21
Selamat membaca
•
•
•
Semoga suka
•
•
•
SETELAH menghabiskan waktu sepanjang pagi dengan canggung dan kebingungan bersikap, Ghina memutuskan untuk menghadapi sumber ketidak nyamanannya. Menggunakan kekosongan area kerja Mega Tarinka saat jam istirahat untuk mendatangi area berbahaya. Dia berdiri cukup lama di depan pintu kaca, memperhatikan punggung sang penguasa sedang asyik menghadap meja gambar. Butuh beberapa kali embusan napas kasar, Ghina mampu mengentuk dan membuka pintu ruangan itu.
"Selamat siang, Pak Steven."
Steven menoleh sekilas padanya, tanpa berbalik. "Seingat saya, saya nggak ada suruh orang, atau menghubungi kamu buat datang ke sini."
Kedua tangan Ghina merangkum erat pegangan papper bag cokelat, menjaga senyum manisnya tetap menguasai wajah, lalu berjalan lambat mendekati meja kerja Steven. "Saya itu tamu yang nggak diundang, habis barang Bapak tertinggal di tempat saya. Dan saya nggak suka menunggu menyimpan barang orang lain terlalu lama."
Sepersekian detik ruangan ini diserang keheningan yang aneh, dari cara Steven memutar kasar kursi menghadapnya, bersedekap dengan wajah serius dan ekspresi yang memacing kompor dalam tubuh Ghina menyala otomatis—siap mendidihkan darahnya.
Ghina meletakkan papper bag ke meja. "Terima kasih buat jasnya, Pak. Sudah saya cuci bersih. Jangan khawatir cucinya di laundry 24 jam paling bagus dan terpecaya, pasti bersih."
"Laundry? Kayaknya kamu salah, deh. Saya nggak meninggalkan apa pun di kamu."
Dengan bersusah payah menahan tawanya, Ghina mundur beberapa langkah dari meja Steven. "Kalau Bapak ini pemegang paham menolong tanpa diketahui, lain kali, tolong pastikan lebih dulu apa-apa yang dipakai buat menolong tanpa indentitas." Begitu Steven menegakkan punggung dan mengurai sedekap, Ghina tidak tahan untuk tidak terkekeh. "Di jas Bapak ada bordiran namanya, di bagian kantong dalamnya. Kecuali ... nama Bapak bukan lagi Steven Gunadi."
Ghina menghentikan kekehannya, menyadari reaksi Steven makin aneh. Pandangan itu seolah ingin menyelami pikiran Ghina, mencari tahu sendiri apa yang dia pikirkan, tanggapan langsung darinya. Sialannya, Mata Ghina ikut mencari jalan untuk mengetahui apa-apa yang orang lain belum tahu tentang Steven. Meneliti detail dan menyadari penampilan Steven cukup menarik untuk pertama kalinya. Rambut hitam yang dipotong pendek dan ditata asal-asalan, wajah maskulin yang kebulean lengkap dengan bulu-bulu halus yang dibiarkan tumbuh sekitaran dagu, bahkan pria itu memiliki bisep dan perut rata yang tersamar di balik pakaian formal.
"Ghina." Suara Steven membuat perut Ghina mendadak terlilit. "Apa pun yang ada dipikiran kamu, tolong segera dihilangkan."
"A-apa?" Ghina menggigit bagian dalam bibir bawahnya dengan kening mengerut. "Saya nggak memikirkan apa pun, Pak."
"Kamu bagian dari semua proyek penting saya. Kalau kamu sakit, saya repot. Itu alasan saya. Nggak lebih." Steven berdiri, menghampiri meja kerja, dan menunjuk papper bag Ghina. "Jangan memikirkan yang nggak-nggak."
"Wow. Memang saya mikirin apa? Saya—"
"Cara kamu melihat saya tadi, seperti seorang perempuan melihat laki-laki."
"Memang Bapak bukan laki-laki?" Ghina berharap ekspresinya sama menyebalkannya seperti ekspresi Steven. "Bapak mikirnya kejauhan. Udah ah, saya pamit. Sekali lagi terima kasih dan maaf sudah merepotkan."
Cepat-cepat Ghina berbalik dan menuju pintu. Ketika tanganya berhasil meraih gagang pintu, Steven kembali memanggilnya—dengan nada dan cara yang sama seperti tadi. Dan lagi, perutnya melilit.
"Ghina."
"Apa lagi, Pak Steven?" Malas, tapi Ghina tetap berbalik. "Aman, Pak, aman. Otak saya ini udah saya kandangin biar nggak lari ke mana-mana. Mau Bapak bangun candi semalaman buat saya, saya nggak bakal mikir aneh-aneh."
Seperti sudah jadi kebiasaan, Steven menunggu dia mencapai ujung dari kalimatnya—menatap dengan tajam dan serius, lalu baru melakukan sesuatu. Tanpa menanggapi kalimatnya, di ujung sana Steven terlihat sibuk menarik dan menutup laci meja kerja, terdiam sebentar seolah berpikir, kemudian menghampiri tempatnya berdiri. Masih dengan ekspresi mengesalkan, yang menggoda Ghina untuk menancapkan ujung heels ke bagian tubuh mana pun dari Steven.
Seteven mengulurkan kotak kecil kuning, dan satu alis Ghina naik secara otomatis. "Mencegah lebih baik daripada mengobati. Satu penyakit yang sering mampir ke orang yang suka begadang, masuk angin. Dan ini, ya, kamu tahu sendiri ini fungsinya apa."
Ghina berkedip beberapa kali, mencoba menepis bagaimana tindakan Steven sedikit menggelitik sesuatu di dasar hatinya. "Oh. Oke. Terima kasih. Nanti saya bagi dua sama Miko atau Utari, mereka juga pejuang kalong kayak saya." Tanpa beban Ghina menambil kotak itu lalu keluar, tanpa berniat melihat ekspresi wajah Steven setelahnya.
Sepanjang sisa waktu kerja berjalan lancar, tanpa kecanggungan atau pikiran yang berlebihan. Karena urusan maket sudah selesai, proyek rumah juga sudah ditahap permintaan izin membangun, dan proyek Batu masih dipegang Utari—dia hanya bagian memberi pendapat, Ghina bisa pulang tepat saat jam kantor berakhir. Sedari di lift dia sudah mulai merancang apa-apa yang ingin dilakukan sesampainya di apartemen, sampai satu panggilan masuk dan membuyarkan rencananya. Bukan hal yang buruk, justru menyenangkan, membuat Ghina sangat semangat. Tidak bisa mengontrol senyum lebar di wajahnya.
Ghina berjalan cepat menuju lobi apartemen, sesekali bersiul, otaknya tidak bisa diam—terus merancang hal luar biasa.
"Hai Tante Susi, sorry ya, aku lama... macet banget tadi!" seru Ghina begitu membuka pintu lobi.
Perempuan paruh baya berpenampilan modern, langsung berdiri dan memeluk Ghina. "It's okay. It's okay. Si pembeli tadinya mau ngobrol sama kamu besok pagi, tapi Tante nggak sabar, Ghina! Semakin cepat deal, semakin bagus, kan?"
Ghina mengangguk tidak kalah semangat. Aparetemennya laku. Uangnya bisa dia pakai buat kontrak rumah sederhana, bawa Bapak ke Jakarta dan berobat di sini, pengeluaran sisanya ... bisa dia pikirkan nanti.
"Jadi..."
"Nak Alfa!" tangan Tante Susi otomatis meninggalkan pundaknya, melambai penuh semangat, sementara Ghina mematung.
Alfa. Alfa. Berapa besar kemungkinan orang di balik punggungnya, Nak Alfa-nya Tante Susi sama dengan manusia yang dia kenal? Ghina tidak berani berbalik, sampai Tante Susi menarik Nak Alfa ke depannya.
"Nah. Ini orang yang mau beli apartemen kamu. Kenalan dulu. Kenalan dulu. Eh, duduk. Ayo, kita duduk."
Sama-sama kaku, Ghina dan Alfa mengikuti arahan Tante Susi menuju sofa yang memang tersedia di lobi apartemen. Pertemuan perdana setelah kejadian dia marah-marah. Sudah cukup lama beralu, tetapi keinginan untuk menyembunyikan wajah masih sangat besar Ghina rasakan.
"Ayo, kenalan." Tante Susi yang duduk di antara mereka mengambil tangan masing-masing dari mereka lalu menyatukan. Hanya beberapa detik lalu terlepas setelah mengucapkan nama dengan canggung, tetapi efeknya luar biasa buat Ghina. "Jadi, Na. Mamanya Alfa ini teman kuliah Tante dulu, tadi kita reuninan, tanya-tanya tuh soal kerjaan Tante. Waktu Tante bilang agen properti area ini, mama Alfa bilang, anaknya lagi cari apartemen di Mediterania—mau investasi tambahan. Ya udah, Tante langsung tawarin apartemen kamu sama si Tina. Nak Alfa langsung bilang mau lihat dua.duanya."
Ghina menatap Tante Susi tanpa tahu harus bereaksi seperti apa, sepertinya Alfa pun begitu. Pria itu jelas menghindari dia.
Ketika dia masih sibuk mengembalikan kemampuan bicaranya, Tante Susi berdiri dan berkata, "Sebentar ya, ini Tina telepon, Tante angkat dulu." Kemudian, pergi ke area kotak surat penghuni apartemen.
Seluruh tubuh Ghina kaku seutuhnya. Pemisahnya dan Alfa sudah pergi, jarak mereka sangat dekat. Dia melirik dari ekor matanya, lalu mengumpat dalam hati. Pria ini terlihat lebih menawan dari yang dia ingat. Lebih seksi, manly, memesona. Tidak ada kemeja atau pakaian resmi, tubuh pria itu dibalut kaus hitam dan jaket jins biru berkantung, berpadu sempurna dengan celana jins hitam yang sobek di beberapa titik, dan sneakers.
Satu ujung bibir Alfa naik secara tiba-tiba, diikuti gelengan pelan. "Kenapa? Mau bilang saya mengatur ini semua?"
"Nggak! Saya ... saya ..." Ghina kesulitan menemukan kalimat yang tepat.
"Baru jam 7 mama saya masih belum tidur, saya—"
"Nggak perlu!" Spontan, kedua tangan Ghina menangkap lengan Alfa. "Nggak usah berlebihan deh, Dok. Saya aja nggak bilang apa-apa, tapi pikiran udah jelek. Nggak tahu begitu. Nggak lihat nih, muka saya itu bukan kesal, tapi bahagia."
Sepersekian detik keduanya saling tatap, dan Ghina tersesat pada tajamnya mata Alfa, wajah sensual Alfa. Menyadari otak dan tubuhnya mulai bereaksi berelebihan, Ghina memalingkan wajah dan melepaskan lengan Alfa, memaksa bokongnya bergeser dan menciptakan jarak lebar.
"Saya belajar dari kamu."
"Hah?" Ghina menoleh, kembali mempertemukan pandangan dengan Alfa. Dia mencoba mengontrol debaran jantung yang berlebihan. Mencari sesuatu untuk disalahkan.
Sebagaian menyalahkan kafein kenapa baru bekerja sekarang, padahal hari ini dia hanya minum dua gelas. Sebagaian lagi menyalahkan wajah Alfa yang menyebalkan, tapi tampan, yang makin tampan dengan tambahan bulu-bulu halus sepanjang rahang, dagu, mulut.
"Ma-maksudnya?"
"Memikiran bagian terburuk dari seseorang. Saya belajar itu dari kamu."
•
•
Terima kasih sudah membaca!
Jangan lupa vote dan comment. Boleh loh, share bagian yang kalian suka, dan tag IG : Flaradeviana atau IG : Bagaskarafamily
Love, Fla.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top