15




Selamat membaca



"NA, mau pulang kapan?"

Tangan-tangan Ghina menarik diri dari cutter dan karton, berbalik sekaligus meluruskan punggung, dan menemukan salah satu rekannya berdiri di ambang pintu kaca dengan penampilan siap pulang. Dia melirik jam digital lalu meringis. Rasanya baru sebentar sejak dia memasuki ruang khusus pembuatan maket setelah draft revisiannya diterima Steven sore tadi. "Baru setengah delapan. Masih siang."

Orang itu menggeleng, lalu menghampiri Ghina. "Baru kali ini gue lihat orang baru gabung ke kantor ini selama 3 minggu, dan selama itu pula doi lembur nyaris tiap hari. Lo kerajinan, atau Pak Steven terlalu menyeramkan?"

Ghina menyandarkan bokong ke tepian meja. "Dua-duanya?" Kemudian, mengangkat bahu santai dan tersenyum penuh arti. Menularkan senyum yang sama pada Utari, satu dari sekian banyak rekan kerja, yang akhirnya cocok dengannya. Drafter yang menghabiskan waktu di ruangan gambar dengannya, sampai menonton serial Netflix bersama saat makan siang.

Tiga minggu sudah berlalu sejak dia bergabung ke MegaTarinka, selentingan gila yang megiringi langkah pertamanya kemarin dengan sendirinya redup. Setelah orang-orang penghuni gedung tiga lantai ini melihat dengan mata kepala sendiri caranya kerja, repotnya dia mengurus proyek rumah istirahat itu, belum lagi diharuskan ikut meeting kelompok proyek Ubud. Beberapa orang mulai bersimpati padanya—mengubah panggilannya dari si Ghina simpanan Pak Gun, jadi si Ghina jajahan Pak Steven.

"Mau gue bantu buat maket-nya?" tanya Utari.

Buru-buru Ghina menggeleng. "Ini malam jumat, kasian laki lo di rumah sendirian."

"Sialan!" Lengan Utari mendorong pelan lengannya. "Ya udah, gue balik. Eh, jangan lupa makan malam. Makanan online banyak kali, Na. Tinggal klik, datang deh..."

Ghina mengangguk, lalu Utari meninggalkan ruangan. Sebagian besar lampu-lampu di luar sana sudah dimatikan, sepi. Kecuali, beberapa ruangan khusus—terisi pejuang lembur sepertinya. Ghina mengembalikan fokusnya pada maket berukuran sedang itu. Kalau saja Steven memerintahkan membuat maket berukuran lebih besar, mungkin pengerjaannya tidak akan seribet ini. Kalau saja dia tidak diperintahkan mengerjakan maket sendirian layaknya tugas kampus individu, mungkin dia bakal menerima tawaran Utari tanpa pikir dua kali. Ada benarnya juga orang-orang itu bilang dia dijajah, kenyataannya memang seperti itu.

Ghina menarik kursi lalu duduk mempet ke meja, mengatur cahaya lampu kerja, lalu mengambil kembali penggaris dan cutter. Entah sudah berapa lama Ghina menunduk—fokus memotong dan menempel, menghalau gangguan konsentrasi dengan lagu-lagu, sampai satu cup tinggi berisi cairan merah mendarat mulus ke meja tepat di sebelah tangannya. Ghina mengangkat kepala dari maket, menengadah ke sisi kanan. Spontan Ghina mendorong kursinya ke belakang, melepas asal earphone, lalu berdiri dengan degup jantung yang berpacu hebat.

Penjajahnya berdiri sangat dekat, mungkin tiga langkah tidak ada dari tempatnya berdiri. Satu tangan menggantung di pinggul yang ramping itu, sementara satu lagi mencengkeram erat pinggiran meja sampai urat-urat menonjol ke permukaan kulit.

"Kenapa muka kamu kayak gitu? Habis lihat hantu?"

Sepersekian detik Ghina memandang maket, lalu menatap wajah Steven. "Nggak." Jawaban itu berhasil lolos dari mulutnya yang kering. Dia berdeham dan merapikan rambut. "Bapak sendiri, kenapa ke sini? Ada hal yang mau diubah lagi? Yakin, Pak? Saya udah buat hampir setengah loh, Pak. Kan Bapak tahu sendiri, desain ini, rubah dikit—rubah semua. Apa lagi di bagian bawah ini. Belum lagi Bapak kasih deadline maket ini selesai sebelum besok sore, saya—"

Minuman di meja dipindahkan Steven ke tangannya. "Dari warung jus di samping kantor yang jualan ibu paruh baya."

"Hah? Maksudnya si Ibu kasih saya? Kok baik? Kenal aja nggak..."

"Saya beli supaya dagangannya habis, biar si ibu itu tutup cepat."

Satu alis Ghina terangkat, dengan kepala sedikit miring—matanya menyelidik tanpa bisa ditahan. "Terus, kenapa--"

"Itu campuran buah naga—wortel—bit—apel. Katanya, bagus buat kesehatan orang-orang yang suka begadang."

Ghina mengulurkan minuman ke Steven. "Kalau begitu Bapak minum saja, kan, Bapak doyan begadang. Ngapain dikasih saya?"

"Saya nggak suka."

Kening Ghina mengerut, menarik kembali minuman itu, lalu memutar-mutar—memperhatikan detail isi minuman itu.

"Kenapa?"

"Saya cuma memastikan smoothie ini aman. Nggak terkontaminasi garam, obat pencahar, atau ... ludah?" Tangan Steven nyaris menyambar, tetapi Ghina berhasil menyelamatkan minuman dengan cepat sambil memasang seringai jail. "Tuman, deh. Nggak bisa diajak bercanda dikit. Nih, saya minum. Mmmm ... enak dan sehat begini masa nggak suka? Kalah sama anak balita, makanan mereka aja campur-campur."

Kemudian terjadi kesunyian yang canggung di antara mereka. Steven menoleh ke sekeliling ruangan maket ini, mencoba terlihat santai tapi terlihat makin kaku, dan semakin lama Steven diam tanpa bicara, semakin Ghina bertanya-tanya apa yang dimau pria itu. Tiba-tiba menghampiri dan memberikannya minum. Hanya orang bodoh yang percaya dengan alasan Steven, dia tidak termasuk.

Ghina sudah membuka mulut untuk bertanya, tapi Steven mendahuluinya.

"Kalau begitu saya pulang dulu, selamat bertugas." Kembali memasang wajah sinis, anehnya, jauh di dalam hatinya ... Ghina merasa lega. Seperti kembali normal lagi.

Ghina mengangguk sambil mengangkat smoothie yang tersisa setengah itu. "Terima kasih buat ini. Semoga aja, Bapak nggak mengajukan pemotongan gaji buat ini." Kemudian, Ghina terkekeh. "Bercanda, Pak Steven. Ck, santai dikit tuh loh, Pak. Bukan jam kantor juga."

Sepersekian detik mata Ghina bertemu pandang dengan mata Steven, ada sorot mata tidak biasa yang membuat Ghian cepat-cepat meletakkan minuman ke meja setelah Steven hilang dari ruangan. Dia menarik napas panjang dan menggerakkan seluruh badan seolah banyak semut berjalan di sana, tidak nyaman. Dia memeluk diri sendiri dengan pandangan mengelilingi ruangan, lalu bergidik. "Kayaknya gedung ini penuh arwah-arwah penasaran iseng yang hobi merasuki orang..."

Sebelum pikirannya semakin jauh, Ghina meneruskan pembuatan maket. Kembali tenggelam pada tujuan; harus memberikan yang terbaik dari Ghina. Bunyi dering ponsel menghancurkan konsentrasi yang dibangun Ghina. Dia menggeser kursi berkaki roda itu ke kiri, meraih ponsel yang entah dari kapan tersambung dengan charger, melihat nama salah satu adiknya di layar LCD.

"Yo, Ino. Kenapa?" tanya Ghina.

Ghina menegakkan tubuh dan menopangkan siku di meja, mengambil apa pun yang bisa diremas untuk meredakan keinginan untuk menangis atau berteriak.

"Hmmm. Oke. Sudah. Kamu sama Gerry jangan ikutan panik, harus tenangin Ibu. Ya. Besok ... Mmmm..." Gemetar di badan Ghina terasa semakin kuat dan makin banyak suara di otaknya. "Besok, Mbak coba ngomong ke atasan ... siapa tahu boleh izin. Pokoknya, kamu wajib kabarin terus kondisi Bapak ke Mbak. Iya. Oke. Pelukin Ibu buat aku. Mmm. Ino, maaf ya ... Mbak nggak bisa langsung ada buat kalian."

Begitu sambungan terputus. Ghina merapikan semua barang bawaannya dengan cepat, meninggalkan maket setengah jadi itu tanpa pikir panjang, mematikan lampu dan AC, lalu berlari keluar ruangan. Dia lari melewati pintu tangga darurat, menapaki satu anak tangga ke anak tangga lain, terus saja berlari sampai melewati pintu utama gedung—mengambaikan sapaan satpam penjaga. Seolah ingin lari dari realita yang makin lama makin menyakitkan. Kemudian, dia berjongkok di trotoar. Terdiam dengan bahu terkulai, memandang jalanan malam yang sepi, kedua tangannya lemas di samping badan sampai tasnya ikut terlepas. Selama beberapa saat yang panjang, tidak ada bunyi selain napasnya dan suara-suara ketakutan di otaknya.

Jangan menangis.

Jangan menangis.

Ghina memantrai dirinya sendiri, lalu menengadah ke langit malam.

Bapak masih hidup. Bapak masih berjuang melawan penyakitnya. Bapak cuma masuk ICU. Para dokter akan berusaha sebaik mungkin untuk kesembuhan Bapak.

"Ghina..."

Dengan lunglai, dia menatap ke asal suara. Orang yang menghilang dari hidupnya selama dua minggu, tidak pernah kelihatan batang hidungnya sejak pertemuan terakhir di warung makan. Membuatnya berpikir; mungkin, semesta lelah mempertemukan mereka.

"Ayo, pulang."

Ajakan itu terdengar kaku. Namun, Ghina tidak tahu kenapa. Badannya berkhianat, mengikuti ajakan itu meski otaknya mati-matian menolak. Mengekor dan menatap punggung kokoh itu. Alih-alih memikirkan betapa anehnya pria itu muncul, Ghina justru mempercepat langkahnya, lalu menarik ujung kemeja si pria.

"Jangan!" pinta Ghina ketika si pria mau berbalik. "Kalau Dokter lihat saya, saya takut nyali buat minta tolong ke Dokter Alfa ini kabur. Lebih baik begini." Tidak ada jawaban, dan tarikan Ghina semakin ketat. "Bapak saya sakit ... Apa Dokter bisa bantu membujuk Pak Alby buat kasih keringanan untuk saya? Saya mau izin satu hari untuk ke Batu, tapi ... peraturaan kantor cuti boleh diambil kalau sudah satu tahun bekerja, kalau mau izin potong gaji ... saya... saya butuh gaji itu utuh."

Luar biasa malu. Ada gumpalan besar tersangkut di tenggorakannya, makian demi makian memenuhi otaknya, tetapi dia tidak ada pilihan. Bukankah banyak yang bilang punya kenalan orang dalam satu perusahaan bisa menguntungkan, dia sedang coba membuktikan itu. Meski harga dirinya tidak terima.

Kemeja Alfa lolos dari cengkeramannya, detik itu juga bahu Ghina kembali lemas. Harapannya sia-sia.

Dengan santai Alfa berbalik menghadapnya, melesakkan kedua tangan ke saku celana bahan hitam, lalu berkata, "Apa untungnya buat saya bantu kamu?"

————————-

Drafter adalah orang yang membuat gambar Teknik.

*

*

Terima kasih sudah membaca dan antusias kalian.

Maapkan aku telat update.

Hehehehe.

Jangan lupa vote dan commentnya yaaaaaaa, yang buanyak.

Untuk info seputar naskah2ku, kalian bisa follow ig:

Bagaskarafamily
Flaradeviana

Love, Fla.

*

*

*

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top