12. Populer
Belakangan ini tak ada teman-teman yang bersikap normal pada Joe.
Mereka ogah mendekatinya atau sekedar mengajaknya makan siang. Bahkan sikap Patrick terhadapnya berubah. Setiap kali bertemu, Patrick mengernyit seolah Joe adalah permen karet bekas di lantai yang harus dihindari. Kalau pun ada yang berbaik hati mengajaknya ngobrol, mereka adalah cewek-cewek tahun keempat yang merengek minta dibelikan mobil atau jalan-jalan ke Vegas.
Para dosen juga menunjukkan sikap tak bersahabat dengan cara mereka sendiri. Mereka jarang mengajak Joe bicara atau bertanya padanya di kelas. Tadi pagi, Profesor Mohr berpura-pura tidak melihat Joe saat berpapasan di koridor, padahal mereka sudah nyaris bertabrakan.
Uang bisa membuat segalanya berubah, batin Joe getir. Tangannya tanpa sadar bergerak ke arah saku jinsnya, di mana kartu itu disimpan. Belakangan dia terbiasa meraba kartu itu setiap kali merasa galau. Semoga segalanya akan normal minggu depan. Kalau tidak, lebih baik aku pulang saja ke Checotah.
Sekarang jam istirahat siang dan kantin padat seperti biasa.
Joe tidak punya uang sepeser pun. Sepertinya dia harus mengemis makanan pada Andrea. Dia tahu Andrea tak keberatan memberikan seporsi pasta gratis—Joe pernah beberapa kali "meminta bantuan" seperti itu ketika sedang kepepet. Namun hari ini agak berbeda. Di dalam kartu emas itu, sebetulnya Joe punya uang untuk membeli pasta bagi seluruh penduduk New York.
Andai saja kartu itu berguna.
Mengoper si kartu jelas tidak masuk hitungan karena itu berarti Joe tidak akan menyelesaikan kompetisi itu tepat waktu. Segala cara untuk menggunakan semua uang itu tanpa membeli tampaknya mustahil.
Tapi bagaimana Violetta Adams melakukannya? Semua mobil mewah itu... apa dia curang?
Restoran Meksiko Andrea letaknya di ujung teras kantin. Kepala-kepala tertoleh dan bisik-bisik rahasia mulai berdengung ketika Joe lewat. Orang-orang meliriknya dengan sembunyi-sembunyi. Sebuah jalur kosong di tengah ruangan terbentuk secara ajaib—Joe merasa seperti Musa yang sedang membelah Laut Merah.
Joe mencoba mengacuhkan ini dan bersikap biasa saja. Dia membalas senyum Ginna Gartieuw yang sebetulnya tidak yakin ditujukan untuknya, menepuk pundak Zach Tyler-Smith yang berjengit menjauh, dan mengajak ngobrol Lee Hanson yang langsung batuk-batuk parah.
Oke, pikir Joe sebal. Persetan dengan orang-orang ini!
Dia maju dengan langkah-langkah lebar sambil melirik cemas ke depot makanan Andrea. Sahabatnya itu tak ada di sana. Padahal Andrea seharusnya sudah siaga di balik konter.
Seorang gadis kurus mengenakan gaun pendek warna biru pastel dan jins pensil melewati Joe. Rambutnya yang bewarna merah anggur menjuntai di bahunya. Dia tidak menatap Joe, tapi sedang sibuk dengan ponselnya. Melihat gadis itu bertingkah normal alih-alih menjauh seperti semua orang di kantin ini membuat Joe heran.
Carlos muncul dari belakang konter. "Halo, Joe!"
"Hai, Carlos! Andrea ke mana?"
"Masih di dapur," jawab Carlos ramah. "Hei Joe, kurasa waktunya tepat sekali. Bagaimana kalau kau mentraktir kita semua di sini?"
"Ah. Aku tidak membawa—"
"Ayolah!" Wanita gempal pelayan depot makanan Asia di sebelah Carlos menimpali dengan antusias. "Kau cowok satu milyar dolar itu, kan? Bagaimana kalau kau berbagi sedikit?"
"Maaf, aku—"
"Traktir!" Seseorang berseru dan segera disambut penuh semangat oleh yang lain. "Traktir! Traktir! TRAKTIR!"
Keringat dingin mengucur di tengkuk Joe. Seisi kantin menatapnya sambil berseru-seru minta ditraktir. Para penjaga depot makanan yang lain juga ikut-ikutan. Bahkan para petugas keamanan kampus turut serta dalam unjuk rasa dadakan ini.
"TRAKTIR! TRAKTIR! TRAKTIR!"
Joe mundur hati-hati. Dia sudah pernah menyaksikan hal seperti ini sebelumnya, ketika Martina McJohnson muncul di studio kampus dan menghancurkan hidupnya.
Carlos menangkap bahunya dan mendorongnya ke tengah kerumunan.
"TRAKTIR! TRAKTIR! TRAKTIR!"
"HEI!" Sophie Crustelle melompat naik ke atas meja seperti seorang ksatria dan meraung lantang. "Urus makan siang kalian masing-masing! Tinggalkan Joe sendiri!"
"Huuuu!" Sebuah teriakan protes muncul. Jelas tidak ada yang setuju dengan Sophie saat ini. Perut-perut yang kelaparan tidak pernah menolak makanan gratis. Teriakan lain menyusul. "HUUUUU!"
Sophie mengerling pada Joe dan tersenyum. Joe balas tersenyum. Gadis malaikat. Sophie berteriak untuk menenangkan kerumunan yang kecewa itu, tapi usahanya sia-sia.
Ada yang menyentuh punggung Joe. Dia berbalik, takut didorong lagi ke tengah ruangan. Ternyata itu Andrea. Sahabatnya menyodorkan semangkuk spageti panas.
"Andrea! Terima kasih!"
"Sebelas dolar," potong Carlos tiba-tiba. Dia mencoba merebut pasta itu dari tangan Andrea. "Gratis jika kau mau mentraktir kami semua di sini!"
"TRAKTIR! TRAKTIR! TRAKTIR!"
"Jangan ganggu dia!" bentak Andrea galak. "Ambil pastamu Joe!"
Joe menerima pasta itu dan tersenyum lemah ke Andrea yang dibalas dengan anggukan penuh pengertian. Sophie masih mencoba mengendalikan suasana. Gadis itu tidak dapat dikalahkan dengan mudah. Diam-diam Joe menyelinap ke bagian luar kantin karena perhatian semua orang sekarang sedang tertuju pada Sophie. Beberapa orang yang memergokinya kabur mencibirinya.
Baiklah, terserah kalian saja.
Ada satu baris kursi kosong di luar. Hanya ada sekumpulan anak-anak punk di situ: gengnya Peter Lombard yang terkenal suka bikin gara-gara. Hari ini rambut Peter bergaya mohawk tinggi dengan ujung-ujung berwarna pelangi.
"One Billion Dollar Boy!"
Joe tidak menggubris. Keberadaan Peter Lombard dan gengnya di Columbia merupakan suatu anomali. Bagaimana caranya mereka bisa diterima masuk ke kampus ini masih menjadi pertanyaan besar bagi Joe.
"Hei, ATM berjalan!" Peter berteriak semakin keras. "Kok buru-buru?"
"Pete, aku sedang tidak ingin—"
"Kau tak akan mengeluarkan sampai seribu dolar jika mentraktir kita semua!"
Joe meletakkan mangkuknya di atas kursi dan mengacuhkan cowok itu. Tidak diragukan lagi, Peter yang tadi mulai berteriak 'Traktir' di kantin.
"Kau mendengarku, pelit?"
Abaikan saja. Joe mencoba menenangkan diri. Mereka tak akan paham.
"OHO!" Peter memekik sambil menunjuk jins Joe. "Aku tahu. Lihat! Kau memang pelit! Kau bahkan tak mau membeli jins baru dan memilih celana bolong! Mengapa kau tak mau menggunakan uangmu untuk bersenang-senang, Joey?"
"Pete, tolong—"
"Aku tahu!" potong Peter ganas. "Kalian orang-orang udik pasti tidak tahu cara bersenang-senang! Pasti yang ada di pikiran kalian hanyalah membeli kebun dan sapi! HA!"
Peter mulai menyanyikan Old McDonald Has A Farm dengan gaya mengejek. Teman-teman satu gengnya menyorakki dengan kejam.
"Coba kulihat, Pete..." Joe membalas. Telinganya terasa sepanas mangkuk pasta. "Mungkin aku akan meminta seorang desainer membuatkan jins baru dengan uang ini sehingga tak perlu memakai jins yang sama setiap hari seperti kau."
Salah satu anggota geng memprotes. "Hei, ini sedang ngetren tahu!"
"Jangan tidak tahu sopan begitu, teman-teman!" Peter maju dengan tenang. "Jadi kau juga mengikuti tren, Little Joey?" Dia menunjuk sepatu Joe. "Apa yang kau pakai itu sepatu model terbaru? Penuh selotip?"
Tawa gerombolan itu pecah.
Joe tertunduk malu. Tadi pagi dia merekatkan kembali kedua belah sepatunya yang robek sehingga bisa dipakai ke kampus dengan memakai lakban. Wajah Andrea berubah jadi merah ketika dia berusaha menahan tawa saat melihat sepatu itu, begitu merahnya sampai Penelope mengira dia demam.
"Vincent Krust memberiku satu milyar dolar untuk sepatu ini," Joe menelan amarahnya bulat-bulat. "Mungkin dia mau memberimu lima dolar untuk jins ketat yang tidak pernah dicuci dan sepuluh dolar ekstra untuk sepatu botmu yang jamuran."
Peter Lombard bangkit berdiri. "Kau ini—"
"One Billion Dollar Boy, ya, kau benar sekali!"
"Coba beritahu aku..." Peter berbisik dan maju semakin dekat. Punggungnya melengkung seperti serigala besar jahat dalam dongeng. "Akan kau apakan uang sebanyak itu? Kurasa kau tidak pantas mendapat semua uang itu!"
Seseorang berkelebat muncul di depan meja makan dan mendorong Joe keras-keras sehingga dia terjengkang menabrak dinding. Kejadiannya cepat sekali.
Peter menggeram, tinjunya mengambang di udara. "Apa yang—"
Joe mengerjap-ngerjap. Si gadis berambut merah anggur berdiri di depannya. Dia mendelik ke arah Peter.
"Halo!" Suaranya sedingin es. "Ada masalah di sini?"
"Tidak juga." Peter mendelik. "Kau siapa?"
"Bukan siapa-siapa. Dengar, aku tahu apa yang kalian lakukan tadi malam!"
Wajah Peter berubah pucat. "Masa?"
"Oh ya!" Gadis itu mengangkat ponselnya. "Dan aku punya bukti."
Salah satu anggota geng berteriak. "Dia mengancam, Pete! Hajar saja sekalian!"
"Kalian mungkin tidak tertarik melihat ini..." Gadis itu menggoyangkan ponselnya dengan mengancam. "Tapi aku yakin ada pihak-pihak yang tertarik. Kalian tidak tahu betapa mudahnya menyadap kamera CCTV saat ini. Mungkin aku akan menyerahkan ini pada dewan kemahasiswaan. Atau polisi. Pilihannya tergantung pada apa yang akan kalian lakukan dalam sepuluh detik ke depan."
Peter menelan ludah. Dia melangkah mundur dengan hati-hati seperti anak kecil yang baru dimarahi. Teman-temannya memandangi si gadis berponsel itu seolah dia setan kuburan.
Gadis itu maju ke arah Peter. "Aku sangat serius, teman-teman."
Peter tampak galau. Dia menatap gadis itu sambil mendengus-dengus. Akhirnya dia mengentakkan kaki dan pergi. "Sampai nanti, orang udik!"
Si gadis berbalik menghadap Joe. "Kau tidak apa-apa?"
"Mm, yeah. Aku oke!" Padahal pinggul Joe nyeri sekali. Mungkin retak tulang. Dengan sedikit gengsi, dia mencoba berdiri. "Umm... kau siapa?"
"Kita harus pergi sekarang."
"Hah?"
Gadis itu menyalak. "Ayo!"
Lalu dia menarik tangan Joe dan mendorongnya menuju jalan sempit yang mengarah gerbang belakang kampus. Joe melirik Peter yang masih punya nyali untuk melakukan gerakan jari kurang ajar ke arah si gadis berambut merah yang untungnya diacuhkan.
Mereka sampai di jalan umum. Angin dingin yang berhembus membuat Joe menggigil. Dia meninggalkan jaketnya di perpustakaan.
"Boleh aku bertanya sekarang?"
Si gadis bergumam tak jelas. Joe menganggap itu sebagai "ya".
"Apa yang baru saja kau lakukan?"
"Menyelamatkanmu."
"Kenapa?"
"Kenapa?" ulang gadis asing itu tak sabar. "Kau sudah bonyok seandainya tadi aku tidak mencegah king kong itu menghajarmu!"
"Aku bisa mengatasinya!"
"Dengan apa? Mangkuk pasta?"
Ego Joe kempes seperti balon. "Jadi, kau ini siapa?"
"Mahasiswi Columbia."
Ada sekitar dua puluh ribu mahasiswa di Columbia. "Sudah jelas. Jurusan?"
"Film."
"Aku juga dari Seni Visual. Kok aku belum pernah melihatmu?"
"Mahasiswi baru," jawab gadis itu tidak berselera. "Jangan tanya-tanya lagi!"
Kok ketus sekali? Joe menyesali sikap tidak bersahabat si gadis. Dia berlari-lari kecil untuk mengimbangi langkah-langkah raksasa gadis itu.
"Namaku Joe. Kau mengenalku?"
"Tidak. Haruskah?"
"Tidak juga sih." Itu lebih baik. "Siapa namamu?"
Si gadis berhenti lalu menatap Joe seolah dia baru mengucapkan kata-kata kotor yang tidak seharusnya diucapkan di depan seorang wanita. "Artie," jawab si gadis formal. "Senang berkenalan denganmu, Joe."
Cara si gadis mengucapkan namanya sendiri membuat Joe keheranan. Seolah nama itu bukan sudah jadi miliknya bertahun-tahun, tetapi sesuatu yang baru saja dihafalnya buru-buru.
Artie kelihatan lebih nyaman, jadi Joe memutuskan untuk bertanya lagi. "Memangnya apa yang dilakukan Peter dan gengnya tadi malam?"
"Aku tidak tahu."
"Tapi tadi kau bilang—"
"Aku mengarangnya," potong Artie sebal. "Astaga, masa sih kau sebodoh itu?"
"Tapi sepertinya mereka memang melakukan sesuatu. Kau lihat tampang Pete tadi? Sangat ketakutan!"
"Orang seperti Peter Lombard dan gengnya pasti selalu melakukan sesuatu yang buruk. Itu sama wajarnya seperti bernapas bagi mereka. Sekarang Joe," Artie mencengkeram pundak Joe lalu mengguncangnya. "Bisakah kau diam satu menit saja?"
Joe menutup mulut dan mengikuti Artie. Gadis ini mengerikan.
Mereka berjalan lurus menyusuri deretan bangunan di sisi kanan jalan hingga sampai di depan Starbucks.
"Kurasa kita sudah aman sekarang," kata Joe. Mereka sudah cukup jauh dari kompleks kampus.
Artie terhenti di tengah langkah-langkah raksasanya dan membatu di tempat. Dia menatap Joe dari ujung kepala hingga ujung kaki. "Kita seharusnya kembali ke dalam!"
"Seharusnya kita memang tidak kabur. Kita bisa bersembunyi di perpustakaan, kan?"
"Kita kembali setelah selesai jam makan siang!"
"Kenapa tidak sekarang saja?"
"Kalau kau mau jadi daging cincang, silakan saja!"
Baiklah kalau itu maumu. Joe mengunci mulutnya dan mengecek jam. Masih ada lima belas menit lagi sebelum kelas selanjutnya dimulai.
Tiba-tiba Artie berseru. "Apa itu?"
"Cheese cake."
Artie menunjuk orang-orang yang lalu lalang di depan Starbuck sambil menenteng kantong makanan. Seorang pria sedang menggigit cheese cake dengan nikmat. "Bukan. Itu!"
"Dari bentuknya aku yakin sekali itu bukan donat."
Artie mendengus tak sabar. Dia menggoyang-goyangkan tangannya, seperti hendak menyihir. "Aku mendengar sesuatu. Kau dengar tidak?"
Itu bunyi perutku. "Tidak," kata Joe malu. "Kenapa tidak kembali sekarang saja?"
"Kau lapar?"
Joe teringat pasta pemberian cuma-cuma dari Andrea. Sungguh disayangkan, mangkuk pasta itu terguling jatuh ketika Artie mendorong Joe tadi. "Kau menculikku di saat makan siang, logikanya aku pasti kelaparan!"
Artie memicing curiga. "Kenapa kau tidak makan di restoran saja?"
Joe langsung tegak. Dia langsung tahu akan ke mana arah pembicaraan ini. "Aku bukan tipe orang yang suka berfoya-foya!"
"Tapi kau kan memang harus berfoya-foya!" tuntut Artie. "Dengan semua uang itu?"
"Oho, jadi kau tahu siapa aku?"
"Aku—kau memperkenalkan diri."
"Aku tidak pernah menyebut-nyebut soal uang."
Artie mengangkat ponselnya dan menunjuk layarnya. "Hei, dengar. Wajahmu muncul terus-terusan di sini sejak beberapa hari lalu. Aku kan menonton YouTube juga!"
Jadi kau memang tahu siapa aku, pikir Joe nelangsa.
"Apa Vincent Krust betul-betul memberimu satu milyar dolar?" desak Artie. Kali ini gadis itu kelihatan tertarik.
"Bukan," sahut Joe. "Dia memberiku kartu. Uang itu ada di dalamnya. Tapi aku tidak bisa menggunakannya untuk membeli barang atau jasa apa pun. Terserah mau percaya atau tidak."
Artie mencondongkan tubuh ke arah Joe. Cuping hidungnya yang lancip melebar. Joe menunggu Artie akan melontarkan reaksi seperti'Kau pasti bercanda!' atau 'Kau pikir aku tolol?' tapi...
"Aku percaya kok," kata Artie tenang.
"Kau percaya?" Joe terhenyak. "Kau percaya padaku, begitu saja?"
"Bagiku kau tak punya tampang pembohong."
Ini tidak melegakan. Jika Joe memiliki tampang seperti Peter Lombard, mungkin Artie tak akan langsung percaya kata-katanya.
Artie tidak membahas urusan satu milyar dolar itu lebih jauh. Mereka terdiam selama beberapa saat. Joe menyepak trotoar karena perutnya luar biasa keroncongan sementara Artie menyibukkan diri memandangi tiang lampu jalanan yang catnya sudah mengelupas seolah benda itu sangat menarik.
"Di mana kau menyimpan kartu itu?" tanya Artie tiba-tiba.
Joe menyipit menatap wajah Artie yang terhalangi sinar matahari. Pertanyaan ini baru pertama kali dilontarkan. "Kenapa kau bertanya?"
Artie mendekatinya, kedua tangannya tersembunyi di belakang punggungnya. "Hanya ingin tahu saja. Siapa tahu kau meninggalkannya di kantin."
Apa mau gadis ini sebenarnya? Secara aneh, Artie memiliki semacam hawa mengancam. "Aku selalu membawanya," kata Joe.
Artie kelihatan tidak puas. "Di mana kau membawa kartu itu, tepatnya?"
Joe berpikir untuk menyelinap pergi. Artie masih mengamatinya. "Di tempat yang aman."
Mereka terdiam lagi, lalu Artie membuang muka dan kembali menekuni si tiang lampu. Joe mengalihkan tatapannya ke arah deretan restoran di seberang jalan. PIlihan yang salah, karena tempat-tempat itu penuh dengan orang-orang yang sedang menyantap makan siang. Perut Joe berbunyi lagi. Seharusnya tadi aku sarapan lebih banyak. Penelope selalu memastikan Joe mendapatkan gizi yang cukup pada setiap kunjungannya hanya saja Joe seringkali malu untuk memanfaatkan penawaran tulus itu.
"Artie?" Kali Joe ini sungguh-sungguh. "Bisakah kita kembali sekarang?"
Gadis itu melirik Joe sebentar lalu mengacuhkannya.
...
Terence Adler sedang duduk menikmati kopinya ketika dia melihat Joseph Hamilton dan seorang gadis berambut merah anggur berdiri di depan Starbucks yang sedang dia singgahi.
Jackpot!
Terry melepas kacamatanya dan bersiul memanggil Owen McMillan si juru kamera. "Owen! Lihat! Itu Hamilton!"
Owen menyipit mencari-cari. "Wah... kencan di siang hari buta! Menarik sekali!"
Terry mencondongkan tubuh untuk mengamati lebih jelas. Dia tidak salah lihat. Itu betul si Joe Hamilton. Dia berdiri di trotoar depan Starbucks bersama seorang gadis. Yang dilihatnya sudah sangat jelas. Gadis itu memonopoli pembicaraan sambil berjalan mondar mandir sementara Hamilton terpaku diam dengan tampang bersalah. Terry menyimpulkan mereka sedang bertengkar.
"Mungkin dia ketahuan selingkuh," asumsi Owen sok tahu. "Di film-film biasanya begitu. Apa sebaiknya kuambil gambarnya sekarang?"
"Tunggu," cegah Terry. "Ini betul-betul kejutan. Biasanya anak itu makan siang di kantin."
"Wow!" pekik Owen. "Dari mana kau tahu?"
"Aku menyelidiki sedikit."
"Tanpa sepengetahuanku?"
"Tadi aku menyelinap ke dalam."
Yeah, pikir Owen geli. Pekerjaan ini memang cocok untuk Adler. Dia memang masih kelihatan seperti mahasiswa. "TMZ ngumpet di studio. New York Post menyamar jadi petugas keamanan. Berani taruhan, mereka pasti tidak akan meliput yang satu ini. Ini akan jadi laporan eksklusif kita!"
Terry mengangguk. Dia sudah bisa membayangkan tajuk berita utamanya. "Apa ini langkah pertama Joe Hamilton menghabiskan uang satu milyarnya? Dengan mengajak pacarnya makan siang?"
"Itu akan jadi judul berita yang menarik. Marty pasti suka!" dukung Owen. Dia bersusah payah menyisipkan tubuh besarnya di antara meja-meja. "Sialan! Mengapa mereka mengatur meja-meja ini begitu rapat?"
Sementara Owen mengeluh, Terry maju mendekat ke kaca. Dia belum pernah melihat Joe Hamilton dalam jarak sedekat ini. Mereka hanya terpisah oleh jalanan. Ternyata anak itu tampak jauh lebih muda dan lebih kurus di dunia nyata. Terry paham bahwa televisi memang membuat orang terlihat lebih tua dan gendut.
Bunyi gabrukan yang mengganggu terdengar ketika Owen menabrak punggung Terry dalam upayanya melepaskan diri dari himpitan meja-meja. Terry terdorong hingga menempel di kaca. Para pengunjung memprotes riuh karena kegaduhan kecil itu. Owen memutar tubuhnya sambil nyengir bersalah. Terry menggeliat melepaskan diri dan lari ke pintu depan.
"Owen! Cepat!"
Dia menjeblak pintu tetapi langkahnya terhenti.
Joe Hamilton dan pacarnya sudah menghilang dari seberang jalan.
Bạn đang đọc truyện trên: AzTruyen.Top