16. Akhir dari Ziegfield
Selesai sudah.
Lutut Joe gemetar. Tiupan angin dingin menggetarkan tulang-tulangnya. Seluruh sisa uangnya sudah habis terpakai membeli tiket nonton bersama Sophie (dua puluh dolar untuk satu tiket dewasa). Well, sebenarnya nggak habis-habis amat sih, kalau kartu satu milyar dolar miliknya masuk hitungan. Sayangnya Joe tak bisa memakai kartu itu.
Joe duduk di lantai dan bersandar di dinding mencoba mengingat-ingat apa yang terjadi kemarin. Peristiwa itu betul-betul di luar dugaannya, bikin dia tak bersemangat untuk kuliah hari ini.
Malam itu, saat berlari-lari menuju gedung bioskop bersama Sophie, hati Joe begitu berbunga-bunga. Dia percaya semuanya akan baik-baik saja.
Namun mimpi buruk datang lebih cepat dari yang diduganya.
Meski waktunya mepet, Joe dan Sophie bisa sampai di depan bioskop Ziegfeld tepat waktu. Penjaga pintu mengangkat topinya mempersilakan mereka masuk. Mereka menuju Studio Empat. Sophie menggenggam tangan Joe dan ikut berlari bersamanya. Masih ada waktu satu menit sebelum film itu dimulai.
Mereka tiba di depan pintu Studio Empat sambil terengah-engah. Seorang petugas pria dengan perut buncit dan tampang tidak ramah menunggu mereka di depan pintu.
Joe menyerahkan tiket-tiket itu tetapi si petugas bergeming.
"Tidak ada pertunjukan di Studio Empat hari ini!" kata petugas itu.
"Cukup bercandanya, kawan!" Joe tertawa. "Kami sudah terlambat."
Si petugas tidak tertawa. "Saya serius. Tidak ada pertunjukan di sini!"
"Apa maksud Anda?" tanya Sophie.
"Jelas, kan?" kata petugas itu masam. "Tidak ada film. Kalian bisa pulang!"
Joe langsung protes. "Saya baru membeli tiket dari petugas loket sepuluh menit yang lalu dan sekarang Anda mengatakan pada saya tidak ada film yang akan diputar?"
"Ya!" Petugas itu menatap Joe sesaat lalu melunak sedikit "Ah, Anda pasti mengalami kekeliruan mengecek jadwal film!" Dia meminta tiket-tiket Joe dan Sophie lalu berdecak. "Film ini akan diputar besok malam tepat pada jam segini!"
"Tidak," tukas Joe berang. "Saya tidak mungkin salah. Saya sudah mengecek jadwal itu berkali-kali. Lagipula petugas di loket mengingatkan saya untuk bergegas saat saya membeli tiket tadi, karena film ini akan dimulai sepuluh menit lagi!"
Genggaman Sophie mengencang di lengan Joe.
"Yah, kalau soal itu sih saya bisa paham," kata si petugas tenang. "Merry adalah petugas baru. Dia masih sering bingung dengan sistem penjadwalan otomatis dari komputer. Minggu lalu kami juga menjumpai penonton yang salah mendapatkan tiket. Saya sarankan Anda mengecek betul-betul jadwal pemutaran film dengan tanggal dan waktu yang tertera di tiket Anda sebelum datang ke sini!"
Dia mengembalikan tiket-tiket itu pada Joe.
"Saya tidak mungkin salah!" kata Joe ngotot. Dia mengecek tanggal yang tertera di tiketnya. "Tiket-tiket ini bertanda hari i—"
Tunggu dulu!
Joe mencelus. Itu tanggal untuk keesokan hari! Bagaimana bisa? Dia memang tidak mengecek tiketnya sejak menerimanya tadi karena yakin tak mungkin ada kesalahan seperti ini. Perutnya terasa melilit.
"Saya betul-betul minta maaf," kata si petugas.
"Kita akan tetap menonton!" Joe menarik Sophie kembali ke loket penjualan tiket, tetapi loket-loket itu kosong. Dia mengecek jam di ponselnya, sekarang sudah hampir pukul delapan. Bioskop ini akan tutup pukul sepuluh. Pertunjukan terakhir sedang ditayangkan.
Joe menggeram putus asa. Ini sungguh tak masuk akal.
Mereka keluar dari bioskop dengan lunglai. Joe merasa seperti pecundang. Dia tak mampu menatap Sophie.
"Jadi..." kata Sophie di depan gedung. "Kita nggak jadi nonton?"
"Aku tidak tahu kalau tiketnya salah tanggal," sahut Joe. "Aku memang tidak mengeceknya karena kupikir tidak mungkin ada yang salah." Dia menatap kedua tiket itu dengan nanar. Dasar bodoh! Ketika akhirnya dia berhasil mendapatkan kesempatan untuk berduaan saja dengan Sophie, kesempatan itu malah hilang begitu saja karena ketololan ini.
"Tidak apa-apa, Joe. Ini memang kekeliruan," kata Sophie baik hati. Dia menepuk-nepuk pundak Joe memberi semangat.
"Maaf, Soph. Bagaimana kalau kita jalan-jalan saja?"
"Boleh juga," kata Sophie sambil mengalungkan tangannya ke pundak Joe. "Bagaimana kalau Roma?"
"Roma?" Joe tercengang. "Maksudmu, tempat makan es krim itu?"
"Bukan," kata Sophie. Senyumnya melebar. "Maksudku Italia."
"Kau mau ke Italia sekarang?"
"Lihat Joe," Sophie menunjuk langit malam. "Malam ini indah sekali dan kita tidak jadi nonton. Kupikir akan romantis sekali kalau kita kencan di Roma."
"Seperti di film-film," kata Joe otomatis. Kok tiba-tiba Sophie berubah pikiran?
"Seperti di film-film," ulang Sophie setuju.
"Tapi bagaimana caranya, Soph?"
"Kudengar kau punya kartu ajaib..."
Joe tersentak. "Aku tidak bisa menggunakan kartu itu, Sophie."
Sophie terkikik kecil. Pipinya yang ramping merona. "Kau lucu sekali, Joe! Bukankah kau seharusnya menghabiskan uang di kartu itu?"
Pikiran Joe mendadak kalut. Apa yang sedang dipikirkan Sophie? Mengapa dia bertanya soal kartu itu? "Aku tak bisa menggunakannya untuk membeli barang dan jasa apa pun. Itu syaratnya. Vincent Krust sendiri yang berpesan begitu. Aku memang merahasiakannya dari orang-orang."
"Ah, pria tua yang licik!" kata Sophie sambil tersenyum. Dia menarik Joe ke ujung jalan dan mengusap-usap punggung tangannya. "Lawanmu si gadis Prancis itu sudah membeli macam-macam, lho. Apa kau tidak takut kalah?"
"Soph, aku—"
"Hanya semalam saja. Kita berdua." Sophie mendekatkan wajahnya. Napasnya yang hangat dan harum menghembusi Joe seperti semilir angin. Joe gemetaran. Mata hijau Sophie begitu indah sekaligus magis. Joe merasa seolah tenggelam dalam diri gadis itu. Dia tak bisa bernapas.
"Sophie..."
Tangan Sophie yang lembut mengelus tubuhnya perlahan. Dadanya yang kecil menempel di dada Joe.
Joe menggeliat. "Aku minta maaf. Aku tak bisa menggunakan kartu itu."
"Meski untukku?"
Joe ingin membiarkan dirinya hanyut dalam pelukan Sophie. Napas lembut Sophie mirip kabut yang menyergap pikirannya. Mengapa tidak? Dia punya satu milyar dolar dalam kartu itu. Mengapa dia tak boleh jalan-jalan ke Roma bersama Sophie Crustelle, gadis yang ditaksirnya sejak semester pertama?
Lalu akal sehatnya muncul kembali, mengambil alih. Merayap dengan susah payah di saraf-saraf Joe yang sudah lumpuh akibat sentuhan magis Sophie Crustelle. Dia menggeletar lalu mendorong gadis itu menjauh.
"Tidak, Soph. Aku minta maaf."
Sophie memekik dan mendorong mundur Joe hingga pemuda itu hampir jatuh. Gadis itu kelihatan murka.
"Kau mengejutkanku, Joe. Rupanya kau memang kikir." Sophie berbalik. "Aku harus pulang."
"Tunggu Sophie! Bagaimana kalau kita keliling kota saja?"
"Tinggalkan aku!" teriak Sophie keras-keras. "Kau cowok payah yang pelit!"
Joe kehilangan kata-kata. Dia mengejar Sophie, tak mau gadis itu salah menilainya. "Tidak. Begini Sophie... dengarkan aku dulu! Aku ingin membawamu ke Roma, tapi aku tak bisa menggunakan kartu itu!"
Sophie berhenti lalu memutar tubuhnya. Ekspresinya mengeras. "Kalau kartu itu tak bisa digunakan, bagaimana caramu menghabiskan satu milyar itu dalam seminggu?"
"Aku tidak tahu," jawab Joe jujur. "Vincent Krust berpesan begitu."
Sophie mencebik. "Kalau begitu pergi saja ke Roma sama Vincent Krust!"
"Tunggu, tunggu!" Joe menyambar lengan Sophie. Apa yang terjadi pada gadis itu? Sepuluh menit lalu dia masih baik-baik saja! "Sophie, aku serius. Kalau aku bisa menggunakan kartu itu, aku pasti akan mengajakmu ke Roma. Aku tak mengerti apa maksud Vincent Krust mengadakan kompetisi ini, tapi itu peraturan utamanya."
Sophie menyentakkan tangan Joe sampai terlepas. "Lalu bagaimana bisa gadis Prancis itu membeli kapal pesiar, mobil sport dan barang-barang mewah lainnya?"
"Aku tak tahu! Yang kudengar gadis itu memang kaya. Mungkin saja—"
"Dengar Joe!" Sophie mendekatkan wajahnya pada Joe tapi efek magis itu telah sirna, digantikan oleh amarah yang meluap-luap. "Aku bersedia datang ke sini karena kau mengajakku! Tapi ternyata kau membohongiku soal film itu!"
"Aku tidak berbohong! Sumpah, aku sudah mengecek jadwal!"
"Isi tiket itu tidak mungkin berubah secara ajaib Joe! Kau mempermainkanku! Kupikir kau berbeda dengan cowok-cowok lainnya. Kau punya satu milyar dolar tapi terlalu pelit untuk berbagi, bahkan untuk mengajakku kencan! Cowok-cowok lain rela mati demi berkencan denganku!"
Sophie menepi di trotoar. Dia melambaikan tangannya untuk menyetop taksi.
Joe panik. Baiklah kalau begitu. Mau bagaimana lagi...
"Oke, Sophie. Dengar. Aku... aku suka padamu!"
Sophie terhenti dalam gerakannya hendak menutup pintu taksi. Gadis itu mendongak menatap Joe, melompat keluar taksi, dan menghampirinya hingga ujung hidung mereka hampir bersentuhan. Joe hampir pingsan dengan kilau pupil berwarna hijau cemerlang itu. Sophie maju semakin dekat.
PLAAAAK!
Gerakan Sophie cepat sekali hingga hampir tak disadari. Rasanya ada setrika panas yang menyengat pipi Joe, kemudian didengarnya Sophie berteriak, "Kau menyedihkan!" lalu tahunya gadis itu sudah masuk ke dalam taksi dan melaju pergi, meninggalkan Joe yang membatu di pinggir trotoar tanpa bisa berkata atau berbuat apa-apa.
Selesai. Selamat tinggal.
Sepuluh jam kemudian, Joe masih tidak paham bagian apa yang salah dari gadis itu. Ketika amarahnya memuncak, Sophie kelihatan berbeda sekali. Joe malah sudah jujur mengatakan yang sebenarnya tapi gadis itu malah menamparnya.
Sebuah pikiran buruk sempat terlintas di benak Joe. Apa Sophie mendekatiku karena uang itu? Cepat-cepat ditepisnya gagasan itu. Dia tak sanggup membayangkan Sophie Crustelle, pujaan hatinya yang begitu suci, mendekatinya hanya karena menginginkan uangnya.
Hari ini Joe punya dua kelas bersama Sophie. Awalnya Joe mengira Sophie akan melupakan kejadian itu, tapi sikapnya betul-betul berubah total. Saat kelas Instalasi jam sepuluh tadi pagi, Joe sengaja duduk di sebelah Sophie. Mereka belum sempat mengobrol. Tiba-tiba Bob Huntington yang bertubuh jumbo muncul entah dari mana dan meminta bertukar tempat dengan Sophie. Herannya, gadis itu mengamini sambil tersenyum. Biasanya baris paling depan adalah posisi sakral bagi seorang Sophie Crustelle. Sejauh ini Joe tidak pernah melihat Sophie rela duduk di baris lain selain di baris depan, apalagi bertukar tempat dengan Bob Huntington yang hobinya menciptakan karikatur porno di buku catatan.
Sophie menggemparkan seisi kelas dengan pindah tiga baris dari depan tanpa mengatakan apa-apa pada siapa pun. Mata semua orang otomatis mendelik pada Joe, secara terang-terangan menuduhnya sebagai penyebab kepindahan terpaksa Sophie. Joe bisa merasakan kebencian teman-temannya padanya memuncak, seperti termometer yang direndam air panas. Mereka masih bisa memaklumi sikap "pelit"-nya, tapi jika dia berani macam-macam pada Sophie Crustelle si gadis paling dicintai di Columbia, Joe tahu dia bisa dirajam hidup-hidup di tengah kelas.
Joe sempat berpikir bahwa mungkin itu semua hanya dugaannya saja. Mungkin aku jadi paranoid. Tapi sikap menjauh Sophie tidak hanya terjadi sekali. Sophie juga minggat dari Joe di kelas Seni Elementer setelah makan siang.
Joe bangkit berdiri dan menyepak trotoar dengan kesal. Dia buru-buru berhenti itu ketika melihat sepatunya koyak semakin lebar.
Tiba-tiba ponselnya bergetar. Joe mengeceknya. Ada sebuah surel dari kampus, dikirim oleh Profesor Siobhan Murphy. Joe cepat-cepat membaca isinya.
Dear Mr. Hamilton,
Saya berharap untuk bertemu Anda sore ini di kantor saya. Ada hal penting yang ingin saya diskusikan terkait pendanaan Beasiswa Seni Columbia yang Anda terima.
Saya menunggu Anda pukul empat sore ini. Mohon jangan terlambat. Terima kasih.
Salam,
Profesor Siobhan Murphy, PhD. - Dekan Fakultas Seni
Sang dekan ingin bertemu denganku? Perasaan Joe mengatakan ini bukanlah sesuatu yang baik. Apa lagi sekarang? Sambil berdoa semoga ini bukan hal buruk lainnya, Joe membatalkan niatnya untuk pergi ke The Angelika dan memutar arah kembali ke gedung kampus.
...
Ruang kerja para dosen letaknya di lantai dasar, tapi Profesor Siobhan Murphy punya kantor yang luasnya hampir seperempat lantai di tingkat dua. Sambil menunggu Profesor Murphy selesai menerima tamu, Joe menunggu dengan was-was. Apa gerangan yang akan dibicarakan sang profesor?
Beberapa dosen berpapasan dengan Joe yang duduk di ruang tunggu. Mereka tidak tersenyum atau menyapanya seperti yang biasa mereka lakukan, tapi malah mengacuhkannya. Joe sudah mulai terbiasa dengan pengabaian terang-terangan tanpa alasan ini. Dia menguatkan diri dan memusatkan perhatian pada pintu kantor Profesor Murphy.
Setelah beberapa menit, pintu kantor Profesor Murphy terbuka dan wanita itu menyilakan Joe untuk masuk.
Profesor Siobhan Murphy adalah seorang wanita berusia akhir lima puluhan yang memiliki tampang bosan permanen di wajahnya, seakan tidak ada hal tersisa di dunia ini yang mampu membuatnya antusias. Joe baru bertemu Profesor Murphy dua kali, di awal pembukaan perkuliahan. Profesor Murphy adalah orang yang menyetujui pendanaan beasiswa yang Joe terima.
"Anda ingin bertemu saya, Profesor?"
Wanita itu menatap Joe lewat kacamata perseginya dan mengangguk sambil lalu. Dia menunjuk kursi di depan meja kerjanya lalu mengeluarkan beberapa dokumen dari laci.
"Saya ingin membicarakan soal Beasiswa Seni Columbia yang sudah Anda terima selama dua semester belakangan ini, Mr. Hamilton," kata Profesor Murphy. "Saya terpaksa memberitahu Anda bahwa pihak universitas memutuskan Anda tidak layak lagi menerima beasiswa ini untuk semester berikutnya."
Joe terhenyak. "Tapi kenapa, Profesor? Nilai-nilai saya tidak pernah di bawah B dan IPK terakhir saya dua semester berturut-turut selalu di atas tiga koma lima."
Profesor Murphy memutar bola matanya, seolah Joe kelewatan bodohnya sehingga tidak langsung paham. "Anda tentu tahu alasan utama kami memberikan beasiswa itu kepada Anda karena selain prestasi dan rekomendasi dari SMA, Anda juga menyatakan diri sebagai mahasiswa kurang mampu."
"Saya memang mahasiwa kurang mampu, Profesor."
Profesor Murphy mendengarkan sambil mengunyah-ngunyah, seakan mencoba mengenyahkan sesuatu yang tak enak dari mulutnya. Dia meneliti dokumen-dokumen itu lagi dan lurus-lurus menatap Joe, matanya separuh tertutup. "Sayangnya pihak universitas tidak berpendapat begitu. Kami harus memberikan beasiswa ini kepada mahasiswa lain yang lebih layak, Mr. Hamilton."
"Saya tidak mengerti. Orangtua saya hanya petani di Oklahoma dan—"
"Sekarang Anda seorang milyuner, Mr. Hamilton," kata Profesor Murphy dengan nada final. "Universitas Columbia pasti akan dihujat habis-habisan jika kami ketahuan memberikan beasiswa pada seseorang yang punya satu milyar dolar."
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top