5
•
•
•
Playlist : Ali Gatie - It's You
•
•
•
DENGAN sebotol teh manis hangat yang dibuat beberapa saat lalu, Ghina keluar kedai usai berpamitan dengan Edo dan dua orang lain yang kebagian jaga malam. Langit sudah gelap, tapi jalan di daerah tempatnya bekerja ini semakin ramai. Untuk beberapa saat Ghina hanya diam di pinggir jalan--agak jauh dari pintu kedai, memandangi mobil dan motor lalu lalang. Semakin lama, semakin jelas, dengung di kepalanya--seperti ada yang memalu di otaknya. Belum lagi tarikan nyeri dari bagian bawah kepala sampai bahunya, migran yang dia tahan sejak tadi semakin menyakitkan. Ghina menengadah ke langit-langit, menarik dan mengembuskan napas perlahan, mengerjap-ngerjap untuk mengusir rasa lelah dan sakit yang kompak menyerang. Sadar tidak akan kuat berdiri lebih lama lagi, Ghina mengambil ponsel dari tasnya sambil berjalan miring mencari sandaran terdekat.
Sesekali naik taksi online sepertinya tidak masalah, batin Ghina, membatalkan niatnya untuk naik Transjakarta.
Anehnya tangan Ghina gemetar, sulit untuk dikendalikan. Kepalanya terasa terlalu berat seolah ingin lepas dari lehernya. Kalau bukan karena bunyi klakson panjang dan mengagetkan, mungkin Ghina sudah terpejam.
Mobil Range Rover putih dengan jendela bagian penumpangnya sudah terbuk, berhenti tepat di depannya. Ghina melakukan kontak mata sejenak dengan si pemilik mobil, yang entah bagaimana caranya jadi ada tiga.
"Masuk," pinta si pengemudi, tidak ada halus-halusnya.
Selama sepersekian detik, otak Ghina berhenti bekerja. Dia tidak mungkin duduk di pinggir jalan seperti ini, atau naik kendaraan umum. Migrannya terlalu mengerikan. Minta dijemput Rukma pun, kemungkinan akan berhasil hanya 5%. Meminta Edo ... Ghina melirik kedai yang ramai sama anak-anak muda yang nongkrong menikmati malam minggu, lebih tidak mungkin. Namun, naik mobil itu...
"Dokter Alfa ini sejenis jelangkung ya, selalu datang tanpa diundang," kata Ghina dengan suara sedikit tinggi, mengingat ramainya deru mesin di luar sini. Lalu, kelelahan karena itu. Kenapa pria ini tidak turun saja sih?
"Ini jalan umum, yang biasa saya lewati. Kamu di pinggir jalan nyaris pingsan, kalau saya nggak berhenti, nurani dokter saya patut dipertanyakan," jawab Alfa datar. "Jadi, kamu mau naik atau nggak? Ini jam padat, saya nggak mau didemo pengguna jalan lain."
"Dokter ini kan orang asing, rasanya nggak bi—"
"Kamu nggak mau? Ya udah. Hati-hati."
"Eh!" Spontan Ghina berdiri dan tergesa masuk mobil, ketika setengah jendela sudah naik. Pria ini sama sekali tidak ada basa-basinya. Aneh. Lebih aneh lagi dia, kenapa langsung masuk mobil orang asing ini? Bagaimana kalau ini orang melakukan hal-hal buruk? Menculik? Pelecehan? Ghina nyaris memutuskan turun kembali, namun tertahan sengatan menyakitkan di setengah bagian kepalanya.
"Rumah kamu di mana?" tanya Alfa tidak lama setelah mobil jalan.
"Dokter mau antar saya pulang?"
"Kamu mau saya antar ke mana? Mall? Hotel? Atau rumah sakit? Kalau iya, saya tinggal puter balik."
Ghina menggeleng, tapi itu juga terasa terlalu melelahkan dan menyakitkan. Jadi, dia menyandarkan pelipis ke kaca mobil. "Jangan. Saya benci rumah sakit. Ini cuma migran biasa, sebentar lagi juga hilang. Antar saya ke Apartemen Mediterania, Tanjung Duren." Lalu, Ghina sengaja terpejam. Dan terdengar Alfa menghela napas sangat kasar, seolah akan menghadapi hal mengerikan. Yang kemungkinan imajinasi Ghina saja, karena saat dia mengintip dengan satu mata, Alfa menyetir dengan wajah sangat datar.
"Migrannya sudah berapa lama menyerang?" Pertanyaan Alfa memecahkan keheningan, yang terbangun entah sudah berapa lama.
"Kemarin malam, berhenti, lanjut sore ini sampai sekarang," jawab Ghina tanpa membuka mata. "Sudah biasa begini kalau dikejar deadline, bukan hal baru."
"Tidur malam?"
Ghina meringis. "Iya. Tiga. Ah, tidak empat. Sudah empat hari saya begadang, ada proyek penting dan dua pekerjaan freelance. For your information, saya ini arsitek." Lagi, Ghina mengintip melalui satu mata. Tetap saja wajah pria ini tidak berubah, tetap datar. Seharusnya ada kaget sedikit, atau bagaimana gitu.
Lampu merah. Mata Ghina bertemu dengan mata Alfa saat dia menampar diri sendiri dalam hati, mengingatkan lagi dia tidak punya kewajiban membuat pria satu ini terpesona padanya.
"Hari ini sudah makan berapa kali? Atau selama begadang itu kamu makan teratur?"
"Dokter lagi buka praktik mobile?"
"Iya. Sesampainya kamu di tujuan, tolong, bayar saya. Biaya konsultasi 150rb dan biaya antar kamu 60rb."
Ghina membuka kedua matanya, menegakkan punggung, menarik napas panjag, lalu berdeham. "Dok, mobil udah mewah gini loh. Receh begitu masih penting?"
"1 juta kalo kurang 100 perak, nggak jadi sejuta." Komentar itu membuat Ghina tersentak dan kehabisan jawaban. "Tolong, jawab pertanyaan saya sebelumnya."
"Oh. Makan?" Kening Ghina berkerut. "Roti keju, susu, mendoan..."
"Itu sarapan?"
"Sarapan, roti keju dan susu. Siang, mendoan dan teh manis."
Alfa tiba-tiba menelengkan kepala, lalu memasukkan mobil ini ke layanan drive thru restoran ayam cepat saji. Ghina membuka mulut, tapi tidak ada kata-kata yang keluar, hanya memperhatikan Alfa memesan sepaket nasi dua ayam—membayar—mengambil—lalu menaruh bungkusan itu di pangkuannya.
"Dok, ini---"
"Makan saja. Sekarang." Alfa memerintah dengan suara paling dominan yang pernah didengar Ghina. Suara yang tidak memberikan siapa pun untuk membantah. Mungkin, ini imajinasi lain Ghina. Namun, mata Alfa menggelap. Dia tidak yakin itu kenapa, tapi ada sesuatu yang mengganggu pria ini dan dia tidak tahu apa.
Lagipula, kenapa dia harus memikirkan apa yang mengganggu Alfa?
Kenapa Alfa bereaksi seperti ini? Seolah peduli apa yang dia makan, atau penyebab alasan migran ini menyerang. Namun, Ghina tidak bisa tidak penasaran. Di wajah tampan itu jelas tertulis, Alfa peduli.
*
*
*
Selamat membaca!
Cie yang nungguin dari siang.
Cie yang baperrrrrrr. Ngaku! 🤣🤣🤣🤣
Jgn lupa vote dan comment yang banyakkkkkkkkkkk.
Untuk info naskah2 aku, kalian bisa follow ig
Bagaskarafamily
Flaradeviana
Love, Fla.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top