20. Hari Keenam


Melissa Gibson menunggu di depan ruang kerja Vincent Krust dengan perasaan was-was. Di sini dingin. Dia masih merindukan matahari Karibia yang hangat.

Seorang pria kekar berbusana cheong-sam masuk. Dia tersenyum lebar.

"Mel?"

"Halo, Bruce!" sapa Melissa. Dia terkejut karena rekan sejawatnya Bruce Stockholm entah bagaimana mengingatnya. Padahal mereka tidak pernah bertugas bersama. "Bagaimana kabarmu?"

"Seperti yang kau lihat," Bruce terkekeh dan menjabat tangan Melissa dengan hangat. "Cukup sibuk. Kulihat kali ini punyamu agak santai."

"Tidak juga." Mel balas tersenyum. "Tapi masih lebih baik dari punyamu."

Bruce nyengir lebar. "Bagaimana Karibia?"

Ah. "Kesanku selama empat jam di sana adalah cukup menyenangkan." Mendengar itu Brucer terbahak keras. Melissa balas memandangi Bruce dari ujung kepala hingga ujung kaki. "Kostum yang bagus."

"Oh, kau sungguh jeli!" Bruce mengangguk-angguk. "Parade. Ramai sekali."

Mereka diam canggung selama beberapa saat.

"Sudah ada ancaman?" tanya Melissa lagi.

Bruce mendesah. "Kau menonton televisi, kan. Bagaimana denganmu?"

"Lumayan buruk, tetapi masih bisa kuatasi," Melissa berdecak. "Menurutmu apa yang menyebabkan Mr. Krust memanggil kita lagi?"

"Mungkin ada informasi rahasia."

Rahasia, pikir Melissa. Aku suka itu. "Kita masuk sekarang?"

"Tentu," jawab Bruce riang. "Silakan, ladies first!"

Mereka membuka pintu ganda itu dan memasuki ruang kerja Mr. Krust.

Tiga puluh menit kemudian mereka keluar dengan satu kata di kepala.

Bahaya.


...


"Tunggu," kata Andrea di akhir cerita. "Si Artie ini cewek?"

"Ya."

"Kau diserang seorang cewek?"

"Dia muncul begitu saja! Dan sumpah, dia kuat! Kurasa dia pelatih fitness."

"Apa dia membuntutimu?"

"Banyak orang yang membuntutiku belakangan ini." Joe teringat pada si penjambret di stasiun kereta bawah tanah. "Mungkin gadis itu salah satunya. Katanya sih, dia nggak membuntutiku."

"Tapi dia juga yang menolongmu dari Peter Lombard, kan?"

"Iya sih," jawab Joe, merasa agak terpojok. "Tapi aku kan nggak minta."

"Terus tadi kau bilang dia berhasil merebut kartu itu darimu tapi malah mengembalikannya." Cara Andrea menyimpulkan cerita ini membuat Joe kedengaran lemah sekali. "Jika dia berniat jahat, seharusnya dia sudah mengambil kartu itu."

"Mungkin dia hanya ingin pamer kekuatan," kata Joe asal saja.

"Jika dia membuntutimu," kata Andrea lambat-lambat. "Kurasa kau akan bertemu lagi dengannya."

"Terserah. Aku sih nggak mau. Dia ngeselin."

Andrea nyengir. "Jadi, apa si Artie ini cantik?"

"Rambutnya merah anggur..." Itu adalah hal paling mencolok yang diingat Joe dari Artie. "Bodinya oke. Dadanya kencang. Pantatnya bagus."

"Bisa jadi pelatih fitness," Andrea mengangguk-angguk. "Dari jurusan apa?"

"Film," jawab Joe. "Dia nggak mau cerita apa-apa padaku tentang dirinya."

"Aneh sekali."

"Begitulah gadis-gadis," kata Joe. Dia teringat Sophie.

Andrea bergeser di sofa dan menghembuskan napas dengan berat, seperti orang yang banyak pikiran. "Satu lagi, Joe. Aku minta maaf soal beasiswamu. Kejam betul pihak kampus, memutus sepihak beasiswamu seperti itu..."

"Mereka punya alasan kuat," kata Joe, mencoba tegar. "Profesor Murphy betul, aku seorang milyuner sekarang dan mereka tidak bisa memberi beasiswa pada milyuner."

"Tapi mengapa kau tidak bilang saja bahwa Vincent Krust melarangmu memakai kartu itu?"

"Dan menurutmu Profesor Murphy akan percaya?" Joe menatap Andrea. "Dia pasti akan mengiraku sinting. Tak ada yang akan percaya."

Andrea mengangguk pelan dan meraih remote televisi. Dia mulai mengganti-ganti salurannya dengan cepat. "Bukannya aku mau bikin kau tambah pusing, Joe. Tapi besok sudah hari ketujuh dan kau masih belum menemukan cara memakai kartu itu."

"Aku..." Joe terdiam. Andrea benar. Setiap berita terbaru yang mengabarkan Violetta Adams telah membeli sesuatu membuat pikiran Joe semakin kusut. "Kurasa aku tak akan memakainya. Bisa tolong matikan televisinya?"

"Baiklah," kata Andrea pengertian. "Bagaimana dengan ayahmu? Sudah dirawat di rumah sakit kan? Kuharap beliau baik-baik saja."

"Kuharap juga begitu," kata Joe. Kata-kata Artie terngiang-ngiang di telinganya. Ayahmu akan baik-baik saja.

"Bagaimana kalau kita jalan-jalan sebentar cari angin?" kata Andrea hati-hati. Dia bangkit berdiri dan mengulurkan tangannya pada Joe. "Siapa tahu kau dapat ide bagaimana cara menggunakan kartu itu?"

"Yeah. Oke, boleh juga..."

Joe menyambut uluran tangan Andrea lalu mereka turun ke lantai dasar. Kedua sahabat itu melompat dengan bersemangat ke trotoar, Joe tak lupa menyampirkan jaket hoodie yang dipinjamkan Andrea padanya. Mereka melewati deretan toko-toko dan berpapasan dengan berbagai macam orang. Joe berusaha untuk santai meski sebetulnya dia waspada. Tangannya sekali-sekali menyelinap ke saku jinsnya, meraba kartu itu untuk memastikan si kartu masih ada di sana.

Mereka berputar melewati persimpangan yang mengarah ke apartemen Joe. Melihat tempat itu terasa menyakitkan. Barang-barang Joe yang sebagian besar masih ditinggal di apartemen itu mungkin sudah dijual ke tukang loak atau dibuang oleh Mr. Hendrickson. Namun Joe berusaha mengenyahkan pikiran ini. Andrea sepertinya paham kalau sahabatnya sedang kalut, jadi dia mencoba menghibur dengan melontarkan cerita-cerita konyol.

"... lalu dia bertanya padaku, apa betul cowok dengan bulu tangan lebat memiliki nafsu seks besar, lalu kukatakan padanya, 'hei mari kita buktikan'. Tapi dia malah menamparku dan menyebutku tidak macho. Lalu... WOW!"

Andrea berhenti dari ceritanya dan bergeming.

"Andrea..." Joe mengibaskan tangan di depan wajah sahabatnya itu. "Kau kenapa?"

Andrea bersiul dan menunjuk ke depan. "Yang itu jelas akan menimbulkan nafsu seks besar!"

Artie berdiri tepat di seberang jalan. Dia lurus-lurus menatap Joe.

Kok dia bisa ada di sini?

"Hai!" sapa Artie keras. "Kita ketemu lagi."

"Aku tahu sekarang." Joe cepat-cepat menyeberang, menghampiri gadis itu. "Kau jelas-jelas membuntutiku! Apa maumu?"

Andrea menyodok rusuk Joe. "Kalian saling kenal?"

"Dia si Artie yang tadi kuceritakan," kata Joe. Andrea tampak bergairah. "Kau kebetulan lewat lagi?" desaknya pada Artie.

Gadis itu menggeleng. "Bukan urusanmu."

"Oh, ya. Aku lupa. Bukan urusanku," ulang Joe sambil memberi penekanan berlebih pada dua kata terakhir itu. Jawaban favorit Artie. "Hei, dengar. Kita sudah tiga kali bertemu. Sebaiknya kau jujur saja sekarang. Beri tahu aku apa maumu sebelum aku melaporkanmu pada polisi."

"Dia berbahaya," kata Artie pendek.

Andrea tersedak.

Joe menatap Artie dengan memperingati. "Ini Andrea. Kami berteman."

"Lari!" pekik Artie.

"Hei!" protes Andrea. "Kau sangat tidak sopan!"

"Bukan kau!" bentak Artie pada Andrea dengan geram. Dia mengacungkan telunjuknya pada Joe. "Tapi kau!"

"Aku? Berbahaya? Kau justru yang membuatku takut!"

Sekonyong-konyong Artie menyambar lengan Joe seperti elang menyambar anak ayam dan menyeretnya hingga ke ujung jalan. Gerakan Artie yang begitu tiba-tiba selalu bikin Joe gelagapan. Kemudian gadis itu menerjang Joe seperti yang dilakukannya kemarin malam hingga jatuh telungkup di trotoar.

"Apa sih maumu?" teriak Joe marah. Dia meronta mencoba melepaskan diri tapi seperti yang sudah-sudah, dia tak kuasa melawan Artie. "Kau ini paranoid atau apa?"

Andrea berlari-lari menyusul mereka. "Apa yang kau lakukan? Lepaskan Joe!"

"Pergi dari sini!" bentak Artie. "Tinggalkan kami!"

"Tidak. Kau yang harusnya pergi. Apa yang—" Andrea tak sempat menyelesaikan kalimatnya karena Artie juga menariknya lalu memitingnya ke trotoar.

DHUAAAAAAAAAARRRRR!

Bumi bergetar. Kaca-kaca berhamburan pecah ke segala arah. Meja-meja terbalik. Orang-orang menjerit dan berteriak. Mobil-mobil terpental ke udara seperti bola-bola kasti. Debu dan asap tebal mengepul ke udara. Bau hangus tercium dari mana-mana. Api membumbung naik. Suara sirene meraung-raung. Suasana kacau balau.

Apa itu?

Telinga Joe berdenging. Segalanya tampak melambat dan kabur, seolah waktu menyusut. Rasanya ada yang meremas jantungnya. Dia bisa merasakan tangan Andrea yang gemetar hebat mencengkeram pundaknya dan Andrea yang mengatakan sesuatu... Mulut sahabatnya itu berkomat-kamit tapi Joe tak bisa mendengarnya, seperti ada yang menekan tombol mute.

Kemudian Artie memaksa Joe bangun. Gadis itu juga mengatakan sesuatu.

Joe mengerjap-ngerjap. Ledakan tadi membuat kacamatanya mental entah ke mana.

"Apa?" teriak Joe keras-keras pada Artie. "Kau bilang apa?"

Teriakan Artie merambat pelan ke telinga Joe. "Kita harus pergi dari sini!"

"Aku perlu kacamataku!" kata Joe cemas. "Di mana kacamataku?"

"APA ITU BARUSAN, GADIS ANEH?" raung Andrea ketakutan.

"Ini..." Artie menyorongkan sesuatu ke wajah Joe. Dia mengerjap-ngerjap dan tertegun. Kacamatanya telah retak hingga jadi seperti puzzle. "Kau bisa melihat? Joe, kita harus segera pergi!"

Joe mengerjap lagi. Pandangannya agak berbayang. "Aku—"

Andrea berteriak-teriak. "APA ITU YANG MELEDAK?"

"Ayo!" desak Artie sambil mengacuhkan pertanyaan Andrea. Wajahnya cemas setengah mati. Dia memapah Joe menepi ke salah satu toko yang hancur. Andrea meluncur ke arah mereka seakan mengenakan sepatu roda, wajahnya yang panik bersimbah darah kena pecahan kaca.

"Ikuti aku. Dan kau!" Artie menunjuk Andrea. "Tetap di sini! Ambulans akan tiba sesaat lagi. Pastikan mereka melihatmu dengan tetap berbaring di trotoar!"

"Apa yang baru saja terjadi?" tanya Joe. Telinganya masih berdenging.

"Ada yang berusaha mencelakaimu. Tapi akan kita bahas nanti. Sekarang aku harus membawamu ke tempat yang aman."

"Ada yang berusaha mencelakaiku?"

"Ya," jawab Artie. Dia berlari ke arah salah satu mobil yang terparkir miring akibat efek ledakan tadi. Dia mengambil ancang-ancang lalu meninju kuat-kuat ke arah kaca jendela mobil itu hingga hancur berkeping-keping. Pintu mobil terbuka, lalu Artie mengisyaratkan Joe untuk masuk.

Joe menarik Andrea supaya ikut ke dalam mobil.

Artie mencegahnya. "Dia tidak bisa ikut!"

"Dia ikut denganku," kata Joe ngotot. "Aku tak bisa meninggalkannya!"

"DIA TIDAK BISA IKUT!"

Andrea berteriak. "NYALAKAN SAJA MESINNYA!"

Sesaat Artie sepertinya akan menendang Andrea keluar. Tapi gadis itu hanya berdecak marah. Lalu dia membungkuk ke bawah dasbor, mempreteli beberapa kabel hingga terlepas dan membuka gulungannya. Dia menjentikkan dua ujung kabel hingga mesin mobil berderum menyala. Artie menginjak pedal gas kuat-kuat. Mobil itu melompat dan melaju kencang seperti kuda yang baru dicambuk.

"Coba ceritakan lagi, pelan-pelan..." kata Joe sambil membuka-buka laci. Luka-luka Andrea harus dirawat. "Apa yang terjadi?"

"Ada yang mau meledakkanmu!"

"Apa? Kenapa bisa?"

Rambut merah anggur Artie berkibar-kibar. "Karena kau punya satu milyar dolar. Firasat Mr. Krust benar. Dia sudah jauh-jauh hari meminta kau diawasi."

"Tunggu dulu," sela Joe. Andrea merintih pelan. "Kau bilang Vincent Krust minta supaya aku diawasi?"

"Ya. Sejauh ini sudah ada seratus tiga belas usaha untuk mencelakaimu," kata Artie.

"Seratus tiga belas usaha untuk mencelakaiku?" Urat di pelipis Joe berkedut-kedut. "Tunggu sebentar. Dari mana kau tahu soal itu?"

Artie terkekeh hambar. "Mr. Krust memintaku untuk mengawasimu selama dua puluh empat jam penuh. Satu-satunya alasan kenapa kau masih selamat sampai sekarang karena aku selalu berhasil membuatmu lolos dari upaya-upaya keji itu atau menggagalkannya sebelum terjadi. Ledakan tadi adalah perbuatan seorang maniak yang ingin menghabisimu. Dia sudah menyiapkan peledak yang akan menyala ketika kalian akan menyeberang, tapi perhitungannya kacau karena temanmu ini melihatku!"

Andrea tampak terguncang. "Kau seharusnya berterima kasih karena akulah Joe tidak meledak berkeping-keping!"

"Bukan itu maksudku. Sekarang bajingan itu tahu kalau ada aku yang selalu menjaga Joe. Penyamaranku terbongkar!"

"Stop!" kata Joe. Kepalanya penuh dengan pertanyaan sementara denging di telinganya yang tak kunjung pulih. "Kau ini siapa sebenarnya? Siapa pria itu?"

Artie menoleh memandang Joe lurus-lurus, tangannya masih mantap memegang setir. "Namaku Melissa Gibson. Aku seorang agen yang bekerja untuk Krust Corporation. Mr. Krust memintaku mengawasi kau sejak kau menerima kartu itu. Dia menduga hal-hal buruk bisa terjadi padamu karena uang itu. Mr. Krust terbukti benar."

Pantas saja dia kuat sekali, pikir Joe getir. Mana sanggup aku melawan seorang agen terlatih seperti ini. "Jadi namamu bukan Artie?"

"Aku tak bermaksud berbohong."

"Kau seorang agen?" pekik Andrea tak percaya. Dia mencondongkan tubuhnya ke arah Artie. "Seperti James Bond?"

"Kau terlalu banyak nonton film!" tepis Artie.

"Aku punya satu pertanyaan!" Andrea menyeruak di antara dua jok depan. "Apa semua agen cewek memang seksi dan menggoda?"

"Kalau kau tak berhenti mengoceh, kutonjok kau sampai pingsan!"

Andrea buru-buru mengunci mulutnya.

"Jadi orang-orang ini ingin mencelakaiku," Joe mulai paham apa yang sedang terjadi. "Karena mereka menginginkan uang itu. Bagaimana dengan Violetta Adams?"

"Violetta Adams sulit untuk didekati. Dia selalu berpindah-pindah dan terus menarik perhatian. Dia terlalu mencolok. Dia juga menyewa pengawal. Tapi kau!" Mendadak Artie kelihatan jengkel sekali. "Kau menganggap semua orang adalah malaikat sehingga bisa bebas berkeliaran tanpa memikirkan keselamatanmu sendiri!"

Joe diam. Dia tidak sepenuhnya setuju dengan tuduhan Artie.

"Apa kau tahu siapa pria pengebom itu?" tanya Andrea.

"Dia membawa peledak itu dalam sebuah bingkisan dan menyamar jadi petugas pengantar barang. Dia cukup cerdik!" kata Artie sambil memutar stir. Mobil itu menikung masuk ke salah satu gang sempit. "Bom adalah senjata pemusnah berdampak besar. Siapapun yang melihat serangan tadi pasti menduga ini perbuatan teroris. Pria itu pernah bekerja di perusahaan perakitan senjata. Makanya dia bisa merakit peledak."

"Sebentar," Joe mengingat-ingat berita kemarin. "Ada kebocoran gas beracun di Ziegfield sepuluh menit sejak aku meninggalkan bioskop itu."

"Dia menyamar menjadi petugas reparasi AC dan menyabotase pendingin ruangan. Penyamarannya baik sekali. Dia hampir selalu bisa mengelabui semua orang. Tapi tidak denganku," kata Artie. "Kau ingat petugas bioskop yang memberitahumu kalau kau keliru memilih jadwal film, Joe?"

Joe teringat tampang masam petugas penjaga pintu yang mengusirnya. "Petugas itu kau?"

"Kejutan," kata Artie datar. "Aku menyamar dan menghilangkan dua penonton dari daftar tiket untuk kau dan teman wanitamu. Tapi petugas loket yang lain mengenalimu. Dia tidak melihatmu memasuki studio. Ketika gas beracun itu bocor, dia memberitahu polisi."

Joe tidak tahu harus bersyukur atau kesal mendengar ini. Seharusnya Sophie ada di sini dan mendengar semua ini. "Kau melakukan sesuatu pada tiket-tiket itu, bukan?"

"Ya, aku menukar tiket-tiket itu saat berdebat denganmu."

"Gara-gara perbuatanmu Sophie Crustelle tidak mau melihatku lagi!"

"Dia hanya mau uangmu."

Joe tertohok. "Kau tidak tahu soal itu!"

Artie kembali melakukan manuver mendadak sehingga mereka bertiga terhempas membentur sisi kiri mobil.

"Kenapa tidak kau ringkus saja orang-orang gila ini sekalian?" tanya Andrea. "Bukankah memang kau ditugaskan untuk melindungi Joe?"

"Aku hanya diizinkan membatalkan serangan, bukan melumpuhkan pelakunya!"

"Kalau begitu kau tidak menyelesaikan akar permasalahannya!"

"Instruksiku adalah melindungi Joe sampai lomba ini berakhir," kata Artie tegas. "Aku harus menghindari kemungkinan jatuhnya korban jiwa. Jika polisi tahu, Krust Corporation bisa terbawa-bawa. Mr. Krust tidak mau itu terjadi. Dia benci polisi."

"Tapi bagaimana kalau Joe yang mati?"

"Itu yang sedang kuusahakan untuk tidak terjadi," kata Artie. "Joe, apa kau sadar kalau pria pengebom ini juga berusaha mencelakaimu di kampus?"

Joe tercengang. "Dia ada di Columbia? Apa dia juga membawa bom?"

"Tidak, karena kemarin dia bersama dengan temanmu ini!" Artie mengerling pada Andrea..

"Aku tidak bersama siapa-siapa kemarin!" kata Andrea tersinggung.

"Oh, ya?" desak Artie. "Bagaimana dengan Gustav?"

"Gustav adalah petugas kebersihan baru yang menggantikan Jerry, karena istrinya Marianne sedang melahirkan."

"Marianne kini seorang janda. Pria itu membunuh Jerry. Kalau kau lihat berita pagi ini, polisi telah menemukan truk itu berisi mayat Jerry di New Jersey."

Andrea terperangah. "Dia itu si Gustav?"

"Nama aslinya adalah Harry Olson. Kemarin kau akan memperkenalkannya pada Joe. Dia berniat meracuni makanan Joe saat kalian mengobrol." Artie melirik Joe. "Yang bisa kulakukan saat itu adalah mengajak Joe keluar dan mencegahnya menyantap makan siang. Kebetulan dia sedang beradu mulut dengan Peter Lombard."

Jadi itu jawabannya! Penjelasan itu membuat Joe sedikit malu. Selama ini dia mengira Artie membuntutinya karena ingin mencuri kartu miliknya. "Ada yang menjambretku sewaktu di stasiun kereta bawah tanah. Kurasa dia mengincar kartu itu tapi gagal. Apakah penjambret itu..."

"Karena gagal mencelakaimu di kampus, Olson memutuskan menggunakan orang lain," kata Artie. "Sebenarnya kartu itulah yang diinginkannya, bukan Joe. Dia menyewa jasa penjambret jalanan dan mencoba menjambretmu. Penjambret itu berhasil, tapi dia gagal karena kartu itu tak ada di jaketmu, Joe. Untuk menghilangkan bukti, Olson mendorong penjambret itu ke rel dan pria malang itu mati tertabrak kereta bawah tanah. Waktu itu aku menyamar sebagai petugas polisi yang langsung menghampirimu, Joe."

"Ngomong-ngomong," Andrea menunjuk spion. "Kita dibuntuti."

"Selamat, teman-teman," kata Artie. "Dia Harry Olson."


Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top