Chapter 3 : Run For Life

Semua yang ada di akademi tahu, jika ada yang menantang seseorang bertanding apapun itu, mereka hanya tinggal pergi menuju gelanggang. Semua pertandingan baik itu resmi atau tidak akan diadakan di sana. Kecuali jika mereka benar-benar sudah terlalu emosi dan ingin segera melampiaskannya di tempat.

Gelanggang olahraga di Polaris Akademi menjadi pusat semua latihan dan pertandingan. Bangunan yang terletak di belakang bangunan utama akademi itu berukuran cukup besar. Bahkan sisa-sisa kemegahannya masih tampak walau cat dinding luarnya banyak yang mengelupas dan tampak kusam. Seperti semua bangunan di Dataran Clanein.

Semua cabang olahraga atletik dilakukan di sini. Bagian dalam gelanggang yang dulunya adalah lapangan sepakbola kini sudah beralih fungsi sepenuhnya menjadi lapangan-lapangan kecil olahraga lain. Sebagian besar anak-anak Clanein berpikir bahwa sepakbola kurang mengasah ketahanan tubuh mereka. Jadi alih-alih bermain sepakbola dengan lapangan yang luas, mereka lebih memilih bermain futsal dengan lapangan lebih kecil tapi memerlukan pergerakan yang terus menerus. Lambat laun, sepakbola mulai ditinggalkan oleh mereka.

Di antara tribun dan lapangan inilah lintasan lari terbaik akademi berada. Lintasan berjarak 400 meter dengan bentuk oval, terdiri dari dua lintasan lurus dan dua tikungan melingkar. Ada delapan jalur yang ditandai dengan garis-garis putih yang jelas. Jalur lari ini terbuat dari bahan sintetis yang memberikan grip dan mengurangi risiko cedera. Di kedua ujung lintasan, terdapat garis start dan finish.

Di tempat inilah Finn dan Ace mengadu sekali lagi kemampuan berlari mereka. Menguji siapa yang lebih unggul dari yang lain. Ace si juara akademi, atau Finn si sprinter bayangan yang tak tersentuh.

Namun, itu sudah terjadi beberapa saat yang lalu. Pertandingan itu sudah selesai dan mereka di sana sekali lagi dibuat terkejut oleh hasilnya. Walau begitu, tribun belum terlihat sepi. Sebaliknya, teriakan keras dan sorakan semakin menggema. Di bawah sana, dua anak yang menjadi alasan mereka memenuhi tribun, sedang bergumul dan saling menyerang.

Chad berdiri panik di pinggir lapangan. Tangannya saling meremas kalut. Keringat dingin memenuhi seluruh dahinya. Dia ingin berlari dan memisahkan mereka. Tapi kedua bahunya ditahan oleh teman-teman Ace yang sepertinya murka karena kekalahan temannya.

Situasinya tidak menguntungkan. Jika dia nekat melawan, mungkin dia yang tidak akan selamat. Chad hanya bisa berharap Finn bisa menahan emosinya dan menghentikan pergulatan mereka secepatnya. Berharap tidak ada kekacauan yang lebih buruk dari ini dan sampai terdengar para pengajar akademi.

Seandainya Ace tahu di mana tempatnya. Seandainya anak bertubuh tinggi besar itu cukup mengakui kekalahan dan mengembalikan liontin Finn yang tidak sengaja terjatuh. Seandainya juara lari akademi itu bisa menahan ucapannya, Finn tidak akan berada di atas tubuhnya dan menghantamkan tinjunya sekuat tenaga sekarang. Seandainya anak itu tidak melewati batasannya, wajahnya mungkin tidak akan semengerikan ini.

Tapi bahkan dengan keadaannya yang sudah terkulai lemah, seringai lebar masih menghiasi wajah Ace yang babak belur. Dia bahkan tidak peduli telah menjadi tontonan anak-anak−yang tidak seorang pun berani memisahkan Finn dan Ace− yang memenuhi gelanggang. Suara teriakan mereka yang menggema dari segala arah bahkan tidak menganggu keduanya.

Saat akhirnya Finn berhenti memukul dan terjatuh di sampingnya dengan terengah-engah, anak berambut keriting itu justru tertawa terbahak. Andai saja tenaga Finn tidak habis, mungkin dia akan kembali mengangkat tinjunya.

“Kau benar-benar munafik menjijikan. Memberi kesan tidak peduli tentang Rhys tapi masih menyimpan fotonya. Menyedihkan sekali,” kata Ace setelah meludahkan air liurnya yang terasa asin karena bercampur darah.

“Tidak ada hubungannya denganmu.”

“Bagaimana rasanya berharap pada seseorang yang bahkan sudah melupakan keberadaanmu?”

“Kalau kau tidak menutup mulut… ” ucap Finn pelan sambil memejamkan mata. “... aku masih punya cukup tenaga untuk merontokkan seluruh gigimu jika aku mau."

Ace mendengkus keras. Sudah terlalu hafal dengan tabiat Finn yang keras dan tak mengenal takut itu. Tapi itu justru membuat Ace semakin muak. Dia yang mendapat semua penghargaan dan pengakuan dari seluruh penghuni akademi, tapi keberadaan Finn seperti batu sandungan yang menghalangi langkahnya.

Potensi anak itu cukup bisa mengancam posisinya andai Finn mau sedikit saja peduli. Dan Ace akan dengan senang hati memastikan bahwa keberadaan Finn hanya akan tetap menjadi bayangan seperti saat ini.

“Lakukan saja kalau berani. Semua pengajar akademi ada di pihakku. Begitu juga anak-anak yang lain. Mereka akan dengan senang hati membuatmu dihukum lagi seperti yang sudah-sudah.”

“Kau pikir aku peduli?”

Ace gila, begitu batin Finn. Manusia itu tidak waras. Mereka baru saja selesai melakukan empat putaran di lintasan 400 meter dan mulut kurang ajarnya masih sanggup untuk bicara sebanyak itu.

Dan yang lebih membuat Finn kesal adalah dirinya sendiri. Bagaimana bisa dia terpancing oleh kata-kata konyol anak yang sudah menjadikannya rival abadi selama ini. Padahal dia sudah sering mendengarnya. Lalu kenapa kali ini dia lepas kendali?

“Kenapa kau semarah itu?”

Ya, itu juga yang ingin Finn tanyakan pada diri sendiri. Kenapa dia bisa semarah itu? Ace hanya sedang menyinggung soal Rhys yang entah ada di mana sekarang. Anak itu hanya mengatakan fakta, Rhys memang tidak peduli padanya. Tidak sekarang saat kakaknya itu ada di Viridian, atau dulu saat dia ada di sini.

“Bukan urusanmu.” Finn berusaha bangun walau sedikit tertatih. Tidak seperti Ace yang mungkin butuh bantuan untuk sekedar berjalan, Finn merasa dia baik-baik saja. Bahkan dia masih sanggup berlari beberapa putaran lagi.

Anak yang akan berusia 15 tahun itu mendekati tempat Ace berbaring, membuat suasana tribun yang awalnya senyap kembali ramai. Orang-orang itu pasti mengira Finn akan kembali menggunakan tinjunya. Beberapa dari mereka bahkan menahan napas saking tegangnya, termasuk Ace yang tampak semakin memucat.

Nyatanya, semua dugaan mereka keliru. Finn memang mendekati bahkan berjongkok di sebelah Ace, tapi alih-alih memukul dengan keras, anak itu hanya menepuk pipi Ace berkali-kali dengan gerakan pelan.

“Belajarlah untuk tidak melewati batasanmu, Ace. Tidak sepertimu yang memiliki reputasi yang harus dijaga, aku yang tidak punya apapun ini bisa melakukan apa saja tanpa takut kehilangan,” ucapnya sambil merebut liontin dari genggaman Ace yang melemah.

*
Sudah hampir satu jam penuh Finn berlari di sepanjang garis pantai yang sunyi. Hanya ditemani suara ombak-ombak kecil yang tenang.
Kaki telanjangnya menciptakan jejak di atas pasir yang basah. Angin laut dingin menerpa wajahnya, tapi tak mampu meredakan panas yang semakin menyebar di seluruh tubuh kurus anak itu.

Jantungnya berdetak kencang, nyaris tak teratur seiring dengan kecepatan yang Finn coba pertahankan. Napas berat terhirup dalam-dalam, seolah paru-parunya tak pernah cukup menangkap udara asin yang memenuhi ruang di dadanya.

Keringat mulai menetes dari pelipis, bercampur dengan kelembapan laut yang menerpa kulit dan membuat perih. Butiran-butiran kecil lainnya jatuh di sekitar leher, mengalir di sepanjang punggung dan dada, membuat kaus lengan panjang yang dikenakannya terasa semakin lengket.

Kakinya mulai terasa berat, otot-otot di betis mengencang, dan nyeri halus mulai terasa di lutut. Walau begitu, Finn tetap belum ingin menurunkan kecepatannya.

Bagi Finn, berlari selalu menjadi pelariannya, tetapi lebih dari itu, menjadi caranya sembuh. Setiap langkah yang diambil di sepanjang pantai dan di bawah langit terbuka seolah memisahkan tubuhnya dari hal-hal yang mengganggu pikirannya.

Ketika kaki-kaki itu mulai bergerak, rasa berat di hatinya perlahan-lahan terangkat, digantikan oleh irama yang menenangkan. Detak jantung yang kian cepat seiring kecepatan larinya yang bertambah adalah musik bagi batinnya, mengingatkan bahwa dia masih ada, masih hidup dan masih berjuang.

Napasnya memang memburu, tapi tidak terasa menyesakkan. Sebaliknya, setiap tarikan napas dalam-dalam seakan membawa oksigen yang membersihkan pikiran, menghapus semua kecemasan yang membebani. Keringat yang mengalir di tubuhnya adalah tanda bahwa dia melepaskan apa yang tak lagi berguna, entah itu rasa sakit, ketakutan dan keraguan.

Dengan setiap jarak yang terlampaui, Finn bukan hanya berlari menjauh dari masalah-masalahnya, tetapi juga mendekat pada kedamaian.

Finn menjauh dari kenyataan bahwa Rhys melupakannya atau  fakta bahwa sang ayah, satu-satunya keluarga yang tersisa, mengabaikannya. Finn menjauhkan kecemasan tentang orang-orang akademi yang akan kembali menyalahkannya karena kondisi Ace yang buruk. Semakin jauh dia berlari, semakin jelas baginya bahwa setiap peluh yang jatuh bukanlah tanda kelemahan, melainkan tanda pemulihan.

Tubuhnya yang bergerak, jantungnya yang berdetak kencang, napasnya yang tersengal-sengal, semua itu adalah pengingat bahwa dia mampu menyembuhkan diri, satu langkah demi satu tarikan napas.

Finn mulai mengurangi kecepatan larinya, sedikit demi sedikit sampai hanya tinggal langkah-langkah pelan. Dia berjalan santai selama beberapa menit. Pasir pantai yang menenggelamkan kakinya seolah bukan halangan bagi tubuhnya yang lelah. Segala hal di tempat ini seakan telah menyatu dengannya. Memberinya kekuatan dari semua sisi.

Anak laki-laki yang memiliki mata agak sipit dengan iris berwarna coklat muda itu berhenti sempurna lalu duduk dengan kaki diluruskan, memandang hamparan laut yang tampak tak berujung. Tatapannya mengarah ke suatu tempat yang jauh dari jangkauan matanya, yang tidak dia tahu seperti apa wujudnya tapi dia yakini keberadaannya.

Finn menarik keluar sebuah rantai kalung sederhana dengan liontin berbentuk oval dan meletakkannya di telapak tangan. Ibu jarinya meraba permukaan liontin yang tidak rata, mencoba merasakan bentuk gambar kasar yang kakaknya ukir.

Anak laki-laki itu mendengkus. Hasil gambar Rhys benar-benar buruk. Finn tidak akan tahu jika itu adalah gambar kelinci andai kakaknya itu tidak memberi tahu.

Menurut Rhys, Finn mengingatkannya pada seekor kelinci. Kakaknya itu bilang Finn sangat gesit, lincah dan sangat sulit ditangkap. Bahkan saat mereka bermain kejar-kejaran --tentu di sela-sela waktu belajar Rhys yang padat-- Rhys tidak pernah bisa menangkap tubuh Finn yang jauh lebih kecil darinya.

Kau membenci Rhys.

Batinnya berucap. Seolah mengingatkan bahwa dia tidak boleh lupa tentang satu hal ini. Rhys adalah sumber semua rasa sakit yang Finn rasakan. Dan dia akan membencinya selamanya. Ingatan tak seberapa yang berhasil menetap di sudut pikirannya itu tidak ada artinya jika dibandingkan dengan apa yang dialaminya selama ini.

"Sudah kuduga kau ada di sini, " ucap seseorang dengan napas tersengal.

Finn menoleh untuk melihat Chad yang tampak kepayahan. Sebelah tangannya memegang dada dan sebelahnya lagi bertumpu pada lutut. Anak itu pasti berlari kencang saat menuju ke sini.

"Kepala sekolah memanggilmu. Mereka mengumpulkan semua anak yang terlibat juga orang tuanya. "

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top