29. Senin
Satu minggu sudah berlalu.
New York jadi semakin berangin. Rupanya kota itu sedang mempersiapkan diri menuju musim dingin yang akan datang tak lama lagi di bulan Desember. Orang-orang malas keluar rumah, sebagian besar masih terkenang akan cuaca musim gugur bulan September yang menyenangkan. Meski demikian banyak juga yang berharap musim dingin segera datang bersamaan dengan Natal.
Joe merapatkan mantel yang dipinjamnya sambil berusaha menahan terpaan angin. Beberapa orang yang berpapasan dengannya tersenyum, ada juga yang menunjuk-nunjuk.
Sudah selesai.
Joe melewati beberapa toko dan kios hingga akhirnya membelok di tikungan jalan. Sejenak dia tergoda untuk membeli es krim tapi dia hanya punya sedikit uang pinjaman dari Andrea untuk membayar tiket kereta. Dia mengurungkan niat itu dan melanjutkan perjalanan.
Kereta sore itu tidak padat. Jelas tidak ada orang yang mau bepergian di cuaca sedingin ini. Hanya ada seorang gadis berkulit hitam yang sedang mendengarkan musik, seorang pria berjaket jins yang sedang menelepon dan seorang wanita yang berangkat kerja. Wanita itu menoleh ketika Joe masuk. Ekspresinya memberitahu Joe kalau si wanita mengenalnya. Joe bergegas menyelinap ke ujung gerbong dan duduk rendah.
Aku bukan siapa-siapa lagi.
Dia lega karena akhirnya ini berakhir. Banyak yang mengatakan Joe lebih beruntung dari Violetta Adams, itu betul. Lukisannya laku terlelang, tapi dia tak akan sempat memiliki uang itu, karena dia harus mengembalikan satu milyar itu pada Vincent Krust.
Mau bagaimana lagi...
Joe menunduk dan mencoba menikmati perjalanan. Di stasiun kedua, dia berpindah kereta menuju Stillwell Avenue. Dari situ Joe melanjutkan dengan berjalan kaki. Jarak tempat yang ditujunya tidak jauh dari perhentian kereta bawah tanah ini, hanya satu blok.
Perjalanannya kali ini singkat, kurang dari lima puluh menit. Joe ingat awalnya dia begitu kebingungan dengan jalur kereta bawah tanah New York. Di Checotah tak ada kereta bawah tanah. Dulu dia sering salah turun stasiun, tapi itu memang risiko jika naik kereta bawah tanah. Kau bisa berpindah dari ujung Utara New York ke ujung paling Selatan bahkan tanpa kau sadari.
Joe turun di Stasiun Rockefeller Center dan naik tangga hingga tiba di Sixth Avenue.
Dia baru melangkah ketika sesosok gadis berambut pirang sebahu menyeberang di depannya. Gadis itu mengenakan mantel panjang berwarna biru cerah dan sepatu bot bertumit tinggi. Tangan kanannya memengang sebuah tas kertas kecil. Dia melambaikan tangan hendak menghentikan taksi.
Sejumput rambut di bagian tengkuk gadis itu membuat Joe tertegun. Bagian itu sedikit berbeda. Mata Joe yang cukup sensitif dengan perbedaan warna langsung menangkap hal itu.
Merah anggur.
"Artie?"
Gadis itu menoleh. Sesaat dia tampak bingung karena disapa orang asing.
"Sekarang namaku Samantha Robb," jawab gadis itu. Dia nyengir lebar.
Joe mengembus lega. Ternyata aku tidak salah orang. "Ada sedikit rambut yang belum dilapisi cat di bagian belakang."
Gadis berhenti melambai dan menghampiri Joe. "Aku buru-buru mengecat. Seharusnya aku pakai rambut palsu." Dia mengacak bagian belakang rambut pirangnya dengan canggung. "Bagaimana kabarmu?"
"Lumayan," kata Joe. "Kau tidak sedang tugas, kan?"
"Tidak, aku sedang cuti." Artie tertawa. "Mr. Krust memberiku cuti dua kali lebih lama karena dia mengganggu liburanku dua minggu lalu untuk tugas mengawasimu." Dia memandangi Joe seolah memindainya seperti pertama kali mereka berjumpa. "Kau mau ke mana?"
"Fourty-Ninth Street."
"Christie's?"
"Yeah. Kau sendiri mau ke mana?"
"Rahasia. Tapi kita searah. Mau barengan?"
Mereka mulai berjalan berdampingan.
"Aku punya hadiah untukmu." Artie mengeluarkan sesuatu dari tas kertasnya. Dia mengulurkan sebuah kotak kayu yang dipelitur mengilap. Kotak itu indah sekali.
Joe membuka kotak itu. Sebuah kacamata berbingkai kayu yang keren ada di situ. Joe sudah lupa kalau dia perlu kacamata baru.
"Wow, ini keren sekali! Pasti mahal."
"Tidak terlalu menguras gaji," kata Artie enteng. "Aku memungut pecahan kacamata lamamu dan melakukan analisis optis kecil sehingga ini pasti cocok untukmu. Untung hari ini kita bertemu. Tadinya aku berniat mengirimkan kacamata ini ke alamat Andrea."
"Artie, aku sungguh-sungguh berterima kasih."
"Pakailah. Kau bakal kelihatan gagah!"
Joe memakai kacamata itu. Pandangannya langsung jelas seketika. "Jadi, apa kacamata ini akan mengeluarkan sinar laser kalau aku mengetuk gagangnya atau bisa berubah menjadi meriam jika aku mengucapkan sepotong kata sandi?"
Wajah Artie memerah. "Bisa diatur kalau kau mau. Kau suka?"
"Kau gila? Ini kacamataku yang paling keren!"
Mereka meneruskan perjalanan.
"Jadi," kata Artie lambat-lambat. "Apa rencanamu sekarang?"
"Aku akan pulang sebentar ke Checotah lalu kembali ke sini."
Artie mengalihkan tatapannya ke trotoar. "Bagaimana ayahmu?"
Joe teringat akan telepon dari ibunya tadi malam. "Dalam masa pemulihan. Sesuatu terjadi dan ayahku tidak jadi lumpuh. Para dokter pun heran. Seharusnya ayahku langsung lumpuh jika tahu apa yang sekarang terjadi."
Artie tersenyum. "Tidak ada yang tahu pasti."
"Tidak ada yang tahu pasti."
"Kalau kuliahmu?"
"Soal itu..." Joe mengangkat bahu. "Pihak kampus belum bilang apa-apa. Kurasa aku akan mencoba melamar beasiswa lain. Kalau tidak berhasil, mungkin aku akan cuti kuliah dulu untuk sementara."
"Kurasa kau memang butuh liburan," kata Artie, setengah bercanda. "Omong-omong, aku minta maaf soal waktu itu. Di tengah hujan."
Joe mencoba mengingat kejadian apa yang dimaksud Artie. Lalu dia teringat mesin ATM itu. "Tidak masalah. Lupakan saja."
"Aku tidak bermaksud menyakitimu."
"Aku tahu."
Mereka terdiam. Joe mencoba mengingat-ingat apa yang bisa dibicarakannya dengan Artie, sampai dia menyadari bahwa dia tidak tahu apa pun soal gadis itu, kecuali namanya dan warna rambutnya (itu pun selalu berubah). Joe tahu Artie seorang agen, tapi pasti gadis itu tidak mau membahas soal pekerjaan rahasianya, kan?
Jadi untuk menghilangkan kecanggungan, Joe bertanya ke mana Artie akan menghabiskan cutinya kali ini. Seperti yang sudah diduga, Artie tidak memberi jawaban pasti. Namun dari kata-katanya tersirat kalau dia sudah tidak lagi menginginkan Karibia. Artie sempat menyebut-nyebut Swiss. Joe juga ingin pergi ke Swiss tapi dia sedang tidak punya uang untuk itu. Tidak ada yang tersisa untuknya. Artie kembali mengutarakan optimismenya, keadaan akan jauh lebih buruk seandainya segala kejahatan yang dilakukan Violetta Adams tidak terungkap sehingga gadis itu memenangkan kompetisi dan Joe kalah.
Mereka sampai di perempatan Fourty-Ninth Street.
"Nah, aku akan menyeberang," Artie meraih lengan Joe seperti yang sudah-sudah dilakukannya. "Kita berpisah di sini."
"Apakah kita akan bertemu lagi?"
"Mungkin," Artie tersenyum lemah. Dia mengguncang lengan Joe dan menepuk pundaknya. "Nama dan penampilanku pasti akan berubah tapi taruhan, kau pasti akan tetap mengenaliku!"
Joe balas menepuk pundak Artie. "Siapa namamu sebenarnya?"
Gadis itu melompat-lompat menjauh, senyumnya melebar. Setitik kesenduan muncul di wajahnya. Artie segera menumpas emosi itu. "Kau tetap bisa memanggilku Artie."
"Artie." Jadi itu nama aslinya.
Dia melambai pada Joe untuk terakhir kalinya. "Senang pernah mengawalmu!"
Joe ingin menahan langkah Artie dan menariknya kembali tapi dia tahu itu tidak bisa. Dibalik sikap dinginnya, Artie gadis yang cukup perhatian. "Aku juga senang bersamamu. Semoga sukses dengan misi-misimu selanjutnya!"
"Yeah." Dia mundur ke arah zebra cross. "Percakapan ini tak pernah terjadi, lho."
"Aku tahu. Terima kasih untuk... untuk semuanya!"
Joe menunggu sampai Artie lenyap di ujung jalan. Gadis itu sempat berbalik sekali, Joe sekilas menduga Artie akan membatalkan niatnya untuk pergi dan kembali. Kemudian rambut berwarna pirang itu bergoyang-goyang tertiup angin dan lenyap di antara kios-kios makanan cepat saji di sisi seberang jalan.
Joe berlama-lama memandangi arah ke mana Artie menghilang. Susah payah ditahannya keinginan untuk mengejar gadis itu.
Apakah betul kita akan bertemu kembali?
Dengan berat hati, Joe meneruskan perjalanan.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top