9. Hari Kedua


Bill, petugas keamanan Columbia, menatap pria di dalam truk itu. Separuh alisnya terangkat tinggi-tinggi. "Kau akan menggantikan Jerry?"

"He-eh." Si pria di dalam truk mengangguk khidmat.

"Apa yang terjadi padanya? Setahuku kemarin dia masih baik-baik saja."

"Istrinya melahirkan," kata pria itu sambil menggaruk-garuk perutnya yang buncit. "Anak pertama, kau tahu, kan. Selalu menegangkan bagi calon ayah."

"Marianne melahirkan?" Bill berseru tak percaya. "Wow! Selama ini Jerry tak pernah cerita kalau istrinya sedang hamil!"

"Dia sengaja merahasiakannya." Pria di truk itu terkekeh lalu mengangkat bahu. "Aku juga terkejut!"

"Apa jenis kelamin bayinya?"

"Laki-laki."

"Wah, kita harus memberi selamat!"

Mereka terdiam sejenak. Bill menepuk-nepuk besi kanopi truk kebersihan itu sambil mengecek catatannya.

"Baiklah kalau begitu. Aku akan memberitahu Mr. Jennings kalau kau yang menggantikan Jerry." Bill mengambil radionya dan mulai menyalakan saluran satu. "Siapa namamu?"

"Gustav," angguk si pria di truk pembersih itu. Salah satu tangannya terselip di balik tas kulit yang dipangkunya. Ia menekan satu tombol kecil di sebuah remote televisi yang sudah dimodifikasi. Alat itu memancarkan gelombang radio dengan frekuensi tinggi yang akan mengacaukan sinyal apapun di sekitar situ.

"Aneh..." kata Bill. Radionya bergemerisik. "Sepertinya rusak."

"Mungkin kau harus mengganti baterainya," saran Gustav baik hati.

"Baterainya belum lama diganti kok!" Bill mencoba radionya lagi. Masih bergemerisik, kali ini malah bertambah keras.

Gustav menatap radio itu dengan prihatin. "Aku bisa melapor sendiri pada Mr. Jennings kalau kau tak keberatan."

Bill berpikir sebentar. "Yah, kalau kau mau begitu, baiklah. Kau boleh masuk!" Ia mengayunkan tinju kecil ke sebuah tombol di dekat pintu yang mengatur kendali palang otomatis. Palang itu terangkat naik. Si pria di balik kemudi truk kebersihan menekan pedal gas dengan hati-hati. Truk itu mulai bergerak masuk.

Gustav menyeringai sambil melambai. "Trims!"

"Sama-sama!"

Gustav tak pernah melapor pada siapa pun.


...


Hari itu pukul satu, Hotel The Dorchester di London sudah dipenuhi oleh orang-orang parlente yang menenteng tas kulit, pria-pria berkalung emas yang menghisap cerutu, dan wanita-wanita kelebihan berat badan yang memeluk anjing pudel. Saat itu akhir pekan dan hotel sudah lumayan ramai

Petugas resepsionis Agatha Myveen sedang sibuk mengangkat telepon dan mengulangi kalimat yang sama kurang lebih tiga puluh kali selama sepuluh menit terakhir ("The Dorchester. Selamat siang, ada yang bisa kami bantu?")

Panggilan-panggilan telepon itu akhirnya berhenti dan Agatha bisa bernapas lega. Dia merapikan poninya cepat-cepat, membetulkan letak papan namanya yang miring dan kembali memasang senyum ramah.

"ADA HELIKOPTER YANG MENDARAT DI ATAS ATAP KITA!"

Marthin Jokeroof, sang manajer hotel, menyerbu masuk seperti tank perang. Dia menggebrak meja resepsionis, membuat pulpen terangkat lima senti. "Kenapa tak ada satu setan pun yang memberitahuku kita akan kedatangan tamu penting pada jam segini?"

Ketika tamu-tamu pada umumnya masuk melalui pintu utama, melewati petugas keamanan dan lain-lainnya, segelintir tamu sok spesial memang selalu memilih cara kedatangan yang tidak biasa. Salah satunya dengan naik helikopter dan mendarat di atap seperti ini. Mereka menganggap diri mereka setingkat dewa sehingga tak sudi dipusingkan dengan "urusan-urusan administrasi" ala dunia fana. Dan sudah menjadi suatu aturan tak tertulis di The Dorchester untuk menjemput tamu-tamu ini.

Agatha mengecek jadwal reservasi di daftar tamu.

"Maaf, Sir. Menurut catatan tak ada yang akan mendarat dengan heli di landasan hari ini. Kim Kardashian baru akan ke sini tiga hari lagi. Jika kunjungannya dipercepat, asistennya pasti memberitahu. Biasanya dia naik Lam—"

"Kalau begitu siapa yang ada di atas sana?" teriak Marthin dengan ludah bercipratan. "Jangan katakan padaku itu pesawat alien!"

Agatha mengecek daftar tamu sekali lagi. "Tidak ada seorang pun, Sir!"

Marthin mengusap-usap dagunya yang berlemak. "Kau yakin?"

Agatha mengangguk. Dia tak pernah melakukan kesalahan selama bekerja di sini, tak terkecuali hari ini. Siapa pun itu yang mendarat di atap, namanya tidak tercantum dalam daftar reservasi.

Marthin menatap meja resepsionis, jari-jarinya yang sebesar sosis memainkan dasinya yang bermotif polkadot dengan panik. Matanya bergerak cepat mengamati para pengunjung.

"Anda ingin saya meminta seseorang ke atas sana, Sir?"

Marthin baru saja membuka mulut untuk menjawab tetapi terhenti oleh bunyi dentingan lift yang entah mengapa terdengar agak lain kali ini.

Seorang gadis muda melangkah keluar. Dia memakai memakai mantel mink berwarna merah jambu menyengat dengan sepatu bot berwarna senada, dipadu dengan sarung tangan sutra serta tas tangan kulit buaya berlogo besar Gucci. Rambutnya yang pirang berkibar-kibar. Pinggulnya yang mungil seperti kendi porselen melenggok dalam irama sistematis. Seorang wanita berpakaian pelayan serba hitam menemani gadis itu.

Gadis itu menuju ke arah meja resepsionis.

Marthin memicing, mencoba menilai gadis itu. Dari penampilannya, pastilah dia salah seorang selebriti Hollywood. Tapi ini aneh. Marthin hafal hampir seluruh selebriti Hollywood, tapi dia belum pernah melihat yang satu ini. Mungkin yang satu ini masih dalam proses menuju keselebritasan.

"Selamat siang."

"Selamat siang, Miss—"

"Non! Mademoiselle! Adams."

Marthin langsung maklum. Prancis. Ya, tentu saja. Mereka menganggap diri mereka adalah bangsa pilihan Tuhan.

"Bonjour, Nona Adams. Selamat datang di The Dorchester!"

"Bonjour!" Violetta mengangkat dagunya dengan angkuh. Sebenarnya dia tidak angkuh, tidak. Itu hanya salah satu trik untuk terlihat profesional yang pernah dibaca Violetta di suatu situs. Dia lupa nama situsnya. Sebagai seorang Sarjana Peternakan yang terpelajar, Violetta tak pernah lupa meningkatkan pengetahuannya.

Marthin mengenalkan diri. "Saya Marthin Jokeroof, manajer hotel."

Violetta mengacungkan tangannya pada Marthin. "Violetta Adams."

Marthin tahu soal pribahasa yang mengatakan 'Jangan menilai buku dari sampulnya'. Dia mengambil tangan yang teracung itu dan hendak mengecup punggungnya, tetapi si gadis Prancis itu buru-buru menarik tangannya sambil melempar pandangan melecehkan yang membuat Marthin merasa seperti sapi yang baru berguling-guling di lumpur.

"Apa Anda sudah memesan kamar?" Marthin mencoba bersikap profesional. "Kalau belum, kami punya beberapa pilihan kamar yang mungkin cocok dengan selera Anda."

"Saya ingin kamar yang paling mahal!"

Agatha Myveen memandangi manajernya sedang mengobrol dengan Violetta Adams. Dia menahan diri untuk tidak menjerit. Agatha tahu siapa Violetta Adams. Seluruh dunia tahu siapa Violetta Adams. Apa Marthin Jokeroof satu-satunya orang yang tidak kenal gadis ini?

"Selamat siang," sapa Agatha. Dia tidak tahan lagi dan langsung mengambil alih. Agatha memang berharap Violetta Adams akan mampir. Tip darinya pasti besar! "Selamat datang di The Dorchester. Kamar termahal kami adalah Royal Penthouse dengan tarif delapan belas ribu pound per malam."

Marthin akan kembali ke misi awalnya melacak pendaratan helikopter misterius itu, tapi Agatha mengerling penuh makna kepadanya seolah memaksa untuk tinggal. Sepertinya Agatha ingin memberitahunya sesuatu yang sangat penting.

Selagi Agatha menyapa tamu itu, Marthin mengingat-ingat siapa gadis ini.

"Jadi Anda juga menginginkan seperangkat peralatan fitness dan petugas peracik teh yang selalu siaga dua puluh empat jam, Nona Aaaaadaaaaaamssss..." Agatha melirik manajernya, sengaja menekan nama tamu ini. "Totalnya dua puluh lima ribu pound per malam."

Violetta Aaaaadaaaaaamssss. Ingatan Marthin yang payah sedang bekerja keras menebak-nebak. Nama itu terasa familiar.

Violetta tersenyum. "Bukan masalah!"

"Anda bawa bagasi?" tanya Agatha lagi. Dia punya ukuran senyum tersendiri yang lebih lebar dari standar senyuman normal untuk tamu-tamu yang berani menyewa Royal Penthouse. Waktu pemberian tip hampir tiba.

"Saya punya beberapa koper di helikopter. Tolong suruh seseorang untuk mengantarkannya ke kamar secepatnya."

Penyebutan kata 'helikopter' membuka sumbat ingatan Marthin seperti letusan gabus botol sampanye. Sekonyong-konyong dia tahu siapa tamunya ini. VIOLETTA ADAMS! Gadis satu milyar dolar itu! Demi Tuhan, bagaimana dia bisa begitu pelupa? Seorang Violetta Adams pasti akan selalu disambut di The Dorchester, tak peduli dia mendaratkan sebuah kapal induk atau tank perang di atap tanpa konfirmasi terlebih dahulu.

"Tentu saja, Madamoiselle Adams!" pekik Marthin cepat-cepat. Agatha menghembuskan napas lega. "Saya akan memerintahkan seorang porter terbaik kami untuk membawa bagasi Anda!"

Violetta menggoyang-goyangkan telunjuknya dengan lagak memperingati. "Saya tak ingin koper-koper saya ditarik, Mr. Jokeroof. Banyak kuman dari lantai yang bisa menempel di roda-rodanya nanti dan saya tak mau kuman-kuman itu masuk ke kamar saya!"

"Ditarik, madamoiselle?"

"Oui. Certainement pas. (Sangat tidak boleh). Banyak kuman di lantai. Tolong jangan diguncang-guncang juga."

"Tentu." Marthin menarik napas dalam-dalam. Tatapan melecehkan yang tadi itu. Tamu-tamu superkaya memang selalu punya permintaan yang aneh-aneh. "Kalau begitu saya akan meminta porter kami untuk umm... menggotong koper-koper Anda!"

"Saya mau mereka menggotongnya dalam posisi vertikal, Mr. Jokeroof. Pakaian saya bisa kusut kalau koper-koper digotong saya tanpa perasaan."

"Sesuai keinginan Anda, Mademoiselle Adams!" kata Marthin ramah. "Ada lagi yang Anda inginkan?"

Si pelayan mengurus pembayaran bersama Agatha.

"Saya minta nomor ponsel Donatella Versace."

"Seorang supir kami akan mengantarkan Anda ke gerai Vers—"

"Tidak, tidak. Donatella Versace yang asli! Sang maestro fashion!"

Dia pikir nomor ponsel Versace terpampang di Google? Namun karena peraturan utama dalam tata keramah-tamahan The Dorchester adalah selalu mengutamakan keinginan tamu, lidah terlatih Marthin menjawab meski pikirannya berontak. "Tidak perlu khawatir, akan saya coba. Anda tenang saja. Kami akan menelepon cabang Dorchester yang ada di Milan untuk menanyakan hal itu."

"Lho, bukannya Versace tinggal di London?"

"Maaf, tapi setahu saya Versace tinggal di Milan, Italia."

"Lalu siapa desainer yang tinggal di London? Seingatku ada satu yang namanya juga berhuruf depan V dan ada huruf e-nya juga."

"Mungkin maksud Anda Vivienne Westwood," sahut Marthin sabar. "Madam Westwood tinggal di Bristol bukan London. Anda ingin meminta nomor teleponnya juga?"

Violetta sangat tersinggung oleh cara manajer itu menatapnya. Pria itu tampak seolah sedang menahan tawa. "Saya tahu siapa Vivienne Westwood! Tidak usah. Versace saja kalau begitu!"

Marthin mengangguk dalam-dalam, nyaris jatuh berlutut. "Baik. Ada lagi?"

"Tidak. Belum. Pelayan saya, Sylvie yang akan mengurus pembayarannya."

"Jangan sungkan-sungkan memberitahu kami jika Anda perlu sesuatu," kata Marthin. Dia menutup sesi reservasi itu dengan senyum tulus tanpa cela ala The Dorchester.

Setelah Sylvie menyelesaikan urusan pembayaran hotel, Agatha menyerahkan kunci kamar. Violetta menyambar kunci itu, menebarkan senyum lebar ke seluruh lobi lalu melenggang pergi.

Marthin dan Agatha mengamati tamu yang aneh itu. Tidak ada tip. Belum, Agatha menyemangati dirinya sendiri. Setelah dia keluar, pasti dia akan memberikan tip yang besar.

Setelah Violetta Adams tak tampak lagi, Marthin bergegas menyelinap ke lift dan naik menuju kantornya.

"Telepon Milan!" katanya pada Cheryl, sekretarisnya.

Tak berapa lama, Marthin sudah tersambung dengan Raphael Fortisimmo, manajer Hotel Principe Di Savoia, sesama cabang The Dorchester di Milan, Italia.

"Ciao, Marthin! Ada perlu apa menelepon?"

"Kau tak akan percaya ini, Raphael. Ada seorang tamu yang minta nomor ponselnya Versace."

Fortissimo terbahak. "Katakan saja Versace tidak memakai ponsel!"

"Maunya sih begitu. Tapi dia baru mendarat sepuluh menit yang lalu dengan helikopter dan menyewa Royal Penthouse dengan tambahan ekstra tujuh ribu pound."

Fortissimo berubah serius. "Memangnya siapa dia?"

"Violetta Adams!"

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top