20
•
•
Selamat membaca
•
•
Semoga suka
•
•
GHINA berdiri di depan maket Proyek Ubud, hampir rampung, tetapi seperti ada yang kurang. Dia melipat kedua tangan depan dada. Bergeser ke kiri, beberapa detik kemudian bergeser ke kanan. Memiringkan kepala ke kiri, ke kanan. Hingga akhirnya dia menghela napas kasar, memandang langit-langit kantor sepersekian detik, kemudian duduk dan memejamkan mata sambil memijit kencang tulang hidung,
"Jangan capek sekarang, Na. Tahan. Tiga hari lagi," bisiknya pada diri sendiri. "Lo emang mau setiap hari diejek si Steven, terus orang-orang di sini bakal ngegosipin lo sama Pak Gun lagi? Nggak, kan?"
Ghina terus menjalin kembali kerja sama antara tubuh dan matanya, sampai sebuah tepukan ringan mampir ke pundaknya lalu disusul pertanyaan, "Kok sendirian, Na? Miko di mana?"
Ghina menoleh, dan Utari sudah berdiri di sampingnya. Dia melirik heran ke pintu di belakang sana. "Lo nembus dinding? Itu pintu kalau dibuka, kan, berisik banget. Tapi dari tadi di sini tenang-tenang aja, jangan-jangan lo—"
Pukulan kembali mendarat di pundak Ghina, sedikit lebih keras. Ghina meringis, dan Utari mendengus. "Jadi?"
"Miko gue suruh pulang. Kasihan. Istrinya baru empat hari lahiran, masa ditinggal lembur terus."
Utari memandangnya dari ujung kepala sampai kaki, lalu kembali menatap wajahnya sambil menggeleng. "Heran. Bisa kasihan sama orang lain, tapi sama diri sendiri nggak. Lihat keadaan lo. lihat ruangan ini. Kacau."
Ghina meringis, tidak bisa mengelak.
Ruangan ini memang parah, seperti habis kena badai. Beberapa detail maket yang gagal berserakan, potongan-potongan kertas beermat dan mica, alteco kosong, dua gelas berisi sikat gigi dan odol di meja dekat pintu, dua bantal dan selimut tipis di sofa, tumpukan cangkir kopi kosong, bungkus bekas roti dan makanan ringan, dan dua paper bag besar—masing-masing berisi perlengkapan pribadi dia dan Miko. Penampilannya tidak jauh beda dari ruang ini, rambut dikuncir asal dan awut-awutan—make up pun sudah pergi entah ke mana.
"Bantal. Selimut. Nggak sekalian pindahin semua barang di apartemen lo ke sini?"
"Wah. Ide bagus, tuh!" seloroh Ghina sambil berdiri. "Lumayan, tidur di sini, gue jadi hemat air dan listrik. Besok, deh, gue cari jasa pindahan yang murah. Lo bantuin cari, ya?"
"Ghina!"
"Utari?"
"Anak-anak yang lain nggak pernah sampai segininya loh, Na."
"Anak-anak yang lain nggak pernah digosipin dan diremehin sampai segitunya, loh, Tar. Simpanan atasan. Di kantor lama bukan apa-apa tanpa mantan tunangan. Apa lagi kata mereka? Ah, penjilat. Dan masih banyak lagi." Ghina bertatap wajah dengan Utari dan menemukan rasa simpati menggunung di tatapan teman sekantornya itu. "Gue itu—"
"Lo mau buktiin lo mampu dan layak. I know, Na. Gue udah dengar itu puluhan kali." Utari menggeleng. "Sejak lo pulang dari Batu, udah berapa hari lo nginep di sini? Terus, kapan terakhir kali lo tidur dengan cara dan waktu yang benar?"
Ghina sedikit memiringkan kepala dan berpikir. Bukan mencari jawaban, tapi bagaimana cara menyampaikan jawaban itu tanpa menambah panjang ceramah Utari.
"Kalau lo susah jawab, gue aja. 9 hari, termasuk Sabtu dan Minggu. Gue dukung niat lo, yang nggak gue dukung caranya itu, loh."
Bibir Ghina sudah terbuka, tapi Utari lebih dulu melancarkan serangan lainnya. Perempuan itu maju sedikit dan menunjuk dadanya.
"Lo bisa lunak sama orang lain, harusnya sama diri sendiri juga bisa."
Ghina memaksakan senyum lebarnya muncul, menangkap telunjuk lalu memutar tubuh Utari ke arah pintu, berusaha memperkecil kesempatan perempuan itu memuntahkan petuah lain ke dia. "Pertama, Kalau lo di sini terus, gue nggak bakal kelar-kelar. Kedua, lo nggak kasihan sama laki lo di bawah? Udah dijemput, kan? Ketiga, gue udah lunak sama diri sendiri—udah gue presto."
Utari memaksa berhentim dan berputar untuk memandangnya. Wajah perempuan itu melembut, merengkuh dan menepuk kedua bahunya, lalu pergi tanpa melemparkan ceramahan lain—hanya senyum tipis penuh maklum.
Ghina berdiri cukup lama di ambang pintu setelah Utari lenyap dari pandangan, bersandar pada kusen pintu dan memandang jauh ke dalam kegelapaan. Kemudian, dia pergi ke pantry untuk menjemput satu cangkir terakhir hari ini. Selagi menunggu mesin kopi bekerja, Ghina duduk dan meletakkan miring kepala ke arah mesin kopi di punggiran meja stainless steel, mata yang sebelumnya sudah berat makin berat—lalu terpejam.
****
Ghina terkejut begitu membuka pintu apartemen ada bapaknya duduk di sofa, asyik menonton teve.
"Bapak? Kok, bisa di sini? Sama siapa? Ibu?"
Bapak menoleh dan tersenyum, tampak lebih sehat dari kemarin itu. Tanpa menjawab Bapak menepuk sisa tempat di sofa, meminta Ghina bergabung. Meski kebingungan, Ghina tetap menurut.
"Kamu kelihatan capek banget."
"Namanya juga kerja, Pak. Pasti capek. Eh ... Bapak belum jawab pertanyaan aku, loh."
"Sini, Na. Bapak mau peluk kamu." Sepersekian detik Ghina terdiam, makin bingung dengan permintaan Bapak. "Sini. Bapak minta dipeluk, bukan dilihatin. Rasanya sudah lama sekali kamu nggak meluk Bapak. Terakhir kapan ya, Na? SMP? SMA? Bapak sampai lupa cara kamu meluk itu bagaiamana."
"Apaan sih, Pak? Yang namanya meluk di mana-mana caranya sama."
Canggung, tetapi Ghina melakukan yang dimau Bapak. Memeluk sebentar, lalu duduk rapat sambil merangkul lengan Bapak. Beberapa kali Bapak menepuk lembut punggung tangan, menciumi puncak kepalanya, lalu berkata, "Kalau aja Bapak nggak buat kesalahan dulu, mungkin kamu nggak perlu secapek ini. Kalau aja Bapak nggak sakit, mungkin kamu—"
"Pak, setop!" Ghina melepaskan lengan Bapak dan duduk tegak. Dia sudah membuka bibir dan siap menyemburkan kalimat protes, tapi tidak ada satu pun kalimat yang berhasil keluar. Bahkan wajah Bapak makin pudar di depannya. Dia berusaha meraih tangan Bapak lagi, tapi tubuhnya pun ikut sulit digerakan. Dia hanya bisa menggeleng, menangis, dan Bapak nyaris hilang.
****
"Bapak!" Ghina tersentak, mengangkat kepala sekaligus mengembuskan napas lega. Dia masih di kantor. Tadi itu hanya mimpi.
Ketika Ghina meluruskan punggung, sebuah jas hitam merosot ke lantai. Cangkir kopi pun sudah ada di hadapannya, tidak terlalu panas, tapi hangat. Ghina memandang bingung jas dan cangkir itu bergantian. Ketika menemukan kemungkinan pemilik jas itu, Ghina segera berdiri—mengambil jas—meninggalkan pantry—meninggalkan kopi begitu saja. Dia berlarian panik ke ruang maket, dan kosong.
Tidak langsung masuk, Ghina melirik ke ruangan di seberang kiri ruang maket. Lampu di ruangan itu awalnya menyala, sekarang sudah mati.
Perlahan, dia masuk dan menuju maket. Ada sticky note warna biru tertempel di meja, persis di samping maket.
"Tangga penghubung area villa dan resto belum terpasang. Sudah saya pasang. Maket ini selesai. Nggak usah tidur di kantor lagi."
*
*
Terima kasih sudah membaca
Jangan lupa vote dan comment yang banyak yaaa...
Aku minta maaf baru bisa update, seminggu terakhir aku patah lagi, aku merasa tiap kali nulis selalu kacau. Tapi, i'am okay. Nyatanya bab ini ak berhasil menyampaikan yg mau aku sampaikan.
*
*
Banyak info baru tentang naskah2 aku
Follow ig
Flaradeviana
Bagaskafamily
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top