24. Di Luar Rencana
Pagi itu entah kenapa langit mendung sekali seakan mau turun hujan. Orang-orang malas beraktivitas. Sebagian besar sudah bersiaga di depan televisi sejak mereka bangun, menunggu pukul dua belas siang dengan menggerutu tak sabar.
Keadaan di Krust Towers sedikit lebih berbeda. Martina McJohnson merasakan setiap orang yang ditemuinya di kantor pagi ini kelihatan tegang. Martina juga tegang. Dia menunggu apa yang juga ditunggu semua orang.
Pukul sepuluh.
Mr. Krust tidak pernah membicarakan masalah kompetisi menghabiskan satu milyar dolar ini selama beberapa hari terakhir, kecuali saat dia meminta Martina menarik Melissa Gibson dan Bruce Stockholm dari tugas. Mungkin karena Mr. Krust sudah menugaskan kedua agen paling top miliknya untuk mengawasi Joseph Hamilton dan Violetta Adams. Kedua agen itu memang dapat dipercaya.
Martina pergi untuk menyeduh kopi. Ada obrolan kecil dari dalam dapur.
"Violetta Adams yang bakal menang. Waktu itu aku sempat ngobrol dengannya sebentar sebelum keluar dari gedung ini," bual Sam White, analis keuangan muda yang terkenal bermulut besar. "Dia menawariku untuk mengurus keuangannya tetapi sayangnya harus kutolak."
Martina tahu kalau Sam berbohong. Violetta Adams sepertinya menderita Obssesive Compulsive Behaviour (OCD). Dia tak mau disentuh oleh siapa pun kecuali pelayannya saat keluar gedung minggu lalu.
"Sudah baca koran pagi ini?" Suara cempreng kasar Jorja Jenkins, wanita obesitas dari bagian pemasaran menyahut. "Joe Hamilton melelang lukisannya. Anak itu membuatku bingung. Apa susahnya sih menghabiskan satu milyar dolar? Violetta Adams melakukannya dengan mudah. Lagipula, nggak ada yang bakal menolak jika dia memberikan kartu itu."
"Menurutku dia pelit," tuduh Sam semena-mena. "Dia kan dari kampung. New York nggak menghilangkan sifat udikmu, kau tahu kan maksudku? Aku yakin orang terkaya di kampung halaman si Joe itu sekalipun pasti tak pernah memegang uang satu juta dolar. Apalagi satu milyar!"
Keduanya tergelak.
Martina membawa kopinya dan kembali ke kantornya. Dia menggeleng-geleng geli. Bukan berarti dia tidak setuju dengan komentar-komentar Sam dan Jorja. Mereka tidak tahu ada persyaratan ekstra dalam kompetisi ini; kedua kartu itu seharusnya tak boleh dipakai untuk membeli apa pun. Bagaimana Violetta Adams membeli macam-macam, itu yang masih jadi misteri. Selama seminggu Martina berhasil tutup mulut dan tidak berkata apa-apa seandainya ada orang-orang ingin tahu yang mencoba mengorek informasi darinya. Mr. Krust mempercayainya, selain itu Martina merasa tidak punya kewajiban untuk memberitahukan karyawan yang lain.
Pantat Martina belum menyentuh jok kursi ketika interkom di mejanya berbunyi.
"Kau sudah kembali, Martina?"
Dia selalu tahu. "Ya, Sir. Anda perlu sesuatu?"
"Tolong ke sini segera."
Martina bangkit lagi dan mulai bergerak.
"Kau boleh bawa kopimu!"
Martina terhenti. "Anda ingin saya buatkan secangkir juga, Sir?"
"Tak perlu. Segeralah kemari!"
Pintu ruang kerja Mr. Krust sudah terbuka ketika Martina tiba. Dia menghampiri bosnya yang sedang mondar-mandir di depan meja.
"Sir?"
Mr. Krust mengangguk dan menunjuk kursinya.
"Saya berdiri saja," kata Martina gugup.
"Tidak. Kuminta kau duduk di situ," kata Mr. Krust.
Itu perintah. Martina duduk di kursi berlengan itu dengan patuh. Kursi itu hangat dan nyaman sekali.
"Nyalakan komputer itu."
Martina memencet tombol bolpoin keramik yang berdiri di pinggir meja. Sebuah komputer berlayar tiga puluh dua inci melompat keluar dari balik meja, berdiri di antara Martina dan sang Penyihir. Layarnya berkedip sebentar sebelum menyala.
"Tolong kau baca dengan cermat."
Martina membaca apa yang tertulis di monitor selama dua menit.
"Saya tidak mengerti, Sir." Ini perintah paling aneh yang pernah diterima Martina. "Anda ingin melakukan ini? Boleh saya tahu alasannya?"
"Lakukan saja," perintah Mr. Krust. "Lakukan semampumu. Jaringan ini aman. Tak akan ada yang tahu!"
Martina mengangguk dan mulai mengetik di papan ketik. Dia mengeklik tetikus.
Mr. Krust melangkah ke luar ruangan. "Aku ingin melemaskan kaki."
...
Violetta Adams sedang menunggu dengan cemas di ruang tunggu bandara. Pendingin ruangannya bekerja dengan baik tetapi Violetta malah kepanasan.
Dia mengeluarkan iPhone emasnya dan menghubungi Sylvie. Si pelayan sedang memastikan segala permintaan Violetta sudah dimuat ke kabin pesawat. Violetta ingin memarahi Russel Torch dan karena lamban sekali mengerjakan jet pesanannya. Padahal permintaan Violetta tidak banyak. Dia hanya ingin lima pesawat pribadi yang dicat merah jambu, punya bak mandi, bebas kuman dan selesai dalam tiga hari. Apa itu permintaan yang sulit?
"Bagaimana Sylvie?"
"Semuanya sudah lengkap, nona."
"Bagaimana dengan permintaanku untuk mengosongkan seluruh kelas Bisnis? Aku perlu ruang untuk pijat dan terapi mata kaki."
Suara Sylvie terdengar putus-putus. "Saya sudah berbicara dengan pilot dan pemimpin maskapainya. Mereka bilang tidak bisa menelantarkan penumpang yang lain. Orang-orang itu sudah membayar tiket mereka dan–"
"Apa kau sudah bilang bahwa aku akan ganti setiap tiket yang dibatalkan?"
"Sudah nona," kata Sylvie gusar. "Mereka tetap tidak mau."
"Maksudmu..." Violetta Adams marah sekali. "Aku hanya akan mendapatkan satu kursi di pesawat itu? Kakiku bisa pegal, Sylvie! Aku tak bisa duduk di kelas Bisnis selama tiga jam penerbangan ke New York! Kau kan tahu betapa sempitnya kursi di kelas Bisnis!"
"Kabin kelas Bisnis cukup lapang, nona. Anda membayar tiket yang paling mahal, lho. Selain itu ada tempat tidur juga tersedia jika Anda ingin beristirahat."
Violetta meremas ponselnya. "Aku beli pesawat itu!"
Ada jeda. Ketika ada yang berbicara, kali ini bukan Sylvie yang menjawab, tetapi suara seorang laki-laki yang berwibawa.
"Miss Adams?"
Violetta mengkertakan gigi. "Mademoiselle. Kau siapa? Aku sedang bicara dengan pelayanku, idiot. Kembalikan teleponnya sekarang juga!"
"Saya Edmund Davis, pilot pesawat yang akan membawa Anda ke New York," kata pria itu. "Atas nama perusahaan, dengan berat hati saya menolak permintaan Anda untuk mengosongkan seluruh kelas Bisnis. Pesawat ini juga tidak dijual. Ada seratus dua puluh penumpang yang sudah lebih dulu membeli tiket sebelum Anda dan kami tak bisa menelantarkan mereka begitu saja hanya karena Anda butuh ruang pijat pribadi." Pria itu mengakhiri dengan geram. "Dan saya tidak idiot."
"Dengar, Mr. Davis..." Violetta mencoba sabar. "Aku bisa meminta perusahaan memecatmu kalau aku mau. Pesawat itu tak akan terbang tanpa aku, jelas? Aku tak mau kelihatan capek di depan Vincent Krust, makanya aku harus dipijat selama perjalanan!"
Muncul suara berkeresak. Bunyi itu mungkin disebabkan karena dengungan mesin pesawat. Violetta mulai cemas.
"Kami akan menutup pintu dalam dua menit lagi, Miss Adams. Jika Anda masih keberatan, sebaiknya Anda naik jet pribadi saja."
"Aku tidak—brengsek. Mana Sylvie?"
Keresak itu kini semakin keras. Suara Edmund Davis menjadi samar. "Kami terpaksa meninggalkan Anda, Miss Adams."
Sambungan itu terputus.
Violetta mengamati dengan ngeri ketika pesawat itu mulai bergerak meninggalkan gedung bandara. Tidak mungkin. Ini mimpi buruk! Sylvie masih di dalam sana dan sekarang pesawat itu pergi tanpa dirinya? Aku tak boleh terlambat ke New York! Mr. Krust sedang menungguku!
Pesawat itu mulai melaju di landasan.
Violetta memencet nomor Sylvie.
Tut...tut...tut.... Tidak dijawab.
Kenapa Sylvie tidak menjawab?
Violetta berlari keluar ruang tunggu yang kosong, mencari-cari konter penjualan tiket. Dia harus segera menyusul pergi, kalau tidak dia akan terlambat.
Pesawat itu melaju semakin cepat, bersiap lepas landas.
"Miss Adams!" Salah seorang petugas di konter tiket menyapanya dengan ramah. "Penerbangan ke New York—"
BLAAAAAAAAAAAAAAAAAAAAARRRRRR!
Langit berubah merah kehitaman. Violetta Adams terjatuh karena hempasan dari sesuatu yang luar biasa kuat. Kaca-kaca ruang tunggu bergetar hebat seperti mau lepas. Debu-debu dari langit rontok berjatuhan. Lampu-lampu berkedip lalu padam. Asap menyerbu masuk ke dalam gedung terminal.
Violetta terhuyung-huyung berdiri. Matanya melotot. Potongan-potongan tubuh pesawat terlempar ke mana-mana dengan kecepatan peluru. Api dan awan hitam bergulung-gulung menyala di langit. Pesawat itu baru saja meledak berkeping-keping.
Napas Violetta sesak seketika.
"SYLVIE!"
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top