10

Selamat Membaca


GHINA tidak tahu harus bereaksi seperti apa. Tiba-tiba saja dia seperti tidak punya kendali pada diri sendiri, lost. Membeku tanpa bisa menyingkir dari tatapan mematikan Alfa, dan senyum sinis yang menghentikan detak jantuk itu.

Alfa memiringkan kepala sedikit, pandangan pria itu menyorotnya sebentar. Mendadak Ghina jadi sangat sadar pada kondisinya yang berantakan, rambut terkuncir asal—make up sudah hilang, dan fakta bahwa dia melepas dan memasukkan blazer ke tas—menyisakan cami top yang mencetak jelas lekuk dadanya. Ghina beringsut tidak nyaman.

"Mau pesta?" Alfa melirik barang bawaan Ghina.

Sambil mengernyit, Ghina menjawab, "Ya?"

Alfa mendekat, mengangkat satu alis. Mengisi ruang kosong di antara mereka dengan suara maskulin dan mengirim gelenyar aneh lanjutan ke seluruh pembuluh darah Ghina. "Jangan kebanyakan micin, kasian, otak kamu udah sempit makin sempit." Secercah senyum mengejek mengintai di mata Alfa, dan Ghina tersadar.

Otak kamu udah sempit makin sempit? Brengsek! Alfa ini adalah mahluk aneh bin menyebalkan yang patut dijauhi, bukan dikagumi. Sadar, Ghina! Sadar!

"Please deh!" Ghina mengembuskan napas panjang, lalu melepaskan ikatan rambut ekor kudanya yang berantakan sekaligus menurunkan keranjang biru dari dadanya—menyembunyikan dari pandangan Alfa. "Mau ukuran otak saya sekecil kacang ijo, itu bukan urusan Dokter Alfa."

"Saya cuma mengingatkan, sekadar bersikap ramah."

"Ramah? Ramah? Wahh..." Ghina menggeleng kuat. Siap melancarkan kalimat pedas balasanya. Sialannya, dia menangkap basah pandangan Alfa pindah ke dadanya yang tak lagi terhalang tangan atau keranjang biru yang tadi diangkat cukup tinggi, sepersekian detik kemudian kembali ke wajahnya.

Ghina menahan napas, tanpa sadar menunggu respon dari Alfa. Namun, pria itu tidak berkata apa-apa. Langsung saja berbalik dan berjalan menuju kasir. Dan Ghina mengerang dalam hati. Kenapa dia selalu jadi orang bodoh dan dipermalukan saat berhadapan dengan Alfa? Sungguh mengesalkan. Dengan susah payah Gina mengalihkan tatapan dari punggung Alfa, yang sumpah demi apa pun bagian terindah ketiga setelah dada dan bibir pria itu. Bagaimana rasanya bersandar di sana? Di antara ukiran otot punggung. Ghina cepat-cepat menggeleng keras, mengusir pikiran itu. Dia mengintai 'micin' mana lagi yang bisa dibeli untuk memeriahkan pesta, membunuh waktu selagi pria sialan itu transaksi di kasir.

Setelah Alfa melangkah keluar, Ghina bergegas ke kasir. Menyesal dia sudah memikirkan kondisi Alfa, harusnya dia menambahkan lebih banyak espresso—memberikan pelajaran sampai pria itu tidak lagi berani muncul di depan wajahnya. Menyebalkan.

Ketika Ghina melangkah keluar dan berjalan di lorong menuju towernya, ponselnya berbunyi nyaring di saku celana. Tadinya mau dia abaikan, tetapi panggilan itu putus lalu terdengar lagi.

"Halo?"

"Mbak Ghina!" Teriakan panik Gerry, adik keduanya menyambut di ujung sana. "Mbak? Halo? Mbak Ghina? Halo?"

"Iya. Iya. Mbak dengar. Kenapa sih, Ger? Ngomong pelan-pelan. Tarik napas."

"Bapak---"

"Ger, Gerry? Kamu telepon Mbakmu?" Tiba-tiba saja suara sang ibu terdengar, tapi jauh.

"Ibu, Mbak Ghina tuh perlu tahu."

Ghina berhenti di ujung lorong, dengan seksama mendengarkan perdebatan di ujung telepon sana.

"Mbakmu itu sudah banyak pikiran di Jakarta, jangan—"

"Tapi, cuma Mbak Ghina yang bisa bantu dan kasih solusi terbaik. Ibu dengar sendiri dari dokter, kanker Bapak perlu penanganan cepat."

Jantung Ghina seakan tersangkut di tenggorokan, dia mencari tembok untuk bersandar dan mempererat cengkeraman di ponselnya. "Gerry? Kamu bilang apa?" Meredam getaran dari suaranya, lalu di ujung sana terdengar tangisan ibunya yang pecah. "Gerry! Jawab!"

Mungkin Gerry menjauh, suasana jadi sedikit lebih tenang. Setelah desahan berat, suara Gerry kembali terdengar. "Mbak, Bapak sakit. Sudah seminggu ini masuk rumah sakit."

"Kok nggak ada yang ngabarin Mbak? Gimana sih?"

"Ibu nggak mau ganggu Mbak. Kata Ibu, Mbak masih sedih dengan pernikahan yang batal. Nggak mau membebani pikiran Mbak, terutama kerjaan Mbak itu butuh fokus. Jadi---"

"Ini Bapak loh, Ger! Nggak peduli kerjaan aku kayak apa, masalah aku sebesar apa. Otak aku selalu punya tempat buat mikirin Ibu Bapak, jadi aku wajib dikasih tahu keadaan mereka. Terus, bagaimana bisa itu ceritanya Bapak jadi kanker? Kanker apa? Kan, selama ini Bapak sehat-sehat aja." Tanpa sadar Ghina sudah berjongkok, benar-benar rapat ke tembok supaya tidak mengganggu orang lalu lalang. "Sudah diperiksa? Benar-benar diperiksa?"

"Sudah, Mbak. Tes darah, CT Scan, MRI. Hasilnya semua sama, Bapak kanker ginjal. Ada 2 tumor besar dan 3 tumor kecil di ginjal, terus 3 tumor kecil di luar ginjal. Ini disebut Chromophobe Renal Cell Carcinoma, tipe langka dari kanker ginjal." Gerry menarik napas lagi di ujung sana. "Mbak, Bapak perlu pengobatan cepat. Uang buat uang masuk sekolah aku dan kuliah Mas Ghino, kita pakai buat pengobatan Ba—"

"Jangan!" tegas Ghina. "Jangan... kalian, harus tuntas belajar. Sudah. Jangan pusingkan soal biaya, ini urusan Mbak. Kamu dan Ghino bantu Mbak tenangkan Ibu dan Bapak, bilang jangan pusingkan apa pun. Mbak bakal selesaikan semuanya, kayak biasa."

"Tapi Mbak—"

"Ger, kamu percaya Mbak kan? Kapan Mbak gagal menyelesaikan urusan keluarga kita?" Sekuat tenaga Ghina berusah terlihat kuat, meski faktanya seluruh badannya menggigil.

"Percaya, Mbak Ghina."

"Sekarang, kamu tenangkan Ibu Bapak. Mbak usahakan dapat cuti buat ketemu Bapak, dan memikirkan jalan terbaik."

Kemudian, sambungan telepon Ghina akhiri. Dia memejamkan mata untuk menghilangkan pening, berusaha sebaik-baiknya supaya otaknya mau berpikir jernih.

Kanker ginjal.

Kanker.

Bapak sakit kanker ginjal, dengan banyak tumor.

Ghina mencoba berdiri, tapi gagal. Kedua kakinya terlalu lemas. Dia coba mempraktikkan Teknik pernapasan yoga yang dulu pernah dia pelajari.

Gagal.

Alarm di otaknya masih berbunyi nyaring, bayangan demi bayangan menakutkan muncul, dadanya semakin kesulitan bernapas.

Tidak. Bapak pasti baik-baik saja. Bapak pasti akan tetap hidup buat mengantarnya ke altar, mengajak main anak-anaknya nanti. Ghina menepuk-nepuk kuat keningnya dengan kedua tangan, seolah cara itu ampuh mengusir hal-hal ngeri yang mulai memaksa masuk ke otaknya. Kemudian, Ghina memaksakan berdiri dan berjalan cepat menuju pintu towernya. Masuk ke lift, berlari ke unit seperti dikejar penculik, lalu menutup rapat.

Ghina tidak bisa lagi menahan. Kakinya lemas, tanpa menyalakan lampu, dia jatuh terduduk dan bersandar di pintu sambil merangkul kedua lutut. Kemudian, merebahkan kepalan di atas kedua lutut. Dia adalah perempuan yang kuat dan tangguh, mengingatkan diri sendiri. Dia bisa menghadapi ini, dia sudah sering menghadapi masalah sulit. Menghadapi satu masalah sulit lagi, tidak masalah.

*

*

*

Terima kasih sudah membaca
Jangan lupa taburan bintang dan comment yang banyak!

Maafkan aku yang nggak update sesuai yang kujanjikan, ada keluargaku meninggal. :)

Untuk info naskah2 aku, spoiler, visual, silakan kalian follow ig

Bagaskarafamily
Flaradeviana

Twitter : Flaradevianaa

Storial : Flaradeviana (ini ada naskah A Life Like This — anaknya Abe dan Pita Possessive Pilot)

Love u.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top