16
.
.
Selamat membaca
.
.
Semoga senang
.
.
'Apa untungnya buat saya?'
Ghina membiarkan kalimat itu menggantung. Dia berbalik, menjauhi Alfa secara perlahan. Namun, kalimat pria itu masih menggema dan mengganggu pikirannya. Dia tidak boleh marah. Dia tidak berhak marah, siapa dia? Tapi ... Demi Tuhan! Alfa itu dokter! Bukankah profesi itu harusnya memiliki empati tinggi?
Tanpa sadar air mata sudah bergulir di pipi Ghina. Ketika jalan terasa semakin panjang dan tidak jelas harus lanjut ke arah mana, lengannya ditarik dari belakang, lalu tubuhnya berputar menghadap Alfa.
"Mau jalan sampai mana? Ini—"
Ghina menghempaskan kasar tangan itu, lalu memberikan tatapan paling dingin yang belum pernah dia berikan pada orang lain seumur hidupnya. "Mau saya jalan sampe Tomang atau ke Ujung Kulon sekalipun, itu bukan urusan anda!"
"Ghina—"
"Lagian apa untungnya, sih, ngurusin tujuan saya jalan?! Nggak ada!" Seharusnya setelah menyeburkan kalimat ini dia pergi saja, bukannya berdiri menatap betapa memesonanya wajah pria itu saat satu sudut bibir tertarik ke atas. Brengsek! Kenapa sih, Tuhan menciptakan manusia sialan ini dengan wajah setampan ini?! umpat Ghina dalam hati.
"Kamu yang minta tolong sama saya. Saya itu cuma—"
Kesabaran Ghina tidak bisa menunggu sampai Alfa menyelesaikan kalimat pedas itu. Dia melempar tas dan menabrak dada bidang Alfa. "Bisa nggak sih, sehari aja itu mulut nggak pedas-pedas amat! Nggak capek apa yang di dalam sana ngulek mulu!" bentak Ghina tanpa memedulikan apa pun lagi, termasuk masih ada orang dan kendaraan lalu lalang. Peduli setan dirinya terlihat seperti pemain sinteron, India, telenovela!
Alfa membungkuk dan mengambil tasnya, saat Alfa mengulurkan tas dengan bibir siap melemparkan balasan, Ghina menggila.
"Iya, saya ini minta bantuan Dokter Alfa. Saya juga tahu yang namanya minta harus siap dengan risiko ditolak. Saya nggak masalah ditolak! Nggak! Tapi pakai cara yang baik! Anda dokter, loh! Dokter yang harusnya paham bagaimana paniknya keluarga pasien menerima kabar nggak enak! Bagaimana takutnya keluarga pasien ditinggalkan? Kalau saya punya banyak uang kayak anda, yang nggak perlu mikirin pengobatan kanker yang mahal itu, saya udah izin dari kemarin-kemarin ke Pak Gun! Ah, nggak usah izin, saya milih nggak kerja buat nemenin dan berjuang ngelawan penyakit itu sama Bapak saya! Ahhhhhhh! Percuma ngomong sama orang yang biasanya cuma diagnosis aja, bukan mengalami langsung orang terdekat kena penyakit mematikan itu!"
Dada Ghina naik turun usai berteriak menumpahkan hal-hal yang menyesakkan itu. Berkali-kali dia coba meghapus air mata, tapi gagal. Dia tidak tahu cara menghentikan tangis ini. Dia tidak tahu kenapa nekat mempermalukan diri di depan Alfa. Dia tidak tahu kenapa ini semua terjadi padanya. Dia benar-benar tidak tahu kenapa Tuhan memberikan banyak masalah sepanjang tahun ini? Tunangan brengsek, kehilangan pekerjaan yang dibangun susah payah, sekarang Bapak sakit.
Tangis Ghina belum usai, tapi napasnya sudah bisa dikontrol. Dia melangkah maju dan mengambil tas dengan kasar. Alfa membeku di tempat dengan wajah pias. Tidak peduli dan tidak mau mencari tahu pria itu kenapa, Ghina menjauh. Baru melangkah beberapa kali tiba-tiba saja ada suara klakson mengagetkan Ghina, ketika dia menoleh satu mobil yang dia kenal sudah menepi dengan kaca terbuka.
"Mau ikut?" tanya si pemilik mobil tanpa basa basi, tanpa menatapnya.
Satu lagi spesies menyebalkan, tetapi satu mobil bersama orang ini jauh lebih baik dari Alfa. Dengan sikap tenang dan santai, Ghina menjawab, "Mau."
Namun saat Ghina siap memutari mobil, tangannya kembali tertarik. "Ghina pulang sama saya." Si pemilik mobil menoleh dengan mata melebar, terkejut tapi berusaha menutupi. Dilihat dari arah datangnya mobil yang memang dipunggungi Alfa, pasti si pemilik mobil tidak menduga. "Kami satu area tempat tingga. Kalau ikut kamu, rasanya terlalu merepotkan terlebih lagi rumah kamu di BSD. Betul kan, Steven?"
Ghina mengerang dalam hati. Apa-apaan sih orang ini?
Untuk kesekian kalinya dia menghempas kasar tangan Alfa, berbicara lebih dulu sebelum Steven menanggapi kalimat Alfa. "Maaf, anda siapa ya? Saya nggak kenal." Kemudian, memandang Steven. "Terima kasih, Pak, untuk tawarannya. Saya nggak mau merepotkan. Saya pesan taksi onl--"
"Bukannya kita udah janjian mau pulang bareng? Saya kaget loh, lihat kamu keluar ruangan terburu-buru tadi. Saya pikir kamu lupa dan ini udah malam juga, jadi saya kejar kamu," potong Steven. "Ayo."
Ghina mengerjapkan mata. Terpaku pada senyum tipis di wajah Steven, yang sangat langka dia lihat. Namun, dia tidak mampu memutuskan harus apa. Emosi masih berkuasa sampai logika berhasil merebut kembali otak Ghina. Steven membantunya. Entah ini digantikan dengan siksaan kerja besok, atau tidak. Tapi, pulang bersama Steven memang pilihan tepat daripada dia terus diikuti Alfa. Diikuti? Dia melirik sengit Alfa sebentar, lalu masuk ke mobil Steven cepat-cepat.
"Kami pamit dulu, Pak Alfa," kata Steven dengan tenang. "Selamat malam."
Tidak ada jawaban, jadi Steven melajukan mobil begitu saja. Sambil berpura-pura memasang seat belt, Ghina mencuri pandang ke belakang mobil. Alfa masih bergeming di sana seolah punya kekuatan super untuk menghentikan mobil ini hanya dengan tatapan tajam. Anehnya, tiba-tiba saja Ghina merasa tidak enak telah bersikap sekasar tadi.
"Kenapa? Kamu mau saya putar balik? Katanya nggak kenal? Oh ya, kalau kamu tahu tadi itu Pak Alfarezi Bagaskara, salah satu pemegang saham sekaligus pewaris perusahaan tempat kita kerja."
Bergegas Ghina meluruskan posisi duduk dan memeluk tasnya kuat-kuat, lalu mengembuskan napas pelan. "Pak ... bisa nggak sikap nyebelinnya ditunda dulu? Besok aja, ya... Hari ini saya capek." Malam ini sudah buruk, dan dia tidak berminat menambah keburukan itu. Emosinya sudah dikuras habis menghadapi Alfa, tidak sanggup menanggapi sindiran maut dari Steven.
Ghina menempelkan pelipis ke kaca jendela mobil, bertekad menghabiskan waktu berdiam diri. Namun, melihat arah mobil ini membuat dia panik dan bersuara. "Pak? Kok, ke arah sini? Bapak mau nyulik saya?"
Steven meliriknya sekilas, lalu kembali fokus ke jalan. "Pak Alfa itu tinggal di Pondok Indah. Katanya, kalian tinggal di area yang sama. Saya udah di jalan yang benar. Makin malam, kamu ini makin aneh ya. Jalan menuju rumah sendiri masa nggak ngenalin."
Pondok Indah? Alfa tinggal di Pondok Indah? Bukannya di apartemen yang sama dengan dia? Dalam kebingungan, Ghina menepuk-nepuk lengan Steven. "Apartemen Mediterania, Tanjung Duren. Saya tinggal di sana. Bisa tolong Bapak ganti arah? Atau, kalau terlalu jauh, setopin saya di hotel itu nanti saya naik taksi dari sana."
Mobil berganti arah tanpa banyak pertanyaan. Ghina menjatuhkan tangannya ke samping, kembali menyenderkan pelipis ke tempat tadi. Pikiran-pikiran tentang Bapak, berganti cepat dengan banyaknya pertanyaan tentang Alfa. Kenapa Alfa berbohong soal apartemen? Kenapa pula pria itu bisa muncul tiba-tiba di depan kantor tadi? Dan, masih banyak pertanyaan lain yang dimulai dengan kenapa.
Terima kasih sudah membaca!
Siapa yang kangen aku? Hahahaha.
Btw, jangan lupa follow ig
Bagaskarafamily
Flaradeviana
Love, Fla.
Dannn hampir lupa! Aku lagi buka open PO PERFECT LOVE dan DIARY KANIA, ikutan yuk! Karena naskah ini berubah dari wattpad kemarin.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top