2. Kejutan Besar
Harry Olson duduk dengan gelisah di sofa baru apartemen keluarga Schubert. Pikirannya melayang-layang.
Harry yakin Henrietta akan meninggalkan si lembek Hugo dan kembali ke pelukannya jika dia mendapatkan uang itu. Ada sebutan untuk cewek semacam itu. Hmm, apa ya? Materialistis. Nah, itu dia. Tapi sebelum itu Harry akan bikin Henrietta kapok dulu. Henrietta harus membayar karena telah mencampakkan seorang gentleman seperti Harry. Rencana Harry untuk membalas Henrietta sederhana saja. Dengan uang satu milyar dolar itu, dia akan meniduri Taylor Swift supaya Henrietta cemburu.
Harry bukanlah satu-satunya yang ingin mendapatkan uang itu. Masalah satu milyar dolar ini telah menjadi topik baru yang ramai dibahas orang. Sungguh disayangkan, televisi Harry sedang kumat—istilah yang di sini berarti: berdenging keras dan layarnya menghitam seolah terbakar. Harry tak mau menumpang di tempat Mrs. Troubletotter bersama Tibbles dan bola-bola wolnya yang bikin gatal. Jadi Harry memilih untuk menebeng di apartemen keluarga Schubert.
Lagipula mereka tak keberatan, pikir Harry acuh. Tetangga yang baik...
Kalau dipikir-pikir, rasanya Harry tidak betul-betul bertetangga dengan keluarga Schubert. Hubungan mereka hanya sebatas saling bertukar senyum ketika berpapasan di koridor, atau mengucapkan selamat pagi ketika membuang sampah dan mengambil pos.
Frans Schubert si kepala keluarga, mengaku memiliki darah Jerman. Tapi menurut desas-desus di kompleks itu, keluarga Schubert terlibat Nazi, entah itu Frans sendiri atau istrinya, Kendra. Pokoknya mereka pembantai Yahudi. Titik.
Dan sekarang Harry menonton televisi di apartemen si Nazi ini.
Tak apalah, pikir Harry santai. Toh Hitler sudah tewas.
"Apa yang kau lakukan seandainya memenangkan seluruh uang itu, Harry?" tanya Kendra ramah, membuyarkan segala lamunan Harry.
"Aku sudah lama membutuhkan modal untuk usaha bunga hias," jawab Harry, asal saja.
"Bukankah satu milyar dolar terlalu besar untuk usaha bunga hias?"
"Oh, sisanya ditabung tentu," kata Harry acuh. "Bagaimana denganmu, Frans? Apa yang akan kau lakukan seandainya kau menang?"
"Aku akan menyumbangkannya untuk membangun gereja," kata Frans mantap.
Harry mendengus. Dia tahu Frans mengucapkan hal itu untuk menutupi ke-Nazi-annya. (Sayangnya hanya segelintir orang yang tahu betul tentang keluarga Schubert. Mereka adalah penganut Katolik yang taat).
"Kau baik sekali," puji Harry manis. "Apa gereja yang akan kau sumbangi nanti dekat dengan sinagoga Yahudi?"
"Tidak. Di Chicago."
"Jauh juga, ya. Kudengar orang-orang yang terlibat Nazi masih diburu seperti tikus di sana."
"Hei!" potong Kendra tidak sabar. "Ada yang mau semangka?"
...
Joe sedang mempertimbangkan apakah dia akan masuk kelas pagi ini.
Dia sudah terlambat sepuluh menit (Terima kasih Mr. Hendrickson!) Tadi Joe sudah memutuskan dengan berat hati tidak akan masuk kelas. Joe tidak pernah bolos kelas, tapi kali ini dia terpaksa.
Eugene Mohr, profesornya yang baik hati, mewajibkan seluruh mahasiswa kelas Ilustrasi untuk memiliki Copic, sejenis spidol warna-warni yang dipakai untuk mewarnai sketsa secara profesional. Yang menjadi masalah adalah, harga Copic lumayan mahal bagi Joe. Dia tak mampu membeli satu set spidol-spidol sialan itu.
Memiliki Copic adalah syarat mengikuti kelas Ilustrasi pagi ini.
Joe tahu kalau Profesor Mohr tahu bahwa gambarnya tidak jelek-jelek amat. Malah cukup bagus jika dibandingkan dengan teman-teman sekelasnya. Tapi sketsa-sketsa yang indah tidak akan cukup menjadi alasan bagi Profesor Mohr memberikan Joe toleransi.
Sebetulnya, bukan hanya masalah Copic ini saja yang menganggu Joe. Sebagai mahasiswa tahun kedua di Universitas Columbia, Joe sadar betul bahwa kuliah di sini luar biasa mahalnya sehingga dia bisa membeli sebuah rumah dan sebuah mobil dengan seluruh biaya kuliahnya.
Mrs. Yun, wanita Korea yang anehnya mengajar bahasa Spanyol di SMA Joe, diam-diam mendaftarkannya untuk sebuah beasiswa seni langka dari pemerintah. Sejak kecil Joe memang suka melukis dan dia rajin mengasah bakatnya itu. Kemudian sebulan sebelum kelulusan SMA, Mrs. Yun menyerahkan surat yang memberitahu Joe kalau dia mendapat beasiswa dari Sekolah Seni Universitas Columbia di Manhattan, New York.
Akhirnya Joe pindah ke Manhattan dua tahun lalu.
Joe bersyukur sekali bisa diterima di Columbia. Meski Columbia dikenal punya jurusan bisnis dan politik yang bagus, tetapi bukan berarti sekolah seninya buruk. Para calon mahasiswa seni dari seluruh dunia berebut untuk masuk ke sini. Joe sampai jadi perbincangan teman-teman seangkatannya karena mendapatkan beasiswa itu. Semua orang tahu kalau keberadaan beasiswa seni dari universitas negeri di Amerika sama mustahilnya dengan Rick Riordan berhenti menulis novel tentang mitologi.
Meski sudah mendapat beasiswa, hidup Joe tetap pas-pasan. Sudah menjadi rahasia umum bahwa para mahasiswa seni menjalani hidup semigelandangan. Itu karena uang mereka sering habis untuk membeli segala perlengkapan seni, mulai dari kuas dengan satu bulu saja hingga kanvas seukuruan pintu rumah. Namun Joe tak punya pilihan. Dia perlu benda-benda mahal itu untuk menyelesaikan tugas-tugasnya.
Dan sekarang, masalah Copic ini...
Tidak, ini tak akan seburuk yang kau bayangkan! Joe menarik napas. Patrick Gaullat akan meminjamkan Copic-nya padamu. Profesor Mohr sama sekali tak akan tahu.
Sambil menyemangati dirinya sendiri, Joe masuk ke dalam studio. Meja dosen di depan studio kosong. Di belakang kelas, Profesor Mohr sedang sibuk mengomentari karya Lorenzha Maryboth yang menurutnya mirip gaya Picasso yang dibuat ketika sang maestro sedang diare.
Joe memanfaatkan kesempatan ini dan melesat ke arah kursi kosong di sebelah Patrick Gaullat.
Patrick terlonjak kaget. "Kupikir kau tak akan datang!"
"Semula kupikir juga begitu!"
Joe mengatur napasnya sambil mengeluarkan buku sketsa. Dia punya cukup banyak stok sketsa sehingga tidak perlu takut dimarahi Profesor Mohr.
"Kau bawa Copic?" tanya Patrick.
Benda terkutuk itu? Joe terkekeh getir. "Pinjam punyamu, ya?"
Patrick menggeleng.
"Nanti kubuatkan sketsamu!"
Patrick tersenyum.
Joe mendengus. Zaman sekarang ini mana ada yang namanya tolong-menolong.
Patrick segera mengeluarkan koleksi lengkap tiga set dua ratus sepuluh buah Copic Marker miliknya. Joe bersiul. Seluruh spidol-spidol itu seakan bercahaya di matanya. Duh, seandainya saja semua Copic ini adalah milikku...
Joe melirik sketsa Patrick. Akan muncul dua interpretasi berlainan jika orang melihat sketsa itu: sebuah karya seni yang penuh esensi, atau coret-coretan balita yang baru memegang krayon.
Joe mengambil salah satu Copic warna biru langit dan membuka-buka buku sketsanya. Karena sering berlatih, buku sketsa Joe selalu penuh.
"Mr. Hamilton..."
Suara Profesor Mohr yang luar biasa serak sehingga terdengar mistis membuat Joe dan Patrick terlonjak.
"Profesor."
"Sketsa yang sempurna dan koleksi Copic yang menakjubkan," puji sang profesor. Dia mengangguk-angguk puas mengamati sketsa Joe. Sepertinya dia melupakan fakta kalau setengah jam yang lalu kursi yang kini diduduki Joe kosong.
"Caramu mewarna sudah betul, hanya perlu diperlembut saja."
"Baik, Prof..."
Profesor Mohr mengamati skesta Joe selama semenit penuh lalu menatap skesta Patrick. Dia mengernyit seperti orang pening.
"Beritahu aku, Mr. Gaullat..." Hidung Profesor Mohr yang bengkok mengerut. "Apa yang menginspirasimu untuk membuat sketsa burung unta sedang menunggangi kloset duduk ketika aku meminta kelas ini untuk menggambar figure in action?"
Patrick tersedak. "Ini sebetulnya, umm... seorang penunggang kuda, profesor."
"Penunggang kuda? Coba jelaskan!"
"Uh. Saya—"
Tok, tok, tok!
Seseorang mengetuk pintu kelas. Profesor Mohr menelengkan kepala seperti mengusir lalat. "Proporsi skestamu ini mirip Manhattan yang baru dihajar gempa hebat, Mr. Gaullat. Kau sama sekali tak paham soal perspektif—"
Tok, tok, tok!
"Dan anatomi tubuh. Ini namanya amburadul! Aku tak paham mengapa kau membeli set lengkap Copic itu padahal teknik gambar dasarmu saja masih kacau begini—"
Tok, tok, tok!
Ketukan itu terdengar semakin keras dan mendesak. Profesor Mohr berdecak marah, menarik celananya naik ke atas perut, dan menghampiri pintu dengan langkah-langkah panjang.
Seisi kelas mengamati Profesor Mohr membuka pintu dan keluar. Ada beberapa orang di luar. Mereka menunggu sesuatu yang hebat untuk terjadi.
Semenit berlalu.
Karena tidak terjadi apa-apa, para mahasiswa mulai kembali menekuni sketsa masing-masing. Joe memutuskan ini saat yang tepat untuk mereparasi skesta Patrick tanpa ketahuan sang dosen. Patrick cepat-cepat menyingkirkan sketsanya ke arah Joe dengan tampang depresi.
Penunggang kuda. Joe mencari apa yang salah dari sketsa itu.
"Hei, sudah jam dua belas lewat!" bisik Patrick.
"Lalu?" Patrick terbalik menggambar tangan kanan dan tangan kiri.
"Itu lho! Si—"
Kata-kata Patrick terpotong oleh suara lain yang muncul dari ambang pintu. Itu suara Gilberto Hudson, rektor Universitas Columbia. Mr. Hudson sangat jarang terlihat berkeliaran di lingkungan kampus. Kemunculan mendadaknya kali ini pasti untuk urusan yang betul-betul penting.
Beberapa pria bertubuh raksasa berpotongan rambut ala tentara juga memadati ambang pintu. Mereka menunggu dengan diam.
"Pengundian Vincent Krust!" lanjut Patrick antusias. "Sudah jam dua belas!"
Tanpa dikomando, teman-teman Joe langsung meninggalkan skesta-sketsa yang bikin depresi itu. Joe dapat mendengar Jimmy Morrison bertanya pada teman-temannya, "Di mana kita bisa melihatnya? Menurutmu pengumumannya diberitakan di YouTube?"
"Profesor Mohr yang baik..." Sebuah suara wanita beraksen Inggris konservatif melayang masuk dari ambang pintu. "Saya tidak punya waktu seharian untuk membahas perizinan memasuki kelas Anda. Dia berhak mendapatkan uang itu, dan hanya Tuhan yang bisa mencegah itu terjadi!"
Mendengar kata "uang," kelas langsung gempar.
"Kalian tidak bisa begitu saja menculiknya dari kelas ini!" debat Profesor Mohr gigih. "Kami sedang mencipta seni di sini!"
"Anda harus mengizinkan saya bertemu dengannya!"
"Madam, bos Anda bukan presiden Amerika Serikat!" balas sang profesor dingin. "Dia tidak bisa menangkap saya karena lelucon ini! Anak itu tidak akan ke mana-mana!"
"Oh, percayalah Profesor Mohr, Mr. Krust bisa menjadi presiden dunia kapan pun yang dia mau hanya saja dia cukup bijaksana untuk tidak melakukan hal itu! Dan tak ada yang sedang melucu!"
Penyebutan nama Krust oleh wanita yang masih belum tampak sosoknya itu langsung membuat kelas geger. Patrick meloncat dari kursinya, Jimmy Morrison mengumpat keras-keras, Kiasha Jackson terpekik sampai sesak napas, sementara Zach Tyler-Smith menggigiti kukunya sendiri sambil menjerit, "Oh tidak!"
Seorang wanita yang tingginya hanya sekitar seratus lima puluh senti melangkah masuk tanpa sedikit pun menoleh. Hidungnya yang luar biasa besar bertengger janggal di wajahnya seperti paruh. Kacamatanya mirip mata kucing dan berwarna merah ceri.
Wanita menatap seisi kelas dan tersenyum.
"Selamat siang. Namaku Martina McJohnson." Tubuhnya yang ceking dan rata dalam balutan jas detektif kebesaran tampak amat kontras dengan suara lantangnya yang garang dan menakutkan. "Aku asisten pribadi Vincent Krust."
Tidak ada yang bergeming.
Asisten pribadi Vincent Krust? pikir Joe. Siapa yang dicarinya di Columbia?
"Aku datang kemari untuk satu tujuan, yang sayangnya dianggap sebagai lelucon untuk mengacaukan kelas yang sibuk ini," lanjut Martina sambil melempar lirikan melecehkan pada Profesor Mohr. "Mr. Krust menginstruksikanku untuk menjemput seseorang ke Krust Towers tepat sebelum pukul satu siang ini juga."
Ketegangan kelas yang sedari tadi sudah bergerak menuju titik maksimal kini mencapai klimaks. Waktu seolah berhenti. Rasanya partikel debu sekalipun hanya menggantung di udara, terlalu tegang untuk jatuh.
Seseorang bertanya takut-takut. "Apa sudah diundi?"
Mata Martina memicing. "Lima belas menit lalu, komputer-komputer kami telah selesai mengadakan pengacakan nama tujuh milyar penduduk Bumi yang telah berpartisipasi tidak langsung dalam pengundian yang diadakan Mr. Krust. Beliau telah mendapatkan dua nama. Salah satu dari dua orang itu sekarang berada di kelas ini..." Dia merendahkan suaranya. "Pelacakan satelit menunjukkan bahwa orang tersebut sedang berada di ruang lima kosong delapan studio ilustrasi Sekolah Seni Universitas Columbia, dua-sembilan-enam-puluh Broadway, kursi pertama di baris depan sebelah kiri."
Tulang-tulang berkeretak ketika leher-leher yang kaku bergerak mencari siapa yang duduk di posisi super spesifik yang baru saja disebutkan.
"Namanya adalah Joseph Hamilton."
Perhatian seisi kelas membombardir Joe seperti hujan meteor. Joe kebingungan. Pelacakan satelit atas diriku? Apa yang telah kulakukan?
"TIDAAAAK!" jerit Lorenzha Maryboth. "Anda salah orang! Tidak mungkin Joe!"
Kelas menjadi gaduh, pekikan dan teriakan tidak percaya terdengar di mana-mana. Patrick Gaullat mundur sambil menggeleng-geleng hingga jatuh terjerembab menabrak dinding. Sophie Crustelle menyibakkan rambut warna pirang panjangnya yang indah, alisnya berkerut menatap Joe. Ginna Gartieuw mencondongkan leher ke arah Joe seolah dia tak pernah melihat Joe dengan jelas sebelumnya.
Apa-apaan ini?
Martina menarik napas panjang dan lurus-lurus menatap Joe. "Mr. Hamilton, apa Anda bersedia kami kawal ke Krust Towers sekarang?"
Joe melirik Profesor Mohr dan Mr. Hudson. Keduanya sudah membatu seperti patung selamat datang jelek di gerbang depan.
"Umm... maaf, saya tidak paham apa yang Anda bicarakan."
"Apa Anda menonton televisi tadi malam? Atau YouTube?"
"Tidak, saya sibuk melukis."
"DIA BOHONG!" tuduh Patrick keji. "DIA TAHU! DIA PASTI TAHU!"
Martina mengacuhkan teriakan-teriakan protes itu dan menghampiri Joe. "Selamat, Mr. Hamilton." Wanita itu mengulurkan tangannya. "Anda baru saja memenangkan satu milyar dolar!"
Tawa Joe meledak. "Anda bercanda!"
"Ini bukan tipuan." Ekspresi datar Martina McJohnson tidak menunjukkan tanda-tanda dia akan berteriak "April Mop!" Wanita itu masih mengulurkan tangannya. "Saya yakin Mr. Krust akan menjelaskan semuanya pada Anda, jika Anda bersedia kami kawal ke Krust Towers."
"Tidak mungkin." Joe langsung tahu dia sedang menjadi bahan lelucon seisi kelas. Dan wanita gila ini! "Apa Anda mengatakan kalau saya baru saja mendapatkan satu milyar dolar dari Vincent Krust?"
"Benar."
"Apa ini semacam lelucon karena saya tidak membawa Copic hari ini?"
"Tidak. Mr. Krust sangat mengharapkan kedatangan Anda di kantornya sekarang. Saya yakin beliau tak peduli apakah Anda membawa Copic."
"Bagaimana kalau saya tidak bersedia?"
"AKU!" Kiasha Jackson menghambur liar ke arah Joe, tangannya mencakar-cakar. "Untukku saja! Berikan uang itu padaku!"
"TIDAK! BERIKAN PADAKU!"
"TIDAK! AKU!"
"UNTUKKU SAJA!"
Teman-teman yang lain ikut bergerak cepat ke arah Joe seperti sekawanan zombie yang haus darah. Para pria tegap dalam setelan hitam yang sedari tadi berdiri di ambang pintu bergerak. Mereka memagari Joe dan Martina dari teman-temannya yang kehilangan kontrol dalam sebuah lingkaran kecil yang rapat.
Joe melongo. Wow! Sekarang aku punya pengawal!
"Jika Anda menolak, maka kami akan mengadakan pengundian ulang," kata Martina tegas. "Ini kesempatan langka, Mr. Hamilton. Saya harap Anda memikirkan kembali dengan lebih bijak!"
Joe menatap Martina McJohnson dan para pengawal itu. Mereka semua tampak serius. Akting mereka hebat sekali!
Sebuah benda melayang beberapa senti dari pelipis Joe, nyaris mengenainya. Ada yang baru melemparnya dengan sepatu.
Benda-benda lain mulai beterbangan dari sekitar kelas. Penggaris, kotak makan, tempat pensil... semuanya menuju satu target: Joe. Rupanya teman-teman Joe berpikir kalau mereka berhasil melemparinya sampai mati, mereka bisa menggantikannya sebagai pemenang. Teriakan-teriakan antusias kini berubah menjadi jeritan-jeritan marah dan tidak terima.
Para pengawal itu bergerak merapat ke arah Joe dan melindunginya.
Ya Tuhan.
"Miss McJohnson?" Hasil pemikiran Joe yang lebih bijak memberitahunya dia harus keluar dari kelas. "Saya perlu bukti bahwa Anda tidak sedang mempermainkan saya. Saya ingin berbicara langsung dengan Vincent Krust."
Martina tersenyum kecil. "Kami sudah menyiapkan helikopter untuk mengantar Anda bertemu langsung dengan Mr. Krust."
"Helikopter?"
"Ya. Sebetulnya Mr. Krust ingin mengirimkan salah satu jet pribadinya untuk menjemput Anda, tetapi mempertimbangkan jarak antara Columbia dan Lexington Avenue yang cukup dekat, beliau memutuskan helikopter saja sudah cukup."
Joe menelan ludah. "Oke."
...
Televisi sedang menayangkan liputan langsung suasana di depan Krust Towers, New York. Harry dapat melihat ratusan kamera lain sedang sibuk menyorot bagian depan gedung setinggi satu setengah kilometer itu.
Menunggu memang menyebalkan, tapi mau apa lagi...
Dia tahu bukan hanya dia yang menunggu. Semua orang sedang menunggu.
Layar televisi menayangkan tampak depan Krust Towers yang diambil dari udara. Harry sudah beberapa kali melihat gedung itu, tapi masih saja terbengong-bengong setiap kali melihatnya lagi. Arsitekturnya yang ajaib membuat Krust Towers bisa disangka bangunan dari masa depan. Empat menara gedung itu yang semuanya dilapisi kaca. Kaca-kaca antipanas dan antipeluru itu memantulkan cahaya matahari dengan nyaris sempurna sehingga menimbulkan efek difraksi cahaya bak aurora yang sangat megah. Puncak-puncak menaranya menghilang menembus awan. Kompleks gedung lainnya ditumpuk tumpang tindih bagai balok-balok pijakan untuk menumpu menara-menara itu. Seluruh gedung dalam kompleks itu dibangun dengan begitu presisi seolah-olah ada yang menggunakan penggaris sewaktu membangunnya.
Tayangan kini berganti kembali ke halaman depan Krust Towers. Seorang reporter muda sedang berbicara di depan kamera.
"Pemirsa sekalian, saya Tara Simmons melaporkan langsung dari depan Krust Towers, Jalan Tiga-Nol-Empat Lexington Avenue, Manhattan. Sekarang pukul dua belas lewat empat puluh lima menit siang, waktu New York. Empat puluh lima menit sudah berlalu sejak tenggat pengundian satu milyar dolar Vincent Krust. Kami belum berhasil mendapatkan kedua nama pemenang itu. Menurut desas-desus yang beredar, salah satu pemenang tersebut tinggal di Tibet dan saat ini sedang dijemput dengan jet Krust..."
Simmons terhenti dan menekan earphone lebih dalam ke telinganya.
"Kami baru saja mendapat informasi baru bahwa..." Sorotan kamera mendadak bergerak dari si reporter ke arah langit. "Jet supersonik Krust sedang memasuki langit kota New York setelah menempuh empat puluh lima menit perjalanan trans-Atlantik dari Prancis. Para saksi mata lain melaporkan sebuah helikopter berlogo Krust Corporation baru saja meninggalkan halaman depan kompleks Universitas Columbia di bagian Barat dan terbang ke arah Timur..."
Harry refleks mencondongkan tubuh ke arah televisi. Sebuah titik muncul di langit. Dengan sigap kamera langsung memperbesar objek itu.
Sebuah helikopter raksasa sedang melayang ke arah Krust Towers, seperti pesawat luar angkasa makhluk asing yang akan menjajah Bumi. Suara desing baling-balingnya yang keras bergaung melalui pengeras suara televisi. Harry dapat melihat logo Krust Corporation—huruf K gendut dalam lingkaran warna emas—berkilau di badan helikopter itu.
Suara si reporter terdistorsi desingan baling-baling."Sepertinya ini helikopter yang dimaksudkan para saksi mata, yang lepas landas dari halaman depan Univeritas Columbia. Apakah salah satu pemenang satu milyar dolar tersebut adalah seorang warga New York?"
Semua mata mengamati bagaimana benda itu melayang di atas kepala-kepala para reporter dan ratusan kamera, tinggi melewati puncak-puncak pagar baja Krust Towers dan masuk ke halaman depannya yang luas. Dengan satu entakan lembut, benda raksasa itu mendarat dengan mulus di tanah.
Terdengar bunyi berdesis, lalu pintu baja helikopter itu terhempas membuka. Kamera berita mendekati pagar gerbang, mencoba menyorot dengan lebih jelas sosok yang akan keluar dari balik pintu helikopter.
"Para penumpang helikopter sudah bermunculan..." kata si reporter.
Setengah lusin pria dalam setelan jas hitam mengkilat melompat keluar, mereka membungkuk untuk menghindari tebasan baling-baling.
"Sesaat lagi..."
Seorang wanita mungil dalam setelan jas detektif melangkah keluar.
Harry dan keluarga Schubert menunggu, tak mampu bernafas.
Seorang pemuda berkacamata melangkah keluar dari balik kabin helikopter.
Kendra Schubert menjerit begitu melihat pemuda itu. "YA TUHAN! DIA MASIH ANAK-ANAK!"
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top