Chapter 2 : The Shadow Lightning

Finn membenci Rhys.

Semua di akademi tahu itu dan sudah menjadi rahasia umum. Remaja lima belas tahun itu membenci segala hal yang berhubungan dengan kakak laki-laki satu-satunya. Usia mereka yang hanya terpaut lima tahun membuat keduanya nyaris selalu berada di lingkungan yang sama.

Segala hal tentang kakak beradik itu sangat bertolak belakang. Saat Rhys masih berada di Clanein, Finn tidak terlihat oleh siapapun, baik  oleh ayah mereka, atau orang-orang sekitar. Rhys adalah definisi antagonis yang sesungguhnya, begitu menurut Finn.

Dataran Clanein bisa saja dikenal sebagai kota tersisa yang tidak memiliki masa depan. Tanahnya tandus dan terkontaminasi oleh limbah berbahaya dan membuatnya sulit  ditumbuhi tanaman. Sungai-sungai dan sumber mata air lainnya mengering. Membuat penduduk Clanein sangat bergantung pada pasokan makanan dan air bersih dari Viridian. Bahkan, pusat-pusat industri yang masih berjalan di Clanein pun semua dikendalikan oleh Viridian. Termasuk akademi tempat anak-anak ini belajar.

Tidak berlebihan jika menyebut akademi sebagai tempat paling mewah di dataran ini. Fasilitasnya lengkap, mulai dari asrama, kantin yang luas, ruang kelas sesuai mata pelajaran dan gelanggang yang dilengkapi dengan segala macam perlengkapan olahraga.

Hal lain tentang akademi yang perlu diketahui adalah, sekolah ini terobsesi dengan kekuatan fisik. Mereka tidak terlalu peduli pada orang-orang yang mendapat nilai terbaik di ujian. Tapi mereka akan sangat antusias saat tahu bahwa si A berhasil mengalahkan si B saat adu panco. Atau saat si C yang kalah dari si D saat bertanding renang jarak jauh. Bahkan mereka sering mengadakan kompetisi baik resmi dari pihak akademi, atau inisiatif murid sendiri hanya untuk membandingkan kekuatan masing-masing.

Namun, hal itu tidak berlaku pada Rhys. Bahkan di tempat mereka yang sangat gersang dan tandus, Rhys terlihat sangat bersinar dengan otak jeniusnya yang memukau siapa  saja, bahkan orang-orang yang awalnya tidak peduli dengan nilai tertulis. Dia adalah murid yang paling banyak dibicarakan di seluruh akademi. Apalagi sejak direkrut dan dibawa ke Viridian di usia yang begitu muda sebagai seorang ilmuwan, 16 tahun. Membuat Rhys segera saja menjadi panutan oleh anak-anak itu. Bagi mereka, Rhys adalah perlambangan harapan yang membuat mereka berani bermimpi besar.

Harusnya Finn bisa lebih lega setelah kepergian Rhys. Harusnya kehidupannya menjadi lebih baik tanpa sang kakak di sekitarnya. Tapi nerakanya justru dimulai dari sana. Orang-orang yang awalnya mengabaikan Finn tiba-tiba mulai melihat ke arahnya. Lampu sorot yang awalnya hanya mengarah pada sang jenius muda kini sepenuhnya beralih pada si anak bayangan yang tidak istimewa. Tentu dalam artian yang buruk.

Semua orang mulai mencari perbedaan kakak beradik itu dan membandingkannya. Mereka seperti mendapat hiburan dengan menertawakan betapa Finn dan Rhys seperti langit dan bumi. Mereka senang mengetahui fakta bahwa tidak ada yang bisa dibanggakan dari Finn. Anak yang tidak bisa bergaul, buruk dalam akademik dan non-akademik, serta temperamental. Tidak ada seorang pun yang ingin berinteraksi dengannya terlalu lama.

Finn tidak pernah mempermasalahkan itu. Lagipula dia memang tidak suka sorotan. Dia rela dikenal dengan sebutan seburuk apapun asal setimpal dengan kebebasan yang dia dapatkan. Namun, sepertinya hal itu tidak berlaku untuk kumpulan manusia-manusia di depannya saat ini.

Ada sekitar enam orang remaja yang berdiri menatangnya. Mereka adalah salah satu contoh dampak buruk yang Rhys tinggalkan untuknya. Orang-orang ini terobsesi pada Rhys, tapi sejak kakaknya itu pergi, Finn lah yang jadi sasaran. Entah berapa kali dalam sebulan mereka akan mendatangi Finn dan mencari masalah. Sangat menyebalkan.

Finn tidak tahu siapa saja nama mereka, lagipula dia tidak peduli. Dia hanya ingat manusia paling tinggi dengan rambut keriting lebat yang berdiri paling depan. Mungkin dia pemimpin mereka, terlihat dari dagunya yang terangkat tinggi dengan menyebalkan. Namanya Ace. Dia adalah atlet lari kebanggaan akademi yang sudah sering mengikuti banyak perlombaan. Rekor waktu tercepatnya untuk cabang 100 meter adalah 9,55 detik. Mengalahkan rekor yang dipegang Usain Bolt selama puluhan tahun.

Bisa dibayangkan betapa menyebalkannya Ace setelah berhasil memecahkan recor manusia tercepat itu. Dia bahkan meminta teman-temannya menjulukinya The Next Lightning Bolt setelah itu.

Finn mulai mengenal Ace dua tahun lalu. Anak yang biasanya hanya mengejeknya dengan kata-kata itu mulai tertarik padanya sejak dia tanpa sengaja mengalahkan Ace pada penilaian tengah semester di tingkat 8. Tentu saja Ace yang memiliki harga diri tinggi sangat terganggu karena ini. Di Dataran Clanein yang menganggap kekuatan adalah segalanya, dikalahkan oleh seseorang yang bahkan jauh di bawah levelnya sangat memalukan. Sejak itu, Ace mengibarkan bendera perang secara terang-terangan.

“Kau tidak lupa cara berlari kan?” tanya Ace dengan nada mengejek. Diikuti tawa-tawa menyebalkan dari pengikut-pengikutnya. “Aku hanya menantangmu berlari, bukan triathlon, tidak perlu sepucat itu.”

Finn memutar matanya malas. Dia paling benci menghadapi anak yang banyak bicara. Padahal dia sudah menduga ini akan terjadi, tapi rasa menyebalkannya tetap tidak berkurang. Ace akan langsung menantangnya bertanding setiap kali dia memenangkan sebuah perlombaan. Seolah-olah kemenangan itu tidaklah sempurna sebelum dia juga mengalahkan Finn yang oleh anak-anak akademi dijuluki The Shadow Lightning sebagai lawannya. Dan sayangnya, Ace selalu gagal menyempurnakan kemenangan itu. Finn selalu bisa mengalahkannya, entah apa rahasia anak itu.

“Berapa Pace terakhir anak itu?” tanya Finn dengan suara rendah pada anak berkaca mata di sebelahnya. Namanya Chad, satu-satunya anak yang tetap berada bersama Finn bahkan setelah diusir berkali-kali. Finn tidak mau menyebutnya sebagai sahabat, tapi setidaknya mereka dekat.

“4. Itu saat dia mengikuti Race Full Marathon setengah tahun lalu. Dan hari ini dia menantangmu untuk lari jarak menengah, 1.500 meter. Pace di angka itu cukup baik untuk seseorang dengan spesialisasi jarak dekat sepertinya.”

“Memangnya berapa saja rekor terbaiknya di jarak dekat?”

“9,55 detik untuk 100 meter, 19,27 detik untuk 200 meter dan 47,61 detik untuk 400 meter.” Chad menjawab dengan sabar. Kali ini dia butuh membuka catatan untuk memberi angka-angka pasti pada temannya itu. “Untuk lari sprint belum bisa melewati rekor milikmu. Mungkin itu alasan dia selalu penasaran sebelum berhasil membuatmu kalah. Tumben kau bertanya sedetail itu? Apa kali ini kau khawatir dia akan berhasil?”

Finn berdengkus. Melipat tangannya di dada tanpa mengalihkan pandangannya pada sekelompok remaja di depannya itu.

“Jangan bercanda. Aku hanya butuh angka-angka itu untuk sedikit menganalisa. Coba kau perhatikan, 9,55, 19,27, 47,61. Menurutmu apa yang salah?” Saat tidak mendapat jawaban dari Chad, Finn melanjutkan, “dari angka-angka itu saja aku sudah bisa tahu masalah utamanya ada pada daya tahannya. Semakin bertambah jarak, pace-nya juga semakin besar. Dan itu sangat merugikan jika ingin memenangkan race dengan jarak yang lebih jauh. Dia cukup berani dengan tantangannya. Atau sebenarnya dia bodoh?”

Chad membuka mulutnya takjub. Tidak menyangka Finn bisa menganalisa kelemahan musuhnya dalam sekejab. Sejak dulu dia yakin kalau Finn hanya pura-pura bodoh selama ini. Anak itu cerdas, dia hanya tidak suka sesuatu yang merepotkan dan menjadi pusat perhatian.

“Wah, kau benar-benar mengerikan.”

Finn mengangkat bahunya acuh. “Dia ingin bertanding di mana?”

“Gelanggang olahraga. Besok pagi.”

“Dia yakin menantangku bertanding di sana? Bukannya berlebihan mempermalukan diri sendiri di depan semua murid?”

Chad memutar matanya malas. Sedikit menyesal sempat memuji temannya tadi. Finn memang terkesan sombong jika itu berhubungan dengan lari, dan itu bisa dia maklumi karena Chad tahu kemampuan anak itu sebenarnya. Walau begitu mendengar Finn mengucapkannya langsung tetap terdengar menyebalkan.

“Jangan lengah. Rekor kecepatan kalian hanya terpaut 0,12 detik. Itu bukan jarak yang besar. Dia bisa melewatimu kapan saja.”

“Ya, mungkin saja bisa. Tapi bukan sekarang. Kau lupa di mana aku membuat rekor itu?”

Chad menelan ludahnya susah payah. Dia lupa satu fakta penting yang membuat angka 0,12 detik yang terlihat kecil itu memiliki perbedaan yang sangat besar jika dihubungkan dengan Finn. Bodoh. Harusnya dia tidak mengatakan itu.

Orang-orang akademi mungkin mengenal Ace sebagai pelari tercepat mereka, tapi Chad yakin bahkan Ace sendiri pun sadar bahwa Finn lebih cepat darinya. Tapi di lain sisi anak itu mungkin saja mengucap syukur berulang kali karena Finn sama sekali tidak menunjukkan minat pada lomba-lomba atletik yang sering akademi gelar. Piagam yang mereka peroleh akan menjadi pertimbangan saat mereka dikirim ke Viridian. Tapi Finn sama sekali tidak peduli dengan itu.

Anak-anak dari Clanein menjadikan Viridian sebagai kota impian mereka, tapi Finn pengecualian. Semenakjubkan apapun kota itu menurut semua orang, Finn tidak lagi ingin ke sana. Tempat apapun yang ada Rhys di dalamnya tidak lagi menarik. Itu keyakinan Finn selama ini. Dengan tekad itu, dia membuat dirinya tak terlihat dan tidak terlibat dengan perlombaan apapun yang diselenggarakan akademi. Persetan dengan piagam-piagam. Persetan dengan Viridian. Dia hanya ingin hidup jauh dari Viridian, jauh dari Rhys.

“Ayo ke gelanggang. Kita bertanding sekarang,” kata Finn dengan suara dikeraskan. Menatap langsung ke mata Ace yang kini justru tampak sedikit melebar karena terkejut. “Aku tidak punya waktu meladenimu besok. Sekarang atau tidak sama sekali. Silakan putuskan.”

***

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top