15. Hari Keempat
Agatha Myveen menghabiskan tiga puluh menit pertama dari jam kerjanya pagi itu mendengarkan curhat colongan Henry Fulton, si porter.
"Kupikir dia bakal memberiku tip yang besar!" keluh Henry. Bulir-bulir keringat masih menganaksungai di wajahnya.
"Kita semua berharap begitu!" Agatha setuju. Meski tamu tak diwajibkan memberi tip, tapi itu sudah jadi peraturan tak tertulis di hotel mana pun di seluruh dunia. "Gadis itu punya satu milyar dolar tapi tak memberikan tip sepeser pun! Dia menggandeng empat tas Birkin di lengannya! Tamu macam apa itu?"
"Itu sih masih nggak seberapa. Kau harus lihat bagasinya."
"Yang kudengar dia bawa koper cukup banyak."
"Dia memindahkan seisi rumahnya kemari!" Henry memekik depresi. Sepertinya dia terlalu tersiksa untuk mempedulikan tamu-tamu yang berseliweran di lobi. "Enam belas koper! Enam belas! Dan semuanya tak boleh diseret! Yang menjijikkan, dia memperlakukan koper-kopernya seperti bayi. Ada satu koper berisi pakaian dalam yang bahkan tak boleh berguncang. Ratu Inggris pun tak pernah memberi instruksi aneh seperti itu! Dia pikir aku apa? Porter?"
"Eh, kau kan memang porter," koreksi Agatha baik hati.
Henry terdiam. Sepertinya keluhan tadi itu berasal dari alam bawah sadarnya. "Sori, maksudku, aku memang porter. Tapi kami menerima tip dengan sukarela. Masa sih si Violetta itu nggak tahu?"
"Kau sudah cerita soal ini ke Marthin?"
Henry mengangkat bahu dan mencebik. "Sepertinya manajer kita yang baik juga dipusingkan oleh tingkah Mademoiselle Adams ini. Terakhir kudengar gadis dungu itu ngotot minta konser The Beatles diadakan di ballroom. Katanya dia akan bayar berapa saja. Dia memang punya uang tapi aku tak yakin itu cukup untuk membangkitkan orang mati dari kubur!"
"Lho, Paul McCartney dan Ringo Star masih hidup kok."
"Iya, tapi tanpa yang lainnya mereka bukan The Beatles, kan?" kata Henry cemberut. "Syukurlah sekarang dia sudah pergi."
"Setelah dia sadar kalau ini bukan hotel termahal sedunia!" kata Agatha, kembali naik darah. "Memangnya dia pikir kita memasang papan iklan raksasa di atas atap kita yang bertuliskan: 'The Dorchester, Hotel Termahal Sedunia. Silakan mampir.' Yang benar saja!"
"Memangnya di mana hotel termahal sedunia?" tanya Henry.
"Mana kutahu! Lagipula siapa yang peduli?"balas Agatha pedas. "Kelakuannya yang menjijikkan pasti membuatnya di depak dari hotel termahal sedunia sekalipun dia memiliki uang. Aku yakin itu!"
Mereka kembali mendiskusikan perilaku tidak terpuji Violetta Adams sampai seorang tamu yang bosan membanting bel di depan Agatha, membuat petugas resepsionis itu terlonjak dan kembali fokus pada pekerjaannya.
...
Sementara Agatha Myveen dan Henry Fulton menghabiskan waktu kerja mereka dengan sibuk menyusun gelar tamu "ter-" untuk Violetta Adams (terbego, tercerewet, terpelit, dan diharapkan tercepat mati), pagi itu si tamu "ter-" menggeliat bangun di Royal Penthouse Suite, Hotel President Wilson di Jenewa, Swiss.
Sepertinya tuduhan Agatha Myveen kali ini meleset. Violetta Adams diterima di salah satu hotel termahal sedunia itu tanpa sedetik pun mengalami pelecehan terang-terangan (banyak pelecehan tidak terang-terangan yang terjadi di belakang punggungnya). Violetta menyewa salah satu suite termahal sedunia seharga lima puluh lima ribu dolar semalam. Dengan tambahan fasilitas berupa kebersihan ekstra, spa dalam kamar, peracik teh pribadi, serta landasan helikopter, Violetta membayar tujuh puluh ribu dolar untuk tidur semalam di hotel itu.
Keberhasilan Violetta untuk menginap di sana membuatnya merasa seolah semesta mendukungnya untuk memenangi perlombaan itu. Violetta bisa mendengar burung-burung yang hinggap di balkon kamarnya seakan berkicau padanya: "Ayo habiskan uang itu!" Rasa optimis yang kuat mengaliri tubuh sang gadis satu milyar dolar itu dengan energi baru, membuatnya semakin bergairah.
Pagi di hari keempat ini sepertinya lebih cerah dari hari-hari sebelumnya. Wewangian lembut dari kamar hotel menyerbu rongga hidung Violetta ketika dia bangun. Violetta mulai menggeneralisasi bahwa kamar-kamar hotel dengan biaya sewa lima digit biasanya beraroma seperti ini.
Sylvie masuk ke kamar dan menyapanya. "Bonjour, Nona Adams."
"Bonjour, Sylvie. Tolong telepon pabrik Cubic!"
"Saya sudah menelepon tapi tak ada yang menjawab."
"Kau sudah bilang kau ini pelayan Violetta Adams?"
Sylvie memainkan renda di roknya. "Umm, tak ada yang menjawab telepon itu."
Violetta mendelik. "Purquoi? (Kenapa?)"
Sylvie mengangkat bahu. "Saya tidak tahu alasannya. Mungkin terlalu pagi."
"Memangnya kau menelepon jam berapa?"
"Pukul tiga subuh, sesuai permintaan Anda."
Dahi Violetta berkerut. "Memangnya kantor biasanya buka pukul berapa?"
"Pukul sembilan," jawab Sylvie.
Dahi Violetta semakin berkerut. Dia memang sengaja meminta Sylvie menelepon pagi-pagi. Dia khawatir Cubic sedang sibuk sehingga tak bisa menyelesaikan pesanannya tepat waktu. Karena Violetta tidak pernah bekerja seumur hidupnya, dia sama sekali tidak tahu kapan biasanya kantor-kantor itu buka. Apalagi Violetta tak pernah mengalami kendala dengan jam operasional toko saat sedang berbelanja. Dia punya trik khusus supaya toko mana pun buka kapan saja sesukanya: Violetta akan menggedor-gedor pintu toko yang sudah tutup selama satu jam sambil menyuruh Sylvie dan enam pelayannya ikut berteriak-teriak seperti sedang berdemo. Kalau masih belum dibukakan, Violetta akan menurunkan senjata pamungkasnya: dia akan mengancam untuk melaporkan pemilik toko ke Dinas Perpajakan untuk penggelapan pajak fiktif yang tentu saja dikarangnya.
Tapi Violetta tak bisa memakai trik itu pada Cubic karena dia tidak tahu di mana letak kantor perusahaan sialan itu.
Violetta meminta Sylvie untuk mengambilkan telepon dan mulai mencari-cari nomor kantor Cubic di antara nomor-nomor perusahaan produsen pesawat yang sudah dengan susah payah dibuat daftarnya oleh manajer hotel ini tadi malam saat dia baru mendarat. Cubic adalah produsen pesawat terbang yang mengkhususkan diri dalam pembuatan pesawat-pesawat komersial super mewah serta jet-jet pribadi pesanan kaum jetset. Selama dua puluh tahun, kualitas Cubic telah melambungkan nama perusahaan mereka.
Panggilan itu diangkat oleh seorang pria bersuara serak. "Selamat pagi..."
"Bonjour. Je suis Violetta Adams."
"Bonjour. Saya Russel Torch, manajer pemasaran—"
"Parlez-vous francais?"
"Uh, sedikit," jawab Torch. "Tapi saya bisa bahasa Inggris."
Diam sejenak. Lalu... "Ini kantor Cubic?"
"Betul."
"Kalian membuat pesawat terbang?"
"Ya." Selama sepuluh tahun menjabat sebagai manajer pemasaran Cubic, ini adalah telepon teraneh yang pernah diterima Russel Torch. Harap dicatat, Cubic tak pernah menerima telepon nyasar. Hanya segelintir orang dari kalangan ekonomi tertentu yang tahu dan secara tidak resmi diperbolehkan menelepon Cubic.
Pasti salah satu dari orang-orang gila yang berharap bisa membeli pesawat pribadi itu, pikir Torch. Dia menunggu telepon itu putus sendiri.
"Halo?" Violetta berbicara lagi, kali ini sambil berteriak sedikit. "Anda masih di sana?"
Torch mendesah. Sayang sekali. "Ya. Anda masih tersambung. Ada yang bisa saya bantu?"
"Anda kenal saya?"
"Tidak terlalu," jawab Torch jujur. "Saya tahu nama Anda: Violetta Adams."
Ini bakalan sulit, pikir Violetta. Akan lebih mudah baginya jika orang-orang ini tahu siapa dia. Seharusnya aku menelepon Gulfstream. Mereka pasti tahu siapa aku! Violetta kasihan pada Russel Torch karena tidak mengenal orang setenar dirinya.
"Bisa saya pesan pesawat?"
"Tentu saja bisa, Nona Adams."
"Non! Madamoiselle."
"Maaf. Maksud saya Madamioiselle Adams." Torch menunggu dengan bimbang. Apa orang ini serius? "Anda menelepon kantor Cubic. Anda perwakilan dari maskapai mana?"
"Non, non! Saya ingin pesan jet pribadi."
Russel Torch langsung mengerti. Seharusnya sudah bisa kutebak. "Tentu bisa, Madamoiselle Adams. Anda sudah punya rencana akan memilih tipe yang mana atau perlu kami kirimkan katalog ke alamat Anda?"
"Tidak perlu. Saya ingin pesan yang paling mahal!"
"Yang paling mahal adalah tipe AX-2000, kapasitas dua puluh penumpang. Ini adalah model terbaru sekaligus termutakhir kami. Interior klasik dengan sistem navigasi tercanggih. Dilengkapi teknologi siluman terbaru yang membuat pesawat ini dapat tak terdeteksi. Kabinnya sangat luas. Pemesan pertama kami adalah Sultan Mahmed dari Brunei. Anda akan jadi pemesan yang kedua. Super-lux. Kami menyediakan servis purnajual gratis untuk jangka waktu tak terbatas atas produk ini dan seorang pilot bebas kontrak selama setahun."
Terdengar bunyi berdengung.
"Apakah jet ini akan membuat saya berbeda?"
"Tentu saja. Itu adalah jet termahal di dunia saat ini. Fasilitasnya hampir menyamai Air Force One!"
"Saya pesan dua."
Tanpa menanyakan harga? "Harga per unitnya tujuh puluh juta dolar, Ma'am."
"Kalau begitu lima."
Torch terbelalak. Siapa wanita ini? "Anda ingin pesan lima unit..." Lidahnya selip. Dia hampir menggunakan istilah 'Yang Mulia'. "Madamoiselle Adams?"
"Ya. Bisa, kan?"
Sultan Mahmed tak akan senang. "Baiklah. Anda memesan jet Cubic tipe AX-2000 seharga tujuh puluh juta dolar per unit. Saya menyarankan Anda berkunjung kemari untuk menentukan spesifikasi tertentu yang Anda inginkan pada jet Anda nantinya dan mengurus registrasi serta surat-surat."
Violetta mengeluh diam-diam. Orang-orang tolol semacam Torch ini bikin kesabarannya habis. "Apa pesawat ini punya kamar mandi?"
"Tentu saja akan ada kamar mandi," jawab Torch sabar. Jet itu harganya tujuh puluh juta dolar! "Kami juga menyediakan bar, satu set perlengkapan Home Theatre, meja bilyar, ruang baca, dan lapangan golf mini. Ada permintaan khusus?"
Violetta berpikir sebentar. Dia merasa ada yang kurang pas. "Saya ingin ada jacuzzi. Bak mandi air panas. Bepergian seringkali membuat saya lelah."
"Jacuzzi?" Torch tahu apa artinya jacuzzi. "Err, memuat bak mandi di dalam pesawat terbang bukanlah ide yang bagus, Madamoiselle. Jika terjadi turbulensi..."
Violetta jadi benci pada Torch karena menggunakan istilah-istilah sok canggih macam "turbulensi." Tapi Violetta tidak akan bertanya pada Torch apa arti kata itu. "Memangnya kenapa tidak bisa? Saya bersedia membayar lebih."
"Kami... bisa mengatur soal itu." Torch semakin ragu. Tapi kalau Violetta Adams ini benar-benar serius, Torch bisa mencetak rekor angka penjualan terbesar dalam karirnya. Lima pesawat sekaligus! "Anda ingin semua pesawat pesanan Anda dipasangkan jacuzzi?"
"Ya. Kelima-limanya."
Torch menelan ludah. "Baiklah. Akan kami usahakan."
"Tres bien! (Bagus!) Pelayan saya akan mampir siang nanti untuk mengurus pembayarannya. Oh, satu permintaan lagi Mr. Torch. Saya ingin semua jet itu bewarna pink."
Russel Torch terbelalak. "Pink?"
"Ya. Pink. Rose." Pria ini harus memeriksa telinganya, pikir Violetta. "Selain itu saya juga ingin agar jet itu bebas kuman!"
"Jet itu akan Anda terima dalam kondisi bersih, Ma'am. Sistem pembersihan kami menggunakan sinar ultraviolet."
"Jika saya menemukan satu kuman pun dalam jet itu, Mr. Torch." Violetta benci pada pria yang suka mengumbar janji sembarangan. "Saya minta ganti rugi penuh."
Diam lagi. Torch melonggarkan kerah kemejanya, mendadak merasa gerah. "Tentu, Nona Adams."
"Berapa lama jet-jet ini akan selesai?"
"Empat bulan, Ma'am!"
"Selesaikan dalam tiga hari!"
Torch terbahak. "Tidak mungkin. Kami perlu melakukan uji kesiapan mesin dan mengurus perizinan ter—"
Sambungan itu terputus.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top