3
•
•
•
SUDAH empat hari Ghina bekerja di Segelas Kopi. Seperti hari sebelumnya, dia datang setegah jam lebih awal dari seharusnya, Pk. 13.00. Berdiri di depan pintu kedai, membisikkan banyak kata motivasi untuk diri sendiri. Namun, kali ini berbeda. Kalimat motivasinya luruh. Kalau bukan karena pelanggan di belakangnnya, mungkin dia akan tetap berdiri di depan pintu atau kabur entah ke mana.
Ekspresi Rukma mengeras di balik mesin ekspresso, ketika dia memasuki kedai. Sibuk melirik bergantian Ghina dan sepasang pelanggan yang terlihat menunggu pesanan siap. Tidak perlu melihat jelas wajah, Ghina sudah kenal dua orang itu. Dan kepanikan semakin melanda, saat si perempuan tanpa diduga membalik badan ke arahnya dengan gerakan centil menggelikan. Kemudian si pria ikut berbalik, tanpa melepaskan tangan dari pinggang ramping si perempuan.
God, kenapa dua manusia keparat ini nggak musnah saja?! Kenapa mereka bisa sampe di kedai kopi ini? erang Ghina dalam hati.
Kalau saja kedai kopi ini tidak terkenal, mungkin kecil kemungkinan orang dari arah jauh mampir.
Ghina buru-buru membuang muka, mengarahkan langkahnya ke office, lalu suara sok manit itu terdengar. "Eh, Mbak Ghina kan? Mbak Ghina kerja di sini? Kamu tahu nggak, Hon?"
Pemikiran mengerikan bermunculan di otak Ghina, seperti menyiram kopi panas ke wajah perempuan sialan itu. Ghina menggosok kening dengan frustrasi. Butuh tiga tarikan napas yang tajam hingga Ghina siap mengangkat dagu dan memutar arah jalan menghampiri pasangan setan itu, dengan senyum tipis.
Tegar, Ghina, tegar! Anggap aja lo lagi dipaksa masuk ke wahana rumah setan. Ketemu Mrs. K dan Buto Ijo! Langkah Ghina terlihat yakin menghadapi dua orang itu. Si pria sudah membentuk garis hampir tersenyu, terkesan mengejek keadaan Ghina saat ini. Suatu prestasi Ghina bertahan untuk tidak menampar dua orang ini. "Iya nih, Sophia. Gue kerja di sini, bagian admin. Yah, mau gimana lagi ... kan posisi gue yang nyaman itu udah diambil lo," sahut Ghina tidak ada ramah-ramahnya. "Gimana? Enak? Udah dapat apa aja? Tas? Perhiasaan?"
"Mas Tyaga..." Sophia mengernyit, lalu mundur dan bersembunyi di balik punggung Tyaga.
Rukma terlihat makin ketar-ketir menyelesaikan pembuatan pesanan, memanggil nama Tyaga dengan nyaring. Memohon lewat tatapan pada Ghina untuk menahan diri, karena keadaan kedai yang padat saat ini.
"Jangan begitu, Na. Kalau aku nggak salah ingat, kamu yang membiarkan posisi arsitek utama kosong di kantor. Dan Sophia nolong aku, ngurus hal-hal yang kamu tinggalkan gitu aja!" Tyaga balik menyudutkan dia.
"Oh. Jadi itu yang kamu bilang ke semua klien, Ghina tidak bertanggung jawab, pergi tanpa menyelesaikan kewajiban. Atau, ada hal lain yang kamu bilang?"
Tyaga memasang sikap bosan. "Aku cuma bicara yang sebenaranya. Kamu pergi, banyak deadline terganggu."
Sulit dipercaya dulu Ghina bisa tergila-gila sama pria ini.
Ghina menahan napas sepersekian detik, lalu dikeluarkan pelan-pelan. Dia berusaha tidak menanggapi argument itu, tapi melihat cara Sophia bergelayut manja di lengan kokoh Tyaga—menyulut emosi Ghina. Itu tangan yang merangkul dan menghangatkan dia selama 5 tahun, seharusnya tangan itu terus merangkulnya di sepanjang sisi hidup nanti. Seharusnya dia yang berdiri di samping Tyaga, bukan perempuan murah kayak Sophia!
Ghina melangkah maju dan berdiri sejajar di depan wajah Tyaga. "Oh ya? Aku pergi untuk mempermudah Sophia, aku kasihan liat dia jadi lonte karena penasaran duduk di ruangan aku—jadi partner sekaligus pasangan kamu. Jujur, aku tuh malu sebagai sesama perempuan. Jadi, aku mengalah dan pergi dari kantor yang aku bangun susah payah dengan cara paling hina sedunia!" Ghina berpaling ke Sophia. "Selamat ya, nggak sia-sia lo ngerawat badan sampai sebagus itu. Berguna. Bisa dipake buat goda cowok-cowok bangsat nggak tahu diri."
Tyaga menarik lengannya dengan kasar, Rukma langsung berlari keluar area barista, beberapa tamu memperhatikan adegan ini seperti sedang melihat syuting acara reality show.
"Apa?!" tantang Ghina.
"Jangan keterlaluan kamu!" perintah Tyaga.
"Wohooo... aku keterlaluan? Aku? Eh, yang jual selangkangan ke tunangan orang tuh nih perempuan! Bukan aku! Yang buat aku kehilangan segalanya itu kamu dan dia, kenapa aku yang keterlaluan?! Kamu yang keterlaluan, bersikap kayak perempuan lagi merajuk, menjelekkan aku ke semua klien yang pernah aku pegang! Banci!" Suaranya meninggi tanpa bisa ditahan. Rukma memeluk bahunya, sambil memohon untuk berhenti.
Namun, belum ... baik dia atau Tyaga belum selesai. Persetan dengan orang-orang!
"Kehilangan segalanya? Jangan berlebihan, Na. Kamu cuma kehilangan pertunangan kita, dan itu kamu yang mau. Begitu pun soal kerjaan, kamu yang resign dari kantor punya aku."
Mata Ghina mengadu ketajaman dengan Tyaga. Ghina benci bukan main kalau Tyaga mulai mengeluarkan kalimat 'Kantor Punya Aku'.
Rasanya lama sekali waktu berlalu, sampai dia menghempaskan kasar tangan Tyaga. Sementara seisi kedai ini seolah menahan napas, terlihat tekejut dengan nada-nada tinggi ini.
Ghina mendorong kasar dada Tyaga, sampai posisi berdiri pria itu sedikit oleng. "Kamu memang membiayai semua operasional kantor dari awal, tapi aku bersusah payah membuat kantor itu layak, Brengsek! Tanpa aku, kamu atau kantor itu nggak akan jadi seperti sekarang!"
Lalu Ghina berbalik berjalan menuju pintu, tanpa diduga sudah ada tiga dokter yang memang jadi langganan tetap kedai ini. Dua tercengang, satu tetap datar. Jadi, tiga pria ini melihat dia memaki? Terserah saja, toh, dia tidak punya kewajibaan mengesankan ketiganya.
"Permisi," kata Ghina saat langkahnya susah dilanjutkan, karena pintu yang kecil terhalang tiga manusia tinggi.
Andreas dan David bergeser, memberikan jalan. Tanpa memedulikan apa pun dia keluar, lari dan berbelok ke salah gang sempit samping kedai. Jaraknya hanya muat untuk satu orang berdiri miring, cukup panas karena sisi kanan dan kiri terdapat kipas AC yang menyala, tapi Ghina tidak ada pilihan lain. Dia merosot dan berjongkong di sana, sekuat supaya tangisnya tidak keluar. Dia sangat marah, murka.
Entah berapa lama dia berjongkok di sana, sampai ada yang memblokir pencahayaan dan menciptakan siluet di tembok.
Ghina menoleh dan menengadah, kalau saja dia masih punya kekuatan, dia bakal menjerit menemukan Alfa berdiri cukup dekatnya. Bersandar di tembok yang sama, menyilangkan satu kaki di depan kaki yang lain.
"Ngapain?" cicit Ghina.
Alfa tidak menjawab, mengeluarkan sekotak rokok dari saku celana bahan hitam, lalu menyalakannya. Menghisap dalam-dalam dalam batang nikotin dan mengeluarkan asap sebagai jawaban.
Ghina mengerjap. "Dokter merokok?"
Alfa melirik sebentar, kemudian memerhatikan tembok depan mereka lagi. "Dokter juga manusia."
Ghina memberi pandangan ragu-ragu.
"Kalau kamu nggak suka, silakan pergi. Dari awal ini tempat saya," kata Alfa menambahkan.
"Memang ada papan pengumuman, 'dilarang ke sini, milik Alfarezi.' Ck!" gumam Ghina pelan, meski yakin tetap didengar Alfa. Ya, terserah saja. Bukan urusannya juga. Balik lagi ke pemikiran sebelumnya, dia tidak punya kewajiban mengesankan siapa pun, termasuk Alfa.
Untuk waktu yang tidak diketahui, mereka tetap di posisi masing-masing. Ghina tetap jongkok, sampai otot-otot kakinya terasa nyeri. Sementara Alfa, entah udah berapa batang yang dihisap. Untuk alasan yang sulit dijelaskan Ghina datangnya dari mana, dia merasa mereka sedang sama-sama merayakan kepahitan hidup masing-masing. Seolah kisah Alfa sama kacaunya dengan kisahnya.
Seraya mendorong pemikiran tentang hidup orang asing di sebelahnya, Ghina menghela napas dan berdiri. Siap kembali ke kedai, meminta maaf atas kekacauan beberapa waktu lalu. Kalau perlu memohon, asal tidak dikeluarkan. Namun, kakinya goyah karena terlalu lama berjongkok. Dia berpikir wajahnya akan menyentuh tanah, tapi Alfa menangkapnya dengan cepat.
Gelombang panas yang hilang selama beberapa hari terakhir kembali muncul dan meledak.
Sunyi yang sudah ada sedari tadi bertambah pekat. Ghina tidak perlu mendongak untuk tahu bahwa dia berada tepat di jalur pandangan Alfa yang tajam dan dingin itu. Dia bisa merasakan dengan jarak sedekat ini, mata kelabu Alfa sedang menyusuri seluruh tubuhnya, kemudian pelan-pelan kembali mengunci wajahnya. Ghina merasa sesak. Butuh usaha keras bagi Ghina melepaskan tangan Alfa dari kedua lengannya, lalu mundur tanpa memandang pria itu.
"Terima kasih."
Alfa seperti sengaja memiringkan kepala memandangnya, lalu mengumam, "Sama-sama."
Panas merambat naik menjalari pipi Ghina. Ayolah, dia ini perempuan patah hati yang kesepian. Sangat lemah jika menerima hal-hal seperti ini. Dipandang seintens itu ... dengan pria semenarik Alfa.
•
•
Terima kasih sudah membaca
Apakah sejauh ini berhasil bikin dugun2? 🤣🤣🤣
Jangan lupa vote dan comment-nya... Aku pengin nodong, udah dikasih double up tiap hari loh. 😌😌😌
Untuk info naskah2 dan spoiler bisa follow ig
Bagaskarafamily
Flaradeviana
Love, Fla.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top