13. Hari Ketiga
Saat berumur tiga tahun, Violetta Adams sudah paham arti kata 'sibuk'. Waktu itu 'sibuk' artinya Mama dan Papa harus pergi meninggalkan rumah untuk berbisnis ke suatu tempat. Seiring berjalannya waktu, definisinya terhadap kata 'sibuk' meluas. 'Sibuk' kini bukan hanya mengindikasikan ketiadaan orangtua di rumah, tapi juga menghabiskan beberapa ribu euro untuk Barbie dan Teddy Bear raksasa.
Sewaktu kuliah, teman-teman Violetta memberi definisi baru untuk kata 'sibuk'. Waktu itu artinya bergumul dengan macam-macam tugas dan esai hingga harus bergadang di perpustakaan kampus. Namun Violetta tidak berniat menambahkan pengertian sibuk macam itu ke dalam kamusnya. Dia tidak sibuk selama kuliah, mungkin karena dia cerdas. Sangat cerdas malahan.
Dari total delapan semester yang harus dilaluinya, Violetta hanya menempuh setengahnya. Di akhir semester empat, dia menemukan seseorang yang bersedia mengerjakan seluruh tugas kuliah Violetta dengan imbalan beberapa ribu Euro. Itu hanya urusan sepele bagi Violetta, jadi dia senang-senang saja menggelontorkan uang asal bisa selesai kuliah. Lagipula, Violetta sudah paham bahwa universitas bukanlah tempat yang cocok untuknya.
Sejak kecil Violetta sudah berhasrat mendirikan museum mode untuk dua ribu koleksi pakaian, sepatu dan tas tangan miliknya. Angka itu bertambah secara fantastis tiap minggunya dan kini meroket gila-gilaan setelah Violetta Adams memiliki satu milyar dolar dari Vincent Krust. Kebutuhan untuk mendirikan museum mode Violetta Adams semakin menggebu-gebu dan mendesak.
Belakangan ini, Violetta sangat sibuk belanja demi menghabiskan satu milyar dolar miliknya. Dia jadi agak stres, padahal Violetta benci stres. Stres membuatnya tambah stres dan itu mempengaruhi penampilannya. Violetta benci terlihat jelek. Dunia membenci orang-orang jelek. Dan Violetta tidak tahan memikirkan ada yang membenci dirinya. Makanya dia butuh sekali liburan untuk menenangkan diri.
Rupanya London bukanlah destinasi liburan yang sesuai bagi Violetta. Sejujurnya, dia tidak senang bermalam di hotel itu. Menurutnya para porter di hotelnya di The Dorchester lemah sekali. Mereka langsung berkeringat ketika menggotong koper-koper Violetta dan ngos-ngosan begitu tiba di kamarnya. Violetta tidak suka itu. Keringat berarti kuman. Padahal dia sudah mewanti-wanti dia tak mau ada seekor kuman keparatpun dalam kamarnya.
Selain itu, Inggris juga rupanya terlalu mirip Prancis. Violetta sendiri benci mengakui bahwa kedua negara itu memiliki banyak kesamaan, mulai dari kebiasaan minum teh hingga kebanggaan akan dialek khas.
Aku butuh tempat yang romantis. Yang ada matahari terbenamnya...
Otak cerdas Violetta segera menjawab. Pantai!
Sempurna!
Tapi tunggu. Pantai yang mana?
Telepon berdering di kejauhan, menghancurkan bayangan pasir putih dan matahari terbenam yang menawan di benak Violetta hingga menjadi butiran debu.
"SYLVIE!"
Kriiing! Kriiing! Kriiing!
Violetta menyambar iPad-nya untuk mengecek Vogue edisi terbaru. Tampaknya urusan pantai harus ditunda untuk sementara. Violetta mulai mencari warna kuteks yang sedang tren. Warna kuteksnya sudah ketinggalan dua jam, dan ini berarti kiamat.
Kriing! Kriiing! Kriiing!
"SYLVIE, ANGKAT TELEPONNYA!"
Kriing! Kriiing! Kriiing!
Kuteks lenyap dari benak Violetta, digantikan telepon.
Sambil menggerutu, dia melompat dari kasur bulu angsanya dan berjalan berjingkat-jingkat ke meja telepon. Sejak peristiwa pengangkutan koper-koper itu, Violetta meragukan semua hal tentang Dorchester, termasuk kehigienisannya. Dia harus ekstra hati-hati. Bisa-bisa dia terjangkit Corona jika terlalu lama di sini.
Telepon antik bergagang emas itulah yang berbunyi. Violetta menunggu Sylvie muncul. Dia tidak sudi mengotori tangannya dengan kuman dari gagang telepon.
Lima detik berlalu.
Kriiing! Kriiing! Kriiing!
"SYLVIE! TELEPON!"
Violetta menunggu. Sylvie tak juga muncul.
Lain kali aku harus membatasi waktunya ke kamar mandi. Violetta mengambil sebuah tisu dan menjatuhkannya di atas gagang telepon. Dia berhati-hati sekali supaya kulitnya tidak menyentuh area lain yang tidak dialasi tisu.
"'Alo?"
"Bonjour, Mademoiselle Adams. Maaf menganggu Anda," kata sebuah suara. "Ada telepon untuk Anda."
Merdé! "Aku tak ingin menerima telepon dari pers manapun."
"Yang ini bukan pers, Miss—"
"Mademoiselle! Lalu apa? Kelompok Pecinta Kucing?"
"Bukan—"
"Kurator Madame Tussaud?"
"Tidak—"
"Palang Merah Internasional?"
"Mademoiselle—"
"Siapa?" Violetta benci orang yang bertele-tele. "Aku sangat sibuk!"
"V-Versace..." Petugas itu tergagap, suaranya menciut jadi kecil sekali. Violetta terpaksa harus menekan gagang telepon lebih dekat. "Versace menelepon Anda!"
"Versace siapa?"
"V-Versace..." Si petugas terbata-bata. "Versace yang itu. Yang desainer."
"Oh, segera sambungkan!"
Terdengar bunyi bip sesaat lalu suara seseorang. "Violetta Adams?"
"Kebahagiaan meluap-luap dari lubuk hati saya yang paling dalam karena Anda menelepon balik saya yang hina nan dina ini, Madame Versace!" Pelupuk mata Violetta mendadak panas karena air mata. Rasanya seperti menerima telepon dari surga. "Saya sungguh tidak mengira diri saya ini pantas—"
"Sebaiknya kita bicarakan ini secara pribadi," potong Versace.
"Bién sûr! (Tentu saja!) Saya akan menelepon ponsel Anda."
"Tidak. Berikan saya nomor ponsel Anda!"
Mana mungkin aku menolak? "Pas probléme (bukan masalah)."
Violetta membisikkan nomor ponselnya kepada Versace. Sesudah ini, Violetta akan langsung memberitahu pers. Kolaborasi paling apik abad ini, Violetta Adams dan Versace. Ini akan jadi masterpiece! Dunia akan takjub menyaksikan kejeniusan otaknya. Museum Louvre pasti akan mengizinkan salah satu galerinya dijadikan Museum Mode Violetta Adams dan Madame Tussaud akan segera membuat patung lilin dirinya.
Ponsel Violetta berdering. Dia segera menyambar alat itu. Kebersihannya tidak perlu diragukan. Sylvie menggosok ponselnya dengan cutton bud enam kali sehari dengan cairan antiseptik.
"Madam Versace?"
Diam sesaat. "Apa pembicaraan kita ini aman?"
Violetta mengernyit. Suara Versace terdengar sedikit berbeda dari sebelumnya. Agak nge-bass, seperti suara laki-laki. Mungkin akibat operasi-operasi plastik itu.
Dia mengecek ke belakang. Sylvie belum datang. "Ya."
"Baik sekali," kata Versace. "Pastikan terus begitu. Kita perlu membahas beberapa bisnis kecil, Miss Adams. Saya punya penawaran yang pasti akan membuat Anda tertarik."
"Saya mengerti," kata Violetta. Perasaannya melambung. Dia senang sekali Versace menganggap dirinya sebagai mitra bisnis. "Supaya lebih akrab... Bisakah saya memanggil anda dengan Donatella saja? Sebagai gantinya, saya tak keberatan dipanggil Miss Adams."
...
Tidak apa-apa Joe. Aku senang bisa membantumu di kantin waktu itu. Mereka memang keterlaluan. Sophie.
"OI!"
Seorang pria berewokan dalam setelan jas safari melambai ke arah Joe.
Joe terlonjak dan hampir menjatuhkan ponselnya. "Anda mau pesan apa?"
"Tidak ada," kata pria itu. "Aku hanya penasaran. Sepertinya aku kenal kau."
"Tidak," tangkis Joe segera. "Anda salah orang. Mau pesan apa?"
"Tidak, tidak! Aku tak mungkin salah! Aku kenal kau!" Pria itu mendekatkan wajahnya yang besar ke arah Joe. "Aku pernah melihatmu di layar plasma di Times Square!"
Joe berjengit ngeri. "Saya tak pernah tampil di laya—"
"Anda ingin pesan sesuatu, Sir?"
Jack Curtis, manajer Metro Cafe muncul sambil tersenyum lebar. Dia menepuk punggung Joe. "Kau sudah selesai. Kau boleh pergi, Joe." Dia mengisyaratkan Joe untuk ke belakang sambil menatapnya seolah mengatakan 'Biar kuatasi yang satu ini!'
Joe menarik napas lega dan pergi ke dapur. Untunglah Jack tidak menghiraukan kartu konyol VIncent Krust itu dan tetap menerima Joe bekerja di kafe itu. Menurutnya, Joe dapat menjadi daya tarik bagi pengunjung. Meski merasa diperlakukan seperti binatang di taman safari, Joe tetap bersyukur dengan keputusan itu. Dia perlu uang, meski akhirnya banyak pengunjung yang menyadari bahwa si pelayan Metro Cafe itu adalah sang One Billion Dollar Boy. Salah satunya seperti pria safari itu. Mereka selalu bertanya macam-macam. Rata-rata mereka ingin melihat kartu ajaib itu. Banyak juga yang minta dibelikan ini-itu. Joe hampir tak bisa bekerja. Di saat-saat seperti itulah Jack akan mengambil alih.
Di belakang, Joe mengeluarkan ponselnya. Sophie harus segera diberitahu.
Sophie, ada film bagus yang akan diputar di Ziegfield lima belas menit lagi. Kupikir kita harus menontonnya. Bisakah kau datang? Kutunggu kau di 54th Street.
Di depan, pria safari itu masih kukuh ingin bertemu dengan Joe. Hanya ingin mengecek saja, kata pria itu. Joe langsung kabur dari pintu belakang.
Pekerjaan ini jadi beresiko mengingat dia bertemu berbagai macam orang setiap hari. Meski bayarannya hanya sembilan dolar per jam, Joe butuh pekerjaan ini. Dia bekerja paruh waktu selama dua puluh empat jam seminggu. Gajinya digunakan untuk membayar sewa apartemen. Kalau ada sisa, meskipun sangat jarang, ditabungnya untuk menyicil uang kuliah.
Ponsel Joe bergetar. Dia buru-buru mengintip ponselnya.
Kebetulan sekali Joe, aku sedang di Fifth Avenue. Kutunggu kau di depan Fisherman's Net. Tiba di sana dalam lima menit.
Akhirnya!
Joe berlari melewati bangunan-bangunan bergaya Victoria yang berdiri megah di kiri-kanan jalan untuk mencapai supermarket yang terdapat di ujung jalan sempit itu secepat yang dia bisa. Sebelum sampai di ujung jalan, dia singgah di sebuah bangunan klasik dengan papan nama Sofitel, menuju konter penjualan dan membeli dua tiket seharga tiga puluh empat dolar. Petugas konter hampir mengenalinya juga, jadi Joe buru-buru kabur.
Masih ada dua menit untuk sampai di supermarket sebelum Sophie tiba duluan.
Sambil mengeluh keras-keras tentang betapa mahalnya harga tiket bioskop di New York, Joe terus berlari sampai di ujung jalan. Akhirnya dia sampai di depan Fisherman's Net. Napasnya terengah-engah. Matanya segera mencari-cari Sophie.
Dia tak perlu menunggu lama. Sophie muncul dari seberang jalan. Gadis itu tampak begitu mencolok di tengah orang-orang yang sedang lalu lalang.
"SOPHIE!"
Gadis itu tiba di trotoar, menoleh ke arah datangnya suara dan tersenyum lebar. Dia mengulurkan tangannya yang gemulai dan menyentuh Joe, membuat cowok itu terasa seperti tersengat aliran listrik.
"Aku sudah beli tiketnya," Joe memberitahu.
"Kita akan nonton film apa?"
"Sebuah film Prancis. Judulnya," Joe membalik tiket-tiket itu. "La femme et Ce Garçon de Lui—A Woman and His Son. Aku baca resensinya pagi tadi di internet dan kebetulan sekali Ziegfeld sedang memutarnya. Film ini dikecam di Asia Tengah karena dianggap mengandung propaganda."
"Bagus sekali!" kata Sophie setuju. Dia menarik Joe kembali ke Sofitel. "Aku penasaran filmnya seperti apa."
Respon positif dari Sophie betul-betul membuat Joe lega. Ketika berjalan beriringan, jari-jari mereka hampir bersentuhan. Sophie menyadari ini dan tersenyum kecil. Joe tertunduk malu. Rasanya dia ingin menghilang ke dalam dinding-dinding bata ini. Sophie membuatnya mau pingsan.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top