23. Berita Hari Ini



"MADAMOISELLE!"

Sylvie mengetuk pintu kabin itu keras-keras dan bergegas masuk. Dia terlonjak ketika memandang dua tubuh telanjang yang ada di atas tempat tidur. Dia mengenali si aktor dan Violetta Adams, majikannya. Pria itu melompat kaget, menyambar pakaiannya, dan melesat ke kamar mandi.

"SYLVIE!" Violetta mengerjap-ngerjap. "APA YANG KAU—MANA CHRIS?"

Sylvie menunjuk pintu kamar mandi.

Violetta menyambar selimut dengan marah. Sylvie hampir kabur keluar tapi dia terhenti. Kakinya membentur sesuatu yang halus dan bercahaya. Dipungutnya benda itu.

Gaun buatan Versace yang bertaburkan dua ratus butir berlian merah jambu Tiffany seharga jutaan dolar koyak menjadi dua seperti kain lap dan teronggok menyedihkan di lantai.

Sylvie terperangah melihat gaun itu. "Anda merobeknya?"

"Aku nggak suka foreplay yang berlebihan, Sylvie!" Violetta tersenyum centil sambil mengibas-ngibaskan tangan. "Jadi, kau mau apa? Cepat bilang!"

Sylvie memungut gaun itu. Sayang sekali jika dibuang. Aku akan menjahitnya.

"Cepat katakan keperluanmu sebelum Chris keluar dari kamar mandi!"

Sylvie menyerahkan iPad yang digenggamnya pada Violetta.

Violetta berjengit. "Ini masih terlalu pagi untuk berita pagi. Bacakan untukku!"

"Balai Lelang Christie's mengumumkan pelelangan sebuah lukisan karya Joseph Hamilton..."

"Sebentar," sela Violetta. Dia berhenti sejenak. "Apa mengumumkan meng-apa apa?"

"Balai Lelang Christie's mengumumkan pelelangan lukisan Joseph Hamilton," ulang Sylvie sabar. Dia meneruskan ketika Violetta mengernyit bingung.

"New York, sembilan belas November. Di hari penentuan ini, salah seorang pemenang pengundian Vincent Krust: Joseph Hamilton, melelang lukisan hasil karyanya lewat balai lelang Christie's. Di lukisan berukuran dua puluh kali tiga puluh lima senti itu, terdapat kartu bernilai satu milyar dolar yang dimenangkan Hamilton.

'Kami setuju untuk melelang karya unik ini. Kartu satu milyar dolar yang direkatkan di kanvas sebagai obyek lukisan membuat karya ini menjadi tidak biasa. Pelelangan telah dibuka secara online. Kami berharap ini akan menjadi pelelangan terbaik sekaligus paling menarik yang pernah kami lakukan,' ungkap Debbie Dussendorlf, direktur Christie's di Manhattan. Lelang dibuka dengan harga lima puluh ribu dolar.

Hamilton, delapan belas tahun—adalah mahasiswa tahun kedua jurusan Seni Visual di Sekolah Seni Universitas Columbia, New York. Dia menerapkan aliran surealis dalam karyanya. Lukisan yang menceritakan tentang keserakahan manusia akan uang itu kini ditempatkan di aula pameran utama balai lelang Christie's. Hamilton menghilang dari publik sejak lukisannya tiba untuk dilelang pada pukul satu dini hari tadi.

Tindakan mengejutkan ini mengundang berbagai reaksi dari publik. Banyak yang menganggap pelelangan ini sebagai upaya putus asa Hamilton untuk memenangkan kompetisi. Masih tersisa sebelas jam sebelum tenggat yang diberikan Vincent Krust habis pukul dua belas siang nanti.

Vincent Krust tidak berkomentar mengenai hal ini."

Violetta tertunduk menatap seprai. "Jam berapa sekarang, Sylvie?"

"Jam enam, nona."

"Kita harus segera ke New York, Sylvie. Carikan aku pesawat secepatnya, waktu kita tak banyak."

"Tapi satu dari pesawat Cubic pesanan Anda sudah siap," kata Sylvie. "Saya yakin Mr. Torch tak keberatan mengantarkannya kemari."

"Tidak, tidak, kita bisa terlambat kalau menunggu pesawat itu," kata Violetta. Dia melompat bangun dan mencari-cari pakaiannya. "Kita naik pesawat yang lain saja. Aku ingin kita sampai tepat waktu!"

Sylvie bergegas keluar.

"Oh ya, pesankan aku seporsi stik saus bolognaise rendah kalori dengan mentega rendah lemak untuk makan siang!"

Sylvie mencatat pesanan itu baik-baik dalam benaknya. "Baik."

"Katakan pada nahkoda kita kembali sekarang juga. Pesankan limusin untukku di New York. Carilah yang berwarna merah jambu. Pesankan juga satu suite di hotel termahal di kota itu. Buatkan janji dengan Donna Karan, bilang aku mau membeli gaunnya yang paling mahal. Sertakan penata rambut dan alat pijat dalam pesawat yang akan membawaku ke New York. Aku ingin tampil sempurna saat menerima hadiah dari Vincent Krust. Ada pertanyaan?"

Sylvie menggeleng.

"Gunakan lima dolar dan belilah sandwich untuk dirimu sendiri!"


...


Jeniffer Huxley merasa kurang enak badan. Pagi ini seharusnya dia bersemangat karena lomba menghabiskan satu milyar dolar itu akan berakhir, tapi Jen sudah tidak peduli lagi siapa pemenangnya. Dia sudah tak sabar kembali melakoni profesi jurnalisme yang serius.

Ponsel Jen berdering. Sambil menguap, Jen mengangkat tanpa melihat siapa peneleponnya.

"Selamat pagi, Jen."

Itu suara Terence Adler. Jen melompat gembira. "Terry!"

"Beberapa jam lagi kita akan bertemu, lho!"

"Ya, aku kangen sekali. Yang kudengar liputanmu cukup membosankan."

"Tidak begitu," Terry terkekeh. "Joe Hamilton memang tak seliar Violetta soal menghabiskan uang. Omong-omong Jen, ada yang ingin kubicarakan denganmu."

"Sepertinya serius."

"Aku kurang begitu yakin," Terry kedengaran ragu-ragu. "Tapi menurutku ini penting."

Jen mengusap matanya. Sekarang baru jam enam. "Tak bisakah kau menunggu sampai aku tiba di New York?"

"Mungkin nanti sudah terlambat," kata Terry. Dia merendahkan suaranya. "Dengar, Jen... Apa ada peristiwa-peristiwa aneh menimpa Violetta Adams?"

Semua peristiwa sepanjang minggu ini aneh. "Apa maksudmu?"

"Aku dan Owen menemukan sesuatu. Semacam keanehan..." Terry memelankan suaranya. Jen tahu rekannya itu sedang berpikir. "Mungkin terlihat seperti kejadian biasa-biasa saja, tapi menurutku semuanya mungkin berkaitan."

Ah. Jen bersiul. Dia mulai main detektif-detektifan. "Apa ini ada hubungannya dengan Violetta Adams?"

"Entahlah," kata Terry ragu. "Kau tahu bioskop tua di West Side itu?"

"Ziegfield?"

"Ya. Ada kebocoran gas beracun di Ziegfeld tiga hari lalu. Joe Hamilton seharusnya menonton film di salah satu studio malam itu, tapi entah mengapa dia tidak jadi datang. Padahal dia sudah memesan tiket setengah jam sebelum kejadian."

Jen menebak-nebak apa yang sedang dipikirkan Terry. "Lalu?"

"Seorang pria tewas karena terjatuh tepat di atas rel di stasiun First Avenue. Kau tahu apa yang mengejutkan? Pria itu memakai jaket milik Hamilton. Polisi menemukan ponsel anak itu di saku jaket. Aku sendiri sempat memergoki Hamilton dengan seorang gadis di depan Starbucks Columbia, mengenakan jaket yang sama. Orang-orang gempar, tapi belum bisa memutuskan apa yang terjadi. Polisi masih menyelidiki. Beberapa saksi mata berkata mereka melihat Hamilton di tangga stasiun."

Jen mulai ikutan penasaran. "Mungkin pria itu penjambret?"

"Memang," kata Adler. "Penjambret yang tewas di stasiun bawah tanah itu rupanya kriminal profesional yang sudah lama diincar polisi."

"Apa kau sudah bertemu lagi dengan Joe Hamilton?"

"Nah, itu dia..." Terry mengembuskan napas dengan keras. "Hamilton menghilang sejak mengantar lukisannya ke Christie's. Polisi tak bisa menemukannya. Mereka meretas ponselnya dan mencoba melacaknya tapi gagal. Aku dan Owen tak menyangka anak itu akan pergi membawa lukisannya pukul satu dini hari. Kami sedang menyeduh kopi di kantor ketika Callahan di New York Post meneleponku, memberitahu kami untuk bergegas ke Christie's. Sekembalinya dari balai lelang, Owen dan aku belum melihatnya lagi. Kupikir Hamilton hanya menyingkir sampai waktu pengumuman tiba."

Jen setuju dengan Terry. Apa yang dilakukan Joe Hamilton memang kedengaran aneh. "Jadi kau tidak melihatnya lagi sejak saat itu, Terry?"

"Dia seolah ditelan bumi."

Dari cara Terry bercerita, Jen merasa mungkin memang ada sesuatu dengan Joseph Hamilton. Jen berharap itu bukan sesuatu yang buruk. "Apa dia diculik?"

"Dia baru menghilang selama enam jam, Jen. Polisi belum menganggap itu sebagai penculikan. Itulah alasan aku meneleponmu. Bagaimana dengan Violetta Adams? Ada kejadian serupa?"

"Tidak. Dia baik-baik saja. Dia... " Sebuah berita kecil yang muncul setelah Parade Kebudayaan Berlin mendadak mengalir masuk ke pikiran Jen. "Ada sesuatu, Terry. Seorang wanita pemilik toko permen menemukan mayat seorang pria di tempat sampah setelah Parade Kebudayaan Berlin."

"Apa ada hubungannya dengan Violetta Adams?"

Jen menarik napas. "Gadis itu ada di parade. Mobilnya menabrak seorang penari barongsai sampai terluka. Dia didemo habis-habisan. Setelah itu dia langsung ke Swiss."

"Hanya itu?"

"Ya. Caranya menghabiskan uang itu juga di luar akal sehat, kalau kau tanya aku. Aku belum pernah melihat semangat belanja sebesar itu."

Mereka diam sejenak. Keduanya berpikir keras.

"Apa kau sudah memberitahu Marty soal ini?" tanya Jen.

Terry bergumam. "Belum. Ini bisa jadi bukan apa-apa."

Mereka mendiskusikan beberapa kemungkinan lain selama sepuluh menit. Pembicaraan itu berkembang menjadi sesuatu yang tak terduga.

Di akhir diskusi, keduanya sepakat menelepon seseorang.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top