1

Seorang gadis kecil berjongkok di bawah pohon beringin. Ia tampak sedang bermain di depan sebuah gundukan tanah. Dari mulut kecilnya mengalun sebuah tembang jawa yang tidak begitu jelas liriknya.

"Cu, coba kemari sebentar!" sapa sebuah suara tua dari dalam sebuah gubuk.

"Iya, Nek!" Sahut si gadis dengan suara melengking. Ia berlari melintasi rerumputan yang terhampar di depan gubuk neneknya.

Gadis kecil itu mendapati neneknya sedang duduk sambil menganyam tikar di depan pintu gubuk. Ia tersenyum seraya duduk di atas pangkuan sang nenek.

Perempuan tua dengan rambut kelabu yang di sanggul itu menghentikan aktivitasnya. Ia memeluk si gadis seraya mengusap puncak kepala gadis itu dengan penuh kasih sayang.

"Nenek ingin menceritakanmu sebuah kisah," ucapnya lembut.

"Kisah tentang putri dan pangeran ya?"

"Bukan, cah ayu. Kali ini kisah tentang seorang Dewi yang cantik, baik hati dan baik budinya."

"Seorang Dewi?"

"Iya, Nani. Namanya adalah Dewi Sri. Ia tinggal di Kahyangan"

Gadis kecil yang bernama Nani Wijaya itu pun berbalik dan menghadap sosok perempuan tua yang tak lain adalah neneknya dengan tatapan ingin tahu. Lengannya bertumpu pada paha sang nenek, sementara kedua tangannya menopang dagu, membingkai wajah mungilnya yang cantik.

"Ceritakan tentang Dewi Sri itu, Nek. Apakah Dewi itu cantik?" suara kanak-kanaknya yang melengking terdengar sangat antusias.

Sang nenek tertawa melihat tingkah cucunya, "Dia sangat cantik, Nduk. Cantik sekali seperti dirimu. Semasa hidup, Dewi Sri adalah gadis yang baik hati dan sangat sopan."

Sang Nenek melanjutkan, "Jadi,Dewi Sri sebenarnya adalah salah satu mustika yang dimiliki oleh seorang Dewa yang bernama Dewa Antaboga. Seorang Dewa yang berwujud ular. Dewa Antaboga kemudian mempersembahkan mustika berupa telur kepada Batara Guru. Batara Guru merasa sangat senang dan meminta Dewa Antaboga untuk mengerami telur tersebut. Setelah dierami, ternyata telur tersebut menetaskan seorang bayi perempuan yang sangat cantik. Bayi perempuan itu kemudian diangkat anak oleh Batara Guru dan diberi nama Nyi Pohaci Sanghyang Sri. Ia kemudian tumbuh menjadi putri cantik jelita yang baik hati. Sang ayah angkat, Batara Guru ternyata jatuh cinta pada Nyi Pohaci dan ingin memperistrinya. Para Dewa kayangan menjadi khawatir karena takut hal itu dapat merusak keseimbangan khayangan. Mereka kemudian meracuni Nyi Pohaci Sanghyang Sri hingga meninggal. agar tidak menimbulkan kecurigaan, para Dewa menguburkan jenazahnya di bumi."

Perempuan tua itu tampak berhenti sejenak mengamati cucunya. Ia melihat Nani masih setia menanti kelanjutan kisah yang diceritakannya.

"Dikisahkan bahwa kuburan Nyi Pohaci Sanghyang Sri ditumbuhi berbagai tanaman yang berguna bagi manusia. Dari bagian kepalanya tumbuhlah pohon kelapa. Dari bagian hidung, bibir dan telinganya muncul berbagai tanaman rempah-rempah wangi dan sayur-mayur. Diari bagian kemaluannya tumbuhlah Pohon Aren. Dari bagian telapak tangan tumbuhlah tanaman pisang. Dari giginya tumbuh tanaman jagung. Dari bagian bulu di sekujur tubuhnya tumbuh tanaman menjalar dan tanaman dengan buah menggantung. Dan dari bagian kakinya tumbuh tanaman umbi-umbian."

Mata cucunya membelalak berbinar, "Hebat sekali Dewi Sri!"

"Tentu saja Sayang. Karena semasa hidup ia adalah gadis yang baik dan senantiasa menjaga harga diri dan kehormatannya." Sahut nenek seraya mempererat pelukannya pada cucunya. "Dan kau tahu, bagian terhebat dari kisah itu?"

Nani Wijaya menggelengkan kepalanya pelan, "Apa, Nek?"

"Dewi Sri yang hebat itu ternyata menitis pada raga cucuku," kata wanita tua itu setengah berbisik. Sementara Nani menatapnya bingung. "Kau akan menyadarinya kelak cucuku. Setelah dewasa, kau akan tahu bahwa kau hadir di dunia ini karena mengemban sebuah amanah untuk menumpas kejahatan dan membela kebenaran."

"Nani tidak mungkin sehebat Dewi Sri, Nek," gumam Nani pelan. Gadis kecil itu tampak menguap beberapa kali sebelum akhirnya merebahkan tubuh mungilnya di pangkuan nenek.

"Kelak kau akan tahu cucuku. Jika waktunya tiba, Dewi Sri akan bangkit dari alam bawah sadarmu dan membantumu menjalankan amanah itu."

* * *

Massachusetts, Amerika Serikat. Tahun 2019.

Suara jerit alarm membangunkan Nani dari alam mimpi. Ia menggeliat malas di dalam selimutnya. Matanya mengintip pada jam digital dengan huruf-huruf menyala yang bertengger di atas nakas. Pukul 06.00.

Nani bangkit dan terduduk lesu di atas tempat tidurnya. Rambut hitamnya yang panjang mencapai pinggang terlihat berantakan. Nani mendesah pelan. Ia memikirkan mimpi tentang masa lalu saat neneknya menceritakan sebuah dongeng tentang Dewi Sri. Entah mengapa, mimpi itu terus datang setiap malam belakangan ini.

Nani menyibak selimut yang menutup kakinya. Ia hendak beranjak dari tempat tidur dan menuju kamar mandi. Hari ini adalah hari terakhirnya ujian semester di Harvard University, sebelum libur semester yang panjang. Ia telah memutuskan untuk pulang selama libur panjangke Indonesia besok.

Dewi Asih.

Nani tersentak. Sebuah suara perempuan yang samar tiba-tiba terdengar entah dari mana. Nani memandang sekeliling kamar. Tidak ada seorang pun di kamarnya. Mungkin ia salah dengar. Nani memutuskan untuk tidak menghiraukannya. Nani kemudian meraih kaca mata yang terletak di samping bantalnya dan memakainya.

Dewi Asih. Dewi Asih.

Suara itu terdengar lagi. Kali ini terdengar lebih keras dan jelas. Nani yakin bahwa ia mendengar suara seorang perempuan yang menyebutkan sebuah nama. Nani mencoba menajamkan telinganya barangkali suara perempuan itu terdengar lagi. Ia mencoba menahan tubuhnya untuk tidak melakukan gerakan apapun agar suasana kamarnya benar-benar hening. Ia harus memastikan di mana kira-kira posisi perempuan itu berada.

Dewi Asih.

Kali ini suara itu terdengar sangat jelas. Suara seorang perempuan yang menyebut nama Dewi Asih berulang-ulang. Nani mulai disergap panik. Ia berlari keluar dari kamar apartemennya. Ia memeriksa pintu apartemennya. Terkunci, dengan kode yang hanya ia yang tahu. Demikian juga halnya dengan jendela. semua masih terkunci.

Nani meraih tongkat baseball yang ia temukan di ruang tamu apartemen. Ia menggenggamnya erat dengan posisi hendak memukul bola. Jantungnya berdetak kencang dan adrenalinya berpacu cepat. Matanya nyalang menatap sekeliling apartemennya yang temaram karena tirai-tirai jendela yang belum sempat ia buka. Nani mulai khawatir jika seseorang telah menyusup ke dalam rumahnya dan bersembunyi di suatu tempat di dalam rumahnya.

Dewi Asih. Sebut Dewi Asih jika kau sedang terdesak.

"SIAPA KAU?!" Teriak Nani. "SINI KELUAR KALAU BERANI!"

Nani yang semakin panik menggeledah seluruh ruangan di apartemennya. Ia membuka setiap pintu yang ada, bahkan pintu kamar mandi. Pintu-pintu lemari pun tak luput dari geledahan Nani. Suara gaduh terdengar bersamaan dengan lemari-lemari yang Nani bongkar. Beberapa barang bahkan jatuh berserakan. Namun, Nani tidak menemukan siapapun. Tidak ada penyusup di apartemenya. Lantas itu suara siapa?

Apa mungkin itu bukan suara manusia, batin Nani. Tangannya semakin erat menggenggam tangkai tongkat baseball. Keringat dingin mengalir deras membasahi bajunya sepagi itu. Mulut Nani tampak berkomat-kamit membaca doa apapun yang terlintas di dalam pikirannya.

Sebut Dewi Asih jika kau terdesak. Dan aku akan datang.

* * *

Nani menghempaskan tubuhnya pada kursi pesawat empuk yang baru dinaikinya. Ia menarik nafas lega karena kali ini ia dapat sampai di bandara tepat waktu, malah terbilang sangat awal. Ia tak membawa banyak barang, hanya sebuah tas ransel kecil yang ada di pangkuannya.

Nani mengedarkan pandangan ke sekelilingnya. Suasana pesawat masih tampak lenggang. Beberapa pramugari tampak sedang mengatur para penumpang yang baru memasuki pesawat sambil tersenyum ramah.

Nani mengecek ponselnya, mengaturnya menjadi mode pesawat. Kemudian ia menyandarkan punggungnya pada kursi pesawat yang telah dia atur kenyamanan sandarannya. Nani memasangkan headphone pada kedua telingannya dan melepaskan kaca matanya. Ia bersiap-siap untuk memejamkan mata. Ia merasa sangat lelah dan kurang tidur akibat suara-suara aneh yang kerap datang di kepalanya semalaman. Playlist musik dari handphonenya memainkan musik klasih yang silih berganti, Mozart, Beethoven, Schubert. Kantuk mulai menyergapnya.

Namun tiba-tiba seseorang menguncang bahunya dengan keras. Nani tersentak. Ia sudah hampir jatuh tertidur. Nani membuka matanya dan melihat seorang perempuan tua berambut kelabu mengguncang bahunya sambil berteriak panik. Tunggu. Nani tidak dapat mendengar suara teriakannya. Ia tersadar bahwa telinganya masih tersumbat headphone. Serta merta, Nani menarik lepas headphone putihnya.

Suasana pesawat sangat gaduh. Para penumpang menjerit. Suara tangisan ada di mana-mana. Sontak, Nani berdiri dan berusaha menenangkan perempuan tua yang sedang menangis histeris di hadapannya. Nani mengedarkan pandang ke sekitarnya. Beberapa penumpang tampak sedang menunduk dengan tangan menekuk di atas kepala, sementara sebagian lainnya menangis dan berteriak ketakutan memandang ke arah pintu pesawat.

Nani mengikuti arah pandang orang-orang itu. Alangkah terkejutnya Nani, saat ia menoleh ke arah pintu pesawat yang kini telah tertutup. Beberapa orang berbadan besar dengan baju dan penutup wajah berwarna hitam berdiri sambil menodongkan senapan berlaras panjang ke arah para pramugari dan penumpang. Salah satu pria berbadan paling tambun bahkan sedang menyandera seorang anak kecil. Pria itu menodongkan pistolnya ke arah pelipis bocah laki-laki yang sedang menjerit-jerit memanggil neneknya.

"Cucuku!!! LEPASKAN CUCUKU!" Jerit perempuan tua yang berada di dekapan Nani. Nani baru menyadari bahwa anak kecil yang sedang disandera itu ternyata adalah cucunya.

Perempuan tua itu hendak melepaskan diri dari dekapan Nani. Nani sekuat tenaga mencoba menahannya. Nani tidak akan membiarkan perempuan tua itu mendekati para pembajak bersenjata yang sedang menyandera cucunya. Nani takut perempuan itu tertembak.

DOR!!

Sebuah suara tembakan disertai suara jeritan melengking memecah kegaduhan. Seseorang telah tertembak. Suasana pesawat menjadi hening seketika.

"Diam! Semuanya diam! Jangan bergerak kalau kalian ingin selamat. Tangan di kepala semuanya!" Teriak salah seorang pembajak yang bertubuh paling tinggi. Ia mengacungkan senapannya ke arah siapa saja yang menatapnya.

Nani ikut menunduk sambil merangkul perempuan tua yang kini menangis sesenggukan. Ia tidak akan membiarkan perempuan itu bertindak ceroboh.

Dari sudut matanya, Nani mengerling ke arah suara tembakan sebelumnya. Seorang co-pilot tampak tergeletak di lantai kabin pesawat. Seragamnya bersimbah darah. Beberapa orang pramugari meringkuk di sekitar tubuh co-pilot itu seraya menahan Isak tangis.

Jantung Nani berdetak kencang. Adrenalinnya berpacu. Rasa takut mulai menjalarinya.

Dewi Asih. Panggil Dewi Asih.

Sebuah suara yang terdengar familiar muncul di tengah keheningan pesawat yang mencekam. Nani menoleh ke sekelilingnya berusaha mencari sumber suara tersebut. Ia tidak dapat menemukannya, bahkan sepertinya tak ada satu pun penumpang yang mendengar suara itu.

Nani mulai panik. Masa iya, di saat-saat kritis seperti ini, ia masih diikuti oleh hantu perempuan penghuni apartemennya.

Tiba-tiba perempuan tua di dalam dekapan Nani memberontak. Perempuan itu berusaha melepaskan diri. Ia meronta-ronta dan berusaha menyentakan rangkulan Nani.

Nani terkesiap. Fokus Nani yang teralih karena suara aneh di kepalanya membuat dekapannya melemah. Di luar dugaan Nani, perempuan tua itu tega menggigit pergelangan tangan Nani. Sontak Nani melepaskan rangkulannya sambil meringis menahan perih.Beberapa tetes darah segar tampak keluar dari bekas gigitan perempuan itu. Setelah berhasil melukai Nani, perempuan tua itu berlari melesat ke arah pembajak yang menyandera cucunya.

DOR! DOR!!

Perempuan tua itu tumbang seketika di hadapan Nani, dengan dua luka tembak menembus dadanya. Jerit dan tangisan histeris kembali memenuhi kabin pesawat.

Nani bergeming. Tubuhnya bergetar disergap shock dan rasa takut.

Dewi Asih. Suara itu lagi. Nani menutup kedua telinganya erat-erat dan menutup matanya rapat-rapat, mencoba mengenyahkan suara perempuan itu dan bayangan perempuan tua yang mati tertembak di hadapannya. Kepalanya terasa berputar dan pandangannya memburam.

Dewi Asih. Dewi Asih. Panggil Dewi Asih.

"Dewi Asih, Dewi Asih! " Gumam Nani lirih.

Seberkas cahaya memancar dari tubuh Nani, makin lama cahaya itu semakin terang. Tubuh gadis itu terangkat ke udara dan bercahaya. Dalam sekejap mata sosok Nani berubah.

Saat cahaya meredup, munculah sosok seorang gadis berkain kebaya, berpadu dengan kain sumping dan selendang berwarna merah tersampir di sekeliling pinggangnya. Gadis cantik itu berparas persis seperti Nani, dengan rambut hitam tergerai panjang dan mahkota kecil bertengger diatasnya. Sorot matanya tajam dan tegas. Seulas senyum anggun menyungging di bibirnya.

Gadis itu mengibaskan selendang merahnya, menebar sirep yang membuat penumpang lain tak sadarkan diri. Ia tak ingin penumpang lain menjadi histeris menyaksikan pertarungannya melawan para pembajak pesawat.

"Siapa kau?! Bentak pria yang menyandera anak kecil dengan panik. Para pembajak lainnya juga tak kalah gusar. Mereka menodongkan semua senapan ke arah Nani.

"Aku, Sri Asih!"

Sri Asih kemudian melesat mendekati pria tambun yang menyandera anak kecil. Sementara, para pria pembajak pesawat lainnya menembaki Sri Asih dengan bertubi-tubi. Ada tujuh orang pembajak saat itu, termasuk pria tambun yang menyandera anak kecil.

Sri asih mengibaskan selendangnya dengan anggun menangkis setiap peluru yang mengarah padanya. Seluruh tembakan meleset. Peluru berjatuhan membentur lantai kabin pesawat.

Sri Asih menyeringai menatap wajah-wajah panik para pembajak pesawat.

Laki-laki tambun di hadapan Sri Asih mendorong tubuh anak kecil yang disanderanya hingga membentur dinding kabin pesawat. Bocah itu tergeletak tak sadarkan diri. Pria itu kemudian mengeluarkan senjata bola berduri dan dengan sigap mengayunkannya ke arah Sri Asih. Enam orang laki-laki lainnya juga menyerang Sri Asih dari berbagai penjuru dengan menggunakan berbagai jenis senjata tajam.

Dengan luwes Sri Asih dapat mengelak dan menangkis serangan para pembajak pesawat. Bahkan, ada diantara mereka yang menjadi saling serang akibat tangkisan Sri Asih. Namun tentu saja, keadaan ini tidak berimbang. Sri Asih terbang dan mundur beberapa langkah. Sebelum para pembajak merangsek maju, tubuh Sri Asih kembali bercahaya terang. Ia menggandakan dirinya menjadi tujuh orang.

Para lelaki itu tampak terkejut dan bergetar ketakutan. "Jadi kau bukan manusia, hah?!" Desis salah satu dari mereka.

"Sudahlah. Cepat kita habisi saja perempuan ini!" Sergah yang lain berang.

Tujuh orang pembajak pesawat itu serempak maju menyerang Sri Asih dan para kembarannya. Ada yang menyerang dengan tangan kosong. Sementara yang lain menyerang dengan menggunakan senjata tajam. Sementara Sri Asih dan para kembarannya menangkis dan balas menyerang hanya dengan tangan kosong.

Tak perlu waktu lama, para pembajak itu satu per satu roboh tak sadarkan diri dengan berbagai luka memar dan patah tulang. Sri Asih bisa saja membunuh mereka semua. Tapi titisan Dewi Sri yang baik hati tetap menjaga komitmennya untuk sekedar memberi pelajaran pada orang-orang jahat itu.

Sri Asih menangkupkan kedua telapak tangan hendak mengembalikan sosok Nani sekaligus menyadarkan para penumpang lainnya. Namun, sebuah suara menghentikannya.

"Dewi Sri, kau kah itu? Aku tidak menyangka akan bertemu denganmu secepat ini," sapa suara parau seorang laki-laki. "Aku bertanya-tanya, manusia mana yang bisa mengalahkan anak buahku dalam waktu singkat. Ternyata seorang Dewi dengan kekuatan setara 250 laki-laki dewasa."

Sri Asih mengangkat wajahnya menatap seorang pria bertudung hitam yang tiba-tiba muncul dihadapannya. Separuh wajah pria itu tampak rusak oleh luka bakar.

"Aku Sri Asih," jawab gadis itu sekenanya.

"Aku tahu siapa dirimu sebenarnya Asih. Kau adalah titisan Dewi Sri. Aku masih sangat mengenal kecantikanmu. Karena kau adalah mustikaku," pria itu terkekeh seraya membuka tudung hitam yang menampakkan kepala botaknya.

"Dewa Antaboga?" Tanya Sri Asih terkejut. Ia mengenali sosok itu.

"Kau benar putriku. Aku menitis ke Bumi hanya untuk mencarimu dan membawamu kembali ke Batara Guru. Dia sangat merindukanmu."

Sri Asih bergeming. Ia menatap pria yang merupakan titisan ayahnya di kahyangan. Harusnya ia merasa senang bertemu dengan ayahnya, namun mendengar rencana ayahnya untuk membawa dirinya kembali kepada Batara Guru, Sri Asih menjadi tidak senang. Raut wajahnya menegang, menahan emosi yang akan membuncah.

"Tapi tenang saja, Dewi Sri. Belum saatnya aku membawamu. Aku harus mempersiapkan segala sesuatunya terlebih dahulu. Jika saatnya tiba, aku pasti akan menemukanmu," ucap Dewa Antaboga. "Kita pasti akan bertemu lagi."

Dewa Antaboga kemudian menghilang dalam kepulan kabut hitam yang memecah dan merayap keluar melalui celah-celah jendela kabin pesawat. Sementara Sri Asih menatap nanar ke arah sosok yang menghilang tersebut. Setetes air bening bergulir turun perlahan, membasahi pipi sang Dewi.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top