuk bergerak.
"Tentu saja tidak, aku kan memberikan obat untukmu." jawab Shin dengan alis yang semakin berkerut.
Nayla memicingkan matanya sambil berpikir sejenak lalu mengerjap bingung. Kemudian dia kembali pada posisi duduknya seperti semula tapi kini mengarah pada Percy yang masih menikmati makanannya.
"Lalu kau? Apa yang kau lakukan saat aku sedang tidak sadarkan diri?" tanya Nayla kepada Percy dengan ekspresi yang sama seperti tadi dia menatap Shin.
Percy mengerutkan alisnya lalu melirik kearah Shin dengan tatapan bingung. Shin hanya mengangkat bahu tanda dia juga tidak paham atas kelakuan konyol apa lagi yang akan dilakukan Nayla kali ini.
"Percy tidak akan menyentuhmu kalau itu yang kau kuatirkan." tiba-tiba Laura yang menjawab pertanyaan Nayla.
Spontan semuanya menoleh kearah Laura, tidak terkecuali Percy. Wanita itu mengerjap sambil melirik kearah Percy dengan tatapan tidak enak hati.
"Darimana kau tahu itu? Dia kan bajingan." seru Nayla tanpa beban.
"No, he's not." balas Laura langsung dengan mimik wajah serius seolah tersinggung dengan apa yang dikatakan Nayla barusan.
Alis Shin terangkat dan kembali melirik Percy yang malah terlihat semakin tidak suka dengan balasan Laura barusan. Sepertinya dia sudah sangat membenci Laura sampai setiap apa yang dilakukan wanita itu seakan angin lalu dan tidak berguna.
"Tidak usah mengeluarkan ucapan yang seolah kau tahu siapa aku!" desis Percy dengan tajam sambil menatap sinis Laura.
"Tapi itu kenyataan." balas Laura lagi.
"Tapi aku tidak suka dan itu menjijikkan jika mendengar hal seperti itu keluar dari mulut seorang jalang sepertimu." sahut Percy dengan nada paling dingin yang pernah didengar Shin.
Shin merutuk dalam hatinya mendengar ucapan yang tidak pantas dikeluarkan dari Percy seperti barusan. Selama ini dia dikenal bersikap lembut dan hangat kepada wanita tapi tidak bisa menjaga ucapan yang pantas untuk dikeluarkan kepada wanita.
Dia bisa melihat ekspresi Laura yang ingin menangis sambil menatap Percy dengan tatapan penuh kesedihan sementara Nayla... oh shit! Wanita gila itu malah mengambil segelas air putih yang ada di hadapannya lalu menyiramnya tepat diatas kepala Percy dengan ekspresi wajahnya yang berang.
BYUR!
"Apa-apaan kau?" seru Percy kaget sambil menatap galak kearah Nayla.
Nayla menaruh gelas yang sudah kosong diatas meja dengan santai tapi tatapan matanya begitu menajam. "Kau harus bersyukur kalau bukan pisau yang kulempar pada kepalamu yang berisi otak kecil yang sama sekali tidak berfungsi dengan benar! Sungguh sangat tidak etis jika seorang pria mengatai seorang wanita dengan sebutan jalang."
"Itu memang..."
BYUR!
Suara Percy terhenti ketika Nayla kembali menyiram Percy, kali ini dengan gelas yang berisi soju milik Shin. Ya Lord... kelakuan wanita itu sudah semakin tidak ada obatnya.
"Jangan pernah meremehkan perasaan seorang wanita hanya karena kau tidak suka padanya lewat dari pikiran sepihakmu!" sembur Nayla marah dengan mata yang berkaca-kaca. "Inilah yang tidak kusukai dari seorang pria yang dengan teganya mengatai wanitanya yang dulu pernah dicintainya. Sebegitu mudahnya kau berkata seperti itu tanpa berpikir panjang."
"Kau tidak akan mengerti apa yang kualami." balas Percy dengan mata yang mengerjap bingung melihat Nayla yang malah menangis sesenggukan. Sementara Laura hanya bungkam dengan ekspresi terluka.
"Tapi tolong pikirkan dulu apakah yang kau katakan itu akan membuatmu menyesal atau tidak. Karena perkataan yang sudah kau keluarkan tidak akan mungkin kau tarik kembali sekalipun kau membunuh dirimu sendiri karena menyesalinya." sahut Nayla dengan nada mendesis.
Nayla pun langsung beranjak dan meraih tasnya untuk keluar dari tempat itu. Shit! Wanita itu benar-benar marah dan tidak menghiraukan panggilan Percy ataupun Shin padanya. Laura dan Percy sama-sama beranjak hendak mengejar tapi Shin langsung menahan.
"Biar aku saja yang menyusulnya." seru Shin sambil melempar kunci mobilnya pada Percy. "Bersikap dewasalah dan selesaikan urusan kalian malam ini juga. Aku yang akan membujuk Nayla untuk segera kembali."
Tanpa menunggu persetujuan Percy, Shin pun segera berlari mengejar Nayla yang sialnya wanita itu memiliki kemampuan berlari secepat kilat. Hal itu diketahuinya lewat dari pelatihan yang katanya memang dituntut untuk memiliki kecepatan yang nyaris tidak mudah dibaca oleh pihak musuh. Itu diketahuinya dari Hyun soal Orchid League yang didirikan Ashton, ayah dari Percy kepada para wanita muda seperti kakak iparnya dan yang lainnya.
Dia melihat ke kanan dan ke kiri untuk mencari sosok Nayla di tengah keramaian yang tidak menghasilkan apa-apa selain banyaknya orang yang berlalu lalang. Dia pun menanyakan kepada orang-orang sekitar untuk menanyakan apakah melihat Nayla dengan ciri wanita itu kepada mereka.
Selama beberapa saat, Shin tidak mendapatkan jawaban yang diinginkannya lalu kemudian memutar otaknya kira-kira kemana Nayla akan pergi jika sedang kesal sambil berjalan untuk mencarinya.
Haish! Dasar merepotkan! Jika terjadi apa-apa padanya, sudah pasti dia lagi yang akan mendapatkan hukuman dari para tetua yang tidak pernah mau mendengarkan penjelasannya.
Shin terdiam dan berhenti untuk berpikir sejenak kemana wanita akan pergi jika sedang galau. Dia mencoba peruntungannya menggunakan pengalamannya sebagai playboy yang mampu membaca suasana hati wanita dan apa yang akan mereka perbuat dalam situasi seperti ini.
Es krim!
Itulah yang terpikirkan Shin saat ini sehingga dia otomatis melangkah kearah kedai es krim terdekat yang bisa dia jangkau dari restoran tadi. Jika dilihat dari cara berjalan Nayla seperti biasanya, Nayla sudah pasti akan memilih arah kanan terlebih dahulu untuk melihat selama beberapa saat ke objek yang menarik perhatiannya baru setelah itu dia akan menghadap kearah kiri.
Sorot matanya menyusuri setiap tempat yang dilewatinya dengan tajam dan mencoba untuk fokus pada satu arah yang sudah pasti akan dilewati Nayla tanpa terkecuali sehingga.... yep! Wanita gila itu sudah berada disana dengan jarak kurang dari sepuluh meter yang sedang melahap Jeju Ice Cream, es krim dengan cone ulir yang terbuat dari jagung dengan sangat rakus. Bahkan dia tidak mempedulikan es krim yang belepotan disekitaran mulutnya. Aigoo!
Tanpa bersuara, Shin berjalan mendekat dan memesan es krim yang sama seperti milik Nayla dimana wanita itu masih belum menyadari kehadirannya disitu. Barulah ketika pedagang es krim itu menyerahkan pesanannya dan menerima pembayaran dari Shin, disitu Nayla menoleh kearahnya dengan ekspresi wajah layaknya anak kecil yang sedang melihat orang yang tidak disukainya dengan wajah merengut cemberut.
"Untuk apa kau menyusulku?" tanya Nayla ketus.
"Siapa bilang aku menyusulmu? Aku kesini untuk membeli es krim." jawab Shin datar.
Alis Nayla berkerut tidak suka dan dia mendengus sambil membuang muka kearah lain.
"Ya sudah, bayarkan es krimku juga karena aku tidak punya uang dan ibu pedagang ini tidak memiliki mesin kartu." ucap Nayla judes dan melanjutkan ritual menikmati es krimnya.
Shin hanya tersenyum pelan sambil menyerahkan selembar uang kepada ibu pedagang itu dan mengatakan bahwa itu untuk membayar es krim Nayla. Wanita sedang ngambek itu bebas melakukan apa saja, pikir Shin menghibur diri. Sudah bersikap sok judes padanya, ujung-ujungnya meminta dirinya membayar es krim tanpa kata wajib seperti 'tolong'.
"Jika aku tidak kesini untuk membeli es krim, apa jadinya dirimu yang tidak punya uang tapi berani jajan seperti ini?" celetuk Shin berkomentar lalu menggigit es krimnya dengan lahap.
Nayla masih menggigit sisa cone jagungnya dan tidak langsung membalas Shin. Dia terlihat mengabaikannya dan Shin sama sekali tidak ingin menyinggungnya. Wajahnya masih sembap dengan sisa air mata yang sudah mongering di pipinya.
Ketika Nayla sudah selesai, dia kembali berjalan meninggalkan kedai itu tanpa berpamitan pada Shin seolah pria itu tidak ada disitu. Ckckck. Shin hanya mendengus kesal dan mengikutinya saja sambil terus memakan es krimnya.
Nayla berjalan tanpa tujuan dan melihat-lihat suasana festival yang semakin malam semakin ramai saja. Tatapannya tampak kosong dan dia terlihat sedang berpikir lalu menghela nafas setelahnya.
"Apa kau mau jajan? Kebetulan aku banyak membawa uang receh." tawar Shin dengan penuh rasa ikhlas.
Nayla menoleh kearahnya dengan wajah merengut. "Memangnya kau pikir aku wanita yang mudah dibujuk dengan jajanan receh yang kau tawarkan?"
Shit! Memang tidak ada gunanya Shin memiliki niat baik pada wanita yang tidak tahu berterima kasih itu. Mendadak dia merasa menyesal karena sempat merasa kuatir kalau wanita itu akan bertindak konyol dan dia akan terkena masalah jika tidak menyusulnya kemari.
"Setidaknya uang recehku berguna untuk membayar es krimmu tadi." balas Shin dengan ketus.
Nayla tidak menyahut apa-apa lagi selain berjalan menyusuri keramaian dengan Shin yang mengikutinya dari belakang. Tatapannya tidak sengaja mengarah kepada mesin pencapit boneka lucu disana.
"Nayla! Bagaimana kalau kita kesana?" ajak Shin sambil menarik ujung kemeja yang dikenakan Nayla sedikit.
Nayla langsung menoleh dan mau tidak mau mengikuti langkah Shin karena pria itu menarik ujung kemejanya.
"Hey, jangan tarik-tarik bajuku!" seru Nayla sambil menepis tangan Shin dari kemejanya.
"Aku tidak mau menyentuhmu karena nanti kau pasti akan alergi. Pokoknya aku tidak mau berurusan denganmu lagi soal itu dan urusan kemarin adalah untuk yang terakhir kalinya." ujar Shin menjelaskan dan mengarahkan jalan Nayla kearah mesin pencapit boneka.
Nayla terdiam saja sambil menangkup dadanya dan terlihat menarik nafas. Dia tidak membalas Shin dan hanya memperhatikan Shin yang mulai memasukkan koin untuk memainkan mesin itu.
"Aku tidak percaya kalau kau akan tertarik dengan permainan seperti ini. Apa kau tidak merasa sudah terlalu tua untuk bermain mesin ini?" komentar Nayla sambil melihat Shin yang mulai menggerakkan tombol untuk menggerakkan alat pencapit pada mesin itu.
"Aku adalah tipe yang sangat menikmati hidup dan sama sekali tidak mau ambil pusing terhadap urusan yang tidak penting. Apalagi mencurigai orang, menyakiti orang dan meremehkan orang tanpa mengenalnya lebih lanjut." sahut Shin tanpa ekspresi sambil terus memainkan tombol mesin itu.
Nayla berdecak. "Kau menyindirku yah? Kau pikir aku mau seperti ini? Jika disuruh memilih juga aku tidak mau dan ingin bersikap normal seperti wanita-wanita diluaran sana. Kau tidak tahu seberapa besar tingkat bajingan seorang pria mempengaruhiku. Aku bertumbuh di lingkungan yang mengharuskanku untuk melihat ekspresi wanita yang terluka karena ditolak. Dan wajah Laura yang tadi mengingatkanku akan apa yang dilakukan kakakku dan teman sebayaku."
Shin diam saja sambil mengarahkan pengait tepat diatas sebuah boneka bulat berbentuk emoticon senyum. Setelah yakin kalau posisinya sudah tepat, dia menekan tombol merah dengan cepat dan... yes! Boneka itu didapatkannya dengan mudah.
Namun sayangnya momen kebahagiaan itu tidak diperhatikan Nayla karena wanita itu masih sibuk termenung dengan tatapan kearah lain. Shin merasa kasihan kepada orang yang tidak bisa mengambil hal positif dari setiap apa yang dialami untuk menjadikan mereka agar bisa lebih baik dan mengabaikan apa yang tidak baik untuk dirinya sendiri.
Shin mengambil boneka yang didapatnya lalu mengarahkan boneka itu tepat di depan wajah Nayla sehingga wanita itu baru tersadar kalau dia baru saja berhasil mendapatkan sebuah boneka. Mata Nayla melebar senang dan dia langsung menyambut boneka itu dengan senyuman lebar. "Wah, kau hebat sekali bisa mendapatkan boneka ini."
"Tentu saja. Itu keahlianku dalam mendapatkan boneka lewat mesin pencapit seperti ini sejak dulu." balas Shin kemudian.
"Apakah ini boleh untukku?" tanya Nayla dengan sumringah.
Shin terdiam selama beberapa saat melihat keceriaan yang sangat jarang muncul pada wajah cantik itu.
"Dengan satu syarat." jawab Shin kemudian.
"Syarat?" tanya Nayla lagi.
"Kau harus belajar tersenyum kepada siapapun mulai dari sekarang. Seperti boneka itu. Mau dipeluk, diremas, dibuang atau dibanting sekalipun, wajah boneka itu akan tetap tersenyum." tukas Shin dengan kekehan geli di wajahnya.
Nayla menggelengkan kepalanya sambil menatap Shin dengan helaan nafas kasar. "Tentu saja dia akan tersenyum karena memang boneka ini adalah emoticon senyum. Kau ini bagaimana sih?"
"Kembalikan boneka itu padaku! Sekarang kau kembali menjadi wanita jelek karena terus cemberut seperti itu." seru Shin sambil menadahkan telapak tangannya tanda meminta boneka itu kembali padanya.
"Heh? Jangan sembarangan bicara. Aku adalah wanita cantik yang selalu menjadi incaran pria manapun." protes Nayla dengan alis terangkat tinggi-tinggi.
Shin membungkuk untuk menyamakan posisi kepala dan menatap Nayla dengan mata menyipit tajam. "Mana? Kulihat kau makin jelek saja. Wanita cantik selalu tersenyum dan kau bukan wanita itu. Lihat, wajahmu berkerut dan kau tampak semakin tua saja."
Merasa tidak terima dengan ejekan Shin, Nayla memamerkan sederet gigi putih bersihnya seolah dirinya sedang tersenyum meski mungkin dia tidak bermaksud untuk benar-benar tersenyum.
"Tidak usah pamer-pamer gigimu. Aku tidak menanyakan merk pasta gigimu." tukas Shin dengan wajah tengilnya.
Nayla mendengus lalu memberikan sebuah senyuman yang terlihat menggemaskan dengan ekspresi wajah yang dibuat sedikit manja. Mereka saling bertatapan dalam diam dan Shin bahkan tidak sadar menatap sepasang mata hijau Nayla yang begitu cemerlang di wajah cantiknya yang unik, hasil campuran Asia dan Meksiko yang terlihat rupawan.
Kini, wajah cantik itu tiba-tiba merona dengan sorot mata yang terlihat gelisah dan tangan Nayla yang kembali menangkup dadanya sendiri.
"Smile suits you, Nayla. Wear it often so you can see the meaning of life in a different way." ucap Shin kemudian sambil menegakkan tubuhnya.
Wanita itu masih terdiam sambil tetap menangkup dadanya dan mengerjap bingung melihatnya. Sikap Nayla terlihat berbeda, tidak menggeram atau menggaruk-garuk seperti biasanya. Mungkin saja semenjak mendapatkan penanganan langsung dari dokter, kondisinya semakin membaik.
"Aku juga sama sepertimu. Dulu aku yang pendiam dan terlihat seperti pecundang seringkali diremehkan oleh teman-temanku, bahkan tidak sedikit yang membullyku. Hal itu karena aku yang merasa kurang mendapatkan perhatian dari orangtuaku yang semestinya aku dapatkan." cerita Shin dengan tatapan menerawang dimana Nayla diam tak bergeming sambil menunggu kelanjutan ceritanya.
"Aku cukup kuper dan anti sosial saat masih sekolah dasar, sama seperti kedua saudaraku. Mungkin karena kami sering dicaci maki oleh ayahku yang begitu keras dan diabaikan oleh ibuku yang sibuk dengan kehidupan sosialitanya. Sampai satu kali, samchon Lee Shin datang dan mengajak kami untuk liburan ke rumahnya lalu berkenalan dengan para kakak kalian waktu itu. Disitu pertama kalinya kami mendapatkan teman baru." lanjut Shin sambil memberikan senyuman hambar.
"Kau pernah berkunjung ke safe house kami? Kenapa aku merasa tidak pernah melihatmu?" tanya Nayla dengan alis berkerut.
"Aku juga kurang tahu karena yang sering ikut dengan samchon adalah hyeong, sedangkan aku lebih banyak di mansion keluarga bersama adikku, Tan." jawab Shin langsung.
Nayla mengangguk paham sambil memeluk boneka emoticon itu dan mulai berjalan menyusuri keramaian itu lagi bersama Shin yang kini berjalan di sampingnya.
Shin melirik sinis kearah para pria lokal yang menatap Nayla dengan tatapan kagum dan tidak sedikit yang terang-terangan memujinya dalam bahasa lokal. Wanita itu tampak mendesis dan melempar tatapan tidak suka kearah pria-pria yang dilewatinya. Nayla bahkan mendekatkan dirinya pada Shin seolah memberitahukan bahwa dia tidak sendirian karena jarak mereka cukup jauh untuk bisa dibilang jalan berdampingan. Hmmm...
"Lalu, kenapa kau memutuskan untuk menjadi playboy? Jika kau bilang kau kuper dan anti sosial, dalam bayanganku kau itu berpenampilan nerdy dan kurasa itu cocok untukmu karena tampangmu terlihat cukup tolol menjadi peran seperti itu." ujar Nayla sambil terkekeh melihatnya.
Shin tidak tersinggung karena apa yang dikatakan Nayla benar adanya. Dia adalah pria dengan nerdy look yang sering dicemooh orang. Sampai pada akhirnya, satu kejadian membuat pikirannya berubah. Terutama soal wanita.
"Aku memang seperti itu adanya dan..."
Karena keramaian yang sudah tidak ada obatnya seringkali terjadi di pasar malam dengan adanya festival seperti itu, tubuh Shin terdorong ke samping dan tidak sengaja menubruk tubuh Nayla. Wanita itu tersentak lalu melotot galak kearah belakang Shin yang hendak menyembur kemarahannya tapi buru-buru Shin mengarahkan Nayla untuk tetap berjalan ke depan dengan kedua tangan yang menangkup kedua bahu mungilnya.
"Mereka tidak punya mata untuk berjalan!" seru Nayla gemas.
"Ya, selama kau berada di keramaian seperti ini maka mereka berjalan tidak akan menggunakan matanya dengan benar jadi tetaplah berjalan dan jangan membuat keributan." tegas Shin sambil mengarahkan jalan kepada Nayla untuk menuju ke sebuah taman belakang yang cukup lengang dengan adanya kursi-kursi kayu di sisi jalan taman itu.
Nayla mendengus tidak sabaran lalu melangkah dengan kaki yang menghentak kasar. Dasar wanita emosian, umpat Shin dalam hati sambil menyusul Nayla yang mengambil duduk di kursi kayu yang kosong.
"Kenapa sih kau mudah sekali terpancing emosi? Apakah kau tidak lelah harus seperti itu terus-terusan?" tanya Shin dengan nada sewot sambil duduk di samping Nayla.
"Tadi orang itu sengaja menyerobot jalan kita!" jawab Nayla tidak terima.
"Dan kita sebagai orang yang lebih waras harus mengalah." balas Shin tegas.
"Ya... ya... ya, terserah lah. Jadi lanjutkan ceritamu soal kenapa dirimu yang cupu tapi bisa menjadi playboy tengil seperti sekarang?" ujar Nayla sambil mengibaskan tangannya ke sembarang arah.
Shin menghela nafas lalu bersandar di kursi kayu sambil meluruskan kaki panjangnya. "Satu hari aku menyatakan rasa sukaku kepada kakak senior karena dia ramah dan baik hati. Dia cukup cantik dan terkenal di kalangan para pria. Aku memberanikan diri untuk bilang suka padanya tapi dia malah meremehkan pernyataanku lalu mengejek penampilanku dan mengataiku sampah masyarakat yang menyakitkan mata."
"What? Sombong sekali dia!" pekik Nayla kaget. "Memangnya secantik apa dia? Aku yakin dia tidak akan setara denganku. Maksudku, memangnya wajahnya sudah seperti apa sampai berani mengatai orang seperti itu?"
Shin meliriknya dengan alis berkerut. "Kenapa kau marah? Kau juga sering menghina dan mengatai orang. Khususnya kepadaku dan Percy."
"Tentu saja aku berbeda karena aku pantas untuk menghina. Aku kan cantik, berpendidikan, cerdas dan berprinsip. Radar jahatku selalu bekerja dengan baik jika berhadapan dengan bajingan sepertimu." ujar Nayla berapi-api.
"Jika kau masih saja melantur, aku tidak mau melanjutkan ceritaku." sahut Shin dengan alis terangkat menantang.
"Okay, fine! Lanjutkan!" balas Nayla langsung.
"Setelah itu aku kesal dan merubah penampilanku. Aku meminta samchon memberikan beberapa saran untuk menjadi menarik dan jadilah aku yang seperti ini sampai pada hari ini." ujar Shin kemudian.
Mata Nayla menyipit curiga. "Kau tidak mempermak bagian wajahmu kan?"
Shin menggeram karena tuduhan yang selalu dilayangkan padanya. Meski Korea identik dengan operasi plastik tapi bukan berarti semua orang melakukannya. Orang bisa jelek mungkin karena nasib tapi orang rupawan sudah dari lahir, seperti dirinya misalnya.
"Aku tidak pernah dan tidak akan pernah melakukan hal itu." ucap Shin dengan penuh penekanan.
Nayla menganggukkan kepala seolah paham apa yang dikatakan Shin lalu memamerkan cengiran lebarnya. "Kalau dilihat dari sini, kau mirip seperti model dan aktor Korea yang sedang naik daun. Kau tahu Nam Joo-Hyuk?"
Shin melempar tatapan sengit pada Nayla. "Aku jauh lebih tampan darinya."
"Tidak juga." balas Nayla langsung lalu tertawa pelan. "Lanjutkan yang tadi, jadi ceritanya kau berubah dan keadaan berbalik menjadi wanita itu yang mengejar dirimu?"
Shin mengangguk. "Dia menjadi menyukaiku dan meminta maaf padaku. Lalu aku memanfaatkan situasi dengan memaafkannya dan kutinggal begitu saja ketika dia tergila-gila padaku. Dari situ kupikir kalau wanita memang harus diberi pelajaran agar tidak perlu sombong hanya karena merasa cantik."
"Jadi karena kau pikir aku sombong maka kau mendekatiku dan berniat mengerjaiku, begitu?" tanya Nayla sambil mendengus.
"Tadinya begitu. Tapi setelah melihat dirimu yang mendapatkan ruam-ruam mengerikan seperti kemarin, kupikir sikapmu yang seperti itu memang tidak berniat jual mahal atau merendahkan pria. Itu kau lakukan untuk melindungi dirimu." jawab Shin jujur.
Lagi. Shin melihat wanita itu tersentak dan menatapnya dengan sorot mata gelisah sambil menangkup dadanya. Hal itu sudah dilakukannya berulang kali dan Shin berpikir kalau ada sesuatu yang terjadi pada wanita itu.
"Apa kau baik-baik saja? Kulihat kau sepertinya kurang sehat." tanya Shin sambil memperhatikan Nayla dengan seksama.
"Sepertinya aku memang kurang sehat." jawab Nayla dengan suara tercekat.
Shin mendadak panik dan takut kalau kejadian waktu lalu terulang kembali. Dia kembali memperhatikan wanita itu tapi tidak ada ruam-ruam alergi yang mengerikan seperti kemarin, hanya wajahnya saja yang memerah.
"A..apa kau demam?" tanya Shin panik.
Nayla menggeleng cepat. "Aku merasa gelisah. Aku sering merasa degup jantungku tidak normal, apalagi hal itu sering terjadi di malam hari dan akan kembali seperti biasa saat pagi sampai menjelang sore."
"Apa kau memiliki penyakit jantung?" tanya Shin lagi.
"Sepertinya tidak. Tapi semingguan ini sering terjadi jika aku tiba di rumah lalu membaik ketika aku bekerja. Dan sekarang degup jantungku kembali berdetak dua kali lipat lebih kencang, bahkan hari ini sempat terasa nyeri. Apakah itu aneh? Apakah kau tahu rumah sakit yang bagus dengan dokter ahli yang berkompeten untuk menangani keluhanku disini?" ucap Nayla sambil menarik nafas dengan berat.
Shin mengerutkan alisnya sembari berpikir lalu teringat dengan dokter pribadi keluarganya yang bisa mendatangi mereka dimanapun mereka berada.
"Mungkin aku bisa memanggil dokter keluarga kami jika kau mau tapi tidak bisa sekarang. Mungkin besok pagi." jawab Shin pelan.
"Boleh. Sepertinya aku memang perlu ditangani dokter, aku tidak nyaman kalau begini terus menerus. Ini tidak nyaman." keluh Nayla sambil menyibakkan rambutnya.
"Apa kau mau pulang sekarang?" tanya Shin.
Nayla mengangguk saja dan menatap Shin dengan tatapan memelas. "Tapi perutku sakit dan sepertinya aku tidak bisa berjalan. Kakiku mendadak lemas karena jantungku masih berdetak tidak normal."
"What? Kalau begitu ayo kita ke dokter!" seru Shin dengan panik dan tidak sadar mencengkeram pergelangan tangan Nayla dengan erat.
Nayla mengerjap kaget dan dia malah terlihat kebingungan. Dia bahkan terdiam sambil menatap tangannya yang dicengkeram Shin lalu buru-buru Shin melepasnya dan mengucapkan kata maaf karena takut kalau dia akan kembali menggila seperti yang sudah-sudah.
"Bisakah kau menyentuhku seperti tadi?" tanya Nayla dengan wajah yang seakan tidak percaya dengan pertanyaannya barusan.
Eh? Shin mengernyit bingung dan wanita itu sukses membuatnya gila.
"Aku tidak mau kalau nanti kau sampai pingsan dan.."
Shin terdiam seketika saat Nayla yang malah mengambil tangannya lalu menggenggamnya dengan kedua tangannya. Dia seperti sedang mempelajari sesuatu dan sepertinya itu tidak baik karena Shin malah semakin panik.
Tiba-tiba tangan Shin dihempaskan begitu saja dan Nayla langsung bergerak mundur untuk menjauhinya. Astaga! Apalagi sekarang?
"Mulai sekarang kau harus menjauh dariku, Shin!" desis Nayla dengan lantang.
Apa katanya barusan? Bukankah dia sendiri yang meminta Shin untuk menyentuhnya dan malah menggenggam tangannya dengan sembarangan seperti barusan. Damn! Shin mulai naik pitam dan kesal diperlakukan semena-mena oleh wanita itu.
"Sebenarnya apa sih maumu? Aku bingung!" balas Shin ketus.
Nayla mengerjap sambil menarik nafasnya dan kembali menangkup dadanya. "Karena kaulah penyebab yang membuat degup jantungku berdetak cepat seperti ini hingga mau mati rasanya. Hal ini sudah membuatku yakin kalau aku akan semakin membencimu."
What an F word!
🌷🌷🌷🌷🌷🌷🌷🌷
Aku lihat ada yang kesenangan dan ada juga yang kecewa.
Tenang,
Jangan gegabah dulu.
Santai saja, okay?
Aku janji kalau aku akan membuat kisah yang manis dan lucu untuk mereka 💜
P.S
Cuma mau bilang kalau letak foto nggak menjamin jodohnya yang mana 😅
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top