8

Selamat membaca


"GHINAA, bagaimana hasilnya...?" Teriakan penuh semangat Rukma menyambut begitu Ghina masuk kedai, tidak peduli suara yang keras itu menarik perhatian beberapa pelanggan ke mereka.

Ghina menggeleng malu dan berjalan cepat melewati beberapa meja, lalu menarik Rukma ke office. "Rukma. Rukma. Coba deh, tuh, bacot keluar pas dokter-dokter itu datang. Hai Dokter David, mau pesan vanilla latte ya? Oke, saya buatin pake cinta." Selagi memasukkan barang bawannya di loker cokelat, Ghina sesekali melirik Rukma. Senyum konyol sahabatnya tadi lenyap. "Ya elah, Cong ... baru nama yang muncul, tapi muka lo udah panik gitu."

"Semoga suatu saat nanti lo ngerasin apa yang gue rasain, Na. Berhadapan sama cowok yang melumpuhkan semua panca indera yang lo punya, sampai lo berubah jadi manusia tanpa jiwa."

Ghina memutar bola, lalu menatap serius sahabatnya itu.

"What? Jangan berusaha cari kesamaan lo dan gue. Kita beda. Waktu lo sama si manusia laknat, otak lo doang yang lumpuh, indera yang lain normal-normal aja," tegas Rukma, kemudian menarik tangan dan memaksa Ghina duduk bersebelahan. "Jangan bahas soal cowok deh, gue mau tahu ... hasilnya? Gila, rancangan itu buat lo begadang sampe migran." Rukma terdengar sangat cemas, lengkap dengan kening mengerut.

Ghina mengangkat bahu sambil menggeleng lemas, sengaja mengerjai Rukma.

"Jadi? Ahhh, Ghina..." Hadiah pelukan langsung diberikan Rukma, mengelus-elus lembut punggungnya berulang kali. "It's okay, Na. It's okay... Kalau satu perusahaan besar bisa kesempatan, bakal ada perusahaan besar lainnya yang kasih. Kata orang, kegagalan itu bagian dari perjalanan menuju sukses." Rukma melepaskan pelukan, menepuk-nepuk bahunya, lalu melanjutkan kalimat. "Lo harus tetap semangat ya... jangan sampai patah. Ingat, lo itu dilahirkan jadi arsitek terkenal kayak Antoni Guadi, Zaha Hadid, atau Frank Lloyd Wright. Semangat!"

Dan, tawa Ghina sudah tidak bisa ditahan. Dia meraih dan memeluk tubuh Rukma, sangat erat. "Gue kalau nggak ada lo jadi apa ya, Ma?"

"Tetap jadi Ghina Indira Kamania yang kuat, pintar tapi goblok urusan cinta, baik ke orang lain nggak ketolongan." Rukma membalas pelukannya, dan mereka cukup mempertahankan posisi itu. "Udah, jangan sedih. Semangat! Mesin kasir menanti."

Rukma lebih dulu berdiri, sudah membuka pintu pintu sedikit, ketika Ghina kembali memanggilnya menggunakan nada manja. "Ma..."

"Ya?"

"Lo bantuin gue ngomong sama Pak Bobby ya..."

Rukma merapatkan lagi pintu, bersedekap, dan bersandar di sana. "Kenapa?"

"Hmmm. Besok gue harus mulai ngantor di Megatarinka. Gue mau aja sih, balik ngantor lanjut ke sini... tapi, nggak mungkin, Ma. Lo tahu kan—"

"Sialan!" Kalimat Ghina belum juga selesai, tapi pukulan Rukma sudah mendarat mulus di pahanya. "Jadi maksud lo, lo diterima?"

Ghina mengangkat bahu, cepat-cepat menghindar dan membuka pintu lebar-lebar saat tangan Rukma sudah terayun lagi. Ghina langsung membeku, begitu pun Rukma yang baru saja berteraik; sialan lebih kencang dari sebelumnya. Pandangan mereka sama-sama terkunci di satu orang yang sama. Pelan-pelan, Ghina melirik Rukma, yang berwajah sekeras batu.

"Satu iced vanilla latte, americano hot, teh tarik plus a shot of expresso. Sudah betul, Dokter David?" Suara Edo jadi aba-aba untuk mereka segera siap di posisi masing-masing.

Rukma berjalan bagai robot ke mesin kopi, sementara Ghina menggantikan Edo di mesin kasir. Transaksi berjalan sangat lambat, karena Dokter David terlihat serius mengamati Rukma. Perlu dua kali panggilan dari Ghina sampai Dokter David membayar pesanan mereka. Ghina tidak berani menebak arti tatapan Dokter David, yang pasti tidak ada kehangatan yang biasa dia lihat selama ini. Diam-diam Ghina menyesal bukan main, seharusnya dia tidak membuka pintu. Seharusnya di tidak mengerjai Rukma.

Ghina menggeleng simpati.

"Se—selamat me—nik—mati," ucap Rukma terbata-bata saat menyerahkan segelas Vanilla latte dan Americano ke Dokter David, sama sekali tidak berani membalas tatapan pria itu. Dan Ghina semakin keras mengutuki diri sendiri. Seluruh tubuh Rukma bergetar, meski seulas senyum tetap dipaksa muncul. "Teh ... tariknya, akan diantar ke me—ja. Terima kasih." Rukma menunduk dalam, lalu berbalik dan menabrak punggung Edo.

Ghina menatap Rukma menghilang ke office. Dia ingin menyusul, tapi tatapan Edo menahan. Jadi, dia tetap berdiri di tempatnya. Memperhatikan Dokter David ke sudut biasa, menemui dua dokter lain. Dokter Andreas seperti bersemangat ingin mengetahui apa yang terjadi, sementara yang satu lagi ... menemukan orang itu membuat amarah mengisi pembuluh darah Ghina sampai dia teringat apa yang terjadi sepanjang malam kemarin.

Edo menghampiri Ghina. "Mbak Na, teh-nya udah siap. Tolong dianter ke meja dokter-dokter itu ya."

"Itu---"

"Buat Dokter Alfa."

"Oh. Oke."

"Gue ke office dulu."

Ghina nyaris menyahut, dia saja yang ke office. Tapi Edo berlalu sangat cepat , seolah ada hal mengkhawatirkan sedang terjadi di balik pintu itu. Ditambah ekspresi wajah Edo yang... Ghina menutup mulut, lalu berbisi, "Ma, Rukma... Kita sama-sama bego kalau urusan cowok." Ghina menggeleng, tiba-tiba saja rasa bersalahnya Rukma menghilang—seperti tidak penting. Toh, mau Rukma bicara atau tidak, Dokter David tidak akan pernah melihat sahabatnya itu sebagai perempuan. Mentok di barista.

Ghina siap mengangkat teh, sampai ide gila menahan dirinya sepersekian detik. 'Buat Dokter Alfa.' Ghina menggigit bibir bawah menahan tawa saat melaksanakan ide gila itu, lalu cepat-cepat memasang wajah datar. Tanpa hambatan apa pun segelas teh hangat mendarat di meja para dokter yang membicarakan hal-hal yang tidak dimengerti Ghina, yang paling semangat Dokter Andreas—dua lagi bersingut di kursi masing-masing.

Untuk sepersekian detik pandangannya dan Alfa bertemu, yang diputus Ghina secepat mungkin. Dia berbalik, berjalan lambat. Kalau tadi sisi setannya muncul, kini sisi malaikat. Menjejalkan banyak pikiran mengerikan kalau sampai teh itu diminum, salah satunya bisa menjatuhkan nama baik kedai ini. Saat pemikiran-pemikiran itu dicerna, Ghina menyesal bukan main. Dia memang akan meninggalkan kedai ini, tapi ... Ghina berbalik dan terlambat.

Alfa terbatuk sambil mengernyit usai meneguk teh yang dia antar.

"Kenapa?" tanya Dokter David.

"Hati-hati, santai aja minumnya. Eh, tapi kenapa muka lo aneh gitu." Dokter Andreas mengikuti arah pandangan tajam Alfa ke arahnya, yang sibuk menoleh ke kanan dan ke kiri—menggigit bibir bawah—mati-matian memasang wajah polos—berakhir mengangkat kedua bahu.

Selesai. Selesai. Wah, Ghina... lo gila. Mati. Mati. Udah buat Rukma bersuara, sekarang lo naruh 7 shoot ekspresso. Kayaknya lo perlu dirukyah, Na!

"Kenapa ada yang—" Dokter David ingin meraih cangkir Alfa, tapi pria itu lebih dulu meminum teh tarik sambil memandanginya.

Berusaha menahab batuk, tangan kanan Alfa memamerkan cangkir yang kosong. Alih-alih merasa puas, panas justru menjalar ke pipi Ghina, kenapa jadi dia yang merasa dikerjai? Ghian tersenyum kaku—memamerkan deretan gigi putih, lalu berbalik dan berjalan cepat menuju ke area kasir yang masih kosong. Dia tergoda untuk kabur saja ke office, tapi membiarkan wilayah ini kosong bukan pilihan bijak.

Untuk setengah jam berikutnya, Ghina duduk saja di depan mesin kasir—beberapa kali mecuri pandang ke sudut para dokter. Bersikap tenang dan santai. Sambil meyakinkan diri, kalau tindakannya tadi tidak salah-salah banget kalau disangkut pautkan ke urusan pribadi saja. Alfa lebih dulu bersikap menyebalkan, dan dia membalas.

Ghina mengerang dalam hati, saat para dokter itu selesai dengan aktivitasnya. Dua yang lain langsung meninggalkan kedai setelah mengucapkan terima kasih, sementara Alfa menuju ke meja kasir dan menatapnya. Ghina menahan napas, bertekad tidak mau lagi menjadi orang bodoh seperti kemarin malam.

"Ada yang bisa dibantu?" tanya Ghina sesantai mungkin.

Tanpa jawaban, Alfa merogoh saku celana bahan, mengeluarkan sesuatu, meletakkannya di depan tangan Ghina yang terkepal. Kemudian, berbalik menuju pintu masih tanpa bicara.

Ghina melongo, memandang punggung Alfa, satu strip Aspirin dan uang 350rb bergantian. Tiba-tiba Alfa menghadapnya lagi. Menatap seolah ingin menguasi dirinya, menariknya, mengungkung. "Terima kasih untuk teh tarik special-nya."

^

^

^

Terima kasih sudah membaca.

Cieeee cieeee yang nungguin ini dari kemarin... ayo, ngaku! Hahahaha.

Ya, mereka semua sereceh itu.

Kalau untuk info naskah2 aku silakan difollow ig :

Bagaskarafamily
Atau
Flaradeviana

Love, Fla.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top