25. Menuju Kemenangan
Mereka bertiga duduk mengelilingi meja, nyaris kaku seperti patung. Sebuah ponsel diam tak bergerak di atas meja.
Joe berharap ponsel itu melakukan apa saja selain diam. "Ayolah!"
"Belum," kata Artie optimis. "Kita tunggu saja."
"Oke, kalian tahu... ini sudah kelewatan. Tak bisakah kita bersikap normal?" tanya Andrea lagi, sewot. "Jika lukisan itu terjual, Christie's pasti akan menelponmu! Kenapa kita nggak melakukan sesuatu yang lain saja daripada sekedar bengong begini?"
Joe tahu Andrea benar.
"Apa saranmu?" todong Artie.
"Seharusnya aku yang tanya begitu padamu!" bentak Andrea
"Aku ingin lihat berita," kata Joe, asal saja. Padahal dia tahu seluruh saluran berita sedang sibuk membahas rivalnya, Violetta Adams.
Artie mengangguk penuh pengertian. "Televisi, ya... Tentu saja."
Dia mengeluarkan ponselnya dan menekan sebuah tombol di samping ponsel. Benda itu menggelembung seperti balon, seolah mau meledak. Sambil berdesis, layarnya tegak dan membesar dengan kecepatan yang luar biasa menjadi enam puluh satu inci.
Rahang Andrea melorot.
"Saluran berita, please!" kata Artie pada si layar.
Layar itu berdesis lagi kemudian, plop! Sebuah tayangan berita muncul. Gambar yang tampak adalah kondisi sebuah bandar udara yang kacau balau. Sebuah bangkai pesawat yang masih berasap sedang disemprot air oleh para pemadam kebakaran.
"Korban jiwa tercatat sebanyak seratus tiga puluh orang, terdiri dari seratus dua puluh orang penumpang pesawat dan sepuluh awak kabin. Saat ini petugas masih berupaya melakukan identifikasi korban. Penyebab kecelakaan masih belum diketahui."
Joe, Artie dan Andrea saling pandang.
"Kecelakaan mengenaskan ini terjadi satu menit sebelum pesawat American Airlines tujuan New York lepas landas. Pesawat yang rencananya akan membawa Violetta Adams itu terlambat dua puluh menit dari jadwalnya. Nona Adams selamat karena terlambat naik ke pesawat. Kini pemenang satu milyar dolar dari Vincent Krust itu telah melanjutkan perjalanannya ke New York dengan maskapai lain. Dia mengaku terguncang karena salah seorang pelayannya, Sylvie, menjadi korban dalam ledakan pesawat itu..."
Joe tercekat. "Apakah ini artinya...?"
"Ya, tentu saja," kata Artie. Dia menatap televisi tanpa berkedip. "Rekanku si Bruce pasti langsung menerbangkan Violetta Adams ke New York begitu tahu soal kecelakaan ini. Pasti itu salah satu upaya untuk membunuh Violetta Adams."
"Apa menurutmu dia sudah berhasil menghabiskan uangnya?" tanya Andrea.
"Aku tidak tahu," jawab Artie. "Seminggu ini gadis itu sudah membeli bermacam-macam barang mahal. Kemungkinan besar dia memang sudah menggunakan kartu itu."
Joe menatap ponselnya, mendadak ragu. "Apa sebaiknya kuturunkan saja harga lelang lukisan itu?"
Andrea dan Artie menggeleng bersamaan.
"Kau perlu uang itu, Joe," kata Andrea bijak. "Ayahmu memerlukannya. Kau memberikan satu milyar dolar pada orang yang mau membeli lukisanmu untuk lima puluh ribu dolar saja. Harga segitu tak ada artinya jika dibandingkan dengan jumlah uang yang ada di kartu itu."
Joe tertunduk putus asa. Ya Tuhan, kumohon. Untuk Dad. Dia melirik jam tangan Artie.
Masih ada dua jam lagi.
...
Jauh di puncak Krust Towers, dahi Martina McJohnson berkerut. Dia sudah memandangi monitor itu selama dua jam. Sang Penyihir masih belum kembali.
Hal ini telah jauh berkembang dari apa yang semula diperkirakannya.
Tidak mungkin.
Martina mengkertakan gigi. Dia harus mematuhi instruksi atasannya. Apa yang sedang terjadi sudah sangat kelewatan, tapi dia tahu bosnya itu tak akan peduli.
Martina berpikir sebentar kemudian menjentik layar sekali lagi.
Ada yang muncul lagi. Kali ini lebih fantastis dari sebelumnya.
Martina mencoba menguasai diri. Orang ini berbahaya. Martina tidak mau menyerah. Dia mengetikkan sesuatu di papan ketik dan menjentik layar sekali lagi.
...
Di ketinggian tujuh belas ribu kaki di atas permukaan laut, Violetta tidak dapat memejamkan matanya. Gambaran pesawat yang meledak itu menghantuinya.
Sylvie.
Pelayannya itu sudah tidak ada. Sekarang Violetta seorang diri. Tak ada lagi yang menemaninya.
Violetta mencoba untuk tegar. Sylvie sudah mati.
Violetta menyesali kecelakaan pesawat itu. Dia masih sulit mempercayai apa yang sudah terjadi. Betul-betul di luar dugaan. Violetta merasa bersalah karena meninggalkan Sylvie, tapi tahu pelayannya akan mengerti. Tapi dia tidak boleh mundur. Dia akan memenangkan lomba ini untuk Sylvie. Sylvie orang baik.
Aku betul-betul minta maaf, Sylvie...
Dia ingin menangis tapi airmatanya seolah kering. Ini betul-betul pukulan yang hebat. Dia menatap keluar jendela dan melihat daratan jauh di bawah sana. Violetta harus bertemu Vincent Krust pukul dua belas siang ini kalau tidak hidupnya juga akan berakhir tragis.
Sebentar lagi...
"Madamoiselle Adams..." Seorang pramugari menyapanya. "Lima belas menit lagi kita akan mendarat di New York. Harap kencangkan sabuk pengaman."
Violetta Adams memasang sabuk pengamannya. Dia melongok ke arah koridor pesawat dan menyiapkan diri sebaik mungkin.
Pesawat itu kosong.
Satu jam lagi.
...
Jennifer Huxley bersama Terence Adler dan ratusan wartawan lainnya sedang duduk-duduk di teras depan Krust Towers. Vincent Krust telah mengizinkan mereka meliput secara langsung. Kamera video di mana-mana, semuanya dalam posisi siap.
Ini akan jadi siaran terdahsyat tahun ini. Jen merasa darahnya berdesir-desir. Dan aku akan melaporkannya secara langsung!
Adler meremas tangan Jen, sepertinya rekannya itu juga merasa bersemangat. Semua orang menunggu dengan was-was. Banyak yang menduga Sang Penyihir akan menghadiahi pemenang kompetisi dengan uang yang jumlahnya lebih banyak lagi.
Jen memandangi jam bandul besar di tengah-tengah lobi.
Empat puluh lima menit menuju waktu pengumuman.
...
"Kita berangkat sekarang!"
Andrea bergeser malas di sofanya dan menguap.
Joe menatap ponsel yang masih diam itu. "Belum ada telepon dari Christie's."
"Jangan pesimis begitu," hibur Artie. "Pasti akan ada yang menelepon. Kita masih punya waktu. Sebaiknya kita segera berangkat agar tidak terlambat."
Andrea nyeletuk. "Bagaimana caranya kita ke Krust Towers?"
"Kita akan naik taksi."
"Kita akan naik apa?"
"Taksi," ulang Artie. "Bukan taksi biasa. Kemarin malam aku–"
"Jangan-katakan," potong Andrea berang. "Kau-mencuri-mobil-lagi!"
"Kutinggalkan uang untuk si sopir. Anggap saja aku sedang menyewa taksinya." Artie menepuk Joe yang masih duduk di sofa. "Ayo, Joe! Nanti kita terlambat."
Joe bangkit dengan gontai. Dia melirik penuh harap pada si ponsel sebelum menyisipkannya ke dalam saku jins. Dia sudah berusaha.
Andrea menyerahkan jaket curian itu padanya. Artie menggiringnya ke bagian belakang gudang.
Sebuah taksi kuning terparkir di situ. Bodinya sedikit penyok dan salah satu spionnya tergantung miring.
Andrea menuntut. "Katamu itu bukan taksi biasa!"
"Aku sudah mengeceknya. Mobil ini oke, kok," sahut Artie kalem. "Kendaraan biasa rawan sekali. Semoga kita tidak menemui hambatan yang berarti dalam perjalanan."
Artie membuka pintu mobil dan mengisyaratkan Andrea dan Joe untuk masuk. Joe duduk di depan dan menarik penutup kepalanya. Andrea tampak enggan harus kembali duduk di kusi belakang
"Kita masih punya tiga puluh menit kalau ngebut," kata Artie.
...
Violetta Adams duduk dalam limusin yang melaju di jalan raya New York menuju ke Lexington Avenue. Dia baru saja selesai membersihkan wajahnya dengan toner pembersih seharga seratus dua puluh lima dolar sekotak.
Demi Sylvie.
Tangannya yang terlatih kini mulai mengusapkan pelembab wajah seharga tiga ribu dolar secara merata. Violetta Adams sudah berdandan sejak kelas satu sekolah dasar.
Sayang sekali Sylvie harus meninggal dengan cara seperti itu.
Violetta mengerluarkan sebuah kotak maskara yang terbuat dari kulit, berhiaskan emas delapan belas karat, dan bertaburkan tiga ribu delapan ratus butir berlian warna merah jambu. Dibuat khusus untuknya. Violetta menghabiskan seratus ribu dolar untuk kotak itu.
Tiba-tiba ponselnya bergetar. Ada panggilan masuk.
"Violetta Adams," katanya.
"Selamat siang Madamoiselle Adams." Suara berat Russel Torch terdengar dari seberang sana. "Maaf mengganggu. Saya ingin memastikan tidak ada yang kurang dari jet itu. Apa Anda puas?"
"Sejauh ini belum ada masalah. Bagaimana dengan empat jet lainnya?"
"Kami sedang mengerjakannya secepat yang kami bisa."
"Saya mengerti. Selesaikan secepatnya."
"Tentu."
Sambil menyapukan lipstik tipis seharga enam puluh dua ribu dolar, Violetta berjanji akan membuatkan pusara yang bagus untuk makam Sylvie.
Tenang saja, Sylvie. Aku tak akan kalah.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top