17. Jen di Jenewa


Jennifer Huxley tidak membenci pekerjaannya. Dia sangat mencintainya. Menjadi wartawan adalah pekerjaan yang diinginkan Jen sejak berumur lima tahun. Dia sudah mulai berlatih dengan mewawancarai boneka-bonekanya saat itu, menanyai mereka satu persatu tentang pemilihan presiden. 

Tiga puluh tahun kemudian, mimpi itu telah menjadi kenyataan. Sekarang Jen adalah jurnalis senior New York Today, salah satu stasiun televisi lokal terbesar di Amerika. Tapi saat ini Jen rela memberikan apa saja supaya tidak menjadi jurnalis.

Seseorang berteriak. "Dua menit lagi!"

Jen menggerutu. Dia menatap bayangannya yang terlihat pucat dan kacau lewat pantulan genangan salju yang mencair di retakan jalan. Yang sebetulnya Jen inginkan saat ini adalah mewawancarai menteri keuangan yang baru dilantik di Washington; dia sudah menyiapkan serangkaian pertanyaan untuk mencecar rancangan moneter si menteri baru. Tapi dia malah berada di Swiss, berdiri di tepi jembatan sambil menggigil untuk siaran langsung Gossip with Beth.

Penyebab semua ini adalah seorang pria gendut botak yang sedang enak-enakkan di kantor NYT yang nyaman di New York. Jen meremas mik-nya sambil membayangkan sedang meremas leher berlemak pria itu. Marty Silbermann mengacaukan hidupku tiga puluh jam yang lalu!

Seharusnya yang membawakan acara berjudul Gossip with Beth adalah seseorang bernama Beth—itu sudah jelas. Acara ini memang seharusnya dipandu oleh Beth Hummingbird. Hari Sabtu minggu lalu, Beth terjatuh dari balkon apartemennya. Yang membaca kisah ini dari awal pasti sudah tahu kejadiannya.

Cepat selesaikan ini, Jen memberitahu dirinya sendiri. Karena kau harus cepat-cepat kembali ke New York untuk menonjok hidung Marty Silbermann!

Jen mengenal Beth. Semua orang di NYT mengenal Beth. Menurut desas-desus yang beredar di kantor, Beth diduga sedang menguping obrolan tetangga ketika dia tergelincir dari pagar balkon dan mendarat di tanah dengan kedua kaki membentuk garis lurus seperti penari balet.

Akibatnya, Beth harus dirawat di rumah sakit karena retak tulang panggul. Beth Hummingbird memang tidak sepopuler Ellen DeGeneres atau Wendy Williams, tapi toh tetap ada yang harus menggantikannya.

Marty Silbermann, sang produser Gossip with Beth, berubah menjadi meriam mini yang terus-terusan meledak sejak Beth dirawat. Dia meminta Jen dan Terry Adler, rekannya sesama pembaca berita untuk menggantikan Beth. Berbeda dengan Terry (yang secara mengejutkan langsung setuju), Jen menolak. Dia tetap menolak meski Marty memohon sambil memeluk kakinya di sepanjang koridor kantor.

Dan akhirnya Reuben Cornwell turun tangan.

Seharusnya Jen tahu kalau pria seperti Marty Silbermann tidak akan pernah menyerah. Yang dia tahu, setengah jam setelah Marty gagal membujuknya, Cornwell yang menjabat presiden komisaris NYT memanggilnya dan memintanya secara pribadi untuk menggantikan Beth. Cornwell ngotot dia melakukan semua ini atas kesadaran pribadi, tak ada yang memaksanya. ("Gossip with Beth baru tayang dua musim dan ratingnya betul-betul bagus. Acara itu adalah pundi-pundi uang!") Namun Jen mengendus ini adalah perbuatan Marty yang kedapatan menyelinap keluar ruangan Cornwell sedetik sebelum Jen masuk.

"Sepuluh detik lagi, Jen!" teriak Hunter, juru kamera dari Inggris yang disewa NYT.

Jennifer Huxley pernah mewawancarai Stephen Hawking, menginvestigasi pemanasan global di Antartika, serta mendapat izin meliput program wisata luar angkasa NASA.

Tak pernah sedetik pun dia membayangkan jadi presenter Gossip with Beth.

"Lima!"

Jen memaki Marty Silbermann keras-keras dalam hati.

"Empat!"

Semoga Beth bisa segera pulih.

Tiga. Hunter membuat isyarat dengan tangan. Dua... Satu. Mulai!

"Selamat sore, New York!"

Suara Dave Galloway yang ceria keluar dari headset Jen.

"Aku mewakili Beth menyampaikan permohonan maaf mendalam karena masih belum bisa memandu acara ini untuk sementara waktu. Dia meigirimkan peluk dan cium dari Costa Rica untuk kalian semua!"

Jen tertegun. Dave kedengaran riang sekali di acara gosip ini sehingga orang yang mendengarnya tak akan percaya sebelumnya pria itu memandu acara paling membosankan sejagad: Berita Tengah Malam, bagian Ramalan Cuaca.

"Tapi kalian tenang saja, aku akan memandu acara ini sampai Beth kembali," lanjut Dave berapi-api. "Aku berterima kasih pada produserku karena diizinkan duduk di kursi keramat ini. Beth, kursimu nyaman sekali!"

Dave adalah orang terakhir di dunia ini yang mungkin membawakan acara gosip. Maksud Jen, bagaimana bisa seorang pria yang memakai rambut palsu (Dave botak total), mengenakan kacamata bergagang tebal model jadul dan berkumis lebat seperti sikat membawakan acara gosip? Tapi Marty Silbermann telah membuktikan bahwa baginya tak ada yang mustahil.

"Hari ini kita akan membahas kabar terbaru dari.... jreeng, jreeeng! Violetta Adams dan Joseph Hamilton! Mereka betul-betul hot belakangan ini!"

Jen merosot. Sepertinya Dave lupa kalau Jen juga sedang siaran langsung. "Hei Hunter," bisiknya. "Boleh aku duduk dulu? Dingin banget, nih."

Hunter menggeleng. "Tetap di tempatmu," balasnya.

Jen merasa seperti wafer yang dibiarkan terlalu lama di luar toples. Melempem. Sambil menunggu Dave selesai dengan kata-kata pembuka, Jen mengingat-ingat kembali laporannya hari ini. Tentang Violetta Adams. Gadis itu memang penuh sensasi. Jen ingat liputan pertama NYT soal kedatangan Violetta Adams ke Manhattan. Si Adams ini bahkan sudah melambaikan tangan sebelum pintu jet dibuka. Dia menyambar mikrofon-mikrofon dengan senang hati, memamerkan gigi-giginya ke kamera, dan mengedip-ngedip nakal ketika terkena blitz sampai Martina McJohnson si asisten pribadi Vincent Krust meneriakinya dan meminta seorang pengawal menyeretnya masuk.

Jen sebetulnya memilih untuk meliput Joe Hamilton. Lebih hemat energi. Setidaknya pemuda itu tidak mengunjungi butik Chanel tiap hari, atau pindah-pindah negara setiap dua puluh empat jam. Tapi Terry lah yang kebagian tugas meliput Joe Hamilton. Terry bersikukuh tidak mau tukaran dengan Jen.

"Bersiap semuanya!" teriak Hunter lagi. Padahal hanya ada dia dan Jen.

Suara Dave menggelegar di headset. "Bagaimana makan siangmu, Jen?"

"Lezat sekali, Dave!" dusta Jen. Makan siang apanya?

"Pemirsa, saya sudah terhubung dengan Jennifer Huxley yang akan melaporkan perkembangan terbaru dari Violetta Adams langsung dari Jenewa, Swiss!"

Hunter mengangkat jempol.

"Selamat sore, New York! Kita bertemu lagi di acara Gossip with Beth. Saya Jennifer Huxley!" Jen sedikit gelagapan ketika menyebut judul acara itu, tetapi masih mampu mempertahankan senyuman.

"Sayang sekali Beth pergi liburan sehingga tak bisa bersama kita ya, Jen?"

"Ya Dave, sayang sekali!" Tuhan, tolong segera sembuhkan Beth Hummingbird. "Kita semua berharap Beth bisa kembali secepatnya dari liburannya di Costa Rica. Kudengar pantai di sana indah-indah, Dave." Costa Rica apanya. Beth benci pantai karena sengatan mataharinya.

"Tentu Jen. Bagaimana Swiss?"

"Fantastis!" ucap Jen dengan gaya dilebih-lebihkan.

"Bagaimana kabar gadis satu milyar dolar kita?"

"Pastinya tak kalah fantastis. Setelah membeli kapal pesiar seharga seratus juta dolar kemarin dan mengunjungi spa emas dua puluh empat karat..." Mata Jen terasa seperti ditusuk paku ketika dia kembali menatap kamera. "Violetta Adams mengumumkan kalau dia telah meminta desainer mode Versace dan perusahaan perhiasan Tiffany untuk mendesain sebuah gaun malam bertabur tiga ratus butir berlian merah jambu senilai sepuluh juta dolar untuk dirinya."

"YA-TU-HAN!" seru Dave. "Sepuluh juta dolar? Itu pasti akan memecahkan rekor sebagai gaun termahal sedunia!"

"Violetta Adams akan memastikan begitu."

"Apa Miss Adams berencana memperlihatkan gaun itu kepada kita semua?"

"Aku pun berharap begitu, Dave! Miss Adams berencana kembali ke Amerika untuk mengajak Chris Evans kencan!"

"DIA MENGENCANI AKTOR HOLLYWOOD?" Headset Jen berdenging. Dia tak sanggup membayangkan ekspersi heboh Dave Galloway.

"Kau betul, Dave." Kasihan Chris Evans. "Violetta Adams sukses mengalahkan jutaan gadis lainnya dari seluruh dunia yang rela mati demi mengencani si pria seksi ini!"

"Jika perhitunganku benar," kata Dave lambat-lambat. "Violetta Adams telah berhasil menghabiskan empat ratus juta dolar dari total satu milyar dolar yang harus dihabiskannya. Dan sekarang sudah hari keempat. Apa kau punya ide apa lagi yang akan dibeli Violetta, Jen?"

Jen juga bingung. "Daftar kejutan masih panjang, Dave!"

"Sepertinya menghabiskan uang sebanyak itu dalam seminggu bukan pekerjaan yang mudah. Apa menurutmu dia membayar Chris Evans untuk makan malam dengannya atau pria seksi ini adalah salah satu fans Violetta Adams?"

Jen mual mendengar Dave menyebut Evans "pria seksi ini..."

Dave Galloway makin menjadi-jadi. "Yang kudengar Violetta Adams bersedia membayar dua ratus kali lipat dari total honor pembuatan seluruh film Avengers. Aku bertanya-tanya apakah si ganteng itu akan tetap main film seandainya Violetta Adams mengajaknya kencan lebih dulu. Dia akan dapat uang cukup banyak sehingga tak perlu lagi berakting seperti idiot di enam film beturut-turut..."

Kalimat terakhir itu betul-betul di luar dugaan. Jen mau tak mau salut atas prestasi Dave Galloway dalam bergosip yang berkembang pesat hanya dalam empat hari.

"Di mana kencan romantis ini akan dilaksanakan, Jen? Sepertinya kita harus menyelinap ke sana dan meliput momen membahagiakan itu diam-diam..."

"Sayang sekali kita belum tahu hal ini, Dave. Violetta Adams tidak mau buka mulut lebih jauh tentang hal itu. Dia hanya mengatakan tidak ingin menyesal karena tidak mengencani Chris Evans jika sang aktor sudah keriput."

"Semua orang pasti berpikir seperti itu! Siapa sih yang tak mau merasakan 'pukulan' sang kapten yang satu itu?" kata Dave centil.

"Bagaimana kalau kita lihat saja liputan saat Violetta Adams berbelanja di Jenewa dan menyapa pers?" usul Jen. Dia sudah muak meladeni Dave Galloway.

"Wow! Aku juga sudah tak sabar. Tapi tahan dulu! Liputannya akan tayang setelah jeda berikut ini!"

Hunter mengangkat telunjuknya dan berkata "Jeda!"

Jen buru-buru melompat ke belakang kamera. Dia ingin muntah.


... 



Sosok kurus mengenakan jaket hoodie yang berjalan terburu-buru dari palang tiket menarik perhatian Daniella Duran. Dia menjilat es krimnya yang hampir meleleh dan diam-diam mengamati pria itu. Dan suka mengamati orang-orang. Soal pria berjaket itu, sebetulnya Dan menganggap tidak ada yang spesial darinya. Gerak-geriknya lah yang membuat Dan tertarik. Pria itu terlihat panik sekali dan terburu-buru. Seolah dia sedang diikuti. Tangan kirinya menggenggam sebuah ponsel. Dan ingin tahu apa pria itu sedang dikuntit.

"Dan!" Tanya mengibaskan tangan di depan hidungnya. "Kau melamun?"

Dan menepis lengan Tanya dan menggeleng. "Tidak."

"Kau sedang memelototi apa, sih?"

"Bukan apa-apa. Lanjutkan ceritamu soal PR Aljabar tadi."

"AHA!" Tanya menuding sahabatnya itu. "Aku tahu dari tadi kau tidak mendengarkanku! Aku sedang membicarakan liburan Natal dan kau masih membicarakan Aljabar."

Pria mencurigakan itu sekarang sibuk melirik jam tangan berkali-kali sambil menengok ke belakang. Dan mengamati gaya pria itu persis seperti orang yang sedang terlambat janji. Perilaku seperti itu merupakan hal umum di stasiun kereta bawah tanah. Di sini semua orang terlihat seolah sedang terlambat, tapi Dan punya firasat tidak menyenangkan tentang sosok itu.

"Dan..." Tanya mulai cemberut. "Mungkin sebaiknya aku pergi saja!"

"Tanya, tunggu!" bisik Dan. "Kau lihat pria memakai hoodie itu?"

"Dia?" kata Tanya, mendadak kurang bergairah. "Apa yang menarik darinya?"

"Dia terburu-buru sekali."

"Ini Manhattan, darling. Semua orang terburu-buru."

"Kurasa dia sedang sakit," kata Dan. "Dari tadi dia sibuk sekali dan jalannya agak sempoyongan, memangnya kau tidak lihat?"

"Hmm, benar juga." Tanya maju beberapa senti ke depan. "Mungkin dia junkie—pemakai narkoba, kau tahu kan? Lihat saja, badannya ceking begitu."

"Bisa jadi. Tapi dia dari Columbia!" Dan menangkap gambar stiker dua ikat padi dari Universitas Columbia yang terpasang di lengan jaket pria itu.

Bunyi menderu serta sirene dari lorong gelap jalur kereta bawah tanah menandakan kereta sedang bergerak mendekati stasiun.

"Oke. Keretanya datang," kata Tanya.

Dan menjatuhkan sisa es krim itu ke dalam keranjang sampah. Kepala-kepala tertoleh ke sisi kiri terowongan yang gelap. Cahaya lampu kereta yang benderang muncul, menyeruak ke dalam peron. Orang-orang merapat ke tepian peron.

Dan masih mengamati si pria berjaket. Dia berjinjit untuk mengamati lebih jelas. Gerak-gerik pria itu makin mencurigakan. Dan teringat akan cerita-cerita soal orang gila yang membawa-bawa bom di tubuh mereka. 

Jangan-jangan pria berjaket itu salah satunya.

Sirene berbunyi lagi. Para penumpang yang sudah resah menunggu mulai bergerak merapat, saling dorong satu sama lain demi mendapat tempat yang tepat saat pintu kereta terbuka nanti. Suara deru mesin kereta mengeras. Dan menarik lengan Tanya, kedua gadis itu terdorong ke depan oleh desakan orang-orang di belakang mereka yang bertubuh lebih besar.

Seorang petugas berteriak, memperingati kerumunan yang gelisah itu untuk berhati-hati agar tidak tergelincir.

Mereka bergerak, hanyut oleh kekuatan dorongan dan desakan orang-orang sekeliling mereka yang berpacu dengan waktu. Tanya menarik tangan Dan. Perlahan tapi pasti, mereka merangsek maju ke tepi peron.

Genggaman tangan Dan dan Tanya terlepas. Seseorang menyikut punggung Dan hingga ia berbalik. Bunyi mesin kereta terdengar semakin keras. Pasti jaraknya sudah sangat dekat. Dan berkelit untuk menghindari siku orang di belakangnya ketika dia melihat sesuatu mendorong si pria berjaket hoodie. Pria itu terlontar maju ke depan, kini begitu dekat dengan tepian peron. Dan berteriak keras-keras untuk memperingatinya, tapi suaranya tertelan oleh raungan sirene kereta yang muncul dari dalam kegelapan.

Sosok asing itu melayang jatuh ke arah rel.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top