7

Selamat membaca


GHINA mondar-mandir di ruang rapat Megatarinka Architect, masih tidak percaya dia bisa masuk ke kantor salah satu biro arsitek idaman. Dia berdiri diam, mengamati sekeliling suasana kantor yang cozy—tidak kaku. Bertema kan hitam putih, meski ada beberapa bermain di warna-warna cerah seperti orange dan biru. Contohnya, ruang rapat ini bercat orange muda dengan gabungan panel-panel langit dari kayu lapis dan pintu kaca geser di sisi balkon. Ada juga kaca hitam di belakang kursi tunggal hitam, berada di ujung meja rapat—berbeda sendiri dengan kursi-kursi cokelat yang mengelilingi meja panjang. Tebakan Ghina biasa diduduki para atasan, seperti Pak Gunawan, orang yang memberinya kesempatan berdiri di sini untuk mempresentasikan idenya.

Ghina memeriksa arjoli, 09.45, semakin panik. Artinya sudah 45 menit berlalu sejak dia disuruh menyiapkan presentasi. Semua sudah siap. Laptop sudah tersambung ke proyektor, laser pointer juga sudah dia pegang. Lalu, dia ini menunggu apa. Ghina berdiri lurus menghadap kaca hitam, memperhatikan pantulannya. Tank top satin putih berenda di tepiannya dan blazer putih, berpadu sempurna dengan celana khaki dan kitten heels nude. Ghina menarik ujung blazer sambil mengembuskan napas pelan. Dia siap menghadapi apa pun nanti. Dia sudah terlihat professional.

Sepuluh menit setelah itu, pintu terbuka. Lelaki muda berpakaian rapi tanpa jas masuk lebih dulu, mengangguk ramah pada Ghina. Lalu, disusul dua pria bersetelan jas. Salah satunya Pak Gunawan, yang terlihat riang dan segera menyemangatinya dengan mengangkat kedua tangan. Sementara satu pria lain ... Ghina tidak yakin, tapi pria itu duduk di kursi hitam—terlihat lebih muda dari Pak Gunawan, tapi sangat berwibawa dan berwajah datar. Astaga, wajah datar itu langsung mengingatkan pada seorang yang menyebalkan dan yang terjadi tadi malam.

Ah, sialan! Kenapa sih, bayangan orang itu muncul di saat yang tidak tepat? 300rb gue!

Ghina memaksa diri untuk meredam pikiran-pikiran aneh, mengingatkan diri sedang tidak punya waktu untuk hal itu.

"Selamat pagi, Ibu Ghina Indria Kamani. Saya Putra, asisten pribadi Bapak Alby Bagaskara." Putra menunjuk sopan pria di kursi hitam. "Pak Alby merupakan owner dari Megatarinka Architect, dan di samping beliau adalah Pak Gunawan—direktur operasional yang merekomendasikan Ibu di sini. Apa Ibu sudah siap untuk mempresentasikan rancangan kepada kami?"

Ghina mengangguk antusias, tersenyum percaya diri, lalu berkata, "Tentu saja." Ayo Ghina, kita buat orang-orang ini mengakui kemampuan lo! seru Ghina dalam hati.

Ketika seisi ruangan sudah siap, Ghina memulai presentasinya, menatap yakin semua orang. "Selamat pagi, salam kenal, saya Ghina. Di sini saya akan mempresentasikan 'Project Resort Container Go Green'." Ghina menyalakan laptop, dan rancangan terpampang di balik punggungnya. "Tapi sebelum mulai, saya ingin mengucapkan terima kasih untuk kesempatan yang diberikan Megatarinka Architect untuk saya."

Pak Alby dan Pak Gunawan kompak mengangguk.

Awal presentasi Ghina membicarakan tentang alasan memilih ide itu. "Di Indonesia ini sudah banyak penginapan dengan konsep Go Green, tapi dengan material utama bangunan batu bata atau kayu jati. Kali ini saya mengusung container. Di Indonesia sendiri penginapan dengan tema container masih sangat jarang, dari riset saya baru tiga kota yang mengusung tema ini. Bandung, Bogor, dan Pangandaran. Tentu saja ini jadi peluang bisnis yang menjanjikan, terutama di kota-kota yang memang jadi destinasi wisata."

Pak Gunawan terus saja tersenyum, sementara Pak Alby memainka  pena sambil mengernyit ke desain 3D buatannya.

"Selain unik, pembangunan penginapan kontainer ini lebih fleksibel, lebih mudah direlokasi dan di-upgrade. Proses pembuatannya lebih cepat 25% dari pembangunan resort pada umumnya. Dan soal biaya pasti lebih hemat, biasanya membangun satu rumah biaya yang dihabiskan berada di kisaran 460 juta, untuk batu-bata, dll. Sementara untuk container bisa setengahnya. Untuk membuat container layak dengan fasilitas standart menghabiskan kisaran 100-150 juta, ditambah instalasi listrik dan air, tetap tidak akan menghabiskan banyak." Ghina menahan desakan untuk berhenti dan memelototi reaksi orang-orang ini. "Dan lagi, kita tidak dipusingkan  dengan urusan serangga. Material container bukan kayu, yang bisa dimakan rayap."

"Tapi container ini material yang bisa karatan." Tiba-tiba Pak Alby memotong, berhenti memainkan pulpen, dan menatap Ghina dengan serius.

Ghina tersenyum, menggeser slide di laptop. "Karena itu, cat yang dipakai harus cat anti karat. Di cat itu terdapat kandungan zat kromat, fosfor, yang bisa menjaga ketahanan container."

Hening. Tidak ada bantahan, dan Ghina membuka tampilan presentasi baru, lalu membahas dasar-dasar ide rancangannya. Tentang container warna-warni dengan teras di depan, dan tumbuhan merambat. Fasilitas resort. Sampai bahan-bahan pendukung untuk project itu.

Usai dia bicara, keadaan ruang rapat menjadi sangat hening. Ghina menelan ludah dengan susah payah dan memaksa dirinya menarik napas.

"Pak Gunawan, klien kita yang di Ubud, Bali ... Apa tim itu sudah menemukan ide? Atau sudah ada ide yang disetujui klien?" Pertanyaan Pak Alby memecah keheningan.

"Belum, Pak," sahut Pak Gunawan.

Dan Ghina merasa semakin tertekan, kenapa tidak ada yang membahas hasil presentasinya. Kenapa si owner ini justru membahas hal lain? Apa artinya dia gagal? Ghina memandang Putra, yang masih setia memperhatikan dia. Putra mengangguk seolah memberi semangat dan penghargaan atas presentasinya.

"Bawa ide ini ke klien, masukkan Ibu Ghina ke tim Ubud." Tegas. Singkat. Jelas. Membuat mata dan jantung Ghina lompat dari tempatnya. Setelah memerintahkan itu Pak Alby berdiri, dan bicara padanya, "Selamat bergabung, Ibu Ghina." Kemudian, keluar dari ruang rapat.

Pak Gunawan mengambil waktu menatapnya, sebelum berdiri dan menghampirinya. "Sudah saya duga, saya tidak akan menyesal merekomendasikan kamu ke sini. Inovasi kamu..." Pak Gunawan bertepuk tangan penuh semangat. "Ayo, saya antar kamu ke bagian yang berwenang mengatur kontrak kerja."

"Pak, jadi saya—"

"Kamu diterima, Mbak Ghina. Selamat! Dan langsung mengurus proyek penting tahun ini. Wow!"

Ghina mencoba memahami hal ini, lalu loncat kegirangan. Benar-benar lupa kalau Pak Gunawan masih ada di depannya. Dia merasa seperti seorang yang telah lama terdampar di pulau tidak berpenghuni, hanya berteman kelapa. Lalu tim penyelamat datang, rasanya ... dia kembali hidup.

"Ah. Ah. Maaf, Pak. Maaf." Ghina berhenti lompat, tersenyum canggung.

"Lanjutkan. Apa kamu butuh teman lompat? Saya bisa---"

"Nggak, Pak." Ghina menggigit bibir bawahnya, tidak sanggup menahan cengiran. "Jangan, nanti dikira kita berdua mulai nggak waras."

Pak Gunawan tersenyum sangat ramah. Rasanya ini awal yang bagus.

"Pak, terima kasih sekali. Dan maaf, saya baru datang setelah lima hari. Saya—"

"No problem. Untuk presentasi sejelas tadi, dan rancangan sedetail tadi. Lima hari waktu yang sebentar, Mbak Ghina. Biasanya dua minggu." Ghina berupaya keras menahan diri untuk tidak loncat kegirangan lagi. "Ya sudah, kamu rapikan dulu barang bawaanmu. Saya tunggu di ujung sebelah kiri dari ruangan ini, saya bawa kamu ke bagian yang berwenangan."

Ghina merapikan semua barang bawaannya dengan antusias, lalu keluar. Banyak mata menyambut kemunculannya, dan mengikutinya saat melangkah menuju tempat yang diarahkan Pak Gunawan. Senyum ramah dipamerkan Ghina, sementara kupingnya sibuk mencuri dengar bisik-bisikan pertanyaan; Itu siapa? Arsitek baru? Kok, Pak Alby bisa turun langsung buat perekrutan arsitek baru, biasanya nggak pernah? Seistimewa apa sih arsitek ini?

*

*

*

Terima kasih sudah membaca

Jangan lupa vote dan commentnya yg buanyak.

Btw, aku ada PART SPECIAL dari bab ini. Dan kutaruh di ig @bagaskarafamily silakan follow ig itu untuk baca special partnya.

Specialnya apa? Ya, baca aja di sana.

Wkwkwkwkw.

Love, Fla.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top