Chapter 4 : How Fate Works
Finn tumbuh besar tanpa seorang ibu. Tidak heran jika tidak ada sedikitpun ingatan tentang perempuan yang sudah melahirkan dirinya dan Rhys itu. Dia hanya tahu ibunya bernama Maeris. Seorang turis yang sedang berkunjung ke Dataran Clanein dan malah jatuh cinta pada Greg, yang saat itu bekerja sebagai pemandu untuk orang-orang yang berkunjung.
Dulu, ada beberapa kapal yang masih bersedia singgah di wilayah ini. Saat kilang minyak dan bangunan-bangunan industri masih banyak yang beroperasi. Orang-orang kaya dari dataran lain−yang mungkin bingung mencari cara menghabiskan uangnya−berkunjung hanya sekedar untuk melihat kehidupan di belahan dunia lain.
Jika mendatangi tempat yang lebih baik dari asal mereka, mereka akan mempelajarinya dan kembali dengan pengetahuan baru. Dan jika berkunjung ke tempat yang lebih buruk, mereka akan menjadikan itu sebagai alasan untuk mengucap syukur. Mungkin Dataran Clanein salah satu tempat yang membuat mereka bisa mengucap syukur banyak-banyak karena keadaannya.
Maeris adalah salah satu dari orang-orang itu. Karena dibutakan oleh cinta, dia memutuskan untuk tinggal dan tak lama kemudian dia dan Greg menikah. Bahkan Maeris tanpa ragu meninggalkan kehidupannya yang mewah demi laki-laki itu.
Hanya itu informasi tentang sang ibu yang Finn tahu. Rhys ataupun Greg tidak pernah membicarakannya lagi. Dia bahkan tidak tahu keadaan ibunya yang sebenarnya. Benarkah mati seperti yang ayahnya bilang atau kembali ke asalnya. Anehnya, Finn tidak membenci Maeris. Alasannya jelas, itu karena sejak awal dia memang tidak menyimpan ekspektasi apapun tentangnya.
Jika ada yang menandingi kebencian Finn pada Rhys, jawabannya adalah kebenciannya pada Greg. Laki-laki tak bertanggungjawab yang sialnya berstatus sebagai ayah kandungnya. Dan jika memakai skala, jelas skala Greg jauh lebih besar.
Tidak ada hal baik yang Finn ingat tentang Greg. Saat Rhys masih di sini, mereka tinggal bertiga. Tapi Rhys mengambil semua peran yang harusnya dilakukan Greg sebagai seorang ayah. Rhys yang merebus air untuknya mandi, Rhys yang menyuapinya makan sampai dia bisa memegang sendok sendiri, dan Rhys juga yang mengajarinya berjalan dan mengendongnya seharian saat dia sakit.
Tidak ada Greg di hari-hari pentingnya. Laki-laki itu meninggalkan rumah saat sore hari dan kembali ketika matahari hampir terbit, memakan makanan tak seberapa yang berhasil Rhys masak lalu tidur sampai saatnya dia akan pergi lagi sore harinya. Siklus itu berulang terus-menerus, setiap hari, sepanjang tahun.
Saat itu Greg beralasan dia sibuk bekerja. Tidak memiliki waktu untuk mengurus rumah dan hal remeh-temeh lain. Entah bekerja untuk siapa, karena pada kenyataannya, Finn dan Rhys harus bertahan hidup dari belas kasih tetangga-tetangga yang bernasib sedikit lebih baik dari mereka berdua.
Rhys membantu pekerjaan-pekerjaan yang bisa dilakukan tubuhnya yang kecil dan ringkih. Apa saja asal dia dan adiknya bisa mendapat jatah makan untuk hari itu. Ada saat-saat mereka terpaksa harus berpuasa karena tidak ada tetangga yang meminta bantuan. Saat seperti itu, biasanya Rhys mengajak Finn tidur seharian agar anak itu tidak banyak bergerak dan kelaparan.
Keadaan mereka sedikit lebih baik saat Rhys berhasil masuk ke Polaris Academy−sedikit terlambat dengan alasan tubuhnya yang terlihat lebih kecil dibanding anak seusianya. Dengan jatah makan siang dari akademi, mereka hanya perlu memikirkan cara mendapatkan sarapan di pagi hari.
Setiap kegiatan sekolah berakhir, Rhys akan berlari dengan senyuman lebar dan kaki yang yang terayun ringan--walau dengan tas yang sedikit memberat, membawa jatah makan siang yang akan dibaginya dengan sang adik yang sudah menunggunya di rumah.
Namun, keadaan mereka mulai berubah sejak pengajar di akademi menyadari kejeniusan Rhys. Anak kurus itu ternyata menyimpan potensi besar. Para pengajar mulai menaruh perhatian lebih padanya. Mereka yakin, dengan kemampuan itu, Rhys akan menarik perhatian Viridian. Dan jika itu benar terjadi, mereka juga akan mendapat lebih banyak keuntungan dengan dikirimnya Rhys ke sana.
Pengajar di akademi mulai membuat Rhys sibuk dengan jadwal-jadwal yang gila. Bahkan dia akan mendapat pelajaran tambahan pada jam di luar sekolah hingga malam hari. Setiap kali anak itu protes karena memikirkan keadaan Finn, para pengajar kompak menjawab bahwa semua ini demi kehidupan mereka. Viridian akan memberikan kehidupan yang lebih baik untuknya dan sang adik. Berbekal keyakinan itu, Rhys semakin gila belajar. Melewatkan hari-harinya di laboratorium akademi dan semakin jarang pulang.
Yang tidak Rhys tahu, penderitaan Finn dimulai sejak saat itu. Greg memang masih tinggal bersamanya, tapi Finn mengurus dirinya sendiri. Dia yang menggantikan pekerjaan Rhys di rumah para tetangga. Tentu pekerjaan-pekerjaan ringan yang bisa dikerjakan anak seusianya. Memberi makan ternak, menyapu halaman hingga mencuci peralatan makan. Orang-orang itu jelas mampu melakukannya sendiri, mereka hanya iba dengan keadaan Finn dan menawarkan pekerjaan karena anak itu tidak pernah mau menerima makanan dengan cuma-cuma.
Finn anak yang pendiam. Dia tidak pernah mengeluh dengan hari-hari yang dijalaninya. Anak itu seolah menerima takdirnya dengan tenang. Walau begitu, Finn sebenarnya luar biasa lega saat akhirnya dia bisa masuk akademi di usianya yang keenam. Walau belum bisa tinggal di sana, setidaknya dia tidak akan lagi kelaparan. Dan yang paling penting, dia akan lebih sering bertemu sang kakak.
"Kita akan belajar di tempat yang sama mulai sekarang. Kita tidak akan berjauhan," ucap Rhys saat itu. Kakaknya itu pulang ke rumah mereka tepat sehari sebelum hari pertama sekolah Finn di mulai. Memakaikan seragamnya yang kebesaran dan menggandeng tangannya.
Finn ingat betapa lebarnya senyumnya saat itu. Di sepanjang jalan, dia dengan antusias mendengarkan kakaknya bercerita tentang impiannya. Tentang Rhys yang ingin menjadi ilmuwan, Rhys yang ingin pergi ke Viridian, Rhys yang ingin mengubah nasib keluarga mereka.
Kenyataannya, Finn lagi-lagi hanya mendapatkan harapan kosong. Rhys terlalu sibuk dengan kegiatannya dan tidak bisa menepati janjinya. Jarak mereka memang terpangkas, tapi hati mereka semakin menjauh. Seiring berjalannya waktu, Finn mulai membiasakan diri untuk tidak menaruh harapan pada orang-orang terdekatnya. Tidak pada sang ibu, ayah, bahkan Rhys sang kakak.
Finn mengira dia begitu membenci Rhys dan Greg setengah mati. Setelah bertahun-tahun berlalu, dia bahkan yakin sudah melupakan wajah keduanya.
Namun, semua yang ada dipikirannya terbantahkan saat dia memasuki ruangan kepala sekolah sore ini. Di antara banyaknya orang yang memenuhi ruangan itu, nyatanya Finn bisa dengan mudah menemukan laki-laki itu.
Greg tidak banyak berubah sejak Finn bertemu dengannya terakhir kali, hampir enam tahun yang lalu. Wajahnya masih dihiasi rambut-rambut tipis yang tidak terawat, mata sipitnya selalu terlihat mengantuk dan tanpa binar, bahkan luka di pelipis akibat menabrak meja saat dia mabuk itupun masih tampak jelas. Mata mereka bertemu sesaat sebelum kembali teralihkan saat kepala sekolah mulai berbicara.
Seperti yang sudah-sudah. Tuduhan demi tuduhan dilontarkan pada Finn tanpa dia diberi kesempatan untuk membela diri. Semua anak yang menjadi saksi sepakat untuk menjadikannya tersangka. Bahkan kepala sekolah pun seolah hanya berdiri di sana sebagai formalitas. Laki-laki tua itu tidak mau menjadi penengah di antara banyaknya anak yang bicara.
Finn merasa déjà vu. Keadaan ini sudah sering terjadi saat dia dan Ace bertikai. Prestasi Ace yang membanggakan dan reputasinya yang dikenal baik membuat Finn yang akan selalu mendapat dampak paling buruk. Itulah alasan dia tidak mau repot-repot membela diri. Alih-alih berbicara, Finn hanya diam saja sambil menunggu vonis.
"Kau sadar jika yang baru saja kau lakukan sangat keterlaluan, Nak?" kata kepala sekolah sebelum menjatuhi hukuman. "Kau tentu tahu bahwa Ace seorang pelari. Kaki adalah asetnya yang paling berharga. Dan kau dengan sengaja membuatnya cedera. Ini sungguh memalukan jika alasannya karena iri."
Finn yang sudah siap untuk menerima hukuman mengernyit bingung. Dia mengalihkan pandang pada Ace yang duduk agak sedikit ke belakang. Tanpa bisa dia tahan, sebuah dengkusan keluar saat pandangannya jatuh pada sebelah kaki Ace yang dibalut perban tebal.
"Yang membebat kakimu tampak tak berpengalaman. Apa kau meminta tukang kebun melakukannya Ace?" tanya Finn dengan nada mengejek. Membuat wajah Ace tampak memerah. Anak itu pasti dilema. Merasa sangat marah tapi juga harus menjaga reputasinya.
"Kau lihat? Itu akibat perbuatanmu. Padahal Ace akan ada perlombaan satu bulan lagi."
"Aku bahkan tidak menyentuh kakinya. Tidak adakah yang mau memeriksa dan melihat apa yang ada di balik perban itu? Apa? Ah, tentu saja tidak ada," ucap Finn santai. Tidak lupa menambahkan dengkusan di akhir.
"Berani sekali kau menyangkal setelah membuat anakku seperti ini! Cepat putuskan hukumannya, Kepala Sekolah!" teriak satu-satunya perempuan di ruangan itu. Perempuan paruh baya yang berdiri dengan memegang bahu Ace itu tampak sangat murka. Terlihat dari genggamannya yang makin lama semakin kencang.
Tapi Finn pengamat yang baik, dia bisa menyadari suaranya yang sedikit bergetar. Tahu bahwa ibu Ace jelas terlibat dengan apapun rencana mereka saat ini. Mereka pasti mengincar bahan makanan yang selalu menjadi kompensasi jika ada insiden yang memberi dampak berat.
Finn tidak peduli pada perempuan itu atau yang lain. Perhatiannya teralih pada Greg yang hanya diam sejak tadi dan kini tiba-tiba mendekat ke arahnya. Dengan tatapan lurus kepada kepala sekolah, ayah yang sudah lama tidak ditemuinya itu mengucapkan sesuatu yang membuat mata Finn membulat ngeri.
"Seperti yang sudah kita sepakati di awal, Kepala Sekolah, saya akan membawa Finn pulang ke rumah."
"Apa maksudnya pulang ke rumah? Aku dikeluarkan?" tanya Finn dengan nada tak percaya. Untuk pertama kalinya sejak memasuki ruangan itu, dia gagal menyembunyikan ekspresinya.
"Bukan seperti itu. Kau hanya di-skors beberapa hari. Gunakan waktu itu untuk merenungi kesalahan yang kau lakukan. Ayahmu sudah bersedia bekerja sama dengan sekolah untuk lebih mendisiplinkanmu di rumah nanti."
Rumah. Rumah. Kata itu bergaung di telinga Finn. Tampak sangat asing.
Sebuah lengan melingkar di pundak Finn yang masih diam membeku. Terlalu terkejut untuk mencerna semua informasi yang baru saja diterimanya. Anak itu bahkan masih setengah sadar ketika tubuhnya digiring keluar dari ruangan. Dia sama sekali tidak bisa memberontak, atau mungkin, tidak ingin memberontak.
Memangnya orang terbuang seperti Finn punya pilihan selain menjalani apa yang diputuskan untuknya?
***
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top