3. Kartu Ajaib

Kilau blitz menyerang Joe dari segala penjuru tepat ketika dia keluar, membombardirnya seolah dia tertangkap basah menembak mati presiden. Joe mengangkat tangan untuk menghalangi kelebat cahaya-cahaya yang menusuk pandangannya itu.

"Jangan tutupi wajahmu! Kami ingin fotomu!"

"Sebelah sini! Tolong melambai ke kamera!"

"Siapa namamu, Nak? Bersedia menjawab beberapa pertanyaan?"

"Bagaimana perasaanmu setelah memenangkan satu milyar dolar?"

Suara-suara bising itu memenuhi rongga telinga Joe, bergabung dengan raungan baling-baling dan motor helikopter. Dia langsung pusing.

"Mr. Hamilton!" Martina berteriak memanggilnya. "Sebelah sini!"

Para wartawan itu masih terus memanggil dan mendesak. Kelap-kelip blitz yang menyilaukan menari-nari di mata Joe. Ratusan mikrofon menyelinap teracung dari balik besi-besi pagar, disodorkan ke arahnya.

Aku bisa gila! Tolong!

Joe merasa ada yang menariknya ke salah satu arah, sepertinya itu para pengawal. Separuh buta, dia membiarkan dirinya dituntun. Setelah beberapa langkah, akhirnya kaki Joe dapat merasakan lantai depan halaman yang rata. Mereka membawanya masuk. Suara-suara gaduh itu berangsur-angsur berkurang.

Terdengar deruman mesin lain dari balik pintu. Suaranya mirip letusan meriam. Joe mengira helikopter super yang baru saja mengantarnya—helikopter macam apa yang sanggup mengangkut tiga puluh orang sekaligus?—akan segera lepas landas lagi, tetapi seruan salah seorang pengawal itu mengejutkannya.

"Madam, jetnya sudah tiba!"

"Baik sekali!" balas Martina. "Tolong antarkan Mr. Hamilton ke atas. Aku akan menyambut pemenang yang satunya lagi!"



...



Lift yang membawa Joe dan para rombongan itu ke lantai dua ratus memiliki mesin pendorong bertenaga nuklir sehingga mampu menempuh perjalanan sepanjang seribu empat ratus meter dalam dua menit.

Rasanya seperti naik jet tempur. Telinga Joe hampir meledak dan matanya luar biasa perih. Dia mengap-mengap berusaha mengatasi perubahan tekanan udara drastis itu. Setelah perjalanan singkat yang terasa seabad itu, akhirnya pintu lift berdenting terbuka. Salah seorang pengawal mempersilakan Joe untuk keluar.

Di luar lift, hanya ada satu pintu. Pintu itu terbuka lebar, menyambutnya.

Bagaimana kalau Mr. Krust memberitahu bahwa terjadi kekeliruan dan dia tidak bermaksud mengundangku? Joe menarik napas dalam-dalam, mencoba menenangkan diri. Bagaimana kalau ternyata si asisten membawa Joseph Hamilton yang salah? Bagaimana kalau sebenarnya ini semua cuma kerjaan salah satu program komedi di televisi untuk membuatku malu?

Joe masuk ke dalam. Ruangan di balik pintu itu luas sekali. Rak-rak buku raksasa menjulang menutupi setiap jengkal tembok, terisi penuh dari atas sampai bawah. Sebuah meja kerja elegan dari kayu hitam mengilap berdiri anggun di salah satu sisi. Seperangkat sofa beludru dan meja teh kecil menghiasi sisi lain ruangan itu. Ada perapian elektronik dan sebuah bar.

Joe tidak menyangka akan menemukan sebuah ruangan yang bernuansa sehangat ini di gedung futuristik macam Krust Towers.

Seorang pengawal berbisik. "Mr. Krust akan menjumpai Anda tak lama lagi."

Joe mengangguk. Lututnya gemetar, tetapi dia hanya berdiri canggung, pikirannya berteriak minta pulang.

"Ah! Selamat siang, Mr. Hamilton!"

Seorang pria muncul begitu saja di tengah ruangan. Tidak ada suara pintu terbuka, bunyi plop atau apa pun.

"Anda..." Joe berkedip memandang sosok itu. "Dari mana?"

"Tidak dari mana-mana," jawab pria itu. Dia juga kelihatan bingung.

"Tadi Anda tidak ada di sini."

"Masa?" Pria itu terkekeh. "Saya di sini terus sepanjang waktu. Ini kan memang kantor saya." 

Pria itu mengamati Joe dengan tertarik. Joe balas meneliti pria itu. Tak salah lagi. Dia adalah Vincent Krust.

Krust masih tampak sama dengan foto yang pernah dilihat Joe di halaman depan Forbes ketika dideklarasikan sebagai manusia terkaya yang pernah hidup di muka Bumi. Berkarisma sekaligus elegan, tubuh Krust yang jangkung mengingatkan Joe pada para kaum aristokrat di lukisan-lukisan minyak abad tujuh belas dalam mata kuliah Sejarah Seni. Krust mengenakan jas kasmir warna merah marun dengan kancing-kancing emas. Kemejanya terbuat dari sutra putih. Celana panjang hitamnya bermotif garis. Dasinya model ikat ala Eropa yang berjumbai keluar di bawah dagu. Sepasang sarung tangan kain membungkus jari-jemarinya. Sepatu kulit ularnya tampak agak lusuh tetapi tetap berkesan mahal.

Krust melangkah anggun menghampiri Joe, tangannya teracung. "Perkenalkan, saya Vincent Krust."

"Joseph Hamilton." Joe membalas uluran tangan itu. Sebetulnya dia nggak perlu mengenalkan diri. "Terima kasih sudah, umm... mengundang saya ke sini."

"Saya senang sekali Anda mau datang!" Krust berayun di kakinya seperti anak kecil. "Saya betul-betul senang!"

Joe tidak betul-betul senang berada di sini jadi dia hanya diam saja.

"Saya akan menunggu pemenang yang satunya lagi sebelum menjelaskan semuanya. Dari tampang bingung Anda, saya yakin seratus persen Anda tidak menonton siaran yang sudah susah payah saya tayangkan dengan menyabotase lima juta jaringan di planet ini."

Menyabotase lima juta jaringan?  "Saya... mengerjakan tugas."

"Ah, pastilah begitu. Bukankah Anda penerima Beasiswa Seni Columbia, Mr. Hamilton?"

Joe terhenyak. Dari mana Krust tahu?  "Betul."

Lift berdenting terbuka. Tak berapa lama, Martina McJohnson yang mungil melangkah keluar dengan setengah lusin pengawal di belakangnya.

Para pengawal itu memisahkan diri. Seorang gadis berambut pirang dalam setelan mantel bulu warna merah jambu menyala dan sepatu bot yang tampaknya mahal berlari keluar, menabrak Martina hingga oleng, dan menghambur ke arah Vincent Krust. Kedua tangannya terbuka lebar-lebar bersiap memeluk.

"Monsieur Krust!" seru gadis itu. Logat Prancisnya kental sekali. "Senang sekali akhirnya saya bisa bertemu Anda! Je suis honoré. (Saya merasa terhormat). Merci beaucoup! (Terima kasih banyak!)"

Krust mengelak sebelum gadis itu mengecupnya. "Miss Adams—"

"Ah. Non. Mademoiselle!"

Dahi Krust mengerut. "Ini Amerika, miss. Kami memanggil wanita yang belum menikah miss, bukan mademoiselle."

"Bien. (Baik). J'ai oublié, Monsieur Krust. (Saya lupa, Tuan Krust). Sori..." Gadis bernama Adams itu mengedip nakal ala Marlyn Monroe. "No mooour French! Terima kasih sudah mengundang saya ke sini. Saya nge-fans berat pada Anda."

"Saya berharap Anda betul-betul pengagum saya Miss Adams," kata Krust lambat-lambat. "Bukan sekedar uang saya."

"Saya mengagumi Anda dan uang Anda," jawab Violetta sopan sekali. "Anda adalah simbol kemakmuran dunia modern ini."

Joe tidak tahu apakah si Adams ini tulus memuji Krust atau sekedar menjilat saja. Tapi Krust tetap kelihatan tenang.

"Nah, sebelum saya mulai..." kata Krust sambil menyunggingkan sebuah senyum manis yang melelehkan. "Saya pikir sebaiknya Anda berdua berkenalan dulu."

Joe mengulurkan tangan sambil tersenyum. "Halo, aku Joe."

Sambil tersenyum tipis, Violetta mengulurkan tangannya. "Violetta Winifred Hortencia Olena Rosalié Ezsérbéth Adams, Sarjana Peternakan! Anda bisa memanggil Madamoiselle Adams!"

Wow! Joe terkejut melihat cara Violetta berkenalan. Nama macam apa itu?

Krust menatap sesi perkenalan super singkat itu. Tampangnya kurang puas. "Baiklah. Mari kita langsung ke inti pertemuan ini!"

Violetta memekik tertahan dan memutar tubuhnya hingga menghadap Krus. Joe juga. Dia berpikir akan melihat koper, amplop tebal, peti brankas, atau benda apa pun yang dipakai Vincent Krust untuk menyimpan uang itu. 

Tapi sang Penyihir tetap di tempatnya. Dia mengeluarkan dua benda yang berkilauan dari sakunya. Joe menyipitkan mata untuk melihat benda itu. Benda itu kecil sekali, berbentuk persegi panjang, dan tipis. Itu sebuah kartu, tapi Joe belum pernah melihat yang sekecil ini. Ada dua kartu, masing-masing di tangan kanan dan kiri Krust.

Mata Violetta Adams berbinar-binar.

"Di dalam dua kartu ini terdapat uang masing-masing satu milyar dolar," kata Krust sambil menggoyangkan kedua kartu itu. "Keduanya dilengkapi chip yang akan mencatat segala transaksi, lengkap beserta data di mana dan kapan uang itu digunakan. Tak perlu khawatir dengan bentuk dan ukurannya, kartu ini kuat sekali. Anda masing-masing akan menerima satu kartu."

Krust menyerahkan kedua kartu itu pada Joe dan Violetta.

Joe menerima kartu itu. Dadanya bergemuruh. Kartu itu hanya selebar tiga jari, dan setipis keripik. Dia tidak bisa mempercayai jumlah uang yang terdapat di dalam benda mungil itu.

"Ketika kalian menyentuh kartu-kartu itu..." Suara Krust bergetar. Sepertinya dia menikmati tampang bombastis tamu-tamunya. "Chip di dalamnya melakukan pemindaian DNA kilat sehingga hanya kalian yang dapat menggunakan kartu-kartu itu. Selama tidak ada orang lain yang menyentuhnya tanpa seizin Anda, kartu itu tak dapat digunakan. Jika nominal di dalamnya habis, kartu-kartu itu akan otomatis menghancurkan diri menjadi tak terlacak."

Tangan Violetta Adams melambai di udara.

"Miss Adams?"

"Apa nominalnya tak bisa diuangkan?"

Krust mengernyit. "Apa maksud Anda?"

"Yah..." Violetta mendadak paham. Dia akan mencoba sesuatu yang lebih América. "Maksud saya tadi, jika saya ingin misalnya, membeli hamburger di pinggir jalan, saya tak akan bisa menggunakan kartu ini, kan?"

"Anda akan menggunakan kartu satu milyar dolar untuk membeli hamburger seharga lima dolar? Saya sarankan Anda menggunakan dana pribadi untuk hal itu."

"Apakah itu artinya kartu ini bisa diuangkan?"

Krust menggeleng. "Sayang sekali tidak. Kedua kartu ini tidak dapat dipakai untuk membeli."

Violetta mengeluhkan sesuatu dalam bahasa Prancis.

"Maaf, Mr. Krust..." Joe merasa Krust keliru menjelaskan. "Saya tidak mengerti maksud Anda. Tadi Anda bilang kartu ini tak bisa dipakai untuk membeli?"

"Pendengaran Anda baik sekali, Mr. Hamilton," puji Krust sambil tersenyum. "Kalian harus menghabiskan semua uang itu dalam seminggu. Tapi kalian tidak boleh menggunakannya kartu-kartu itu untuk transaksi yang sifatnya ekonomis. Kalian tidak boleh memakainya untuk membeli barang atau jasa apapun. Itu adalah peraturan utamanya!"

"Tapi... tapi..." Violetta terbata-bata. Pria ini gila. "Kenapa uang itu tidak disumbangkan saja jika Anda ingin menghabiskannya tanpa membeli?"

"Saat ini saya sedang menyumbangkan seluruh uang itu pada kalian berdua. Dan mohon jangan disumbangkan lagi, Miss Adams. Mengoper pemberian orang lain itu sangat tidak sopan, apalagi pemberian sebesar itu," kata Krust, berpura-pura tersakiti.

"Maksud Anda, kami harus menghabiskan satu milyar dolar dalam seminggu, tetapi tak bisa membeli barang atau jasa apa pun?" sambung Joe.

"Betul sekali!"

"Lantas bagaimana kami akan menghabiskan uang sebanyak ini?" pekik Violetta

"Percayalah Miss Adams, jika saya tahu caranya maka saya tak akan susah payah mengadakan pengundian ini," jawab Krust.

Ada keheningan yang janggal dan menyesakkan, menggantung di ruangan itu seperti malaikat maut. Joe menoleh pada Violetta, dan ternyata gadis itu juga sedang memandanginya. Kedua pemenang itu saling pandang. Tatapan Violetta seolah berkata, 'Kau percaya kalau pria ini gila, kan?'

Joe tidak sepenuhnya paham apa yang sedang terjadi. Ini memang kedengaran gila. Yang Joe tahu sejauh ini adalah, kartu itu nyaris tak ada gunanya. Dia mengangkat tangan. "Apa saya bisa menyumbangkan uang ini untuk rumah sakit?"

"Saya tidak perlu melakukan segala pengundian yang menguras tenaga ini jika hanya ingin menunjukan kedermawanan saya, Mr. Hamilton," kata Krust, kelihatan geli. "Saya yakin Anda berdua bisa menemukan cara lain yang lebih kreatif untuk menghabiskan seluruh uang ini selain disumbangkan kembali."

Tangan Violetta terangkat lagi. "Apa yang terjadi jika kami melakukan transaksi ekonomis dengan kartu-kartu ini?"

"Nominal yang tersisa akan hangus seluruhnya." Senyum Krust berubah menjadi seringai lebar. "Itu artinya pelanggaran peraturan. Pemilik kartu itu akan didiskualifikasi. Pemilik kartu lainnya yang akan menang."

Ruangan itu kembali hening. Otak Joe langsung bekerja. Dugaannya benar, bagaimana uang di dalam kartu itu bisa habis adalah misteri. Kalau ada cara lain, sebaiknya segera kutemukan!

Sebaliknya, Violetta benar-benar marah. Dia tidak terbang jauh-jauh dari Paris untuk menonton sirkus. Dia merasa dipermainkan. "Maaf saja..." Dilemparkan kartu miliknya pada Krust. "Saya menolak!"

Syuuuuuut!

Secara ajaib kartu itu berbalik arah seperti bumerang dan kembali pada Violetta.

"Ketika Anda berdua memutuskan untuk menerima kedua kartu yang saya tawarkan," kata Krust, tampak tidak kaget dengan perilaku ajaib kartu emas itu. "Berarti Anda berdua setuju untuk ikut secara sukarela dalam kompetisi ini. Saya tidak pernah memaksa. Kartu-kartu itu tak akan kembali lagi pada saya, bahkan jika nominal di dalamnya sudah habis. Dengan demikian Anda tidak bisa menolak."

Tidak bisa menolak? Joe termenung mendengar kata-kata itu. Ini tidak serius, kan?

Violetta menggebrak meja. Darahnya mendidih. "Anda tidak memberitahu kami sebelumnya kalau kartu ini tidak bisa dipakai untuk membeli! Ini konyol!"

"Setiap keputusan mendatangkan konsekuensi, Miss Adams."

"Anda mempermainkan kami! Anda memaksa kami!"

"Betulkah? Kalau begitu coba beritahu, apa alasan Anda berada di sini sekarang?" tantang Krust. "Saya hanya menerima orang-orang yang punya kepentingan di kantor saya."

"Orang-orang Anda memberitahu kalau saya memenangkan satu milyar dolar!" kata Violetta berang. Wajahnya sudah merah padam. "Itulah alasan saya berada di sini! Cukup jelas, bukan?"

Krust memicing. Melihatnya, sekilas Joe teringat pada karakter rubah yang licik dalam dongeng. "Jadi Anda ke sini karena memang ingin mendapatkan satu milyar dolar itu, benar?"

Violetta membuka mulut untuk memprotes tapi tak sanggup mengatakan apa-apa. Akhirnya dia duduk kembali dengan wajah cemberut.

Joe menatap kartu itu dan sadar bahwa Vincent Krust tidak sedang main-main. Sang Penyihir sudah memikirkan segalanya. Itu artinya, satu-satunya cara keluar dari kompetisi ini yaitu dengan menghabiskan satu milyar dolar itu dalam seminggu. Tanpa membeli barang dan jasa apa pun. Aku butuh lebih dari sekedar keajaiban!

Joe melirik Violetta. Gadis Prancis itu sedang memandanginya lurus-lurus, aura persaingan yang sangat kuat menguar darinya. Lalu dia bicara lagi.

"Mr. Krust, saya berikan kartu ini untuk Anda!"

"Buat apa, Miss Adams?"

"Anda bisa menggunakan uang yang ada di dalamnya!"

"Saya tak mau terdengar sombong," Krust tersenyum kecil. "Tapi apa Anda tahu berapa jumlah kekayaan saya?"

Violetta duduk lagi, tampangnya cemberut. Dia sudah mencoba segala hal yang dapat dipikirkannya untuk melepaskan diri dari kompetisi itu, tetapi sepertinya dia sudah terjebak. Bukan hanya dia. Ada juga pemuda kumuh dari New York ini, yang sekarang adalah pesaing tunggalnya.

Sementara itu, Joe memutuskan untuk tidak mendebat Krust. Semuanya sudah jelas. Ditatapnya kartu miliknya. Ada logo Krust Corporation berwarna keemasan di salah satu sisinya. Namanya, Joseph Hamilton, telah muncul seolah ditulis dengan tangan tak terlihat di sisi kartu.

Tiba-tiba Joe teringat sesuatu. "Bagaimana jika kami gagal menghabiskan uang ini?"

Senyum Vincent Krust berubah menjadi seringai lebar. "Sederhana saja. Saya akan meminta ganti rugi dua kali lipat dari jumlah yang ada di dalam kartu itu."

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top