14. Kegilaan


"Cepat! Cepat!"

Situasi sangat kacau. Semua orang bergegas ke sana-kemari sambil berteriak satu sama lain. 

Meski garis polisi sudah dipasang, kerumunan di sekitar tempat itu tidak terurai, malah bertambah padat. Ambulans dan mobil-mobil pemadam kebakaran hilir mudik, membuat jalan kecil itu semakin sempit.

Detektif Toby Freeman dan Detektif Bob Macquire dari kepolisian New York sedang meneliti laporan di tangan mereka dengan seksama. Seorang petugas polisi dan kapten pasukan pemadam kebakaran berlari-lari menghampiri mereka.

"Bagaimana?" tanya Freeman pada kedua orang itu. Dia menyeka wajahnya yang berkeringat.

"Kami sudah berhasil membawa keluar seratus empat puluh orang. Hampir seluruhnya sudah dibawa ke rumah sakit. Tidak ada korban jiwa," jawab si petugas.

"Kami masih mencari korban lainnya," timpal si kapten pemadam kebakaran.

"Apa maksudmu 'masih mencari korban lainnya?'" tanya Freeman ngeri.

"Menurut informasi dari manajer bioskop, hari ini telah terjual seratus lima puluh tiket. Ditambah pegawai bioskop yang berjumlah dua puluh orang, maka—"

"Maksudmu masih ada tiga puluh orang lagi di dalam sana?"

Freeman berlari ke arah gedung bioskop. Betul-betul gila. Pemadam kebakaran dan polisi itu menyusul buru-buru di belakangnya. Kabut putih masih melayang keluar dari lantai paling atas.

Macquire bergegas ke perbatasan garis polisi. Salah satu tangannya menekan masker ke wajah sementara tangannya yang lain membuat isyarat instruksi. "DAERAH INI HARUS DISTERILISASI SEKARANG JUGA!"

Seorang pria botak berkacamata yang memakai sweter kotak-kotak, nyerobot maju. Dia pemilik toko barang antik di depan Ziegfield dan tidak begitu senang banyak orang berkerumun di depan etalasenya tanpa membeli. "Sebenarnya apa yang terjadi di sini, detektif?"

"Ada kebocoran klorofluorokarbon dalam konsentrasi tinggi di sistem pendingin sentral bioskop ini," jawab Macquire. "Gas itu beracun dan mematikan. Kalian tidak bisa berada di sini!"

Si pria botak segera kabur dengan histeris.

"Apa Anda punya dugaan siapa yang melakukan perbuatan ini, detektif?" Salah seorang pria berwajah rupawan mengacungkan mikrofon ke arah Macquire. Name-tag yang terjuntai di lehernya bertuliskan Terence Adler. New York Today. Wartawan.

Entah mengapa Detektif Macquire merasa mengenali wartawan yang satu itu. Wajahnya cukup familier. Dalam sekejap, selusin kamera-kamera dari stasiun televisi lain juga ikut terarah padanya. Ada logo NBC, ABC dan CBS di situ.

Detektif Macquire mengumpat keras-keras dalam hati. Hal terakhir yang ingin ditemuinya dalam kariernya yaitu pers di tempat kejadian perkara. Polisi bilang 'luka tergores,' pers akan menulisnya sebagai 'pendarahan'. Polisi bilang 'terbentur,' pers akan menulis 'geger otak'. Polisi bilang 'kebakaran', pers akan menulis 'teror bom'.

"Sejujurnya kami masih belum tahu," kata Macquire gugup. "Dari dampak yang ditimbulkan, peristiwa ini cukup mengejutkan. Kami masih menyelidiki."

"Apa ada korban jiwa?"

Macquire berusaha mengelak tetapi entah sengaja atau tidak, Adler malah mendesaknya ke tengah kerumunan kamera.

"Kami masih menunggu hingga evakuasi tuntas."

Sementara Macquire berkutat dengan pers, Freeman melompat di antara selang-selang pemadam kebakaran dan menghambur ke arah pintu depan gedung bioskop yang tertutup kabut putih pekat. Klorofluorokarbon! Sepanjang enam belas tahun bekerja di kepolisian New York, Freeman sudah melihat begitu banyak hal mengerikan. Tapi yang satu ini lain. Dia tak pernah menyangka bakal ada maniak yang melepaskan gas beracun di dalam sebuah gedung bioskop di Manhattan. Apa alasan si pelaku menghabisi orang-orang malang yang gemar nonton film?

Pukul enam sore tadi, kantor mereka kebanjiran panggilan dari para penonton yang panik memencet sembilan satu satu lewat ponsel. Mereka sedang menikmati film dan mendadak seluruh ruangan terasa pengap dan panas. Lalu beberapa orang mulai kesulitan bernapas. Selanjutnya, setengah isi bioskop jatuh pingsan dengan mulut terbuka dan mata mendelik. Yang masih punya sedikit kekuatan menelepon bantuan.

Betul-betul mengerikan. Gas itu mematikan!

Studio-studio hampir berubah menjadi kuburan massal seandainya polisi terlambat datang. Saat ini dinas intelejen sedang memeriksa data para penonton bioskop untuk menelusuri riwayat kriminal mereka. Freeman butuh motif. Para saksi masih dimintai keterangan. Banyak dari mereka yang masih kesulitan bernapas. Kalau FBI sampai ikut campur, kasus ini pasti akan ramai dibicarakan.

Tapi semua itu masih spekulasi. Ratusan tindak kriminal seperti pencurian, penjambretan bahkan pembunuhan terjadi di New York setiap hari. Namun serangan teror lain lagi.

Seorang petugas pemadam kebakaran menerobos pintu depan sambil terbatuk-batuk. Di bahunya terkulai lemas seorang wanita dalam seragam petugas loket. Wajah wanita itu pucat pasi dan rambutnya awut-awutan. Dia berayun lemah ketika dibopong ke tempat tidur ambulans. 

"Semuanya sudah dievakuasi, detektif!" Seorang petugas menghampiri Freeman sambil membawa-bawa daftar kusut di tangannya. "Tujuh belas penonton membatalkan tiket mereka hari ini. Kami sudah mengevakuasi seratus lima puluh tiga orang!"

Freeman merebut daftar itu dengan tidak sabar. Kariernya dalam bahaya jika masih ada orang yang terperangkap di dalam. Dia meneliti daftar itu dan denah setiap studio. Semua kursi sudah diberi tanda, semua ruangan tampaknya sudah dikosongkan.

Tiba-tiba seseorang menggenggam lengan Freeman. 

Sang detektif melompat kaget. Itu adalah si wanita petugas loket yang tadi paling akhir dievakuasi. Wanita itu menatap Freeman dan memanggilnya lemah. Freeman mendekatinya. Para jurumedis berusaha menangkupkan masker oksigen ke wanita itu dan menyuntikkan sesuatu ke nadinya.

"Dua lagi," bisik wanita itu pelan. Matanya hampir tertutup. "Joe Hamilton..."

Freeman menunduk ke arah wanita itu, berusaha menangkap seluruh kata-katanya."Apa?"

"Joe Hamilton," ulang wanita itu. Napasnya pendek-pendek. "Dia datang paling terakhir bersama seorang teman. Aku tidak menandai kursinya. Studio empat."

Freeman geger. Dia mencengkeram wanita itu. "Apa maksudmu?" 

Wanita itu tidak menjawab, dia sudah tak sadarkan diri. 

Freeman meremas daftar itu. "JOE HAMILTON!" teriaknya parau. "Apa ada yang melihatnya?"

Para polisi dan pemadam kebakaran saling pandang kebingungan. Para jurumedis yang masih sibuk menolong korban-korban lain terhenti sejenak dari kegiatan mereka.

Seorang petugas bertanya, "Apa maksud Anda, detektif?"

Keringat dingin membanjir di tengkuk Detektif Freeman. "Si pemuda satu milyar dolar itu! Apa dia sudah berhasil dibawa keluar?"

Ekspresi horor merembes di wajah semua orang.

"Nama itu tidak ada di daftar detektif," jawab seorang pemadam.

"Tidak! Ada yang salah! Dia masih ada di dalam!"

Mereka semua saling pandang ketakutan. Macquire secepat kilat menghampiri rekannya. "Semuanya sudah dievakuasi, Toby."

"Ada kekeliruan, Bob. Lima belas penonton membatalkan tiket, bukan tujuh belas. Masih ada dua orang lagi di studio empat. Si petugas loket tidak memeriksa tiket mereka karena mereka paling terakhir masuk. Dia mengenali Joe Hamilton sebagai salah satu penonton itu!"

"Joe Hamilton..." Macquire ragu-ragu.

"Salah satu pemenang undian satu milyar dolar Vincent Krust!" Freeman mengingatkan dengan tak sabar. Dia beralih pada si kapten pemadam kebakaran yang masih kebingungan. "Di mana studio empat?"

Si kapten menunjuk sebuah ruangan di pojokan lantai paling atas gedung. Satu-satunya jendela kecil di sisi ruangan itu sudah ditutupi kerak putih keperakan seperti salju. "Itu ruangan yang menjadi sumber kebocoran. Kami sudah menyisir tempat itu dua kali dan mengevakuasi semua yang ada di dalam."

Macquire menggigiti kukunya dengan panik. "Satu jam telah berlalu sejak ruangan itu dievakuasi. Jika informasi itu betul..."

"PERIKSA LAGI SEKARANG!"

Semua petugas menerima instruksi itu dan menerjang masuk ke dalam lautan asap dengan masker oksigen. Macquire dan Freeman juga turun tangan. Dengan pers dari seluruh Amerika sedang meliput di depan hidungnya, Freeman tak ingin tajuk utama tayangan berita besok berbunyi: Joseph Hamilton tewas di Ziegfield. Kepolisian New York terlambat bergerak.

"Telurusi lagi setiap kamar kecil dan ruang proyektor!" Freeman berteriak. "Cek kembali bagian belakang panggung! Geledah setiap pintu keluar dan koridor masuk! Cepat!"

Tangga-tangga dijulurkan ke atas. Seorang petugas yang berdiri di ujung tangga memegangi sebuah palu, bersiap menghancurkan kaca jendela kecil itu.

Waktu mereka tidak banyak.

Atau mungkin sudah terlambat sama sekali.


...


Sore itu Berlin sedang ramai. Jalan-jalan utama kota dipadati dengan peserta Parade Kebudayaan yang mengenakan berbagai macam kostum dengan warna-warna meriah. Para penonton berbaris rapi di pinggiran jalan untuk menyaksikan acara itu. Sederetan penari yang mengenakan pakaian ala gipsi baru saja melintas sambil membawakan tarian mereka yang unik.

Seorang pria yang memakai jaket kulit kusam dan sweter berleher tinggi di pinggir jalan. Sekilas dia tampak sedang menonton parade. Tapi bukan, dia sedang mengamati

Beberapa penonton menyadari kejanggalan gerak-gerik pria itu tetapi mereka mengacuhkan.

Pria itu menerima instruksi untuk melakukan sesuatu hari ini. Sesuatu yang penting.

Tidak boleh meleset.

Pria itu menyelinap ke bagian belakang penonton ketika bunyi genderang yang ditabuh bergaung, disusul pancaran kilau keemasan sisik-sisik hewan tiruan naga yang diangkat tinggi-tinggi dan diputar-putar. Sejumlah penari pria memutar-mutar tongkat yang menyangga boneka itu membuat si naga seolah hidup, meliuk-liuk di udara. Empat orang pria lain bertubuh kekar memanggul genderang besar di perut mereka. Tangan mereka yang memegang penabuh memukul alat itu dengan berirama, menghasilkan bunyi berdentam yang mirip panggilan perang.

Ini memang perang.

Pria berjaket kulit itu sudah pernah mengalami berbagai peperangan. Yang satu ini bukanlah pengecualian.

Tiba-tiba terdengar seruan keras memprotes dari kerumunan penonton. Pria itu menyeruak maju untuk melihat. Itulah tandanya, dan jika dia sudah menerima tanda itu, artinya dia harus bergerak cepat.

Sebuah limusin berwarna pink bergerak lambat di antara barisan pemain barongsai yang sedang mengikuti parade. Mobil sepanjang sembilan setengah meter itu dikawal empat buah mobil polisi, masing-masing dua di depan dan di bagian belakang.

"HUUUUU! HUUUUUUUUU!"

Penonton berteriak geram. Kehadiran mobil itu di tengah jalannya parade tidak disambut semeriah parade itu sendiri. Beberapa penonton melemparkan botol minuman ke arah limusin itu. Seorang pria kulit hitam berseru keras, "Singkirkan pantat pink itu dari jalanan!"

Tak peduli seberapa keras para penonton memprotes si limusin dan rombongannya, iring-iringan itu tidak berpindah jalur. Mereka tetap mengekor di belakang peserta parade, bergerak lambat sambil terus menerima hujan caci maki dari penonton yang mengamuk.

Si pria berjaket kulit menarik napas. Kalau sudah begini, mau apa lagi.

Meski situasinya sudah berubah jadi tak terkendali, rencananya tidak memiliki cacat sedikitpun. Dia tidak mungkin gagal.

Teriakan-teriakan penonton semakin menggelegar ketika salah satu mobil polisi yang mengawal si limusin pink menabrak seorang pemain barongsai.

"PERGI DARI SINI! "

"ENYAHLAH, PENGACAU!"

"MINGGAT DARI JALANAN!"

Pria itu tertegun. Kecelakaan itu tidak termasuk rencana. Dia menarik keluar benda yang disembunyikannya di dalam kantong kertas yang diapit jaket kulitnya. Dia harus segera menuntaskan ini.

Sebentar lagi. 

Limusin pink itu kini melintas tepat di depannya. Jendela penumpangnya hanya berjarak lima meter di depan. Mobil itu bergerak semakin lambat karena rombongan penari barongsai berhenti sejenak untuk mengurus rekannya yang tertabrak. Perhatian semua orang sedang terpusat pada penari malang itu. Para polisi yang seharusnya mengkawal limusin itu menghampiri si penari dan mencoba menghentikan parade. 

Penonton tidak terima. Keadaan mulai ricuh.

Sempurna.

Tidak ada yang menjaga limusin itu.

Pria itu tersenyum. Siluet obyeknya tampak sangat jelas dari sini. Dia mulai membidik. Senjatanya sudah dipasangi peredam dan dapat berkamuflase sehingga tak akan ada yang tahu.

Violetta Adams.

Kaca limusin bagian belakang terbuka sedikit. Sejumput rambut pirang Violetta Adams terlihat di kursi bagian belakang.

Pria berjaket kulit itu tersenyum. Dia mengangkat pistolnya dan menarik pelatuknya.

Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top